Organisasi Profesi Guru

Presiden Jokowi memberi hormat kepada Guru-Guru se Indonesia.

Tema Gambar Slide 2

Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.

Tema Gambar Slide 3

Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.

Wednesday, August 2, 2017

165. MUSHAF

SEJARAH PEMBUKUAN MUSHAF AL-QURAN
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

 
      Beberapa orang bertanya,”Zaman Nabi Muhammad belum ditemukan “ballpoint” dan kertas seperti sekarang, mohon dijelaskan bagaimana sejarah pembukuan penulisan mushaf Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab mencoba menjelaskannya.
      Pertama, Zaman Nabi Muhammad. Al-Quran merupakan sumber utama agama Islam yang diwahyukan Allah melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad secara mutawatir ketika terjadi suatu peristiwa.
       Mutawatir ialah  sifat hadis yang memiliki banyak sanad, yang diriwayatkan banyak perawi pada sanadnya. Sehingga mustahil mereka bersepakat berdusta atau memalsukan hadis.
      Sanad merupakan rentetan rawi hadis kepada Nabi Muhammad yang dapat dipercayai. Perawi ialah orang yang meriwayatkan hadis Nabi Muhammad.
     Nabi menghafalkan ayat Al-Quran secara pribadi dan mengajarkan kepada para sahabat untuk dipahami, dihafalkan, dan dilaksanakan.
      Ketika wahyu turun Nabi menyuruh Zaid bin Tsabit untuk menulisnya agar mudah dihafal para sahabat.  Zaid bin Tsabit salah seorang sahabat yang sangat cerdas.
      Zaid bin Tsabit diperintah Nabi belajar bahasa asing, agar Nabi bisa mengirimkan surat kepada para pemimpin bangsa lain. Zaid bin Tsabit mampu menguasai bahasa asing dengan amat cepat.
       Para sahabat secara rutin menulis teks Al-Quran untuk dimilikinya sendiri. Para sahabat selalu menyodorkan Al-Quran kepada Nabi dalam bentuk hafalan dan tulisan untuk diperiksa kebenarannya.
    Zaman Nabi alat tulis menulis amat terbatas. Para sahabat menuliskan naskah tulisan teks Al-Quran pada pelepah kurma, lempengan batu dan kepingan tulang hewan, dan lainnya. Zaman Nabi naskah teks Al-Quran sudah tertuliskan, tetapi masih berserakan. Tidak terkumpul dalam sebuah buku atau mushaf.
      Zaman Nabi sengaja dibentuk dengan hafalan  dan penulisan teks Al-Quran para sahabat.  Karena Nabi masih menunggu wahyu berikutnya. Sebagian ayat Al-Quran ada yang “nasikh” dan “mansukh”.
      Ayat “Nasikh” ialah ayat Al-Quran yang dihapuskan, dibatalkan, atau ditiadakan. Sedangkan ayat “Mansukh” adalah ayat yang menghapuskan, membatalkan, atau meniadakan. Ayat yang “dimansukh” adalah ayat yang “diganti”, sedangkan ayat yang “dinasikh” ayat yang “mengganti”.
       Zaman Nabi Al-Quran belum dibukukan, karena wahyu dari Allah melalui malaikat Jibril masih terus turun kepada Nabi Muhammad untuk menjawab pertanyaan dan menerangkan suatu kejadian atau peristiwa.
      Kedua, Zaman Khalifah Abu Bakar. Nabi Muhammad wafat, Abu Bakar menjadi  Khalifah. Tahun 632 Masehi terjadi Perang Yamamah. Khalifah Abu Bakar mengirim pasukan menumpas pemberontak yang dipimpin Musailamah al-Kazzab yang mengaku sebagai nabi.  Khalid bin Walid, komandan pasukan Islam berhasil menumpas pemberontak.
     Banyak sahabat Nabi penghafal Quran yang gugur. Umar bin Khattab gelisah. Lalu mengusulkan agar tulisan Al-Quran dikumpulkan dalam sebuah buku. Khalifah Abu Bakar pada awalnya ragu melakukannya. Karena Nabi tidak pernah melakukannya.
    Umar bin Khattab berhasil meyakinkan Khalifah Abu Bakar untuk membukukan Al-Quran. Lalu dibentuk “Tim Pengumpulan” Al-Quran. Zaid bin Tsabit, salah seorang penulis wahyu pada zaman Nabi, diberi tugas sebagai ketua tim.
    Zaid bin Tsabit menerima tugas tersebut, meskipun awalnya menolak. Tim Penyusun pembukuan Al-Quran melaksanakan tugasnya. Khalifah Abu Bakar memerintahkan semua sahabat mengumpulkan naskah tulisan Al-Quran di Masjid Nabawi.
      Beberapa syarat yang harus dipenuhi para penyetor naskah tulisan Al-Quran. Pertama, naskah tulisan yang dikumpulkan harus sesuai dengan hafalan para sahabat yang lain.
      Kedua, naskah tulisan ayat Al-Quran memang diperintah Nabi dan dituliskan dihadapan Nabi.  Beberapa sahabat menulis naskah atas inisiatif sendiri. Ketiga, naskah tulisan harus dibuktikan dengan dua saksi.
      Tim Penyusun Mushaf Al-Quran berhasil melaksanakan tugasnya. Zaid bin Tsabit menyerahkan hasilnya kepada Khalifah Abu Bakar. Ketika Abu Bakr wafat buku mushaf Al-Quran disimpan Khalifah Umar Bin Khattab.
      Zaman Khalifah Umar Bin Khattab. Tidak terjadi penyusunan dan permasalahan mushaf Al-Quran. Naskah mushaf Al-Quran sudah selesai, semua sahabat sepakat, dan tidak terjadi perselisihan.
    Khalifah Umar bin Khattab konsentrasi penyebaran Islam ke seluruh wilayah. Umar bin Khattab wafat, buku mushaf Al-Quran disimpan Khalifah Usman bin Affan.
      Zaman Khalifah Usman Bin Affan. Wilayah Islam semakin luas. Beragam suku bangsa yang masuk Islam. Terjadi perbedaan logat, dialek, aksen, dan cara membaca Al-Quran. 
     Khalifah Usman Bin Affan membentuk Tim Lajnah Al-Quran. Zaid bin Tsabit sebagai ketua, dengan anggota  Abdullah bin Zubair, Said ibnu Ash, dan Abdurahman bin Harits.
      Usman Bin Affan memerintahkan Zaid bin Tsabit mengambil mushaf di rumah Hafsah binti Umar, dan menyeragamkan bacaan dengan satu dialek. Menjadi dialek Nabi Muhammad,  yakni dialek suku Quraisy. 
      Usman Bin Affan memperbanyak menjadi 6 mushaf. Lima mushaf dikirimkan ke Mekah, Kuffah, Basrah dan Syria, yang satu mushaf disimpan sendiri. Mushaf tersebut dikenal dengan nama “Mushaf Usmani”.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.  
2. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.

165. MUSHAF

SEJARAH PEMBUKUAN MUSHAF AL-QURAN
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

 
      Beberapa orang bertanya,”Zaman Nabi Muhammad belum ditemukan “ballpoint” dan kertas seperti sekarang, mohon dijelaskan bagaimana sejarah pembukuan penulisan mushaf Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab mencoba menjelaskannya.
      Pertama, Zaman Nabi Muhammad. Al-Quran merupakan sumber utama agama Islam yang diwahyukan Allah melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad secara mutawatir ketika terjadi suatu peristiwa.
       Mutawatir ialah  sifat hadis yang memiliki banyak sanad, yang diriwayatkan banyak perawi pada sanadnya. Sehingga mustahil mereka bersepakat berdusta atau memalsukan hadis.
      Sanad merupakan rentetan rawi hadis kepada Nabi Muhammad yang dapat dipercayai. Perawi ialah orang yang meriwayatkan hadis Nabi Muhammad.
     Nabi menghafalkan ayat Al-Quran secara pribadi dan mengajarkan kepada para sahabat untuk dipahami, dihafalkan, dan dilaksanakan.
      Ketika wahyu turun Nabi menyuruh Zaid bin Tsabit untuk menulisnya agar mudah dihafal para sahabat.  Zaid bin Tsabit salah seorang sahabat yang sangat cerdas.
      Zaid bin Tsabit diperintah Nabi belajar bahasa asing, agar Nabi bisa mengirimkan surat kepada para pemimpin bangsa lain. Zaid bin Tsabit mampu menguasai bahasa asing dengan amat cepat.
       Para sahabat secara rutin menulis teks Al-Quran untuk dimilikinya sendiri. Para sahabat selalu menyodorkan Al-Quran kepada Nabi dalam bentuk hafalan dan tulisan untuk diperiksa kebenarannya.
    Zaman Nabi alat tulis menulis amat terbatas. Para sahabat menuliskan naskah tulisan teks Al-Quran pada pelepah kurma, lempengan batu dan kepingan tulang hewan, dan lainnya. Zaman Nabi naskah teks Al-Quran sudah tertuliskan, tetapi masih berserakan. Tidak terkumpul dalam sebuah buku atau mushaf.
      Zaman Nabi sengaja dibentuk dengan hafalan  dan penulisan teks Al-Quran para sahabat.  Karena Nabi masih menunggu wahyu berikutnya. Sebagian ayat Al-Quran ada yang “nasikh” dan “mansukh”.
      Ayat “Nasikh” ialah ayat Al-Quran yang dihapuskan, dibatalkan, atau ditiadakan. Sedangkan ayat “Mansukh” adalah ayat yang menghapuskan, membatalkan, atau meniadakan. Ayat yang “dimansukh” adalah ayat yang “diganti”, sedangkan ayat yang “dinasikh” ayat yang “mengganti”.
       Zaman Nabi Al-Quran belum dibukukan, karena wahyu dari Allah melalui malaikat Jibril masih terus turun kepada Nabi Muhammad untuk menjawab pertanyaan dan menerangkan suatu kejadian atau peristiwa.
      Kedua, Zaman Khalifah Abu Bakar. Nabi Muhammad wafat, Abu Bakar menjadi  Khalifah. Tahun 632 Masehi terjadi Perang Yamamah. Khalifah Abu Bakar mengirim pasukan menumpas pemberontak yang dipimpin Musailamah al-Kazzab yang mengaku sebagai nabi.  Khalid bin Walid, komandan pasukan Islam berhasil menumpas pemberontak.
     Banyak sahabat Nabi penghafal Quran yang gugur. Umar bin Khattab gelisah. Lalu mengusulkan agar tulisan Al-Quran dikumpulkan dalam sebuah buku. Khalifah Abu Bakar pada awalnya ragu melakukannya. Karena Nabi tidak pernah melakukannya.
    Umar bin Khattab berhasil meyakinkan Khalifah Abu Bakar untuk membukukan Al-Quran. Lalu dibentuk “Tim Pengumpulan” Al-Quran. Zaid bin Tsabit, salah seorang penulis wahyu pada zaman Nabi, diberi tugas sebagai ketua tim.
    Zaid bin Tsabit menerima tugas tersebut, meskipun awalnya menolak. Tim Penyusun pembukuan Al-Quran melaksanakan tugasnya. Khalifah Abu Bakar memerintahkan semua sahabat mengumpulkan naskah tulisan Al-Quran di Masjid Nabawi.
      Beberapa syarat yang harus dipenuhi para penyetor naskah tulisan Al-Quran. Pertama, naskah tulisan yang dikumpulkan harus sesuai dengan hafalan para sahabat yang lain.
      Kedua, naskah tulisan ayat Al-Quran memang diperintah Nabi dan dituliskan dihadapan Nabi.  Beberapa sahabat menulis naskah atas inisiatif sendiri. Ketiga, naskah tulisan harus dibuktikan dengan dua saksi.
      Tim Penyusun Mushaf Al-Quran berhasil melaksanakan tugasnya. Zaid bin Tsabit menyerahkan hasilnya kepada Khalifah Abu Bakar. Ketika Abu Bakr wafat buku mushaf Al-Quran disimpan Khalifah Umar Bin Khattab.
      Zaman Khalifah Umar Bin Khattab. Tidak terjadi penyusunan dan permasalahan mushaf Al-Quran. Naskah mushaf Al-Quran sudah selesai, semua sahabat sepakat, dan tidak terjadi perselisihan.
    Khalifah Umar bin Khattab konsentrasi penyebaran Islam ke seluruh wilayah. Umar bin Khattab wafat, buku mushaf Al-Quran disimpan Khalifah Usman bin Affan.
      Zaman Khalifah Usman Bin Affan. Wilayah Islam semakin luas. Beragam suku bangsa yang masuk Islam. Terjadi perbedaan logat, dialek, aksen, dan cara membaca Al-Quran. 
     Khalifah Usman Bin Affan membentuk Tim Lajnah Al-Quran. Zaid bin Tsabit sebagai ketua, dengan anggota  Abdullah bin Zubair, Said ibnu Ash, dan Abdurahman bin Harits.
      Usman Bin Affan memerintahkan Zaid bin Tsabit mengambil mushaf di rumah Hafsah binti Umar, dan menyeragamkan bacaan dengan satu dialek. Menjadi dialek Nabi Muhammad,  yakni dialek suku Quraisy. 
      Usman Bin Affan memperbanyak menjadi 6 mushaf. Lima mushaf dikirimkan ke Mekah, Kuffah, Basrah dan Syria, yang satu mushaf disimpan sendiri. Mushaf tersebut dikenal dengan nama “Mushaf Usmani”.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.  
2. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.

165. MUSHAF

SEJARAH PEMBUKUAN MUSHAF AL-QURAN
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

 
      Beberapa orang bertanya,”Zaman Nabi Muhammad belum ditemukan “ballpoint” dan kertas seperti sekarang, mohon dijelaskan bagaimana sejarah pembukuan penulisan mushaf Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab mencoba menjelaskannya.
      Pertama, Zaman Nabi Muhammad. Al-Quran merupakan sumber utama agama Islam yang diwahyukan Allah melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad secara mutawatir ketika terjadi suatu peristiwa.
       Mutawatir ialah  sifat hadis yang memiliki banyak sanad, yang diriwayatkan banyak perawi pada sanadnya. Sehingga mustahil mereka bersepakat berdusta atau memalsukan hadis.
      Sanad merupakan rentetan rawi hadis kepada Nabi Muhammad yang dapat dipercayai. Perawi ialah orang yang meriwayatkan hadis Nabi Muhammad.
     Nabi menghafalkan ayat Al-Quran secara pribadi dan mengajarkan kepada para sahabat untuk dipahami, dihafalkan, dan dilaksanakan.
      Ketika wahyu turun Nabi menyuruh Zaid bin Tsabit untuk menulisnya agar mudah dihafal para sahabat.  Zaid bin Tsabit salah seorang sahabat yang sangat cerdas.
      Zaid bin Tsabit diperintah Nabi belajar bahasa asing, agar Nabi bisa mengirimkan surat kepada para pemimpin bangsa lain. Zaid bin Tsabit mampu menguasai bahasa asing dengan amat cepat.
       Para sahabat secara rutin menulis teks Al-Quran untuk dimilikinya sendiri. Para sahabat selalu menyodorkan Al-Quran kepada Nabi dalam bentuk hafalan dan tulisan untuk diperiksa kebenarannya.
    Zaman Nabi alat tulis menulis amat terbatas. Para sahabat menuliskan naskah tulisan teks Al-Quran pada pelepah kurma, lempengan batu dan kepingan tulang hewan, dan lainnya. Zaman Nabi naskah teks Al-Quran sudah tertuliskan, tetapi masih berserakan. Tidak terkumpul dalam sebuah buku atau mushaf.
      Zaman Nabi sengaja dibentuk dengan hafalan  dan penulisan teks Al-Quran para sahabat.  Karena Nabi masih menunggu wahyu berikutnya. Sebagian ayat Al-Quran ada yang “nasikh” dan “mansukh”.
      Ayat “Nasikh” ialah ayat Al-Quran yang dihapuskan, dibatalkan, atau ditiadakan. Sedangkan ayat “Mansukh” adalah ayat yang menghapuskan, membatalkan, atau meniadakan. Ayat yang “dimansukh” adalah ayat yang “diganti”, sedangkan ayat yang “dinasikh” ayat yang “mengganti”.
       Zaman Nabi Al-Quran belum dibukukan, karena wahyu dari Allah melalui malaikat Jibril masih terus turun kepada Nabi Muhammad untuk menjawab pertanyaan dan menerangkan suatu kejadian atau peristiwa.
      Kedua, Zaman Khalifah Abu Bakar. Nabi Muhammad wafat, Abu Bakar menjadi  Khalifah. Tahun 632 Masehi terjadi Perang Yamamah. Khalifah Abu Bakar mengirim pasukan menumpas pemberontak yang dipimpin Musailamah al-Kazzab yang mengaku sebagai nabi.  Khalid bin Walid, komandan pasukan Islam berhasil menumpas pemberontak.
     Banyak sahabat Nabi penghafal Quran yang gugur. Umar bin Khattab gelisah. Lalu mengusulkan agar tulisan Al-Quran dikumpulkan dalam sebuah buku. Khalifah Abu Bakar pada awalnya ragu melakukannya. Karena Nabi tidak pernah melakukannya.
    Umar bin Khattab berhasil meyakinkan Khalifah Abu Bakar untuk membukukan Al-Quran. Lalu dibentuk “Tim Pengumpulan” Al-Quran. Zaid bin Tsabit, salah seorang penulis wahyu pada zaman Nabi, diberi tugas sebagai ketua tim.
    Zaid bin Tsabit menerima tugas tersebut, meskipun awalnya menolak. Tim Penyusun pembukuan Al-Quran melaksanakan tugasnya. Khalifah Abu Bakar memerintahkan semua sahabat mengumpulkan naskah tulisan Al-Quran di Masjid Nabawi.
      Beberapa syarat yang harus dipenuhi para penyetor naskah tulisan Al-Quran. Pertama, naskah tulisan yang dikumpulkan harus sesuai dengan hafalan para sahabat yang lain.
      Kedua, naskah tulisan ayat Al-Quran memang diperintah Nabi dan dituliskan dihadapan Nabi.  Beberapa sahabat menulis naskah atas inisiatif sendiri. Ketiga, naskah tulisan harus dibuktikan dengan dua saksi.
      Tim Penyusun Mushaf Al-Quran berhasil melaksanakan tugasnya. Zaid bin Tsabit menyerahkan hasilnya kepada Khalifah Abu Bakar. Ketika Abu Bakr wafat buku mushaf Al-Quran disimpan Khalifah Umar Bin Khattab.
      Zaman Khalifah Umar Bin Khattab. Tidak terjadi penyusunan dan permasalahan mushaf Al-Quran. Naskah mushaf Al-Quran sudah selesai, semua sahabat sepakat, dan tidak terjadi perselisihan.
    Khalifah Umar bin Khattab konsentrasi penyebaran Islam ke seluruh wilayah. Umar bin Khattab wafat, buku mushaf Al-Quran disimpan Khalifah Usman bin Affan.
      Zaman Khalifah Usman Bin Affan. Wilayah Islam semakin luas. Beragam suku bangsa yang masuk Islam. Terjadi perbedaan logat, dialek, aksen, dan cara membaca Al-Quran. 
     Khalifah Usman Bin Affan membentuk Tim Lajnah Al-Quran. Zaid bin Tsabit sebagai ketua, dengan anggota  Abdullah bin Zubair, Said ibnu Ash, dan Abdurahman bin Harits.
      Usman Bin Affan memerintahkan Zaid bin Tsabit mengambil mushaf di rumah Hafsah binti Umar, dan menyeragamkan bacaan dengan satu dialek. Menjadi dialek Nabi Muhammad,  yakni dialek suku Quraisy. 
      Usman Bin Affan memperbanyak menjadi 6 mushaf. Lima mushaf dikirimkan ke Mekah, Kuffah, Basrah dan Syria, yang satu mushaf disimpan sendiri. Mushaf tersebut dikenal dengan nama “Mushaf Usmani”.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.  
2. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.

165. MUSHAF

SEJARAH PEMBUKUAN MUSHAF AL-QURAN
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

 
      Beberapa orang bertanya,”Zaman Nabi Muhammad belum ditemukan “ballpoint” dan kertas seperti sekarang, mohon dijelaskan bagaimana sejarah pembukuan penulisan mushaf Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab mencoba menjelaskannya.
      Pertama, Zaman Nabi Muhammad. Al-Quran merupakan sumber utama agama Islam yang diwahyukan Allah melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad secara mutawatir ketika terjadi suatu peristiwa.
       Mutawatir ialah  sifat hadis yang memiliki banyak sanad, yang diriwayatkan banyak perawi pada sanadnya. Sehingga mustahil mereka bersepakat berdusta atau memalsukan hadis.
      Sanad merupakan rentetan rawi hadis kepada Nabi Muhammad yang dapat dipercayai. Perawi ialah orang yang meriwayatkan hadis Nabi Muhammad.
     Nabi menghafalkan ayat Al-Quran secara pribadi dan mengajarkan kepada para sahabat untuk dipahami, dihafalkan, dan dilaksanakan.
      Ketika wahyu turun Nabi menyuruh Zaid bin Tsabit untuk menulisnya agar mudah dihafal para sahabat.  Zaid bin Tsabit salah seorang sahabat yang sangat cerdas.
      Zaid bin Tsabit diperintah Nabi belajar bahasa asing, agar Nabi bisa mengirimkan surat kepada para pemimpin bangsa lain. Zaid bin Tsabit mampu menguasai bahasa asing dengan amat cepat.
       Para sahabat secara rutin menulis teks Al-Quran untuk dimilikinya sendiri. Para sahabat selalu menyodorkan Al-Quran kepada Nabi dalam bentuk hafalan dan tulisan untuk diperiksa kebenarannya.
    Zaman Nabi alat tulis menulis amat terbatas. Para sahabat menuliskan naskah tulisan teks Al-Quran pada pelepah kurma, lempengan batu dan kepingan tulang hewan, dan lainnya. Zaman Nabi naskah teks Al-Quran sudah tertuliskan, tetapi masih berserakan. Tidak terkumpul dalam sebuah buku atau mushaf.
      Zaman Nabi sengaja dibentuk dengan hafalan  dan penulisan teks Al-Quran para sahabat.  Karena Nabi masih menunggu wahyu berikutnya. Sebagian ayat Al-Quran ada yang “nasikh” dan “mansukh”.
      Ayat “Nasikh” ialah ayat Al-Quran yang dihapuskan, dibatalkan, atau ditiadakan. Sedangkan ayat “Mansukh” adalah ayat yang menghapuskan, membatalkan, atau meniadakan. Ayat yang “dimansukh” adalah ayat yang “diganti”, sedangkan ayat yang “dinasikh” ayat yang “mengganti”.
       Zaman Nabi Al-Quran belum dibukukan, karena wahyu dari Allah melalui malaikat Jibril masih terus turun kepada Nabi Muhammad untuk menjawab pertanyaan dan menerangkan suatu kejadian atau peristiwa.
      Kedua, Zaman Khalifah Abu Bakar. Nabi Muhammad wafat, Abu Bakar menjadi  Khalifah. Tahun 632 Masehi terjadi Perang Yamamah. Khalifah Abu Bakar mengirim pasukan menumpas pemberontak yang dipimpin Musailamah al-Kazzab yang mengaku sebagai nabi.  Khalid bin Walid, komandan pasukan Islam berhasil menumpas pemberontak.
     Banyak sahabat Nabi penghafal Quran yang gugur. Umar bin Khattab gelisah. Lalu mengusulkan agar tulisan Al-Quran dikumpulkan dalam sebuah buku. Khalifah Abu Bakar pada awalnya ragu melakukannya. Karena Nabi tidak pernah melakukannya.
    Umar bin Khattab berhasil meyakinkan Khalifah Abu Bakar untuk membukukan Al-Quran. Lalu dibentuk “Tim Pengumpulan” Al-Quran. Zaid bin Tsabit, salah seorang penulis wahyu pada zaman Nabi, diberi tugas sebagai ketua tim.
    Zaid bin Tsabit menerima tugas tersebut, meskipun awalnya menolak. Tim Penyusun pembukuan Al-Quran melaksanakan tugasnya. Khalifah Abu Bakar memerintahkan semua sahabat mengumpulkan naskah tulisan Al-Quran di Masjid Nabawi.
      Beberapa syarat yang harus dipenuhi para penyetor naskah tulisan Al-Quran. Pertama, naskah tulisan yang dikumpulkan harus sesuai dengan hafalan para sahabat yang lain.
      Kedua, naskah tulisan ayat Al-Quran memang diperintah Nabi dan dituliskan dihadapan Nabi.  Beberapa sahabat menulis naskah atas inisiatif sendiri. Ketiga, naskah tulisan harus dibuktikan dengan dua saksi.
      Tim Penyusun Mushaf Al-Quran berhasil melaksanakan tugasnya. Zaid bin Tsabit menyerahkan hasilnya kepada Khalifah Abu Bakar. Ketika Abu Bakr wafat buku mushaf Al-Quran disimpan Khalifah Umar Bin Khattab.
      Zaman Khalifah Umar Bin Khattab. Tidak terjadi penyusunan dan permasalahan mushaf Al-Quran. Naskah mushaf Al-Quran sudah selesai, semua sahabat sepakat, dan tidak terjadi perselisihan.
    Khalifah Umar bin Khattab konsentrasi penyebaran Islam ke seluruh wilayah. Umar bin Khattab wafat, buku mushaf Al-Quran disimpan Khalifah Usman bin Affan.
      Zaman Khalifah Usman Bin Affan. Wilayah Islam semakin luas. Beragam suku bangsa yang masuk Islam. Terjadi perbedaan logat, dialek, aksen, dan cara membaca Al-Quran. 
     Khalifah Usman Bin Affan membentuk Tim Lajnah Al-Quran. Zaid bin Tsabit sebagai ketua, dengan anggota  Abdullah bin Zubair, Said ibnu Ash, dan Abdurahman bin Harits.
      Usman Bin Affan memerintahkan Zaid bin Tsabit mengambil mushaf di rumah Hafsah binti Umar, dan menyeragamkan bacaan dengan satu dialek. Menjadi dialek Nabi Muhammad,  yakni dialek suku Quraisy. 
      Usman Bin Affan memperbanyak menjadi 6 mushaf. Lima mushaf dikirimkan ke Mekah, Kuffah, Basrah dan Syria, yang satu mushaf disimpan sendiri. Mushaf tersebut dikenal dengan nama “Mushaf Usmani”.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.  
2. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.

165. MUSHAF

SEJARAH PEMBUKUAN MUSHAF AL-QURAN
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

 
      Beberapa orang bertanya,”Zaman Nabi Muhammad belum ditemukan “ballpoint” dan kertas seperti sekarang, mohon dijelaskan bagaimana sejarah pembukuan penulisan mushaf Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab mencoba menjelaskannya.
      Pertama, Zaman Nabi Muhammad. Al-Quran merupakan sumber utama agama Islam yang diwahyukan Allah melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad secara mutawatir ketika terjadi suatu peristiwa.
       Mutawatir ialah  sifat hadis yang memiliki banyak sanad, yang diriwayatkan banyak perawi pada sanadnya. Sehingga mustahil mereka bersepakat berdusta atau memalsukan hadis.
      Sanad merupakan rentetan rawi hadis kepada Nabi Muhammad yang dapat dipercayai. Perawi ialah orang yang meriwayatkan hadis Nabi Muhammad.
     Nabi menghafalkan ayat Al-Quran secara pribadi dan mengajarkan kepada para sahabat untuk dipahami, dihafalkan, dan dilaksanakan.
      Ketika wahyu turun Nabi menyuruh Zaid bin Tsabit untuk menulisnya agar mudah dihafal para sahabat.  Zaid bin Tsabit salah seorang sahabat yang sangat cerdas.
      Zaid bin Tsabit diperintah Nabi belajar bahasa asing, agar Nabi bisa mengirimkan surat kepada para pemimpin bangsa lain. Zaid bin Tsabit mampu menguasai bahasa asing dengan amat cepat.
       Para sahabat secara rutin menulis teks Al-Quran untuk dimilikinya sendiri. Para sahabat selalu menyodorkan Al-Quran kepada Nabi dalam bentuk hafalan dan tulisan untuk diperiksa kebenarannya.
    Zaman Nabi alat tulis menulis amat terbatas. Para sahabat menuliskan naskah tulisan teks Al-Quran pada pelepah kurma, lempengan batu dan kepingan tulang hewan, dan lainnya. Zaman Nabi naskah teks Al-Quran sudah tertuliskan, tetapi masih berserakan. Tidak terkumpul dalam sebuah buku atau mushaf.
      Zaman Nabi sengaja dibentuk dengan hafalan  dan penulisan teks Al-Quran para sahabat.  Karena Nabi masih menunggu wahyu berikutnya. Sebagian ayat Al-Quran ada yang “nasikh” dan “mansukh”.
      Ayat “Nasikh” ialah ayat Al-Quran yang dihapuskan, dibatalkan, atau ditiadakan. Sedangkan ayat “Mansukh” adalah ayat yang menghapuskan, membatalkan, atau meniadakan. Ayat yang “dimansukh” adalah ayat yang “diganti”, sedangkan ayat yang “dinasikh” ayat yang “mengganti”.
       Zaman Nabi Al-Quran belum dibukukan, karena wahyu dari Allah melalui malaikat Jibril masih terus turun kepada Nabi Muhammad untuk menjawab pertanyaan dan menerangkan suatu kejadian atau peristiwa.
      Kedua, Zaman Khalifah Abu Bakar. Nabi Muhammad wafat, Abu Bakar menjadi  Khalifah. Tahun 632 Masehi terjadi Perang Yamamah. Khalifah Abu Bakar mengirim pasukan menumpas pemberontak yang dipimpin Musailamah al-Kazzab yang mengaku sebagai nabi.  Khalid bin Walid, komandan pasukan Islam berhasil menumpas pemberontak.
     Banyak sahabat Nabi penghafal Quran yang gugur. Umar bin Khattab gelisah. Lalu mengusulkan agar tulisan Al-Quran dikumpulkan dalam sebuah buku. Khalifah Abu Bakar pada awalnya ragu melakukannya. Karena Nabi tidak pernah melakukannya.
    Umar bin Khattab berhasil meyakinkan Khalifah Abu Bakar untuk membukukan Al-Quran. Lalu dibentuk “Tim Pengumpulan” Al-Quran. Zaid bin Tsabit, salah seorang penulis wahyu pada zaman Nabi, diberi tugas sebagai ketua tim.
    Zaid bin Tsabit menerima tugas tersebut, meskipun awalnya menolak. Tim Penyusun pembukuan Al-Quran melaksanakan tugasnya. Khalifah Abu Bakar memerintahkan semua sahabat mengumpulkan naskah tulisan Al-Quran di Masjid Nabawi.
      Beberapa syarat yang harus dipenuhi para penyetor naskah tulisan Al-Quran. Pertama, naskah tulisan yang dikumpulkan harus sesuai dengan hafalan para sahabat yang lain.
      Kedua, naskah tulisan ayat Al-Quran memang diperintah Nabi dan dituliskan dihadapan Nabi.  Beberapa sahabat menulis naskah atas inisiatif sendiri. Ketiga, naskah tulisan harus dibuktikan dengan dua saksi.
      Tim Penyusun Mushaf Al-Quran berhasil melaksanakan tugasnya. Zaid bin Tsabit menyerahkan hasilnya kepada Khalifah Abu Bakar. Ketika Abu Bakr wafat buku mushaf Al-Quran disimpan Khalifah Umar Bin Khattab.
      Zaman Khalifah Umar Bin Khattab. Tidak terjadi penyusunan dan permasalahan mushaf Al-Quran. Naskah mushaf Al-Quran sudah selesai, semua sahabat sepakat, dan tidak terjadi perselisihan.
    Khalifah Umar bin Khattab konsentrasi penyebaran Islam ke seluruh wilayah. Umar bin Khattab wafat, buku mushaf Al-Quran disimpan Khalifah Usman bin Affan.
      Zaman Khalifah Usman Bin Affan. Wilayah Islam semakin luas. Beragam suku bangsa yang masuk Islam. Terjadi perbedaan logat, dialek, aksen, dan cara membaca Al-Quran. 
     Khalifah Usman Bin Affan membentuk Tim Lajnah Al-Quran. Zaid bin Tsabit sebagai ketua, dengan anggota  Abdullah bin Zubair, Said ibnu Ash, dan Abdurahman bin Harits.
      Usman Bin Affan memerintahkan Zaid bin Tsabit mengambil mushaf di rumah Hafsah binti Umar, dan menyeragamkan bacaan dengan satu dialek. Menjadi dialek Nabi Muhammad,  yakni dialek suku Quraisy. 
      Usman Bin Affan memperbanyak menjadi 6 mushaf. Lima mushaf dikirimkan ke Mekah, Kuffah, Basrah dan Syria, yang satu mushaf disimpan sendiri. Mushaf tersebut dikenal dengan nama “Mushaf Usmani”.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.  
2. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.

165.Mushaf

SEJARAH PEMBUKUAN MUSHAF AL-QURAN
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

 
      Beberapa orang bertanya,”Zaman Nabi Muhammad belum ditemukan “ballpoint” dan kertas seperti sekarang, mohon dijelaskan bagaimana sejarah pembukuan penulisan mushaf Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab mencoba menjelaskannya.
      Pertama, Zaman Nabi Muhammad. Al-Quran merupakan sumber utama agama Islam yang diwahyukan Allah melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad secara mutawatir ketika terjadi suatu peristiwa.
       Mutawatir ialah  sifat hadis yang memiliki banyak sanad, yang diriwayatkan banyak perawi pada sanadnya. Sehingga mustahil mereka bersepakat berdusta atau memalsukan hadis.
      Sanad merupakan rentetan rawi hadis kepada Nabi Muhammad yang dapat dipercayai. Perawi ialah orang yang meriwayatkan hadis Nabi Muhammad.
     Nabi menghafalkan ayat Al-Quran secara pribadi dan mengajarkan kepada para sahabat untuk dipahami, dihafalkan, dan dilaksanakan.
      Ketika wahyu turun Nabi menyuruh Zaid bin Tsabit untuk menulisnya agar mudah dihafal para sahabat.  Zaid bin Tsabit salah seorang sahabat yang sangat cerdas.
      Zaid bin Tsabit diperintah Nabi belajar bahasa asing, agar Nabi bisa mengirimkan surat kepada para pemimpin bangsa lain. Zaid bin Tsabit mampu menguasai bahasa asing dengan amat cepat.
       Para sahabat secara rutin menulis teks Al-Quran untuk dimilikinya sendiri. Para sahabat selalu menyodorkan Al-Quran kepada Nabi dalam bentuk hafalan dan tulisan untuk diperiksa kebenarannya.
    Zaman Nabi alat tulis menulis amat terbatas. Para sahabat menuliskan naskah tulisan teks Al-Quran pada pelepah kurma, lempengan batu dan kepingan tulang hewan, dan lainnya. Zaman Nabi naskah teks Al-Quran sudah tertuliskan, tetapi masih berserakan. Tidak terkumpul dalam sebuah buku atau mushaf.
      Zaman Nabi sengaja dibentuk dengan hafalan  dan penulisan teks Al-Quran para sahabat.  Karena Nabi masih menunggu wahyu berikutnya. Sebagian ayat Al-Quran ada yang “nasikh” dan “mansukh”.
      Ayat “Nasikh” ialah ayat Al-Quran yang dihapuskan, dibatalkan, atau ditiadakan. Sedangkan ayat “Mansukh” adalah ayat yang menghapuskan, membatalkan, atau meniadakan. Ayat yang “dimansukh” adalah ayat yang “diganti”, sedangkan ayat yang “dinasikh” ayat yang “mengganti”.
       Zaman Nabi Al-Quran belum dibukukan, karena wahyu dari Allah melalui malaikat Jibril masih terus turun kepada Nabi Muhammad untuk menjawab pertanyaan dan menerangkan suatu kejadian atau peristiwa.
      Kedua, Zaman Khalifah Abu Bakar. Nabi Muhammad wafat, Abu Bakar menjadi  Khalifah. Tahun 632 Masehi terjadi Perang Yamamah. Khalifah Abu Bakar mengirim pasukan menumpas pemberontak yang dipimpin Musailamah al-Kazzab yang mengaku sebagai nabi.  Khalid bin Walid, komandan pasukan Islam berhasil menumpas pemberontak.
     Banyak sahabat Nabi penghafal Quran yang gugur. Umar bin Khattab gelisah. Lalu mengusulkan agar tulisan Al-Quran dikumpulkan dalam sebuah buku. Khalifah Abu Bakar pada awalnya ragu melakukannya. Karena Nabi tidak pernah melakukannya.
    Umar bin Khattab berhasil meyakinkan Khalifah Abu Bakar untuk membukukan Al-Quran. Lalu dibentuk “Tim Pengumpulan” Al-Quran. Zaid bin Tsabit, salah seorang penulis wahyu pada zaman Nabi, diberi tugas sebagai ketua tim.
    Zaid bin Tsabit menerima tugas tersebut, meskipun awalnya menolak. Tim Penyusun pembukuan Al-Quran melaksanakan tugasnya. Khalifah Abu Bakar memerintahkan semua sahabat mengumpulkan naskah tulisan Al-Quran di Masjid Nabawi.
      Beberapa syarat yang harus dipenuhi para penyetor naskah tulisan Al-Quran. Pertama, naskah tulisan yang dikumpulkan harus sesuai dengan hafalan para sahabat yang lain.
      Kedua, naskah tulisan ayat Al-Quran memang diperintah Nabi dan dituliskan dihadapan Nabi.  Beberapa sahabat menulis naskah atas inisiatif sendiri. Ketiga, naskah tulisan harus dibuktikan dengan dua saksi.
      Tim Penyusun Mushaf Al-Quran berhasil melaksanakan tugasnya. Zaid bin Tsabit menyerahkan hasilnya kepada Khalifah Abu Bakar. Ketika Abu Bakr wafat buku mushaf Al-Quran disimpan Khalifah Umar Bin Khattab.
      Zaman Khalifah Umar Bin Khattab. Tidak terjadi penyusunan dan permasalahan mushaf Al-Quran. Naskah mushaf Al-Quran sudah selesai, semua sahabat sepakat, dan tidak terjadi perselisihan.
    Khalifah Umar bin Khattab konsentrasi penyebaran Islam ke seluruh wilayah. Umar bin Khattab wafat, buku mushaf Al-Quran disimpan Khalifah Usman bin Affan.
      Zaman Khalifah Usman Bin Affan. Wilayah Islam semakin luas. Beragam suku bangsa yang masuk Islam. Terjadi perbedaan logat, dialek, aksen, dan cara membaca Al-Quran. 
     Khalifah Usman Bin Affan membentuk Tim Lajnah Al-Quran. Zaid bin Tsabit sebagai ketua, dengan anggota  Abdullah bin Zubair, Said ibnu Ash, dan Abdurahman bin Harits.
      Usman Bin Affan memerintahkan Zaid bin Tsabit mengambil mushaf di rumah Hafsah binti Umar, dan menyeragamkan bacaan dengan satu dialek. Menjadi dialek Nabi Muhammad,  yakni dialek suku Quraisy. 
      Usman Bin Affan memperbanyak menjadi 6 mushaf. Lima mushaf dikirimkan ke Mekah, Kuffah, Basrah dan Syria, yang satu mushaf disimpan sendiri. Mushaf tersebut dikenal dengan nama “Mushaf Usmani”.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.  
2. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.

165.Mushaf

SEJARAH PEMBUKUAN MUSHAF AL-QURAN
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

 
      Beberapa orang bertanya,”Zaman Nabi Muhammad belum ditemukan “ballpoint” dan kertas seperti sekarang, mohon dijelaskan bagaimana sejarah pembukuan penulisan mushaf Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab mencoba menjelaskannya.
      Pertama, Zaman Nabi Muhammad. Al-Quran merupakan sumber utama agama Islam yang diwahyukan Allah melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad secara mutawatir ketika terjadi suatu peristiwa.
       Mutawatir ialah  sifat hadis yang memiliki banyak sanad, yang diriwayatkan banyak perawi pada sanadnya. Sehingga mustahil mereka bersepakat berdusta atau memalsukan hadis.
      Sanad merupakan rentetan rawi hadis kepada Nabi Muhammad yang dapat dipercayai. Perawi ialah orang yang meriwayatkan hadis Nabi Muhammad.
     Nabi menghafalkan ayat Al-Quran secara pribadi dan mengajarkan kepada para sahabat untuk dipahami, dihafalkan, dan dilaksanakan.
      Ketika wahyu turun Nabi menyuruh Zaid bin Tsabit untuk menulisnya agar mudah dihafal para sahabat.  Zaid bin Tsabit salah seorang sahabat yang sangat cerdas.
      Zaid bin Tsabit diperintah Nabi belajar bahasa asing, agar Nabi bisa mengirimkan surat kepada para pemimpin bangsa lain. Zaid bin Tsabit mampu menguasai bahasa asing dengan amat cepat.
       Para sahabat secara rutin menulis teks Al-Quran untuk dimilikinya sendiri. Para sahabat selalu menyodorkan Al-Quran kepada Nabi dalam bentuk hafalan dan tulisan untuk diperiksa kebenarannya.
    Zaman Nabi alat tulis menulis amat terbatas. Para sahabat menuliskan naskah tulisan teks Al-Quran pada pelepah kurma, lempengan batu dan kepingan tulang hewan, dan lainnya. Zaman Nabi naskah teks Al-Quran sudah tertuliskan, tetapi masih berserakan. Tidak terkumpul dalam sebuah buku atau mushaf.
      Zaman Nabi sengaja dibentuk dengan hafalan  dan penulisan teks Al-Quran para sahabat.  Karena Nabi masih menunggu wahyu berikutnya. Sebagian ayat Al-Quran ada yang “nasikh” dan “mansukh”.
      Ayat “Nasikh” ialah ayat Al-Quran yang dihapuskan, dibatalkan, atau ditiadakan. Sedangkan ayat “Mansukh” adalah ayat yang menghapuskan, membatalkan, atau meniadakan. Ayat yang “dimansukh” adalah ayat yang “diganti”, sedangkan ayat yang “dinasikh” ayat yang “mengganti”.
       Zaman Nabi Al-Quran belum dibukukan, karena wahyu dari Allah melalui malaikat Jibril masih terus turun kepada Nabi Muhammad untuk menjawab pertanyaan dan menerangkan suatu kejadian atau peristiwa.
      Kedua, Zaman Khalifah Abu Bakar. Nabi Muhammad wafat, Abu Bakar menjadi  Khalifah. Tahun 632 Masehi terjadi Perang Yamamah. Khalifah Abu Bakar mengirim pasukan menumpas pemberontak yang dipimpin Musailamah al-Kazzab yang mengaku sebagai nabi.  Khalid bin Walid, komandan pasukan Islam berhasil menumpas pemberontak.
     Banyak sahabat Nabi penghafal Quran yang gugur. Umar bin Khattab gelisah. Lalu mengusulkan agar tulisan Al-Quran dikumpulkan dalam sebuah buku. Khalifah Abu Bakar pada awalnya ragu melakukannya. Karena Nabi tidak pernah melakukannya.
    Umar bin Khattab berhasil meyakinkan Khalifah Abu Bakar untuk membukukan Al-Quran. Lalu dibentuk “Tim Pengumpulan” Al-Quran. Zaid bin Tsabit, salah seorang penulis wahyu pada zaman Nabi, diberi tugas sebagai ketua tim.
    Zaid bin Tsabit menerima tugas tersebut, meskipun awalnya menolak. Tim Penyusun pembukuan Al-Quran melaksanakan tugasnya. Khalifah Abu Bakar memerintahkan semua sahabat mengumpulkan naskah tulisan Al-Quran di Masjid Nabawi.
      Beberapa syarat yang harus dipenuhi para penyetor naskah tulisan Al-Quran. Pertama, naskah tulisan yang dikumpulkan harus sesuai dengan hafalan para sahabat yang lain.
      Kedua, naskah tulisan ayat Al-Quran memang diperintah Nabi dan dituliskan dihadapan Nabi.  Beberapa sahabat menulis naskah atas inisiatif sendiri. Ketiga, naskah tulisan harus dibuktikan dengan dua saksi.
      Tim Penyusun Mushaf Al-Quran berhasil melaksanakan tugasnya. Zaid bin Tsabit menyerahkan hasilnya kepada Khalifah Abu Bakar. Ketika Abu Bakr wafat buku mushaf Al-Quran disimpan Khalifah Umar Bin Khattab.
      Zaman Khalifah Umar Bin Khattab. Tidak terjadi penyusunan dan permasalahan mushaf Al-Quran. Naskah mushaf Al-Quran sudah selesai, semua sahabat sepakat, dan tidak terjadi perselisihan.
    Khalifah Umar bin Khattab konsentrasi penyebaran Islam ke seluruh wilayah. Umar bin Khattab wafat, buku mushaf Al-Quran disimpan Khalifah Usman bin Affan.
      Zaman Khalifah Usman Bin Affan. Wilayah Islam semakin luas. Beragam suku bangsa yang masuk Islam. Terjadi perbedaan logat, dialek, aksen, dan cara membaca Al-Quran. 
     Khalifah Usman Bin Affan membentuk Tim Lajnah Al-Quran. Zaid bin Tsabit sebagai ketua, dengan anggota  Abdullah bin Zubair, Said ibnu Ash, dan Abdurahman bin Harits.
      Usman Bin Affan memerintahkan Zaid bin Tsabit mengambil mushaf di rumah Hafsah binti Umar, dan menyeragamkan bacaan dengan satu dialek. Menjadi dialek Nabi Muhammad,  yakni dialek suku Quraisy. 
      Usman Bin Affan memperbanyak menjadi 6 mushaf. Lima mushaf dikirimkan ke Mekah, Kuffah, Basrah dan Syria, yang satu mushaf disimpan sendiri. Mushaf tersebut dikenal dengan nama “Mushaf Usmani”.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.  
2. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.

164. MAUDHUI

TAFSIR AL-QURAN METODE “MAUDHUI”(TEMATIK)
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

      Beberapa orang bertanya,”Tolong dijelaskan tentang Tafsir Al-Quran Metode “Maudhui” atau Metode Tematik? Profesor Quraish Shihab menjelaskan tentang Tafsir Al-Quran Metode “Maudhui” atau Metode Tematik.
      Metode adalah cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki.
      Tafsir Metode “Maudhui” yaitu suatu metode penafsiran Al-Quran, dengan cara para mufasir berupaya mengumpulkan ayat Al-Quran dari berbagai surat yang memiliki  tema yang sama, sehingga mengarah kepada pengertian dan tujuan yang sama.
      Para ulama memberikan urutan langkah dalam menafsirkan ayat Al-Quran dengan  Metode “Maudhui” atau Tematik.
      Pertama, Menetapkan tema, topik, atau masalah yang akan dibahas. Kedua,   Menghimpun ayat Al-Quran yang berkaitan dengan tema, topik, atau masalah yang dibahas.
      Ketiga, Menyusun runtutan ayat Al-Quran sesuai waktu turunnya, dan “asbabun nuzulnya” atau penyebab turunnya. Keempat, Memahami korelasi ayat Al-Quran dalam surahnya. Kelima, Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna atau “outline”.
      Keenam, Melengkapi pembahasan dengan hadis yang relevan dengan tema atau pokok bahasan. Ketujuh, Mempelajari ayat Al-Quran secara keseluruhan dengan menghimpun ayat  yang mempunyai pengertian sama.
      Kedelapan, mengkompromikan ayat Al-Quran yang “am” (umum) dan yang “khash” (khusus), ayat yang “mutlak” dan “muqayyad” (terikat), atau ayat yang pada lahirnya bertentangan, sehingga  bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan.
      Keunggulan Tafsir Metode “Maudhui”. Pertama, menghindari problem atau kelemahan metode lain. Kedua, menafsirkan ayat Al-Quran dengan ayat Al-Quran atau dengan hadis Nabi yang merupakan cara terbaik dalam menafsirkan ayat Al-Quran.
      Ketiga, kesimpulan yang dihasilkan gampang dipahami. Karena membawa kepada petunjuk Al-Quran, tanpa pembahasan yang bertele-tele.
      Keempat, dapat membuktikan Al-Quran memberikan pedoman dalam mengatasi masalah kehidupan sehari-hari.
    Kelima, bisa membuktikan dan menunjukkan keistimewaan Al-Quran. Keenam, menunjukkan tidak ada ayat Al-Quran yang saling bertentangan. Ketujuh, Membuktikan Al-Quran sesuai dengan perkembangan sains dan teknologi.  
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.  
2. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran

164. MAUDHUI

TAFSIR AL-QURAN METODE “MAUDHUI”(TEMATIK)
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

      Beberapa orang bertanya,”Tolong dijelaskan tentang Tafsir Al-Quran Metode “Maudhui” atau Metode Tematik? Profesor Quraish Shihab menjelaskan tentang Tafsir Al-Quran Metode “Maudhui” atau Metode Tematik.
      Metode adalah cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki.
      Tafsir Metode “Maudhui” yaitu suatu metode penafsiran Al-Quran, dengan cara para mufasir berupaya mengumpulkan ayat Al-Quran dari berbagai surat yang memiliki  tema yang sama, sehingga mengarah kepada pengertian dan tujuan yang sama.
      Para ulama memberikan urutan langkah dalam menafsirkan ayat Al-Quran dengan  Metode “Maudhui” atau Tematik.
      Pertama, Menetapkan tema, topik, atau masalah yang akan dibahas. Kedua,   Menghimpun ayat Al-Quran yang berkaitan dengan tema, topik, atau masalah yang dibahas.
      Ketiga, Menyusun runtutan ayat Al-Quran sesuai waktu turunnya, dan “asbabun nuzulnya” atau penyebab turunnya. Keempat, Memahami korelasi ayat Al-Quran dalam surahnya. Kelima, Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna atau “outline”.
      Keenam, Melengkapi pembahasan dengan hadis yang relevan dengan tema atau pokok bahasan. Ketujuh, Mempelajari ayat Al-Quran secara keseluruhan dengan menghimpun ayat  yang mempunyai pengertian sama.
      Kedelapan, mengkompromikan ayat Al-Quran yang “am” (umum) dan yang “khash” (khusus), ayat yang “mutlak” dan “muqayyad” (terikat), atau ayat yang pada lahirnya bertentangan, sehingga  bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan.
      Keunggulan Tafsir Metode “Maudhui”. Pertama, menghindari problem atau kelemahan metode lain. Kedua, menafsirkan ayat Al-Quran dengan ayat Al-Quran atau dengan hadis Nabi yang merupakan cara terbaik dalam menafsirkan ayat Al-Quran.
      Ketiga, kesimpulan yang dihasilkan gampang dipahami. Karena membawa kepada petunjuk Al-Quran, tanpa pembahasan yang bertele-tele.
      Keempat, dapat membuktikan Al-Quran memberikan pedoman dalam mengatasi masalah kehidupan sehari-hari.
    Kelima, bisa membuktikan dan menunjukkan keistimewaan Al-Quran. Keenam, menunjukkan tidak ada ayat Al-Quran yang saling bertentangan. Ketujuh, Membuktikan Al-Quran sesuai dengan perkembangan sains dan teknologi.  
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.  
2. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran

164. MAUDHUI

TAFSIR AL-QURAN METODE “MAUDHUI”(TEMATIK)
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

      Beberapa orang bertanya,”Tolong dijelaskan tentang Tafsir Al-Quran Metode “Maudhui” atau Metode Tematik? Profesor Quraish Shihab menjelaskan tentang Tafsir Al-Quran Metode “Maudhui” atau Metode Tematik.
      Metode adalah cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki.
      Tafsir Metode “Maudhui” yaitu suatu metode penafsiran Al-Quran, dengan cara para mufasir berupaya mengumpulkan ayat Al-Quran dari berbagai surat yang memiliki  tema yang sama, sehingga mengarah kepada pengertian dan tujuan yang sama.
      Para ulama memberikan urutan langkah dalam menafsirkan ayat Al-Quran dengan  Metode “Maudhui” atau Tematik.
      Pertama, Menetapkan tema, topik, atau masalah yang akan dibahas. Kedua,   Menghimpun ayat Al-Quran yang berkaitan dengan tema, topik, atau masalah yang dibahas.
      Ketiga, Menyusun runtutan ayat Al-Quran sesuai waktu turunnya, dan “asbabun nuzulnya” atau penyebab turunnya. Keempat, Memahami korelasi ayat Al-Quran dalam surahnya. Kelima, Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna atau “outline”.
      Keenam, Melengkapi pembahasan dengan hadis yang relevan dengan tema atau pokok bahasan. Ketujuh, Mempelajari ayat Al-Quran secara keseluruhan dengan menghimpun ayat  yang mempunyai pengertian sama.
      Kedelapan, mengkompromikan ayat Al-Quran yang “am” (umum) dan yang “khash” (khusus), ayat yang “mutlak” dan “muqayyad” (terikat), atau ayat yang pada lahirnya bertentangan, sehingga  bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan.
      Keunggulan Tafsir Metode “Maudhui”. Pertama, menghindari problem atau kelemahan metode lain. Kedua, menafsirkan ayat Al-Quran dengan ayat Al-Quran atau dengan hadis Nabi yang merupakan cara terbaik dalam menafsirkan ayat Al-Quran.
      Ketiga, kesimpulan yang dihasilkan gampang dipahami. Karena membawa kepada petunjuk Al-Quran, tanpa pembahasan yang bertele-tele.
      Keempat, dapat membuktikan Al-Quran memberikan pedoman dalam mengatasi masalah kehidupan sehari-hari.
    Kelima, bisa membuktikan dan menunjukkan keistimewaan Al-Quran. Keenam, menunjukkan tidak ada ayat Al-Quran yang saling bertentangan. Ketujuh, Membuktikan Al-Quran sesuai dengan perkembangan sains dan teknologi.  
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.  
2. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran

164. MAUDHUI

TAFSIR AL-QURAN METODE “MAUDHUI”(TEMATIK)
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

      Beberapa orang bertanya,”Tolong dijelaskan tentang Tafsir Al-Quran Metode “Maudhui” atau Metode Tematik? Profesor Quraish Shihab menjelaskan tentang Tafsir Al-Quran Metode “Maudhui” atau Metode Tematik.
      Metode adalah cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki.
      Tafsir Metode “Maudhui” yaitu suatu metode penafsiran Al-Quran, dengan cara para mufasir berupaya mengumpulkan ayat Al-Quran dari berbagai surat yang memiliki  tema yang sama, sehingga mengarah kepada pengertian dan tujuan yang sama.
      Para ulama memberikan urutan langkah dalam menafsirkan ayat Al-Quran dengan  Metode “Maudhui” atau Tematik.
      Pertama, Menetapkan tema, topik, atau masalah yang akan dibahas. Kedua,   Menghimpun ayat Al-Quran yang berkaitan dengan tema, topik, atau masalah yang dibahas.
      Ketiga, Menyusun runtutan ayat Al-Quran sesuai waktu turunnya, dan “asbabun nuzulnya” atau penyebab turunnya. Keempat, Memahami korelasi ayat Al-Quran dalam surahnya. Kelima, Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna atau “outline”.
      Keenam, Melengkapi pembahasan dengan hadis yang relevan dengan tema atau pokok bahasan. Ketujuh, Mempelajari ayat Al-Quran secara keseluruhan dengan menghimpun ayat  yang mempunyai pengertian sama.
      Kedelapan, mengkompromikan ayat Al-Quran yang “am” (umum) dan yang “khash” (khusus), ayat yang “mutlak” dan “muqayyad” (terikat), atau ayat yang pada lahirnya bertentangan, sehingga  bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan.
      Keunggulan Tafsir Metode “Maudhui”. Pertama, menghindari problem atau kelemahan metode lain. Kedua, menafsirkan ayat Al-Quran dengan ayat Al-Quran atau dengan hadis Nabi yang merupakan cara terbaik dalam menafsirkan ayat Al-Quran.
      Ketiga, kesimpulan yang dihasilkan gampang dipahami. Karena membawa kepada petunjuk Al-Quran, tanpa pembahasan yang bertele-tele.
      Keempat, dapat membuktikan Al-Quran memberikan pedoman dalam mengatasi masalah kehidupan sehari-hari.
    Kelima, bisa membuktikan dan menunjukkan keistimewaan Al-Quran. Keenam, menunjukkan tidak ada ayat Al-Quran yang saling bertentangan. Ketujuh, Membuktikan Al-Quran sesuai dengan perkembangan sains dan teknologi.  
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.  
2. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran

164. MAUDHUI

TAFSIR AL-QURAN METODE “MAUDHUI”(TEMATIK)
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

      Beberapa orang bertanya,”Tolong dijelaskan tentang Tafsir Al-Quran Metode “Maudhui” atau Metode Tematik? Profesor Quraish Shihab menjelaskan tentang Tafsir Al-Quran Metode “Maudhui” atau Metode Tematik.
      Metode adalah cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki.
      Tafsir Metode “Maudhui” yaitu suatu metode penafsiran Al-Quran, dengan cara para mufasir berupaya mengumpulkan ayat Al-Quran dari berbagai surat yang memiliki  tema yang sama, sehingga mengarah kepada pengertian dan tujuan yang sama.
      Para ulama memberikan urutan langkah dalam menafsirkan ayat Al-Quran dengan  Metode “Maudhui” atau Tematik.
      Pertama, Menetapkan tema, topik, atau masalah yang akan dibahas. Kedua,   Menghimpun ayat Al-Quran yang berkaitan dengan tema, topik, atau masalah yang dibahas.
      Ketiga, Menyusun runtutan ayat Al-Quran sesuai waktu turunnya, dan “asbabun nuzulnya” atau penyebab turunnya. Keempat, Memahami korelasi ayat Al-Quran dalam surahnya. Kelima, Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna atau “outline”.
      Keenam, Melengkapi pembahasan dengan hadis yang relevan dengan tema atau pokok bahasan. Ketujuh, Mempelajari ayat Al-Quran secara keseluruhan dengan menghimpun ayat  yang mempunyai pengertian sama.
      Kedelapan, mengkompromikan ayat Al-Quran yang “am” (umum) dan yang “khash” (khusus), ayat yang “mutlak” dan “muqayyad” (terikat), atau ayat yang pada lahirnya bertentangan, sehingga  bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan.
      Keunggulan Tafsir Metode “Maudhui”. Pertama, menghindari problem atau kelemahan metode lain. Kedua, menafsirkan ayat Al-Quran dengan ayat Al-Quran atau dengan hadis Nabi yang merupakan cara terbaik dalam menafsirkan ayat Al-Quran.
      Ketiga, kesimpulan yang dihasilkan gampang dipahami. Karena membawa kepada petunjuk Al-Quran, tanpa pembahasan yang bertele-tele.
      Keempat, dapat membuktikan Al-Quran memberikan pedoman dalam mengatasi masalah kehidupan sehari-hari.
    Kelima, bisa membuktikan dan menunjukkan keistimewaan Al-Quran. Keenam, menunjukkan tidak ada ayat Al-Quran yang saling bertentangan. Ketujuh, Membuktikan Al-Quran sesuai dengan perkembangan sains dan teknologi.  
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.  
2. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran

164. MAUDHUI

TAFSIR AL-QURAN METODE “MAUDHUI”(TEMATIK)
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

      Beberapa orang bertanya,”Tolong dijelaskan tentang Tafsir Al-Quran Metode “Maudhui” atau Metode Tematik? Profesor Quraish Shihab menjelaskan tentang Tafsir Al-Quran Metode “Maudhui” atau Metode Tematik.
      Metode adalah cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki.
      Tafsir Metode “Maudhui” yaitu suatu metode penafsiran Al-Quran, dengan cara para mufasir berupaya mengumpulkan ayat Al-Quran dari berbagai surat yang memiliki  tema yang sama, sehingga mengarah kepada pengertian dan tujuan yang sama.
      Para ulama memberikan urutan langkah dalam menafsirkan ayat Al-Quran dengan  Metode “Maudhui” atau Tematik.
      Pertama, Menetapkan tema, topik, atau masalah yang akan dibahas. Kedua,   Menghimpun ayat Al-Quran yang berkaitan dengan tema, topik, atau masalah yang dibahas.
      Ketiga, Menyusun runtutan ayat Al-Quran sesuai waktu turunnya, dan “asbabun nuzulnya” atau penyebab turunnya. Keempat, Memahami korelasi ayat Al-Quran dalam surahnya. Kelima, Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna atau “outline”.
      Keenam, Melengkapi pembahasan dengan hadis yang relevan dengan tema atau pokok bahasan. Ketujuh, Mempelajari ayat Al-Quran secara keseluruhan dengan menghimpun ayat  yang mempunyai pengertian sama.
      Kedelapan, mengkompromikan ayat Al-Quran yang “am” (umum) dan yang “khash” (khusus), ayat yang “mutlak” dan “muqayyad” (terikat), atau ayat yang pada lahirnya bertentangan, sehingga  bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan.
      Keunggulan Tafsir Metode “Maudhui”. Pertama, menghindari problem atau kelemahan metode lain. Kedua, menafsirkan ayat Al-Quran dengan ayat Al-Quran atau dengan hadis Nabi yang merupakan cara terbaik dalam menafsirkan ayat Al-Quran.
      Ketiga, kesimpulan yang dihasilkan gampang dipahami. Karena membawa kepada petunjuk Al-Quran, tanpa pembahasan yang bertele-tele.
      Keempat, dapat membuktikan Al-Quran memberikan pedoman dalam mengatasi masalah kehidupan sehari-hari.
    Kelima, bisa membuktikan dan menunjukkan keistimewaan Al-Quran. Keenam, menunjukkan tidak ada ayat Al-Quran yang saling bertentangan. Ketujuh, Membuktikan Al-Quran sesuai dengan perkembangan sains dan teknologi.  
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.  
2. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran