Organisasi Profesi Guru

Presiden Jokowi memberi hormat kepada Guru-Guru se Indonesia.

Tema Gambar Slide 2

Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.

Tema Gambar Slide 3

Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.

Showing posts with label KISAH GURU SIDOARJO TAHUN 1978. Show all posts
Showing posts with label KISAH GURU SIDOARJO TAHUN 1978. Show all posts

Sunday, October 2, 2022

15173. KISAH SEORANG GURU SIDOARJO TAHUN 1978

 

 





KISAH SEORANG GURU SIDOARJO TAHUN 1978
Oleh:  Drs. H. Yusron Hadi, M.M.

 

 

      Aneh bin ajaib. Waktu berjalan begitu cepat. Tidak terasa, lebih  38 tahun saya menjadi seorang guru.

 

Sebagai seorang pendidik sekaligus “amtenar”. Rasanya, baru kemarin lulus STM (Sekolah Teknik Menengah) Negeri 3 Surabaya di Sidoarjo Jurusan Teknik Mesin.

 

Seangkatan dengan Joko Malis. Pemain sepak bola terkenal di Surabaya. Ternyata,  tidak lama lagi saya akan lepas tugas.

Sesuai peraturan,  maka “Umar Bakri” harus pensiun dari guru PNS (Pegawai Negeri Sipil) pada umur 60 tahun.


BUKAN MANTAN GURU     


      Tentu saja, selama puluhan tahun menjadi “betara guru”, banyak hal sudah terjadi. Sekarang ini, semua murid saya  berpencar. Menjadi apa saja, dan di mana saja.  Oleh karena itu, tidak heran ketika saya berada di suatu tempat.

Sering berpapasan dengan “mantan” murid saya. “Pak Guru, bagaimana kabarnya?” kata seseorang. Atau, “Pak Yusron, kok kelihatan masih muda. Padahal saya sebagai murid Bapak. Sudah tua dan rambut sudah beruban,” timpal yang lain.

 

      “Pak Yusron, terima kasih sudah memberi inspirasi saya belajar elektronika waktu SMP. Alhamdulillah, saya sekarang bekerja di suatu perusahaan yang besar,” tulis seseorang dalam akun facebook saya.

Bahkan ada yang menuliskan lewat twitter, “Pak Yusron, adalah guru matematika saya yang hebat.” Atau sapaan lainnya. Ketika berjumpa tatap muka langsung atau lewat media sosial marak terjadi. Biasanya saya menjawab, “Terima kasih, semoga kita tetap sehat lahir dan batin. Bermanfaat bagi keluarga dan masyarakat sekitar.” Saya menganggap beberapa ucapan dan tulisan mereka hiperbol atau dibesar-besarkan.

 

      Tapi, itulah komunikasi yang kerap terjadi antara murid dan “mantan” gurunya. Ya benar, meskipun sekarang sudah kelihatan hampir sama tuanya. Tetapi guru adalah tetap guru selamanya, bukan mantan guru! Juga, bukan bekas guru! Guru saya pribadi waktu SD, SMP, maupun SMA/STM adalah guru saya selamanya. Guru saya sepanjang hayat. Itu keyakinan saya pribadi, maka saya selalu menghormati dan mendoakan kebaikan buat semua guru saya. Selamanya.


      Semua interaksi antara saya dengan “mantan” murid, membuat saya merasa sebagai guru selebriti.  Mungkin saya berlebihan. Tapi, mohon maklum, itulah yang saya rasakan. 

Sering terjadi pertemuan saya dengan “mantan” murid di suatu tempat. Atau ketika reuni alumni, memaksa untuk mengingatkan suasana nostalgia yang menyenangkan dan  menggemaskan.

Bagaimana tidak menggemaskan?

Kami bercerita “gedabrus” dan “ngalor ngidul” tentang zaman tempo dulu yang masih imut, lucu, agak norak, menyenangkan sekaligus menyebalkan.

Tapi, semuanya terlalu indah untuk dikenangkan, dan sayang untuk dilupakan. Adakah hal lain yang lebih indah dan menggemaskan? Selain mengenang peristiwa masa lalu yang indah ketika masih remaja? Selain kisah kasih waktu lampau yang tidak akan terulang?


KECELAKAAN MEMBAWA NIKMAT


      Bagaimana riwayat saya, yang lulusan STM Teknik Mesin bisa menjadi seorang guru? Kisahnya, dimulai ketika saya lulus STM tahun 1976. Saya mendaftar masuk ke ITS (Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya). Dengan sepeda motor. Beberapa kali saya membonceng ayah dari desa Panjunan, Sukodono, Sidoarjo mengunjungi tempat pendaftaran masuk ITS Surabaya. Untuk mencatat dan melengkapi syarat pendaftaran.


      Setelah sekian hari mengikuti bimbingan masuk ke ITS oleh para tentor. Tiba saatnya mengikuti tes masuk ITS.

Hasilnya? Ternyata dalam pengumuman penerimaan mahasiswa baru, nama saya tidak muncul.

Kecewa? Tentu saja, saya kecewa. Saya batal menjadi “tukang” insinyur. Saya gagal masuk ITS karena nilainya tidak mencukupi. Ataukah sebab ada aturan lulusan STM harus mengabdi selama dua tahun di perusahaan lebih dulu.  Entahlah. Yang pasti, itulah awal saya mengalami “kecelakaan yang membawa nikmat” menjadi calon seorang guru.

     
      Setelah gagal masuk ITS, saya menjadi mahasiswa PGSLP YD (Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama Yang Disempurnakan) yang diselenggarakan oleh IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Negeri Surabaya di kampus Ketintang, Surabaya.

PGSLP YD adalah sebuah program darurat untuk memenuhi kebutuhan guru di Indonesia. Bahkan dalam perjanjian tertulis yang saya tanda tangani. Setelah lulus kelak, harus bersedia menjadi guru di seluruh Indonesia atau negara lain yang ditunjuk pemerintah.


GURU PEMULA     


      Pada 1 Februari 1978, Alhamdulillah saya lulus dari PGSLP YD Jurusan Keterampilan Elektronika. Sejak 1 Maret 1978 saya resmi menjadi calon guru PNS di SMP Negeri 1 Sidoarjo. Saya amat bersyukur ditempatkan di daerah asal, sedangkan banyak teman saya ditempatkan di luar Jawa. Misalnya, di Pulau Kalimantan dan Madura. Barangkali, salah satu kriteria menentukan lokasi menempatan adalah hasil nilai selama kuliah. Nilai saya termasuk bagus. Maka saya ditugaskan di sekolah terbaik di Sidoarjo. Alhamdulillah.


      Sebagai calon guru PNS golongan ruang II/a dengan pangkat Pengatur Muda.  Nomor Induk Pegawai 130684046. Saya menerima gaji Rp16.960,00 per bulan. Yakni sebesar 80 persen dari gaji pokok Rp21.200,00. Saya menerima gaji pertama saya dengan gembira. Belum memiliki sepeda motor. Setiap hari sekolah, berangkat dan pulang sekolah naik kendaran umum. Sering juga dibonceng sepeda motor bersama orang yang searah dengan saya.


      Masa ltu, hanya satu jenis kendaran umum yang melayani rute dari Sidoarjo ke Sukodono, dan sebaliknya. Yaitu mobil lin G warna merah.  Yang terbuka bagian belakangnya. Sehingga, penumpang naik dan turun lewat pintu belakang. Bukan lewat samping. Penumpang duduk saling berhadapan, beradu dengkul. Menghadap ke samping. Bukan ke depan atau ke belakang. “Bemo” tersebut berpangkalan di Pasar Dayu, Sidoarjo dan Pasar Sukodono. Saya biasanya menunggu kendaraan di depan rumah, lalu turun di Baba Layar, Sidoarjo. Kemudian berjalan kaki ke SMP Negeri 1 Sidoarjo. Melewati alun-alun Sidoarjo.


      Don’t judge a book by its cover. Jangan menilai sebuah buku hanya dengan melihat penampilan luarnya saja. Jangan suka menilai seseorang cuma dari penampilan “casing”nya, hanya dari “bungkus”nya.

Pepatah tersebut cocok dengan pengalaman saya. Sewaktu pulang dari sekolah. Biasanya, saya menunggu antrean “bemo” di Pasar Dayu, Sidoarjo. Kendaraan akan berangkat, jika penumpang sudah penuh. Selama menunggu, saya menonton para “kru” dan calon penumpang bermain catur. Bergantian.


      Cak Mat, salah seorang pemain catur jalanan. Penampilannya sungguh tidak mengesankan. Rambut awut-awutan. Mengenakan pakaian “kebesaran”. Karena memang  berukuran amat besar dan “gelombyor”.

Tetapi, jangan tertipu penampilan. Dia pemain catur ulung. Dia menggerakkan buah catur secepat kilat, sebelum musuhnya menempatkan buah catur dengan sempurna. Tingkahnya sungguh “menghenyek” lawannya. Tanpa berpikir. Dia memindahkan buah catur, tanpa konsentrasi melihat papan catur. Seolah dia bisa “membaca” pikiran lawannya. 

Awalnya, saya memandangnya dengan “sebelah mata”. Saya menganggapnya sebagai pemain “ecek-ecek”. Pemain catur pemula. Tapi saya keliru! Ternyata, saya sulit mengalahkan dia dalam bermain catur.  Yang sering  hanya bermain seri. Hanya seimbang, tidak ada yang kalah. Bahkan, saya pernah kalah.


       Tahun 2010. Cak Mat mengunjungi saya. Di SMP Negeri 2 Buduran, Sidoarjo. Setelah 30-an tahun tidak berjumpa. Dengan penampilan yang rapi. Dia menyapa saya, megingatkan zaman tempo dulu.

Kami bernostalgia. Dia mengingatkan, bahwa saya adalah lawan tanding bermain catur yang seimbang. Setelah beberapa saat, dia pamit dengan membawa uang transpor sekadarnya.


      Sekarang, saya merasa kehilangan. Pemuda berbadan kekar. Dia, seorang sopir perusahaan. Setiap pagi lewat di depan rumah. Dia naik sepeda motor butut. Tidak memakai jaket. Juga, tanpa helm. Menuju ke tempat kerjanya.

Setiap pagi berangkat kerja, dia acap kali mengajak saya bersama. Saya membonceng ke Sidoarjo. Saya ikut “nebeng”. Naik sepeda motor “gundul”. Bisa pula disebut sepeda motor “miskin”. Tidak punya apa-apa. Hanya mampu “gelundung” saja. Kasihan. Namun, anehnya, meskipun “miskin”, tapi sangat berjasa. Terutama kepada saya. 


      Sayangnya, saya tidak tahu tempat tinggalnya. Sudah puluhan tahun, saya tidak pernah berjumpa lagi dengannya. Semoga Allah yang Mahakuasa membalas semua kebaikannya. Amin.


      Dengan penampilan anak muda 21 tahun, maaf, agak berambut gondrong. Rambut sedikit “gimbal”. Banyak teman sekolah yang tidak menyangka, saya telah menjadi seorang pendidik. Memang, seorang guru seharusnya bisa “digugu” dan “ditiru”. Artinya, seorang guru sepatutnya mampu menjadi panutan dan teladan.


       Sebagai guru pemula, saya menjadi asisten Pak Bin Anwar. Beliau guru agama Islam yang pintar servis elektronika. Misalnya, servis radio dan televisi.

Beberapa teman guru menggoda saya, “Pak Yusron adalah guru yang aneh, sebab menjadi guru yang berhubungan dengan listrik, tetapi rumah pak guru sendiri belum ada listriknya,” kata mereka.

Saya tertawa, mendengarkan  gurauan mereka. Mungkin mereka menganggap saya belum cukup ilmu untuk menjadi guru.


      Guyonan teman guru ada benarnya. Kegiatan perkuliahan PGSLP YD dilaksanakan sekitar 8 bulan.

Dengan memperoleh beasiswa dari pemerintah dihitung selama setahun. Setelah lulus, langsung ditugaskan sebagai guru SMP.

Padahal, dengan kuliah yang relatif singkat. Tentu saja, bekal ilmunya belum mumpuni. Saya berusaha mengatasi kekurangan tersebut. Mulai saat itu, saya sering mengunjungi Pasar Genteng, Surabaya untuk belajar lebih banyak dan mendalam tentang Teknik Elektronika.


PENYANYI KAMAR MANDI     


      Kami para guru muda. Sering tidur di sanggar sekolah. Ruangan tidak terpakai disulap menjadi ruang tidur.  Saya dengan Pak Andi guru kesenian dan Pak Putut guru bahasa Indonesia adalah penghuni tetap. Sedangkan beberapa guru lain, biasanya ikut menimbrung.


      Melihat dan mendengarkan Pak Andi memainkan gitar sambil bernyanyi. Hampir setiap hari. Saya terpengaruh kena “virus”nya.

Tidak terasa, saya dan Pak Putut tertular ikut belajar bermain gitar. Juga belajar alat musik lainnya. Misalnya, piano dan drum. Kami memperoleh julukan sebagai “Penyanyi Kamar Mandi” dan “Artis Sanggar”.


      “Pindah kripnya besok saja!” teriak Pak Andi. Ketika kami memainkan sebuah lagu, tetapi  tangan saya terlambat memindahkan krip (accord) gitar dari posisi C ke Am misalnya. Kami tertawa bersama mendengar “ejekan” tersebut.


JAGO KANDANG BADMINTON


      Pada kesempatan lain. Saya berhasil “membalas dendam”. Mempermalukan Pak Andi. Pada sore hari yang cerah. Kami bermain badminton. Setelah saya mengalahkan Pak Putut. Saya bertanding single dengan Pak Andi. Yang amat mahir bermain gitar, tetapi “kedodoran” ketika memegang raket badminton.

Pertandingan belum berakhir, Pak Andi sudah menyerah kalah. Pak Andi mengaku “keok”. “Gak badminton, gak patheen,” kata Pak Andi. Sambil meletakkan raket dan “ngeloyor” meninggalkan lapangan. Sungguh, kenangan yang lucu dan menggemaskan.


KHATIB SALAT JUMAT PEMULA


      “Pak Yusron bukan akar, tapi rotan,” kata Pak Subron, guru pelajaran agama Islam.  Memberikan semangat kepada saya, agar mau belajar menjadi khatib salat Jumat. Menjadi juru khotbah.

Ketika itu, saya dipaksa menjadi khatib salat Jumat di masjid sekolah. Saya guru keterampilan. Bukan guru pelajaran agama Islam. Saya beralasan, “Tidak ada rotan, akar pun jadi.”

Karena dipaksa, lalu terpaksa. Akhirnya, sekarang terbiasa menjadi khatib dan imam salat Jumat di masjid sekolah. Alhamdulillah.


JUARA CATUR LOKAL  

 
      Ketika itu, dalam kurikulum, muncul mata pelajaran Keterampilan Bebas. Siswa boleh memilih sesuai bakat dan minatnya. Misalnya: memasak, seni tari, bola voli, badminton, sepak bola, catur. Atau lainnya sesuai dengan kondisi dan kemampuan sekolah. Sebagai guru keterampilan, tentu saja, saya mendapat giliran untuk mengampunya.

Saya mendapatkan tugas memberikan pelajaran bermain catur kepada siswa. Beberapa buku teori bermain catur dan buku pertandingan antarmaster catur tingkat dunia, sudah saya miliki. 

    
      Beberapa guru senior, misalnya Pak Bin Anwar, Pak Imam Muljono, dan Pak Soedarsono sering penasaran dengan saya.

Penyebabnya: mereka belum bisa mengalahkan saya dalam bermain catur. Di rumah, saya kerap bermain catur dengan ayah dan tiga saudara laki saya.

Ayah saya, H.M.Tauchid Ismail, ketua takmir masjid Panjunan, Sukodono, Sidoarjo.

Zaman itu, pengurus masjid menyiapkan beberapa papan catur dan papan lapangan tenis meja di teras masjid. Agar para pemuda betah berada di masjid. Terutama ketika bulan puasa.

Lingkungan tersebut memengaruhi saya. Sejak kecil, saya sudah sering bermain catur. Saya pernah menyabet juara lomba catur tingkat kecamatan Sukodono.

Jadi, mengajarkan teori bermain catur dan praktik bertanding catur melawan murid merupakan hal yang sudah biasa.


SEKOLAH KERAJAAN


       “Inilah bapak guru dari sekolah kerajaan,” ujar rekan guru SMP Negeri 2 Sidoarjo.

Mereka menilai Kepala SMP Negeri 1 Sidoarjo, kala itu, Pak Tony Soebijanto, BA sebagai orang yang keras dan tegas dalam menegakkan disiplin kepada siswa maupun guru dan pegawai. 

Memang, masa itu, SMP Negeri 1 Sidoarjo terkenal sebagai sekolah yang amat disiplin. Sehingga dijuluki “Sekolah Kerajaan”. “Apakah dia seorang guru?” tegur Pak Tony. Sambil menuding dengan jempol jari tangan kanan ke arah siswa di depan saya.

Ketika itu saya, seorang guru muda,  sedang berbicara dengan siswa di luar kelas pada jam istirahat.

 Pak Tony menginginkan tetap ada “jarak” antara guru dengan siswa. Juga, harus terjaga semacam “kasta” antara guru senior dan pemula.


GURU TERBANG


      Setelah berjalan beberapa waktu. Saya ditugaskan menjadi “guru terbang”. Mengapa? Karena saya harus bergerak dari satu sekolah ke sekolah lain.

Misalnya, Senin bertugas di SMP Negeri 1 Sidoarjo. Selasa mengajar di SMP Negeri Juanda (sekarang SMP Negeri 1 Sedati).

Rabu berada di SMP Negeri 1 Candi. Begitu selanjutnya, diatur sesuai dengan jadwal jam mengajar. Semua sekolah tersebut adalah filial atau cabang dari SMP Negeri 1 Sidoarjo.


      Khusus ke SMP Negeri Juanda, disediakan bis dinas TNI AL (Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut). Semboyan TNI AL “Jalesveva Jayamahe”.

Yang bermakna Di Lautan Kita Jaya. Tiap hari kerja, pukul lima pagi, bis sudah siap di depan gedung SMP Negeri 1 Sidoarjo.

Hanya kendaraan TNI AL yang boleh  masuk kompleks Juanda. Naik bis bersama tentara dan mengajar di Kompleks SMP Negeri Juanda berpengaruh positif.

Sikap disiplin dan saling hormat dengan mengangkat tangan kanan ketika bertemu, menjadi pemandangan harian.


PERTAMA KALI NAIK PESAWAT UDARA


      Anak desa naik pesawat udara, karena guru. Benar! Saya pertama kali naik pesawat terbang, karena berstatus guru di SMP Negeri  Juanda.

Waktu itu, sekitar tahun 1980-an ada murid putera tentara menawarkan naik pesawat terbang gratis. Saat itu, peringatan Hari Armada. Ada pilot yang ingin menambah jam terbang. Tentu saja, tawaran itu kami terima dengan gembira.


      Duduk dalam pesawat terbang menghadap ke samping. Bukan ke depan atau ke belakang.

Terjadi pengalaman luar biasa. Anak desa terbang pertama kali. Pesawat kecil  berisi empat orang, termasuk pilot dan copilot. Selama sekitar satu jam kami  berputar di sekitar langit Juanda. 


      Pertama kali berada di udara. Saya berusaha melihat pemandangan ke arah bawah. Lewat jendela kecil.  Saya mencari desa dan atap rumah saya dari udara.

Menikmati pemandangan sekitar. Pemandangan yang menakjubkan. Selama di udara, bergejolak perasaan gembira dan takut sekaligus. Alhamdulillah, akhirnya pesawat dapat mendarat dengan mulus.  Semua gembira. Apalagi saya.


MENJADI KOMANDAN UPACARA


      Bertugas puluhan tahun. Menghadapi aneka model dan gaya murid, guru, dan pegawai.  Dengan karakter dan perilaku yang beragam. Membuat saya memperoleh banyak pengalaman. Suka dan duka. Berpindah tempat tugas: pembagian guru ke SMP Negeri Juanda, sejak 1 Desember 1981.

 Mendekati tempat tinggal, mulai 1 Agustus 1986 mutasi ke SMP Negeri 1  Sukodono.


     Suatu saat, saya bertanya bagaimana cara  seorang penari mampu diam. Tidak bergerak selama beberapa menit. “Gerak-gerakkan anggota tubuh yang tertutup, misalnya jempol dan jari kaki, agar peredaran darah tetap lancar,” jawab seorang guru seni tari.

Saya mencoba menerapkan ilmu tersebut, ketika menjadi komandan upacara. Waktu itu, SMP Negeri 1 Sukodono mendapatkan giliran menjadi komandan upacara 17 Agustus, tingkat kecamatan.

Tidak ada guru yang bersedia, termasuk guru olah raga. Akhirnya, saya mengajukan diri.  Menjadi komandan upacara. Di lapangan kecamatan Sukodono.

Pak Camat sebagai inspektur upacara. Dengan pengalaman sebagai Pembina Mahir Pramuka. Saya berhasil melaksanakan tugas dengan baik. Alhamdulillah.


GURU SELEBRITI


      Mendapatkan tugas baru. Sebagai guru dengan tugas tambahan kepala SMP Negeri 3 Porong, terhitung 5 Maret 2002.

Ditugaskan di SMP Negeri 1 Jabon, sejak 17 Februari 2004. Pindah tugas ke SMP Negeri 2 Buduran, sejak 3 April 2007. Mulai 15 Januari 2014 mutasi ke SMP Negeri 1 Balongbendo, sampai sekarang.

Sungguh, cakupan wilayah tempat tugas yang relatif luas.


      Saya tetap masuk kelas. Bertatap muka langsung dengan siswa. Sesuai dengan kewajiban guru yang mendapat tugas tambahan sebagai kepala sekolah.

Mengampu mata pelajaran matematika. Di semua sekolah tempat bertugas. Suasana berinteraksi dengan murid, tidak tergantikan. Sangat menggembirakan sekaligus menggemaskan.


      Kwangsan adalah nama sebuah desa di kecamatan Sedati, kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.

Balai desa Kwangsan berhadapan dengan gedung BPMTV (Balai Pengembangan Media Televisi Pendidikan) yang dikelola Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Hanya terpisah sebuah jalan desa.


      Sirojudin, nama kepala desa Kwangsan saat ini. Perangkat desa dan beberapa ibu  sedang berkumpul di balai desa. Para ibu menunggu putra-putrinya  yang belajar di TK (Taman Kanak-Kanak) Dharma Wanita.

 Gedung TK  berada di samping balai desa. Saya mampir ke balai desa, sewaktu mengikuti Workshop Penulisan Kreatif di BPMTV.

“Pak Yusron ini adalah guru saya waktu SMP,” kata Sirojudin. “Apakah benar Pak, kok kelihatan lebih tua muridnya dibandingkan dengan  gurunya?” kata seorang perangkat desa. 

Saya mengangguk. Ibu-ibu tersenyum. Saya juga. Saat itu, saya merasa sebagai guru selebriti.

 

(Tugas menulis dalam penataran)