KISAH SEORANG GURU SIDOARJO TAHUN
1978
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi,
M.M.
Aneh
bin ajaib. Waktu berjalan begitu cepat. Tidak terasa, lebih 38 tahun saya
menjadi seorang guru.
Sebagai seorang pendidik sekaligus
“amtenar”. Rasanya, baru kemarin lulus STM (Sekolah Teknik Menengah) Negeri 3
Surabaya di Sidoarjo Jurusan Teknik Mesin.
Seangkatan dengan Joko Malis. Pemain
sepak bola terkenal di Surabaya. Ternyata, tidak lama lagi saya akan
lepas tugas.
Sesuai peraturan, maka “Umar
Bakri” harus pensiun dari guru PNS (Pegawai Negeri Sipil) pada umur 60 tahun.
BUKAN MANTAN GURU
Tentu saja, selama puluhan tahun menjadi “betara
guru”, banyak hal sudah terjadi. Sekarang ini, semua murid saya
berpencar. Menjadi apa saja, dan di mana saja. Oleh karena itu, tidak
heran ketika saya berada di suatu tempat.
Sering berpapasan dengan “mantan”
murid saya. “Pak Guru, bagaimana kabarnya?” kata seseorang. Atau, “Pak Yusron,
kok kelihatan masih muda. Padahal saya sebagai murid Bapak. Sudah tua dan
rambut sudah beruban,” timpal yang lain.
“Pak
Yusron, terima kasih sudah memberi inspirasi saya belajar elektronika waktu
SMP. Alhamdulillah, saya sekarang bekerja di suatu perusahaan yang besar,”
tulis seseorang dalam akun facebook saya.
Bahkan ada yang menuliskan lewat
twitter, “Pak Yusron, adalah guru matematika saya yang hebat.” Atau sapaan
lainnya. Ketika berjumpa tatap muka langsung atau lewat media sosial marak
terjadi. Biasanya saya menjawab, “Terima kasih, semoga kita tetap sehat lahir
dan batin. Bermanfaat bagi keluarga dan masyarakat sekitar.” Saya menganggap
beberapa ucapan dan tulisan mereka hiperbol atau dibesar-besarkan.
Tapi,
itulah komunikasi yang kerap terjadi antara murid dan “mantan” gurunya. Ya
benar, meskipun sekarang sudah kelihatan hampir sama tuanya. Tetapi guru adalah
tetap guru selamanya, bukan mantan guru! Juga, bukan bekas guru! Guru saya
pribadi waktu SD, SMP, maupun SMA/STM adalah guru saya selamanya. Guru saya
sepanjang hayat. Itu keyakinan saya pribadi, maka saya selalu menghormati dan
mendoakan kebaikan buat semua guru saya. Selamanya.
Semua interaksi antara saya dengan “mantan”
murid, membuat saya merasa sebagai guru selebriti. Mungkin saya
berlebihan. Tapi, mohon maklum, itulah yang saya rasakan.
Sering terjadi pertemuan saya dengan
“mantan” murid di suatu tempat. Atau ketika reuni alumni, memaksa untuk
mengingatkan suasana nostalgia yang menyenangkan dan menggemaskan.
Bagaimana tidak menggemaskan?
Kami bercerita “gedabrus” dan
“ngalor ngidul” tentang zaman tempo dulu yang masih imut, lucu, agak norak,
menyenangkan sekaligus menyebalkan.
Tapi, semuanya terlalu indah untuk
dikenangkan, dan sayang untuk dilupakan. Adakah hal lain yang lebih indah dan
menggemaskan? Selain mengenang peristiwa masa lalu yang indah ketika masih
remaja? Selain kisah kasih waktu lampau yang tidak akan terulang?
KECELAKAAN MEMBAWA NIKMAT
Bagaimana riwayat saya, yang lulusan STM Teknik
Mesin bisa menjadi seorang guru? Kisahnya, dimulai ketika saya lulus STM tahun
1976. Saya mendaftar masuk ke ITS (Institut Teknologi Sepuluh November
Surabaya). Dengan sepeda motor. Beberapa kali saya membonceng ayah dari desa
Panjunan, Sukodono, Sidoarjo mengunjungi tempat pendaftaran masuk ITS Surabaya.
Untuk mencatat dan melengkapi syarat pendaftaran.
Setelah sekian hari mengikuti bimbingan masuk ke
ITS oleh para tentor. Tiba saatnya mengikuti tes masuk ITS.
Hasilnya? Ternyata dalam pengumuman
penerimaan mahasiswa baru, nama saya tidak muncul.
Kecewa? Tentu saja, saya kecewa.
Saya batal menjadi “tukang” insinyur. Saya gagal masuk ITS karena nilainya
tidak mencukupi. Ataukah sebab ada aturan lulusan STM harus mengabdi selama dua
tahun di perusahaan lebih dulu. Entahlah. Yang pasti, itulah awal saya
mengalami “kecelakaan yang membawa nikmat” menjadi calon seorang guru.
Setelah gagal masuk ITS, saya menjadi mahasiswa
PGSLP YD (Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama Yang Disempurnakan) yang
diselenggarakan oleh IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Negeri
Surabaya di kampus Ketintang, Surabaya.
PGSLP YD adalah sebuah program
darurat untuk memenuhi kebutuhan guru di Indonesia. Bahkan dalam perjanjian
tertulis yang saya tanda tangani. Setelah lulus kelak, harus bersedia menjadi
guru di seluruh Indonesia atau negara lain yang ditunjuk pemerintah.
GURU PEMULA
Pada 1 Februari 1978, Alhamdulillah saya lulus
dari PGSLP YD Jurusan Keterampilan Elektronika. Sejak 1 Maret 1978 saya resmi
menjadi calon guru PNS di SMP Negeri 1 Sidoarjo. Saya amat bersyukur
ditempatkan di daerah asal, sedangkan banyak teman saya ditempatkan di luar
Jawa. Misalnya, di Pulau Kalimantan dan Madura. Barangkali, salah satu kriteria
menentukan lokasi menempatan adalah hasil nilai selama kuliah. Nilai saya
termasuk bagus. Maka saya ditugaskan di sekolah terbaik di Sidoarjo.
Alhamdulillah.
Sebagai calon guru PNS golongan ruang II/a
dengan pangkat Pengatur Muda. Nomor Induk Pegawai 130684046. Saya
menerima gaji Rp16.960,00 per bulan. Yakni sebesar 80 persen dari gaji pokok
Rp21.200,00. Saya menerima gaji pertama saya dengan gembira. Belum memiliki
sepeda motor. Setiap hari sekolah, berangkat dan pulang sekolah naik kendaran
umum. Sering juga dibonceng sepeda motor bersama orang yang searah dengan saya.
Masa ltu, hanya satu jenis kendaran umum yang
melayani rute dari Sidoarjo ke Sukodono, dan sebaliknya. Yaitu mobil lin G
warna merah. Yang terbuka bagian belakangnya. Sehingga, penumpang naik
dan turun lewat pintu belakang. Bukan lewat samping. Penumpang duduk saling
berhadapan, beradu dengkul. Menghadap ke samping. Bukan ke depan atau ke
belakang. “Bemo” tersebut berpangkalan di Pasar Dayu, Sidoarjo dan Pasar
Sukodono. Saya biasanya menunggu kendaraan di depan rumah, lalu turun di Baba
Layar, Sidoarjo. Kemudian berjalan kaki ke SMP Negeri 1 Sidoarjo. Melewati
alun-alun Sidoarjo.
Don’t judge a book by its cover. Jangan menilai
sebuah buku hanya dengan melihat penampilan luarnya saja. Jangan suka menilai
seseorang cuma dari penampilan “casing”nya, hanya dari “bungkus”nya.
Pepatah tersebut cocok dengan
pengalaman saya. Sewaktu pulang dari sekolah. Biasanya, saya menunggu antrean
“bemo” di Pasar Dayu, Sidoarjo. Kendaraan akan berangkat, jika penumpang sudah
penuh. Selama menunggu, saya menonton para “kru” dan calon penumpang bermain
catur. Bergantian.
Cak Mat, salah seorang pemain catur jalanan.
Penampilannya sungguh tidak mengesankan. Rambut awut-awutan. Mengenakan pakaian
“kebesaran”. Karena memang berukuran amat besar dan “gelombyor”.
Tetapi, jangan tertipu penampilan.
Dia pemain catur ulung. Dia menggerakkan buah catur secepat kilat, sebelum
musuhnya menempatkan buah catur dengan sempurna. Tingkahnya sungguh
“menghenyek” lawannya. Tanpa berpikir. Dia memindahkan buah catur, tanpa
konsentrasi melihat papan catur. Seolah dia bisa “membaca” pikiran
lawannya.
Awalnya, saya memandangnya dengan
“sebelah mata”. Saya menganggapnya sebagai pemain “ecek-ecek”. Pemain catur
pemula. Tapi saya keliru! Ternyata, saya sulit mengalahkan dia dalam bermain
catur. Yang sering hanya bermain seri. Hanya seimbang, tidak ada
yang kalah. Bahkan, saya pernah kalah.
Tahun 2010. Cak Mat mengunjungi saya. Di
SMP Negeri 2 Buduran, Sidoarjo. Setelah 30-an tahun tidak berjumpa. Dengan
penampilan yang rapi. Dia menyapa saya, megingatkan zaman tempo dulu.
Kami bernostalgia. Dia mengingatkan,
bahwa saya adalah lawan tanding bermain catur yang seimbang. Setelah beberapa
saat, dia pamit dengan membawa uang transpor sekadarnya.
Sekarang, saya merasa kehilangan. Pemuda
berbadan kekar. Dia, seorang sopir perusahaan. Setiap pagi lewat di depan
rumah. Dia naik sepeda motor butut. Tidak memakai jaket. Juga, tanpa helm.
Menuju ke tempat kerjanya.
Setiap pagi berangkat kerja, dia
acap kali mengajak saya bersama. Saya membonceng ke Sidoarjo. Saya ikut
“nebeng”. Naik sepeda motor “gundul”. Bisa pula disebut sepeda motor “miskin”.
Tidak punya apa-apa. Hanya mampu “gelundung” saja. Kasihan. Namun, anehnya,
meskipun “miskin”, tapi sangat berjasa. Terutama kepada saya.
Sayangnya, saya tidak tahu tempat tinggalnya.
Sudah puluhan tahun, saya tidak pernah berjumpa lagi dengannya. Semoga Allah
yang Mahakuasa membalas semua kebaikannya. Amin.
Dengan penampilan anak muda 21 tahun, maaf, agak
berambut gondrong. Rambut sedikit “gimbal”. Banyak teman sekolah yang tidak
menyangka, saya telah menjadi seorang pendidik. Memang, seorang guru seharusnya
bisa “digugu” dan “ditiru”. Artinya, seorang guru sepatutnya mampu menjadi
panutan dan teladan.
Sebagai guru pemula, saya menjadi asisten
Pak Bin Anwar. Beliau guru agama Islam yang pintar servis elektronika.
Misalnya, servis radio dan televisi.
Beberapa teman guru menggoda saya,
“Pak Yusron adalah guru yang aneh, sebab menjadi guru yang berhubungan dengan
listrik, tetapi rumah pak guru sendiri belum ada listriknya,” kata mereka.
Saya tertawa, mendengarkan
gurauan mereka. Mungkin mereka menganggap saya belum cukup ilmu untuk menjadi
guru.
Guyonan teman guru ada benarnya. Kegiatan
perkuliahan PGSLP YD dilaksanakan sekitar 8 bulan.
Dengan memperoleh beasiswa dari
pemerintah dihitung selama setahun. Setelah lulus, langsung ditugaskan sebagai
guru SMP.
Padahal, dengan kuliah yang relatif
singkat. Tentu saja, bekal ilmunya belum mumpuni. Saya berusaha mengatasi
kekurangan tersebut. Mulai saat itu, saya sering mengunjungi Pasar Genteng,
Surabaya untuk belajar lebih banyak dan mendalam tentang Teknik Elektronika.
PENYANYI KAMAR MANDI
Kami para guru muda. Sering tidur di sanggar
sekolah. Ruangan tidak terpakai disulap menjadi ruang tidur. Saya dengan
Pak Andi guru kesenian dan Pak Putut guru bahasa Indonesia adalah penghuni
tetap. Sedangkan beberapa guru lain, biasanya ikut menimbrung.
Melihat dan mendengarkan Pak Andi memainkan
gitar sambil bernyanyi. Hampir setiap hari. Saya terpengaruh kena “virus”nya.
Tidak terasa, saya dan Pak Putut
tertular ikut belajar bermain gitar. Juga belajar alat musik lainnya. Misalnya,
piano dan drum. Kami memperoleh julukan sebagai “Penyanyi Kamar Mandi” dan
“Artis Sanggar”.
“Pindah kripnya besok saja!” teriak Pak Andi.
Ketika kami memainkan sebuah lagu, tetapi tangan saya terlambat
memindahkan krip (accord) gitar dari posisi C ke Am misalnya. Kami tertawa
bersama mendengar “ejekan” tersebut.
JAGO KANDANG BADMINTON
Pada kesempatan lain. Saya berhasil “membalas
dendam”. Mempermalukan Pak Andi. Pada sore hari yang cerah. Kami bermain badminton.
Setelah saya mengalahkan Pak Putut. Saya bertanding single dengan Pak Andi.
Yang amat mahir bermain gitar, tetapi “kedodoran” ketika memegang raket
badminton.
Pertandingan belum berakhir, Pak
Andi sudah menyerah kalah. Pak Andi mengaku “keok”. “Gak badminton, gak
patheen,” kata Pak Andi. Sambil meletakkan raket dan “ngeloyor” meninggalkan
lapangan. Sungguh, kenangan yang lucu dan menggemaskan.
KHATIB SALAT JUMAT PEMULA
“Pak Yusron bukan akar, tapi rotan,” kata Pak
Subron, guru pelajaran agama Islam. Memberikan semangat kepada saya, agar
mau belajar menjadi khatib salat Jumat. Menjadi juru khotbah.
Ketika itu, saya dipaksa menjadi
khatib salat Jumat di masjid sekolah. Saya guru keterampilan. Bukan guru
pelajaran agama Islam. Saya beralasan, “Tidak ada rotan, akar pun jadi.”
Karena dipaksa, lalu terpaksa.
Akhirnya, sekarang terbiasa menjadi khatib dan imam salat Jumat di masjid
sekolah. Alhamdulillah.
JUARA CATUR LOKAL
Ketika itu, dalam kurikulum, muncul mata
pelajaran Keterampilan Bebas. Siswa boleh memilih sesuai bakat dan minatnya.
Misalnya: memasak, seni tari, bola voli, badminton, sepak bola, catur. Atau
lainnya sesuai dengan kondisi dan kemampuan sekolah. Sebagai guru keterampilan,
tentu saja, saya mendapat giliran untuk mengampunya.
Saya mendapatkan tugas memberikan
pelajaran bermain catur kepada siswa. Beberapa buku teori bermain catur dan
buku pertandingan antarmaster catur tingkat dunia, sudah saya miliki.
Beberapa guru senior, misalnya Pak Bin Anwar,
Pak Imam Muljono, dan Pak Soedarsono sering penasaran dengan saya.
Penyebabnya: mereka belum bisa
mengalahkan saya dalam bermain catur. Di rumah, saya kerap bermain catur dengan
ayah dan tiga saudara laki saya.
Ayah saya, H.M.Tauchid Ismail, ketua
takmir masjid Panjunan, Sukodono, Sidoarjo.
Zaman itu, pengurus masjid
menyiapkan beberapa papan catur dan papan lapangan tenis meja di teras masjid.
Agar para pemuda betah berada di masjid. Terutama ketika bulan puasa.
Lingkungan tersebut memengaruhi
saya. Sejak kecil, saya sudah sering bermain catur. Saya pernah menyabet juara
lomba catur tingkat kecamatan Sukodono.
Jadi, mengajarkan teori bermain
catur dan praktik bertanding catur melawan murid merupakan hal yang sudah
biasa.
SEKOLAH KERAJAAN
“Inilah bapak guru dari sekolah kerajaan,”
ujar rekan guru SMP Negeri 2 Sidoarjo.
Mereka menilai Kepala SMP Negeri 1
Sidoarjo, kala itu, Pak Tony Soebijanto, BA sebagai orang yang keras dan tegas
dalam menegakkan disiplin kepada siswa maupun guru dan pegawai.
Memang, masa itu, SMP Negeri 1
Sidoarjo terkenal sebagai sekolah yang amat disiplin. Sehingga dijuluki
“Sekolah Kerajaan”. “Apakah dia seorang guru?” tegur Pak Tony. Sambil menuding
dengan jempol jari tangan kanan ke arah siswa di depan saya.
Ketika itu saya, seorang guru
muda, sedang berbicara dengan siswa di luar kelas pada jam istirahat.
Pak Tony menginginkan tetap ada “jarak” antara
guru dengan siswa. Juga, harus terjaga semacam “kasta” antara guru senior dan
pemula.
GURU TERBANG
Setelah berjalan beberapa waktu. Saya ditugaskan
menjadi “guru terbang”. Mengapa? Karena saya harus bergerak dari satu sekolah
ke sekolah lain.
Misalnya, Senin bertugas di SMP
Negeri 1 Sidoarjo. Selasa mengajar di SMP Negeri Juanda (sekarang SMP Negeri 1
Sedati).
Rabu berada di SMP Negeri 1 Candi. Begitu
selanjutnya, diatur sesuai dengan jadwal jam mengajar. Semua sekolah tersebut
adalah filial atau cabang dari SMP Negeri 1 Sidoarjo.
Khusus ke SMP Negeri Juanda, disediakan bis
dinas TNI AL (Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut). Semboyan TNI AL
“Jalesveva Jayamahe”.
Yang bermakna Di Lautan Kita Jaya.
Tiap hari kerja, pukul lima pagi, bis sudah siap di depan gedung SMP Negeri 1
Sidoarjo.
Hanya kendaraan TNI AL yang
boleh masuk kompleks Juanda. Naik bis bersama tentara dan mengajar di
Kompleks SMP Negeri Juanda berpengaruh positif.
Sikap disiplin dan saling hormat
dengan mengangkat tangan kanan ketika bertemu, menjadi pemandangan harian.
PERTAMA KALI NAIK PESAWAT UDARA
Anak desa naik pesawat udara, karena guru.
Benar! Saya pertama kali naik pesawat terbang, karena berstatus guru di SMP
Negeri Juanda.
Waktu itu, sekitar tahun 1980-an ada
murid putera tentara menawarkan naik pesawat terbang gratis. Saat itu,
peringatan Hari Armada. Ada pilot yang ingin menambah jam terbang. Tentu saja,
tawaran itu kami terima dengan gembira.
Duduk dalam pesawat terbang menghadap ke
samping. Bukan ke depan atau ke belakang.
Terjadi pengalaman luar biasa. Anak
desa terbang pertama kali. Pesawat kecil berisi empat orang, termasuk
pilot dan copilot. Selama sekitar satu jam kami berputar di sekitar
langit Juanda.
Pertama kali berada di udara. Saya berusaha
melihat pemandangan ke arah bawah. Lewat jendela kecil. Saya mencari desa
dan atap rumah saya dari udara.
Menikmati pemandangan sekitar.
Pemandangan yang menakjubkan. Selama di udara, bergejolak perasaan gembira dan
takut sekaligus. Alhamdulillah, akhirnya pesawat dapat mendarat dengan
mulus. Semua gembira. Apalagi saya.
MENJADI KOMANDAN UPACARA
Bertugas puluhan tahun. Menghadapi aneka model
dan gaya murid, guru, dan pegawai. Dengan karakter dan perilaku yang
beragam. Membuat saya memperoleh banyak pengalaman. Suka dan duka. Berpindah
tempat tugas: pembagian guru ke SMP Negeri Juanda, sejak 1 Desember 1981.
Mendekati tempat tinggal, mulai 1 Agustus 1986
mutasi ke SMP Negeri 1 Sukodono.
Suatu saat, saya bertanya bagaimana cara seorang
penari mampu diam. Tidak bergerak selama beberapa menit. “Gerak-gerakkan
anggota tubuh yang tertutup, misalnya jempol dan jari kaki, agar peredaran
darah tetap lancar,” jawab seorang guru seni tari.
Saya mencoba menerapkan ilmu
tersebut, ketika menjadi komandan upacara. Waktu itu, SMP Negeri 1 Sukodono
mendapatkan giliran menjadi komandan upacara 17 Agustus, tingkat kecamatan.
Tidak ada guru yang bersedia,
termasuk guru olah raga. Akhirnya, saya mengajukan diri. Menjadi komandan
upacara. Di lapangan kecamatan Sukodono.
Pak Camat sebagai inspektur upacara.
Dengan pengalaman sebagai Pembina Mahir Pramuka. Saya berhasil melaksanakan
tugas dengan baik. Alhamdulillah.
GURU SELEBRITI
Mendapatkan tugas baru. Sebagai guru dengan
tugas tambahan kepala SMP Negeri 3 Porong, terhitung 5 Maret 2002.
Ditugaskan di SMP Negeri 1 Jabon,
sejak 17 Februari 2004. Pindah tugas ke SMP Negeri 2 Buduran, sejak 3 April
2007. Mulai 15 Januari 2014 mutasi ke SMP Negeri 1 Balongbendo, sampai
sekarang.
Sungguh, cakupan wilayah tempat
tugas yang relatif luas.
Saya tetap masuk kelas. Bertatap muka langsung
dengan siswa. Sesuai dengan kewajiban guru yang mendapat tugas tambahan sebagai
kepala sekolah.
Mengampu mata pelajaran matematika.
Di semua sekolah tempat bertugas. Suasana berinteraksi dengan murid, tidak
tergantikan. Sangat menggembirakan sekaligus menggemaskan.
Kwangsan adalah nama sebuah desa di kecamatan Sedati,
kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.
Balai desa Kwangsan berhadapan
dengan gedung BPMTV (Balai Pengembangan Media Televisi Pendidikan) yang
dikelola Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Hanya terpisah sebuah jalan
desa.
Sirojudin, nama kepala desa Kwangsan saat ini.
Perangkat desa dan beberapa ibu sedang berkumpul di balai desa. Para ibu
menunggu putra-putrinya yang belajar di TK (Taman Kanak-Kanak) Dharma
Wanita.
Gedung TK berada di samping balai desa.
Saya mampir ke balai desa, sewaktu mengikuti Workshop Penulisan Kreatif di
BPMTV.
“Pak Yusron ini adalah guru saya
waktu SMP,” kata Sirojudin. “Apakah benar Pak, kok kelihatan lebih tua muridnya
dibandingkan dengan gurunya?” kata seorang perangkat desa.
Saya mengangguk. Ibu-ibu tersenyum.
Saya juga. Saat itu, saya merasa sebagai guru selebriti.
(Tugas menulis
dalam penataran)
0 comments:
Post a Comment