Organisasi Profesi Guru

Presiden Jokowi memberi hormat kepada Guru-Guru se Indonesia.

Tema Gambar Slide 2

Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.

Tema Gambar Slide 3

Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.

Friday, November 3, 2017

447. HUKUM 1

ASPEK HUKUM PUASA RAMADAN
(Seri ke-1)
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.



       Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang “Aspek hukum puasa Ramadan menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya
      Kata “puasa” menurut KBBI V bisa diartikan “meniadakan makan, minum, dan sebagainya dengan sengaja (terutama bertalian dengan keagamaan)”, “salah satu rukun Islam berupa ibadah menahan diri atau berpantang makan, minum, dan segala yang membatalkannya mulai terbit fajar sampai terbenam matahari”, dan “saum”.
      Kata “Ramadan” menurut KBBI V adalah bulan ke- 9 tahun Hijriah (29 atau 30 hari), pada bulan ini umat Islam yang sudah akil balig diwajibkan berpuasa.
        Al-Quran menggunakan kata “shiam” sebanyak 8 kali, kesemuanya  dalam arti “puasa” menurut pengertian hukum syariat, hanna 1 kali Al-Quran memakai kata “shaum”,  tetapi  maknanya adalah “menahan diri untuk tidak bebicara”.
     Uraian Al-Quran tentang puasa Ramadan, ditemukan dalam  surat Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 183, 184, 185, dan 187, artinya puasa Ramadan baru diwajibkan  setelah Nabi Muhammad berada di Madinah, karena para ulama sepakat bahwa surah Al-Baqarah turun di Madinah.
     Para sejarawan menyatakan bahwa kewajiban berpuasa Ramadan pertama kali ditetapkan Allah pada 10 Syakban tahun ke-2 Hijriah di Madinah
      Pertama, Kalimat “Faman kana minkum maridha” (Siapa di antaramu yang sakit), kata “maridh” artinya “sakit”, dan penyakit dalam kaitannya dengan berpuasa secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu orang yang tidak dapat berpuasa, maka dia wajib berbuka, dan orang yang dapat berpuasa, tetapi jika berpuasa, maka melambatkan kesembuhan, maka dia dianjurkan tidak berpuasa.
      Sebagian ulama berpendapat bahwa penyakit apa pun yang diderita oleh seseorang, maka dibolehkan tidak berpuasa Ramadan, karena Al-Quran tidak memerinci masalah ini.
     Agaknya Allah sengaja memilih redaksi demikian, dan menyerahkan kepada nurani manusia masing-masing untuk menentukan sendiri apakah dia  berpuasa  atau  tidak, dan orang yang tidak berpuasa karena sakit atau dalam perjalanan harus  menggantikan berpuasa di luar bulan Ramadan.
   Kedua, kalimat “Aw'ala safarin” (atau dalam perjalanan), para ulama berbeda pendapat tentang bolehnya berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir, yang berkaitan dengan jarak perjalanan yang ditempuh.
       Secara umum jarak perjalanannya adalah sekitar 90 kilometer, tetapi ada yang tidak menetapkan jarak tertentu, sehingga berapa pun  jarak yang ditempuh selama dinamakan perjalanan, maka bisa mendapatkan kemudahan atau “rukhshah”.
      Para ulama berbeda pendapat tentang “illat” (sebab) dibolehkannya tidak berpuasa, apakah karena adanya unsur “perjalanan” atau karena “keletihan” akibat perjalanan?
      Para ulama berbeda pendapat tentang manakah yang lebih utama bagi seorang musafir, berpuasa atau tidak berpuasa.
     Sebagian ulama menilai  bahwa  berpuasa lebih utama dan lebih baik bagi yang mampu, tetapi sebagian ulama yang lain berpendapat sebaiknya diserahkan kepada orangnya masing-masing, maka itulah yang lebih baik dan utama.
     Ketika Nabi dan para sahabat dalam perjalanan pada bulan Ramadan, sebagian sahabat ada yang berpuasa dan ada yang tidak berpuasa, dan ternyata Nabi tidak mencela siapa pun.
      Ketiga, kalimat “Fa 'iddatun min ayyamin ukhar” (sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari yang lain). Sebagian ulama menyisipkan kalimat, sehingga berbunyi,”Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia tidak berpuasa),  maka  (wajib  baginya  berpuasa) sebanyak hari-hari yang ditinggalkan itu pada hari yang lain.”
    Kalimat “Lalu  dia  tidak  berpuasa”  adalah sisipan yang dilakukan oleh sebagian ulama, tetapi ditolak oleh sebagian ulama yang lain, sehingga orang yang dalam perjalanan “wajib tidak berpuasa” dan “wajib menggantinya pada hari lain.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online.

447. HUKUM 1

ASPEK HUKUM PUASA RAMADAN
(Seri ke-1)
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.



       Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang “Aspek hukum puasa Ramadan menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya
      Kata “puasa” menurut KBBI V bisa diartikan “meniadakan makan, minum, dan sebagainya dengan sengaja (terutama bertalian dengan keagamaan)”, “salah satu rukun Islam berupa ibadah menahan diri atau berpantang makan, minum, dan segala yang membatalkannya mulai terbit fajar sampai terbenam matahari”, dan “saum”.
      Kata “Ramadan” menurut KBBI V adalah bulan ke- 9 tahun Hijriah (29 atau 30 hari), pada bulan ini umat Islam yang sudah akil balig diwajibkan berpuasa.
        Al-Quran menggunakan kata “shiam” sebanyak 8 kali, kesemuanya  dalam arti “puasa” menurut pengertian hukum syariat, hanna 1 kali Al-Quran memakai kata “shaum”,  tetapi  maknanya adalah “menahan diri untuk tidak bebicara”.
     Uraian Al-Quran tentang puasa Ramadan, ditemukan dalam  surat Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 183, 184, 185, dan 187, artinya puasa Ramadan baru diwajibkan  setelah Nabi Muhammad berada di Madinah, karena para ulama sepakat bahwa surah Al-Baqarah turun di Madinah.
     Para sejarawan menyatakan bahwa kewajiban berpuasa Ramadan pertama kali ditetapkan Allah pada 10 Syakban tahun ke-2 Hijriah di Madinah
      Pertama, Kalimat “Faman kana minkum maridha” (Siapa di antaramu yang sakit), kata “maridh” artinya “sakit”, dan penyakit dalam kaitannya dengan berpuasa secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu orang yang tidak dapat berpuasa, maka dia wajib berbuka, dan orang yang dapat berpuasa, tetapi jika berpuasa, maka melambatkan kesembuhan, maka dia dianjurkan tidak berpuasa.
      Sebagian ulama berpendapat bahwa penyakit apa pun yang diderita oleh seseorang, maka dibolehkan tidak berpuasa Ramadan, karena Al-Quran tidak memerinci masalah ini.
     Agaknya Allah sengaja memilih redaksi demikian, dan menyerahkan kepada nurani manusia masing-masing untuk menentukan sendiri apakah dia  berpuasa  atau  tidak, dan orang yang tidak berpuasa karena sakit atau dalam perjalanan harus  menggantikan berpuasa di luar bulan Ramadan.
   Kedua, kalimat “Aw'ala safarin” (atau dalam perjalanan), para ulama berbeda pendapat tentang bolehnya berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir, yang berkaitan dengan jarak perjalanan yang ditempuh.
       Secara umum jarak perjalanannya adalah sekitar 90 kilometer, tetapi ada yang tidak menetapkan jarak tertentu, sehingga berapa pun  jarak yang ditempuh selama dinamakan perjalanan, maka bisa mendapatkan kemudahan atau “rukhshah”.
      Para ulama berbeda pendapat tentang “illat” (sebab) dibolehkannya tidak berpuasa, apakah karena adanya unsur “perjalanan” atau karena “keletihan” akibat perjalanan?
      Para ulama berbeda pendapat tentang manakah yang lebih utama bagi seorang musafir, berpuasa atau tidak berpuasa.
     Sebagian ulama menilai  bahwa  berpuasa lebih utama dan lebih baik bagi yang mampu, tetapi sebagian ulama yang lain berpendapat sebaiknya diserahkan kepada orangnya masing-masing, maka itulah yang lebih baik dan utama.
     Ketika Nabi dan para sahabat dalam perjalanan pada bulan Ramadan, sebagian sahabat ada yang berpuasa dan ada yang tidak berpuasa, dan ternyata Nabi tidak mencela siapa pun.
      Ketiga, kalimat “Fa 'iddatun min ayyamin ukhar” (sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari yang lain). Sebagian ulama menyisipkan kalimat, sehingga berbunyi,”Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia tidak berpuasa),  maka  (wajib  baginya  berpuasa) sebanyak hari-hari yang ditinggalkan itu pada hari yang lain.”
    Kalimat “Lalu  dia  tidak  berpuasa”  adalah sisipan yang dilakukan oleh sebagian ulama, tetapi ditolak oleh sebagian ulama yang lain, sehingga orang yang dalam perjalanan “wajib tidak berpuasa” dan “wajib menggantinya pada hari lain.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online.

446. PUASA

PUASA MENURUT AL-QURAN
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.

       Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang “Puasa menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya
      Kata “puasa” menurut KBBI V bisa diartikan “meniadakan makan, minum, dan sebagainya dengan sengaja (terutama bertalian dengan keagamaan)”, “salah satu rukun Islam berupa ibadah menahan diri atau berpantang makan, minum, dan segala yang membatalkannya mulai terbit fajar sampai terbenam matahari”, dan “saum”.
        Al-Quran menggunakan kata “shiam” sebanyak 8 kali, kesemuanya  dalam arti “puasa” menurut pengertian hukum syariat, hanay 1 kali Al-Quran memakai kata “shaum”,  tetapi  maknanya adalah “menahan diri untuk tidak bebicara”.
       Al-Quran surah Maryam, surah ke-19 ayat 26.

فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنًا ۖ فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَٰنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا
    
     “Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah,”Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang Manusia pun pada hari ini”.
       Kata “shaum” juga terdapat 1 kali dalam bentuk “perintah” berpuasa di bulan Ramadan, dan 1 kali dalam bentuk “kata kerja” yang menyatakan bahwa “berpuasa adalah baik untukmu”, serta 1 kali menunjuk  kepada “pelaku”  puasa  pria  dan  wanita,  yaitu “ash-shaimin wash-shaimat”.  
     Kata-kata yang beraneka bentuk itu, semuanya terambil dari akar kata yang sama yakni “sha-wa-ma”  yang dari segi bahasa maknanya berkisar pada “menahan”,  “berhenti”, dan “tidak bergerak”.
     Kuda yang berhenti berjalan dinamakan “faras shaim”, dan manusia yang  berupaya menahan diri dari suatu kegiatan apa pun disebut “shaim” (berpuasa).
     Pengertian kebahasaan ini, dipersempit  maknanya oleh hukum  syariat, sehingga “shiam” hanya digunakan untuk “menahan diri dari makan, minum, dan upaya  mengeluarkan sperma  sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari”.
   Kaum sufi, merujuk ke hakikat dan tujuan puasa, menambahkan kegiatan yang  harus dibatasi selama berpuasa yang mencakup pembatasan atas seluruh anggota tubuh, termasuk hati dan pikiran dari melakukan segala macam dosa. 
    Perbuatan “shiam” atau “shaum” bagi manusia, pada hakikatnya adalah menahan dan mengendalikan diri, sehingga “puasa” dipersamakan dengan sikap sabar dan  menahan diri. 
      Al-Quran surah Az-Zumar, surah ke-39 ayat 10.   

قُلْ يَا عِبَادِ الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ ۚ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَٰذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ ۗ وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ ۗ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
  
    “Katakanlah,”Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas”.
     Hadis qudsi yang menyatakan, “Puasa itu untuk-Ku, dan Aku yang memberinya ganjaran”, dipersamakan oleh para ulama dengan Al-Quran surah Az-Zumar, surah ke-39 ayat 10 yang menyatakan, “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas”. Yang dimaksudkan orang yang sabar adalah orang yang berpuasa.

Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online.

446. PUASA

PUASA MENURUT AL-QURAN
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.

       Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang “Puasa menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya
      Kata “puasa” menurut KBBI V bisa diartikan “meniadakan makan, minum, dan sebagainya dengan sengaja (terutama bertalian dengan keagamaan)”, “salah satu rukun Islam berupa ibadah menahan diri atau berpantang makan, minum, dan segala yang membatalkannya mulai terbit fajar sampai terbenam matahari”, dan “saum”.
        Al-Quran menggunakan kata “shiam” sebanyak 8 kali, kesemuanya  dalam arti “puasa” menurut pengertian hukum syariat, hanay 1 kali Al-Quran memakai kata “shaum”,  tetapi  maknanya adalah “menahan diri untuk tidak bebicara”.
       Al-Quran surah Maryam, surah ke-19 ayat 26.

فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنًا ۖ فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَٰنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا
    
     “Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah,”Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang Manusia pun pada hari ini”.
       Kata “shaum” juga terdapat 1 kali dalam bentuk “perintah” berpuasa di bulan Ramadan, dan 1 kali dalam bentuk “kata kerja” yang menyatakan bahwa “berpuasa adalah baik untukmu”, serta 1 kali menunjuk  kepada “pelaku”  puasa  pria  dan  wanita,  yaitu “ash-shaimin wash-shaimat”.  
     Kata-kata yang beraneka bentuk itu, semuanya terambil dari akar kata yang sama yakni “sha-wa-ma”  yang dari segi bahasa maknanya berkisar pada “menahan”,  “berhenti”, dan “tidak bergerak”.
     Kuda yang berhenti berjalan dinamakan “faras shaim”, dan manusia yang  berupaya menahan diri dari suatu kegiatan apa pun disebut “shaim” (berpuasa).
     Pengertian kebahasaan ini, dipersempit  maknanya oleh hukum  syariat, sehingga “shiam” hanya digunakan untuk “menahan diri dari makan, minum, dan upaya  mengeluarkan sperma  sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari”.
   Kaum sufi, merujuk ke hakikat dan tujuan puasa, menambahkan kegiatan yang  harus dibatasi selama berpuasa yang mencakup pembatasan atas seluruh anggota tubuh, termasuk hati dan pikiran dari melakukan segala macam dosa. 
    Perbuatan “shiam” atau “shaum” bagi manusia, pada hakikatnya adalah menahan dan mengendalikan diri, sehingga “puasa” dipersamakan dengan sikap sabar dan  menahan diri. 
      Al-Quran surah Az-Zumar, surah ke-39 ayat 10.   

قُلْ يَا عِبَادِ الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ ۚ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَٰذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ ۗ وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ ۗ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
  
    “Katakanlah,”Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas”.
     Hadis qudsi yang menyatakan, “Puasa itu untuk-Ku, dan Aku yang memberinya ganjaran”, dipersamakan oleh para ulama dengan Al-Quran surah Az-Zumar, surah ke-39 ayat 10 yang menyatakan, “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas”. Yang dimaksudkan orang yang sabar adalah orang yang berpuasa.

Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online.

446. PUASA

PUASA MENURUT AL-QURAN
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.

       Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang “Puasa menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya
      Kata “puasa” menurut KBBI V bisa diartikan “meniadakan makan, minum, dan sebagainya dengan sengaja (terutama bertalian dengan keagamaan)”, “salah satu rukun Islam berupa ibadah menahan diri atau berpantang makan, minum, dan segala yang membatalkannya mulai terbit fajar sampai terbenam matahari”, dan “saum”.
        Al-Quran menggunakan kata “shiam” sebanyak 8 kali, kesemuanya  dalam arti “puasa” menurut pengertian hukum syariat, hanay 1 kali Al-Quran memakai kata “shaum”,  tetapi  maknanya adalah “menahan diri untuk tidak bebicara”.
       Al-Quran surah Maryam, surah ke-19 ayat 26.

فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنًا ۖ فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَٰنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا
    
     “Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah,”Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang Manusia pun pada hari ini”.
       Kata “shaum” juga terdapat 1 kali dalam bentuk “perintah” berpuasa di bulan Ramadan, dan 1 kali dalam bentuk “kata kerja” yang menyatakan bahwa “berpuasa adalah baik untukmu”, serta 1 kali menunjuk  kepada “pelaku”  puasa  pria  dan  wanita,  yaitu “ash-shaimin wash-shaimat”.  
     Kata-kata yang beraneka bentuk itu, semuanya terambil dari akar kata yang sama yakni “sha-wa-ma”  yang dari segi bahasa maknanya berkisar pada “menahan”,  “berhenti”, dan “tidak bergerak”.
     Kuda yang berhenti berjalan dinamakan “faras shaim”, dan manusia yang  berupaya menahan diri dari suatu kegiatan apa pun disebut “shaim” (berpuasa).
     Pengertian kebahasaan ini, dipersempit  maknanya oleh hukum  syariat, sehingga “shiam” hanya digunakan untuk “menahan diri dari makan, minum, dan upaya  mengeluarkan sperma  sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari”.
   Kaum sufi, merujuk ke hakikat dan tujuan puasa, menambahkan kegiatan yang  harus dibatasi selama berpuasa yang mencakup pembatasan atas seluruh anggota tubuh, termasuk hati dan pikiran dari melakukan segala macam dosa. 
    Perbuatan “shiam” atau “shaum” bagi manusia, pada hakikatnya adalah menahan dan mengendalikan diri, sehingga “puasa” dipersamakan dengan sikap sabar dan  menahan diri. 
      Al-Quran surah Az-Zumar, surah ke-39 ayat 10.   

قُلْ يَا عِبَادِ الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ ۚ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَٰذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ ۗ وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ ۗ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
  
    “Katakanlah,”Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas”.
     Hadis qudsi yang menyatakan, “Puasa itu untuk-Ku, dan Aku yang memberinya ganjaran”, dipersamakan oleh para ulama dengan Al-Quran surah Az-Zumar, surah ke-39 ayat 10 yang menyatakan, “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas”. Yang dimaksudkan orang yang sabar adalah orang yang berpuasa.

Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online.

446. PUASA

PUASA MENURUT AL-QURAN
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.

       Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang “Puasa menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya
      Kata “puasa” menurut KBBI V bisa diartikan “meniadakan makan, minum, dan sebagainya dengan sengaja (terutama bertalian dengan keagamaan)”, “salah satu rukun Islam berupa ibadah menahan diri atau berpantang makan, minum, dan segala yang membatalkannya mulai terbit fajar sampai terbenam matahari”, dan “saum”.
        Al-Quran menggunakan kata “shiam” sebanyak 8 kali, kesemuanya  dalam arti “puasa” menurut pengertian hukum syariat, hanay 1 kali Al-Quran memakai kata “shaum”,  tetapi  maknanya adalah “menahan diri untuk tidak bebicara”.
       Al-Quran surah Maryam, surah ke-19 ayat 26.

فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنًا ۖ فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَٰنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا
    
     “Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah,”Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang Manusia pun pada hari ini”.
       Kata “shaum” juga terdapat 1 kali dalam bentuk “perintah” berpuasa di bulan Ramadan, dan 1 kali dalam bentuk “kata kerja” yang menyatakan bahwa “berpuasa adalah baik untukmu”, serta 1 kali menunjuk  kepada “pelaku”  puasa  pria  dan  wanita,  yaitu “ash-shaimin wash-shaimat”.  
     Kata-kata yang beraneka bentuk itu, semuanya terambil dari akar kata yang sama yakni “sha-wa-ma”  yang dari segi bahasa maknanya berkisar pada “menahan”,  “berhenti”, dan “tidak bergerak”.
     Kuda yang berhenti berjalan dinamakan “faras shaim”, dan manusia yang  berupaya menahan diri dari suatu kegiatan apa pun disebut “shaim” (berpuasa).
     Pengertian kebahasaan ini, dipersempit  maknanya oleh hukum  syariat, sehingga “shiam” hanya digunakan untuk “menahan diri dari makan, minum, dan upaya  mengeluarkan sperma  sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari”.
   Kaum sufi, merujuk ke hakikat dan tujuan puasa, menambahkan kegiatan yang  harus dibatasi selama berpuasa yang mencakup pembatasan atas seluruh anggota tubuh, termasuk hati dan pikiran dari melakukan segala macam dosa. 
    Perbuatan “shiam” atau “shaum” bagi manusia, pada hakikatnya adalah menahan dan mengendalikan diri, sehingga “puasa” dipersamakan dengan sikap sabar dan  menahan diri. 
      Al-Quran surah Az-Zumar, surah ke-39 ayat 10.   

قُلْ يَا عِبَادِ الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ ۚ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَٰذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ ۗ وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ ۗ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
  
    “Katakanlah,”Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas”.
     Hadis qudsi yang menyatakan, “Puasa itu untuk-Ku, dan Aku yang memberinya ganjaran”, dipersamakan oleh para ulama dengan Al-Quran surah Az-Zumar, surah ke-39 ayat 10 yang menyatakan, “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas”. Yang dimaksudkan orang yang sabar adalah orang yang berpuasa.

Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online.

446. PUASA

PUASA MENURUT AL-QURAN
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.

       Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang “Puasa menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya
      Kata “puasa” menurut KBBI V bisa diartikan “meniadakan makan, minum, dan sebagainya dengan sengaja (terutama bertalian dengan keagamaan)”, “salah satu rukun Islam berupa ibadah menahan diri atau berpantang makan, minum, dan segala yang membatalkannya mulai terbit fajar sampai terbenam matahari”, dan “saum”.
        Al-Quran menggunakan kata “shiam” sebanyak 8 kali, kesemuanya  dalam arti “puasa” menurut pengertian hukum syariat, hanay 1 kali Al-Quran memakai kata “shaum”,  tetapi  maknanya adalah “menahan diri untuk tidak bebicara”.
       Al-Quran surah Maryam, surah ke-19 ayat 26.

فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنًا ۖ فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَٰنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا
    
     “Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah,”Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang Manusia pun pada hari ini”.
       Kata “shaum” juga terdapat 1 kali dalam bentuk “perintah” berpuasa di bulan Ramadan, dan 1 kali dalam bentuk “kata kerja” yang menyatakan bahwa “berpuasa adalah baik untukmu”, serta 1 kali menunjuk  kepada “pelaku”  puasa  pria  dan  wanita,  yaitu “ash-shaimin wash-shaimat”.  
     Kata-kata yang beraneka bentuk itu, semuanya terambil dari akar kata yang sama yakni “sha-wa-ma”  yang dari segi bahasa maknanya berkisar pada “menahan”,  “berhenti”, dan “tidak bergerak”.
     Kuda yang berhenti berjalan dinamakan “faras shaim”, dan manusia yang  berupaya menahan diri dari suatu kegiatan apa pun disebut “shaim” (berpuasa).
     Pengertian kebahasaan ini, dipersempit  maknanya oleh hukum  syariat, sehingga “shiam” hanya digunakan untuk “menahan diri dari makan, minum, dan upaya  mengeluarkan sperma  sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari”.
   Kaum sufi, merujuk ke hakikat dan tujuan puasa, menambahkan kegiatan yang  harus dibatasi selama berpuasa yang mencakup pembatasan atas seluruh anggota tubuh, termasuk hati dan pikiran dari melakukan segala macam dosa. 
    Perbuatan “shiam” atau “shaum” bagi manusia, pada hakikatnya adalah menahan dan mengendalikan diri, sehingga “puasa” dipersamakan dengan sikap sabar dan  menahan diri. 
      Al-Quran surah Az-Zumar, surah ke-39 ayat 10.   

قُلْ يَا عِبَادِ الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ ۚ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَٰذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ ۗ وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ ۗ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
  
    “Katakanlah,”Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas”.
     Hadis qudsi yang menyatakan, “Puasa itu untuk-Ku, dan Aku yang memberinya ganjaran”, dipersamakan oleh para ulama dengan Al-Quran surah Az-Zumar, surah ke-39 ayat 10 yang menyatakan, “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas”. Yang dimaksudkan orang yang sabar adalah orang yang berpuasa.

Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online.

446. PUASA

PUASA MENURUT AL-QURAN
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.

       Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang “Puasa menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya
      Kata “puasa” menurut KBBI V bisa diartikan “meniadakan makan, minum, dan sebagainya dengan sengaja (terutama bertalian dengan keagamaan)”, “salah satu rukun Islam berupa ibadah menahan diri atau berpantang makan, minum, dan segala yang membatalkannya mulai terbit fajar sampai terbenam matahari”, dan “saum”.
        Al-Quran menggunakan kata “shiam” sebanyak 8 kali, kesemuanya  dalam arti “puasa” menurut pengertian hukum syariat, hanay 1 kali Al-Quran memakai kata “shaum”,  tetapi  maknanya adalah “menahan diri untuk tidak bebicara”.
       Al-Quran surah Maryam, surah ke-19 ayat 26.

فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنًا ۖ فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَٰنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا
    
     “Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah,”Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang Manusia pun pada hari ini”.
       Kata “shaum” juga terdapat 1 kali dalam bentuk “perintah” berpuasa di bulan Ramadan, dan 1 kali dalam bentuk “kata kerja” yang menyatakan bahwa “berpuasa adalah baik untukmu”, serta 1 kali menunjuk  kepada “pelaku”  puasa  pria  dan  wanita,  yaitu “ash-shaimin wash-shaimat”.  
     Kata-kata yang beraneka bentuk itu, semuanya terambil dari akar kata yang sama yakni “sha-wa-ma”  yang dari segi bahasa maknanya berkisar pada “menahan”,  “berhenti”, dan “tidak bergerak”.
     Kuda yang berhenti berjalan dinamakan “faras shaim”, dan manusia yang  berupaya menahan diri dari suatu kegiatan apa pun disebut “shaim” (berpuasa).
     Pengertian kebahasaan ini, dipersempit  maknanya oleh hukum  syariat, sehingga “shiam” hanya digunakan untuk “menahan diri dari makan, minum, dan upaya  mengeluarkan sperma  sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari”.
   Kaum sufi, merujuk ke hakikat dan tujuan puasa, menambahkan kegiatan yang  harus dibatasi selama berpuasa yang mencakup pembatasan atas seluruh anggota tubuh, termasuk hati dan pikiran dari melakukan segala macam dosa. 
    Perbuatan “shiam” atau “shaum” bagi manusia, pada hakikatnya adalah menahan dan mengendalikan diri, sehingga “puasa” dipersamakan dengan sikap sabar dan  menahan diri. 
      Al-Quran surah Az-Zumar, surah ke-39 ayat 10.   

قُلْ يَا عِبَادِ الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ ۚ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَٰذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ ۗ وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ ۗ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
  
    “Katakanlah,”Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas”.
     Hadis qudsi yang menyatakan, “Puasa itu untuk-Ku, dan Aku yang memberinya ganjaran”, dipersamakan oleh para ulama dengan Al-Quran surah Az-Zumar, surah ke-39 ayat 10 yang menyatakan, “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas”. Yang dimaksudkan orang yang sabar adalah orang yang berpuasa.

Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online.

446. PUASA

PUASA MENURUT AL-QURAN
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.

       Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang “Puasa menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya
      Kata “puasa” menurut KBBI V bisa diartikan “meniadakan makan, minum, dan sebagainya dengan sengaja (terutama bertalian dengan keagamaan)”, “salah satu rukun Islam berupa ibadah menahan diri atau berpantang makan, minum, dan segala yang membatalkannya mulai terbit fajar sampai terbenam matahari”, dan “saum”.
        Al-Quran menggunakan kata “shiam” sebanyak 8 kali, kesemuanya  dalam arti “puasa” menurut pengertian hukum syariat, hanay 1 kali Al-Quran memakai kata “shaum”,  tetapi  maknanya adalah “menahan diri untuk tidak bebicara”.
       Al-Quran surah Maryam, surah ke-19 ayat 26.

فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنًا ۖ فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَٰنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا
    
     “Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah,”Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang Manusia pun pada hari ini”.
       Kata “shaum” juga terdapat 1 kali dalam bentuk “perintah” berpuasa di bulan Ramadan, dan 1 kali dalam bentuk “kata kerja” yang menyatakan bahwa “berpuasa adalah baik untukmu”, serta 1 kali menunjuk  kepada “pelaku”  puasa  pria  dan  wanita,  yaitu “ash-shaimin wash-shaimat”.  
     Kata-kata yang beraneka bentuk itu, semuanya terambil dari akar kata yang sama yakni “sha-wa-ma”  yang dari segi bahasa maknanya berkisar pada “menahan”,  “berhenti”, dan “tidak bergerak”.
     Kuda yang berhenti berjalan dinamakan “faras shaim”, dan manusia yang  berupaya menahan diri dari suatu kegiatan apa pun disebut “shaim” (berpuasa).
     Pengertian kebahasaan ini, dipersempit  maknanya oleh hukum  syariat, sehingga “shiam” hanya digunakan untuk “menahan diri dari makan, minum, dan upaya  mengeluarkan sperma  sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari”.
   Kaum sufi, merujuk ke hakikat dan tujuan puasa, menambahkan kegiatan yang  harus dibatasi selama berpuasa yang mencakup pembatasan atas seluruh anggota tubuh, termasuk hati dan pikiran dari melakukan segala macam dosa. 
    Perbuatan “shiam” atau “shaum” bagi manusia, pada hakikatnya adalah menahan dan mengendalikan diri, sehingga “puasa” dipersamakan dengan sikap sabar dan  menahan diri. 
      Al-Quran surah Az-Zumar, surah ke-39 ayat 10.   

قُلْ يَا عِبَادِ الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ ۚ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَٰذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ ۗ وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ ۗ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
  
    “Katakanlah,”Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas”.
     Hadis qudsi yang menyatakan, “Puasa itu untuk-Ku, dan Aku yang memberinya ganjaran”, dipersamakan oleh para ulama dengan Al-Quran surah Az-Zumar, surah ke-39 ayat 10 yang menyatakan, “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas”. Yang dimaksudkan orang yang sabar adalah orang yang berpuasa.

Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online.

446. PUASA

PUASA MENURUT AL-QURAN
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.

       Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang “Puasa menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya
      Kata “puasa” menurut KBBI V bisa diartikan “meniadakan makan, minum, dan sebagainya dengan sengaja (terutama bertalian dengan keagamaan)”, “salah satu rukun Islam berupa ibadah menahan diri atau berpantang makan, minum, dan segala yang membatalkannya mulai terbit fajar sampai terbenam matahari”, dan “saum”.
        Al-Quran menggunakan kata “shiam” sebanyak 8 kali, kesemuanya  dalam arti “puasa” menurut pengertian hukum syariat, hanay 1 kali Al-Quran memakai kata “shaum”,  tetapi  maknanya adalah “menahan diri untuk tidak bebicara”.
       Al-Quran surah Maryam, surah ke-19 ayat 26.

فَكُلِي وَاشْرَبِي وَقَرِّي عَيْنًا ۖ فَإِمَّا تَرَيِنَّ مِنَ الْبَشَرِ أَحَدًا فَقُولِي إِنِّي نَذَرْتُ لِلرَّحْمَٰنِ صَوْمًا فَلَنْ أُكَلِّمَ الْيَوْمَ إِنْسِيًّا
    
     “Maka makan, minum dan bersenang hatilah kamu. Jika kamu melihat seorang manusia, maka katakanlah,”Sesungguhnya aku telah bernazar berpuasa untuk Tuhan Yang Maha Pemurah, maka aku tidak akan berbicara dengan seorang Manusia pun pada hari ini”.
       Kata “shaum” juga terdapat 1 kali dalam bentuk “perintah” berpuasa di bulan Ramadan, dan 1 kali dalam bentuk “kata kerja” yang menyatakan bahwa “berpuasa adalah baik untukmu”, serta 1 kali menunjuk  kepada “pelaku”  puasa  pria  dan  wanita,  yaitu “ash-shaimin wash-shaimat”.  
     Kata-kata yang beraneka bentuk itu, semuanya terambil dari akar kata yang sama yakni “sha-wa-ma”  yang dari segi bahasa maknanya berkisar pada “menahan”,  “berhenti”, dan “tidak bergerak”.
     Kuda yang berhenti berjalan dinamakan “faras shaim”, dan manusia yang  berupaya menahan diri dari suatu kegiatan apa pun disebut “shaim” (berpuasa).
     Pengertian kebahasaan ini, dipersempit  maknanya oleh hukum  syariat, sehingga “shiam” hanya digunakan untuk “menahan diri dari makan, minum, dan upaya  mengeluarkan sperma  sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari”.
   Kaum sufi, merujuk ke hakikat dan tujuan puasa, menambahkan kegiatan yang  harus dibatasi selama berpuasa yang mencakup pembatasan atas seluruh anggota tubuh, termasuk hati dan pikiran dari melakukan segala macam dosa. 
    Perbuatan “shiam” atau “shaum” bagi manusia, pada hakikatnya adalah menahan dan mengendalikan diri, sehingga “puasa” dipersamakan dengan sikap sabar dan  menahan diri. 
      Al-Quran surah Az-Zumar, surah ke-39 ayat 10.   

قُلْ يَا عِبَادِ الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ ۚ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَٰذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ ۗ وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ ۗ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ
  
    “Katakanlah,”Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, bertakwalah kepada Tuhanmu”. Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas”.
     Hadis qudsi yang menyatakan, “Puasa itu untuk-Ku, dan Aku yang memberinya ganjaran”, dipersamakan oleh para ulama dengan Al-Quran surah Az-Zumar, surah ke-39 ayat 10 yang menyatakan, “Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas”. Yang dimaksudkan orang yang sabar adalah orang yang berpuasa.

Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online.

445. MARHAB

MARHABAN YA RAMADAN
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.

       Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang “Marhaban Ya Ramadan menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya

      Kata “marhaban” menurut KBBI V bisa diartikan “kata seru (afektif) untuk menyambut atau menghormati kedatangan tamu (yang berarti selamat datang)”, dan “lagu puji-pujian”.
      Kata “ya” bisa diartikan “kata untuk menyatakan setuju (membenarkan dan sebagainya)”, “ia”, “kata untuk memastikan, menegaskan dalam bertanya (…bukan)”, “tah”, “gerangan”, “kata untuk memberi tekanan pada suatu pernyataan”, “(kata seru) hai”, “o”, “kata untuk meyahut panggilan”, dan “nama huruf ke-29 abjad Arab”.
      Kata “marhaban” sama dengan “ahlan wa sahlan” yang artinya “selamat datang”, meskipun keduanya bermakna “selamat datang”, tetapi penggunaannya berbeda, karena para ulama tidak menggunakan “ahlan wa sahlan”  untuk menyambut  datangnya  bulan Ramadan, tetapi memakai “Marhaban Ya Ramadan”.  
      Kata “ahlan”  terambil dari  kata  “ahl” yang artinya “keluarga”, sedangkan kata “sahlan”  berasal  dari kata “sahl” yang maknanya “mudah”, dan “dataran rendah”  karena mudah  dilalui,  tidak seperti “jalan mendaki”.
     “Ahlan  wa  sahlan” adalah ungkapan selamat datang,  yang  dicelahnya  terdapat  kalimat  tersirat yaitu, “Anda  berada  di tengah keluarga dan melangkahkan kaki di dataran rendah yang mudah”.
   Kata “marhaban” terambil dari kata “rahb” yang artinya “luas” dan “lapang”,  sehingga “marhaban” menggambarkan bahwa tamu disambut dan diterima dengan  dada yang lapang,  penuh  kegembiraan  serta dipersiapkan  baginya ruang yang luas untuk melakukan apa saja yang diinginkannya.
     Dari akar kata “marhaban”, terbentuk kata “rahbat” yang bermakna “ruangan yang luas untuk kendaraan, untuk memperoleh perbaikan atau kebutuhan pengendara guna melanjutkan perjalanan.”
     Marhaban Ya Ramadhan berarti “Selamat  datang Ramadan” mengandung arti bahwa kita menyambutnya dengan lapang dada, penuh kegembiraan, tidak dengan   menggerutu dan menganggap kehadirannya akan “mengganggu ketenangan” dan suasana nyaman kita.
  Marhaban Ya  Ramadan, kita ucapkan untuk menyambut bulan suci itu, karena kita mengharapkan agar jiwa raga kita diasah dan diasuh guna melanjutkan perjalanan menuju Allah. 
      Ada gunung yang tinggi yang harus ditelusuri guna menemui Allah, itulah nafsu, dan di gunung itu ada lereng yang curam, belukar yang lebat, banyak perampok yang mengancam, serta iblis yang merayu agar  tidak melanjutkan perjalanan, serta bertambah tinggi gunung yang didaki, maka bertambah hebat ancaman dan rayuan, serta semakin curam dan ganas pula perjalanan.
     Tetapi, apabila tekad tetap membaja, sebentar lagi akan tampak cahaya benderang, dan saat itu, akan tampak dengan jelas rambu-rambu jalan, tampak tempat-tempat indah untuk berteduh, serta telaga-telaga jernih untuk melepaskan dahaga.
    Dan apabila perjalanan dilanjutkan akan menemukan kendaraan “Ar-Rahman”  untuk mengantar sang musafir bertemu dengan kekasih, yaitu Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang. 
     Umat Islam perlu mempersiapkan bekal guna menelusuri jalan itu, yaitu benih-benih kebajikan yang harus kita tabur di lahan jiwa kita, dan tekad yang membaja untuk memerangi nafsu, agar kita mampu menghidupkan malam Ramadan dengan salat dan tadarus, serta siangnya dengan ibadah kepada Allah melalui pengabdian  untuk agama, bangsa dan negara. Semoga kita berhasil, amin.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online.

445. MARHAB

MARHABAN YA RAMADAN
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.

       Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang “Marhaban Ya Ramadan menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya

      Kata “marhaban” menurut KBBI V bisa diartikan “kata seru (afektif) untuk menyambut atau menghormati kedatangan tamu (yang berarti selamat datang)”, dan “lagu puji-pujian”.
      Kata “ya” bisa diartikan “kata untuk menyatakan setuju (membenarkan dan sebagainya)”, “ia”, “kata untuk memastikan, menegaskan dalam bertanya (…bukan)”, “tah”, “gerangan”, “kata untuk memberi tekanan pada suatu pernyataan”, “(kata seru) hai”, “o”, “kata untuk meyahut panggilan”, dan “nama huruf ke-29 abjad Arab”.
      Kata “marhaban” sama dengan “ahlan wa sahlan” yang artinya “selamat datang”, meskipun keduanya bermakna “selamat datang”, tetapi penggunaannya berbeda, karena para ulama tidak menggunakan “ahlan wa sahlan”  untuk menyambut  datangnya  bulan Ramadan, tetapi memakai “Marhaban Ya Ramadan”.  
      Kata “ahlan”  terambil dari  kata  “ahl” yang artinya “keluarga”, sedangkan kata “sahlan”  berasal  dari kata “sahl” yang maknanya “mudah”, dan “dataran rendah”  karena mudah  dilalui,  tidak seperti “jalan mendaki”.
     “Ahlan  wa  sahlan” adalah ungkapan selamat datang,  yang  dicelahnya  terdapat  kalimat  tersirat yaitu, “Anda  berada  di tengah keluarga dan melangkahkan kaki di dataran rendah yang mudah”.
   Kata “marhaban” terambil dari kata “rahb” yang artinya “luas” dan “lapang”,  sehingga “marhaban” menggambarkan bahwa tamu disambut dan diterima dengan  dada yang lapang,  penuh  kegembiraan  serta dipersiapkan  baginya ruang yang luas untuk melakukan apa saja yang diinginkannya.
     Dari akar kata “marhaban”, terbentuk kata “rahbat” yang bermakna “ruangan yang luas untuk kendaraan, untuk memperoleh perbaikan atau kebutuhan pengendara guna melanjutkan perjalanan.”
     Marhaban Ya Ramadhan berarti “Selamat  datang Ramadan” mengandung arti bahwa kita menyambutnya dengan lapang dada, penuh kegembiraan, tidak dengan   menggerutu dan menganggap kehadirannya akan “mengganggu ketenangan” dan suasana nyaman kita.
  Marhaban Ya  Ramadan, kita ucapkan untuk menyambut bulan suci itu, karena kita mengharapkan agar jiwa raga kita diasah dan diasuh guna melanjutkan perjalanan menuju Allah. 
      Ada gunung yang tinggi yang harus ditelusuri guna menemui Allah, itulah nafsu, dan di gunung itu ada lereng yang curam, belukar yang lebat, banyak perampok yang mengancam, serta iblis yang merayu agar  tidak melanjutkan perjalanan, serta bertambah tinggi gunung yang didaki, maka bertambah hebat ancaman dan rayuan, serta semakin curam dan ganas pula perjalanan.
     Tetapi, apabila tekad tetap membaja, sebentar lagi akan tampak cahaya benderang, dan saat itu, akan tampak dengan jelas rambu-rambu jalan, tampak tempat-tempat indah untuk berteduh, serta telaga-telaga jernih untuk melepaskan dahaga.
    Dan apabila perjalanan dilanjutkan akan menemukan kendaraan “Ar-Rahman”  untuk mengantar sang musafir bertemu dengan kekasih, yaitu Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang. 
     Umat Islam perlu mempersiapkan bekal guna menelusuri jalan itu, yaitu benih-benih kebajikan yang harus kita tabur di lahan jiwa kita, dan tekad yang membaja untuk memerangi nafsu, agar kita mampu menghidupkan malam Ramadan dengan salat dan tadarus, serta siangnya dengan ibadah kepada Allah melalui pengabdian  untuk agama, bangsa dan negara. Semoga kita berhasil, amin.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online.

445. MARHAB

MARHABAN YA RAMADAN
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.

       Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang “Marhaban Ya Ramadan menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya

      Kata “marhaban” menurut KBBI V bisa diartikan “kata seru (afektif) untuk menyambut atau menghormati kedatangan tamu (yang berarti selamat datang)”, dan “lagu puji-pujian”.
      Kata “ya” bisa diartikan “kata untuk menyatakan setuju (membenarkan dan sebagainya)”, “ia”, “kata untuk memastikan, menegaskan dalam bertanya (…bukan)”, “tah”, “gerangan”, “kata untuk memberi tekanan pada suatu pernyataan”, “(kata seru) hai”, “o”, “kata untuk meyahut panggilan”, dan “nama huruf ke-29 abjad Arab”.
      Kata “marhaban” sama dengan “ahlan wa sahlan” yang artinya “selamat datang”, meskipun keduanya bermakna “selamat datang”, tetapi penggunaannya berbeda, karena para ulama tidak menggunakan “ahlan wa sahlan”  untuk menyambut  datangnya  bulan Ramadan, tetapi memakai “Marhaban Ya Ramadan”.  
      Kata “ahlan”  terambil dari  kata  “ahl” yang artinya “keluarga”, sedangkan kata “sahlan”  berasal  dari kata “sahl” yang maknanya “mudah”, dan “dataran rendah”  karena mudah  dilalui,  tidak seperti “jalan mendaki”.
     “Ahlan  wa  sahlan” adalah ungkapan selamat datang,  yang  dicelahnya  terdapat  kalimat  tersirat yaitu, “Anda  berada  di tengah keluarga dan melangkahkan kaki di dataran rendah yang mudah”.
   Kata “marhaban” terambil dari kata “rahb” yang artinya “luas” dan “lapang”,  sehingga “marhaban” menggambarkan bahwa tamu disambut dan diterima dengan  dada yang lapang,  penuh  kegembiraan  serta dipersiapkan  baginya ruang yang luas untuk melakukan apa saja yang diinginkannya.
     Dari akar kata “marhaban”, terbentuk kata “rahbat” yang bermakna “ruangan yang luas untuk kendaraan, untuk memperoleh perbaikan atau kebutuhan pengendara guna melanjutkan perjalanan.”
     Marhaban Ya Ramadhan berarti “Selamat  datang Ramadan” mengandung arti bahwa kita menyambutnya dengan lapang dada, penuh kegembiraan, tidak dengan   menggerutu dan menganggap kehadirannya akan “mengganggu ketenangan” dan suasana nyaman kita.
  Marhaban Ya  Ramadan, kita ucapkan untuk menyambut bulan suci itu, karena kita mengharapkan agar jiwa raga kita diasah dan diasuh guna melanjutkan perjalanan menuju Allah. 
      Ada gunung yang tinggi yang harus ditelusuri guna menemui Allah, itulah nafsu, dan di gunung itu ada lereng yang curam, belukar yang lebat, banyak perampok yang mengancam, serta iblis yang merayu agar  tidak melanjutkan perjalanan, serta bertambah tinggi gunung yang didaki, maka bertambah hebat ancaman dan rayuan, serta semakin curam dan ganas pula perjalanan.
     Tetapi, apabila tekad tetap membaja, sebentar lagi akan tampak cahaya benderang, dan saat itu, akan tampak dengan jelas rambu-rambu jalan, tampak tempat-tempat indah untuk berteduh, serta telaga-telaga jernih untuk melepaskan dahaga.
    Dan apabila perjalanan dilanjutkan akan menemukan kendaraan “Ar-Rahman”  untuk mengantar sang musafir bertemu dengan kekasih, yaitu Allah Yang Maha Pengasih lagi Penyayang. 
     Umat Islam perlu mempersiapkan bekal guna menelusuri jalan itu, yaitu benih-benih kebajikan yang harus kita tabur di lahan jiwa kita, dan tekad yang membaja untuk memerangi nafsu, agar kita mampu menghidupkan malam Ramadan dengan salat dan tadarus, serta siangnya dengan ibadah kepada Allah melalui pengabdian  untuk agama, bangsa dan negara. Semoga kita berhasil, amin.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online.