Thursday, March 22, 2018

746. BADUI

KISAH ORANG BADUI YANG “MENGHISAB” ALLAH
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.

      Dikisahkan, seorang Badui telah memeluk Islam, dan sudah mengikrarkan “Dua Kalimat Syahadat”, yaitu “Saya bersaksi tidak ada tuhan selain Allah, dan saya bersaksi Nabi Muhammad utusan Allah”, karena dia mengikuti jejak kepala sukunya.
     Si Badui telah masuk Islam, berkat hasil dakwah dari para pemimpinnya, lalu dia belajar cara beribadah agama Islam dari tokoh kabilahnya, meskipun dia tergolong “ekonomi lemah”, tidak pintar, dan belum pernah bepergian ke luar dari “desa”nya, artinya dia orang “ndeso”, karena tempat tinggalnya terpencil dan “adoh kawat”.
     Si Badui belum pernah ke Madinah, sehingga dia belum pernah bertemu dengan Nabi, dan tidak mengenal wajah Nabi, tetapi dengan segala keterbatasannya, dia sudah menjadi seorang  mukmin “yang baik”, karena dia sangat  mencintai Nabi Muhammad.
       Pada suatu hari rombongan kabilah sukunya pergi ke Mekah untuk melaksanakan ibadah umrah, dan si Badui ikut dalam rombongan.
     Ketika rombongannya melaksanakan tawaf mengelilingi Kakbah sebanyak tujuh kali dengan berjalan kaki berlawanan arah jarum jam, maka si Badui selalu “mengintil”, dan mengikuti di belakang rombongannya.
      Kemudian si Badui terpisah dari rombongan, tetapi dia tetap melaksanakan tawaf, dia berjalan sambil berzikir, “Ya, Karim… ” berulang-ulang, karena dia bukan orang cerdas, dan tidak mampu menghafal doa tawaf, maka selama tawaf dia hanya membaca “Ya, Karim…”, berulang-ulang.
     Tiba-tiba dia merasa ada yang mengikutinya, karena ada orang yang berjalan “menempel” di belakangnya, dan menirukan ucapannya, “Ya, Karim...” seperti dirinya, kemudian si Badui bergeser, dan berpindah agak menjauh, agar tidak diikuti orang tersebut.
      Dia menyangka orang itu mengolok-oloknya, tetapi meskipun dia bergeser dan menjauh, tetapi orang itu tetap “membuntutinya”, karena kemana pun dia bergerak, orang itu selalu mengikutinya.
    Akhirnya, si Badui menghentikan langkahnya dan memutar badannya 180 derajat, lalu  berbalik menghadap orang itu, dan si Badui berkata,”Wahai, orang yang berwajah cerah, dan berbadan bagus, apakah engkau memperolok-olokku? Demi Allah, engkau akan kulaporkan kepada kekasihku”.   “Siapakah kekasihmu itu?” jawab lelaki itu, lalu si Badui menjawab, “Nabiku, Nabi Muhammad Rasulullah”.
     Lelaki itu tampak tersenyum, karena mendengarkan jawabannya, kemudian lelaki itu bertanya, “Apakah engkau belum mengenal dan bertemu dengan Nabimu itu, Wahai saudaraku, Badui?” “Belum,” jawab Si Badui. 
      Lelaki itu berkata lagi,”Bagaimana mungkin engkau mencintainya, padahal, engkau tidak mengenalnya? Bagaimana pula keimananmu kepadanya?” “Aku beriman atas kenabiannya, meskipun aku tidak pernah melihatnya, dan aku membenarkan kerasulannya, walaupun aku belum pernah bertemu dengannya,” jawab si Badui.
      Lelaki itu tersenyum lagi, “Wahai saudaraku orang Badui, aku inilah Nabimu di dunia, dan pemberi syafaat kepadamu di akhirat kelak.” Memang, lelaki yang “mengintili” si Badui adalah Nabi Muhammad, yang saat itu, juga sedang melaksanakan umrah.
     Nabi mengikuti si Badui ketika sedang tawaf, beliau melihat si Badui yang “polos” dan “unik”, dan terpisah dari rombongannya, tetapi dia tampak begitu khusuk dalam melaksanakan tawaf.
    Si Badui memandang Nabi, seakan tidak percaya, kaget bercampur gembira, dia  terpana, lalu matanya berkaca-kaca, kemudian dia mendekat kepada Nabi dan  merendahkan badan akan mencium tangan Nabi, lalu  Nabi memegang pundaknya.
      Nabi berkata,”Wahai saudaraku orang Badui, janganlah engkau memperlakukanku, seperti orang asing memperlakukan rajanya. Sesungguhnya, Allah mengutusku bukan sebagai orang yang sombong dan sewenang-wenang, tetapi Allah mengutusku dengan kebenaran, dan memberikan kabar gembira, berupa kenikmatan di surga, serta  memberikan  peringatan, tentang pedihnya azab neraka.
      Si Badui lalu berdiri termangu, dan tampak jelas raut wajah kegembiraannya, karena bisa berjumpa dengan Nabi, kemudian tiba-tiba malaikat Jibril turun kepada Nabi, dan menyampaikan beberapa kalimat kepada si Badui.
     “Wahai Badui, sesungguhnya kelembutan dan kemuliaan Allah. Ya, Karim. Yang Maha Pemurah. Maha Memberi tanpa diminta. Akan menghisab dan memperhitungkan segala perbuatan manusia.”
      Nabi menyampaikannya  kepada Si Badui, lalu si Badui bertanya, “Apakah Allah akan menghisabku, Ya Rasulullah? Nabi menjawab, “Benar Allah akan menghisabmu, jika Allah menghendaki.”
     Tiba-tiba Badui mengucapkan sesuatu yang tidak terduga, “Demi kebesaran dan keagungan Allah, apabila Allah menghisabku, maka aku juga akan menghisab Allah.” Nabi bersabda sambil tersenyum, “Wahai saudaraku, engkau menghisab Allah dalam hal apa?” 
     Si Badui menjawab,”Jika Allah menghisabku, atas dosaku, maka aku akan menghisab Allah dengan Maha Pengampunan-Nya. Apabila Allah menghisabku atas kemaksiatanku, maka aku akan menghisab Allah atas Maha Pemaaf-Nya. Apabila Allah menghisabku atas kekikiranku, maka aku akan menghisab Allah atas Maha Kedermawanan-Nya”.
     Nabi terharu mendengarkan jawaban si Badui, hingga Nabi meneteskan air mata sampai membasahi jenggot beliau, karena mendengarkan jawaban yang sederhana yang menunjukkan betapa “akrabnya” si Badui dengan Tuhan-Nya, dan betapa tinggi “makrifatnya” kepada Allah, padahal dia belum pernah mendapatkan didikan langsung dari Nabi.
     Malaikat Jibril turun lagi, dan memberi tahu Nabi, “Wahai Muhammad, Allah mengirim salam kepadamu, dan berfirman,”Kurangi tangismu, karena dapat memengaruhi para malaikat dalam bertasbih, dan sampaikan kepada saudaramu, si Badui bahwa dia tidak perlu menghisab Allah, karena Allah tidak akan menghisabnya, dan dia termasuk penghuni surga.”
Sumber :
1. Katsir, Ibnu. Kisah Para Nabi. Penerbit Pustaka Azzam. Jakarta 2011.
2. Sahil, Azharuddin. Indeks Al-Quran. Panduan Mudah Mencari Ayat dan Kata dalam Al-Quran. Penerbit Mizan. Bandung 2007.
3. Kisah Para Sahabat.

0 comments:

Post a Comment