Organisasi Profesi Guru

Presiden Jokowi memberi hormat kepada Guru-Guru se Indonesia.

Tema Gambar Slide 2

Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.

Tema Gambar Slide 3

Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.

Tuesday, December 5, 2017

544. IBU

IBU PENCETAK PEMIMPIN
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

     Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang seorang ibu adalah pencetak pemimpin dan pembina umat menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
      Kata “ibu” dalam bahasa Al-Quran dinamakan dengan “umm”, dan kata “umm” berasal dari akar kata yang sama dengan kata “imam” (pemimpin) dan “umat”, yang semuanya bermuara pada makna “yang dituju” atau “yang diteladani”, dalam arti pandangan harus tertuju pada “umat”, “pemimpin”, dan “ibu” untuk dicontoh.
      Kata “umm” (ibu) dapat bermakna melalui perhatian seorang ibu kepada anak-anaknya dan  keteladanannya, serta perhatian anak kepadanya, dapat menciptakan calon pemimpin dan membina umat.
     Sebaliknya, apabila seorang ibu yang melahirkan seorang anak, tetapi tidak berfungsi sebagai “umm”, maka “umat” akan hancur dan “imam” (pemimpin) yang dapat dicontoh dan diteladani tidak akan muncul.
      Al-Quran menempatkan kewajiban berbuat baik kepada orang tua, terutama  kepada ibu, pada urutan kedua setelah kewajiban taat kepada Allah, bukan hanya  karena ibu memikul beban yang berat dalam mengandung, melahirkan, dan menyusukan anak, tetapi juga karena ibu dibebani tugas menciptakan calon pemimpin umat.
     Fungsi dan peranan inilah yang menjadikan seorang ibu sebagai “umm” (ibu), dan agar tugas dan fungsi tersebut berhasil, maka Allah menganugerahkan kepada kaum ibu struktur biologis dan ciri psikologis yang berbeda dengan kaum bapak.
    Peranan ibu sebagai pendidik generasi berikutnya adalah tugas yang berat, dan peranan ibu tidak dapat diremehkan atau dikesampingkan, tetapi bukan berarti bahwa ibu harus terus-menerus berada di rumah dan tidak mengikuti perkembangan dalam masyarakatnya.
     Para ahli memperingatkan,”Kaum ibu janganlah meniru kaum bapak, karena apabila demikian akan lahir jenis manusia ketiga, yaitu kaum wanita yang kebapakan, bukan kaum wanita yang keibuan, karena kaum bapak dan kaum ibu mempunyai struktur biologis dan psikologis yang berbeda”.
      Para ulama mengingatkan bahwa, “Sangat baik dan terpuji apabila seorang ibu atau istri melayani keperluan suaminya, membersihkan dan mengatur rumah tempat tinggalnya, yang sebenarnya bukanlah kewajiban seorang istri,  karena tugas suami adalah menyiapkan makanan yang telah tersaji dan pakaian yang siap digunakan untuk istri dan anak-anaknya”.
      Para ulama menekankan pentingnya kewajiban seorang ibu dalam mendidik semua anaknya, supaya menjadi manusia yang bertakwa, pandai, dan berbudi luhur, serta bermanfaat buat sesama manusia dan makhluk lainnya..
.
     Oleh karena itu, seorang anak yang baik, berkewajiban menghormati dan mengingat semua jasa orang tuanya dan terutama ibunya, yang telah memberikan ASI yang pernah kita minum, setetes keringat yang pernah dicurahkannya, seuntai kalimat bimbingan yang pernah disampaikannya, yang semuanya itu tidak mungkin dapat  terbalaskan, sehingga kita selalu berdoa untuk kebaikan orang tua kita.
      Al-Quran surah Al-Isra, surah ke-17 ayat 23.

۞ وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

      “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”.
      Al-Quran surah Al-Isra, surah ke-17 ayat 24.

وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا

      “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah,”Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.

Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

544. IBU

IBU PENCETAK PEMIMPIN
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

     Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang seorang ibu adalah pencetak pemimpin dan pembina umat menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
      Kata “ibu” dalam bahasa Al-Quran dinamakan dengan “umm”, dan kata “umm” berasal dari akar kata yang sama dengan kata “imam” (pemimpin) dan “umat”, yang semuanya bermuara pada makna “yang dituju” atau “yang diteladani”, dalam arti pandangan harus tertuju pada “umat”, “pemimpin”, dan “ibu” untuk dicontoh.
      Kata “umm” (ibu) dapat bermakna melalui perhatian seorang ibu kepada anak-anaknya dan  keteladanannya, serta perhatian anak kepadanya, dapat menciptakan calon pemimpin dan membina umat.
     Sebaliknya, apabila seorang ibu yang melahirkan seorang anak, tetapi tidak berfungsi sebagai “umm”, maka “umat” akan hancur dan “imam” (pemimpin) yang dapat dicontoh dan diteladani tidak akan muncul.
      Al-Quran menempatkan kewajiban berbuat baik kepada orang tua, terutama  kepada ibu, pada urutan kedua setelah kewajiban taat kepada Allah, bukan hanya  karena ibu memikul beban yang berat dalam mengandung, melahirkan, dan menyusukan anak, tetapi juga karena ibu dibebani tugas menciptakan calon pemimpin umat.
     Fungsi dan peranan inilah yang menjadikan seorang ibu sebagai “umm” (ibu), dan agar tugas dan fungsi tersebut berhasil, maka Allah menganugerahkan kepada kaum ibu struktur biologis dan ciri psikologis yang berbeda dengan kaum bapak.
    Peranan ibu sebagai pendidik generasi berikutnya adalah tugas yang berat, dan peranan ibu tidak dapat diremehkan atau dikesampingkan, tetapi bukan berarti bahwa ibu harus terus-menerus berada di rumah dan tidak mengikuti perkembangan dalam masyarakatnya.
     Para ahli memperingatkan,”Kaum ibu janganlah meniru kaum bapak, karena apabila demikian akan lahir jenis manusia ketiga, yaitu kaum wanita yang kebapakan, bukan kaum wanita yang keibuan, karena kaum bapak dan kaum ibu mempunyai struktur biologis dan psikologis yang berbeda”.
      Para ulama mengingatkan bahwa, “Sangat baik dan terpuji apabila seorang ibu atau istri melayani keperluan suaminya, membersihkan dan mengatur rumah tempat tinggalnya, yang sebenarnya bukanlah kewajiban seorang istri,  karena tugas suami adalah menyiapkan makanan yang telah tersaji dan pakaian yang siap digunakan untuk istri dan anak-anaknya”.
      Para ulama menekankan pentingnya kewajiban seorang ibu dalam mendidik semua anaknya, supaya menjadi manusia yang bertakwa, pandai, dan berbudi luhur, serta bermanfaat buat sesama manusia dan makhluk lainnya..
.
     Oleh karena itu, seorang anak yang baik, berkewajiban menghormati dan mengingat semua jasa orang tuanya dan terutama ibunya, yang telah memberikan ASI yang pernah kita minum, setetes keringat yang pernah dicurahkannya, seuntai kalimat bimbingan yang pernah disampaikannya, yang semuanya itu tidak mungkin dapat  terbalaskan, sehingga kita selalu berdoa untuk kebaikan orang tua kita.
      Al-Quran surah Al-Isra, surah ke-17 ayat 23.

۞ وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

      “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”.
      Al-Quran surah Al-Isra, surah ke-17 ayat 24.

وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا

      “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah,”Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.

Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

544. IBU

IBU PENCETAK PEMIMPIN
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

     Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang seorang ibu adalah pencetak pemimpin dan pembina umat menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
      Kata “ibu” dalam bahasa Al-Quran dinamakan dengan “umm”, dan kata “umm” berasal dari akar kata yang sama dengan kata “imam” (pemimpin) dan “umat”, yang semuanya bermuara pada makna “yang dituju” atau “yang diteladani”, dalam arti pandangan harus tertuju pada “umat”, “pemimpin”, dan “ibu” untuk dicontoh.
      Kata “umm” (ibu) dapat bermakna melalui perhatian seorang ibu kepada anak-anaknya dan  keteladanannya, serta perhatian anak kepadanya, dapat menciptakan calon pemimpin dan membina umat.
     Sebaliknya, apabila seorang ibu yang melahirkan seorang anak, tetapi tidak berfungsi sebagai “umm”, maka “umat” akan hancur dan “imam” (pemimpin) yang dapat dicontoh dan diteladani tidak akan muncul.
      Al-Quran menempatkan kewajiban berbuat baik kepada orang tua, terutama  kepada ibu, pada urutan kedua setelah kewajiban taat kepada Allah, bukan hanya  karena ibu memikul beban yang berat dalam mengandung, melahirkan, dan menyusukan anak, tetapi juga karena ibu dibebani tugas menciptakan calon pemimpin umat.
     Fungsi dan peranan inilah yang menjadikan seorang ibu sebagai “umm” (ibu), dan agar tugas dan fungsi tersebut berhasil, maka Allah menganugerahkan kepada kaum ibu struktur biologis dan ciri psikologis yang berbeda dengan kaum bapak.
    Peranan ibu sebagai pendidik generasi berikutnya adalah tugas yang berat, dan peranan ibu tidak dapat diremehkan atau dikesampingkan, tetapi bukan berarti bahwa ibu harus terus-menerus berada di rumah dan tidak mengikuti perkembangan dalam masyarakatnya.
     Para ahli memperingatkan,”Kaum ibu janganlah meniru kaum bapak, karena apabila demikian akan lahir jenis manusia ketiga, yaitu kaum wanita yang kebapakan, bukan kaum wanita yang keibuan, karena kaum bapak dan kaum ibu mempunyai struktur biologis dan psikologis yang berbeda”.
      Para ulama mengingatkan bahwa, “Sangat baik dan terpuji apabila seorang ibu atau istri melayani keperluan suaminya, membersihkan dan mengatur rumah tempat tinggalnya, yang sebenarnya bukanlah kewajiban seorang istri,  karena tugas suami adalah menyiapkan makanan yang telah tersaji dan pakaian yang siap digunakan untuk istri dan anak-anaknya”.
      Para ulama menekankan pentingnya kewajiban seorang ibu dalam mendidik semua anaknya, supaya menjadi manusia yang bertakwa, pandai, dan berbudi luhur, serta bermanfaat buat sesama manusia dan makhluk lainnya..
.
     Oleh karena itu, seorang anak yang baik, berkewajiban menghormati dan mengingat semua jasa orang tuanya dan terutama ibunya, yang telah memberikan ASI yang pernah kita minum, setetes keringat yang pernah dicurahkannya, seuntai kalimat bimbingan yang pernah disampaikannya, yang semuanya itu tidak mungkin dapat  terbalaskan, sehingga kita selalu berdoa untuk kebaikan orang tua kita.
      Al-Quran surah Al-Isra, surah ke-17 ayat 23.

۞ وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

      “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”.
      Al-Quran surah Al-Isra, surah ke-17 ayat 24.

وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا

      “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah,”Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.

Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

544. IBU

IBU PENCETAK PEMIMPIN
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

     Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang seorang ibu adalah pencetak pemimpin dan pembina umat menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
      Kata “ibu” dalam bahasa Al-Quran dinamakan dengan “umm”, dan kata “umm” berasal dari akar kata yang sama dengan kata “imam” (pemimpin) dan “umat”, yang semuanya bermuara pada makna “yang dituju” atau “yang diteladani”, dalam arti pandangan harus tertuju pada “umat”, “pemimpin”, dan “ibu” untuk dicontoh.
      Kata “umm” (ibu) dapat bermakna melalui perhatian seorang ibu kepada anak-anaknya dan  keteladanannya, serta perhatian anak kepadanya, dapat menciptakan calon pemimpin dan membina umat.
     Sebaliknya, apabila seorang ibu yang melahirkan seorang anak, tetapi tidak berfungsi sebagai “umm”, maka “umat” akan hancur dan “imam” (pemimpin) yang dapat dicontoh dan diteladani tidak akan muncul.
      Al-Quran menempatkan kewajiban berbuat baik kepada orang tua, terutama  kepada ibu, pada urutan kedua setelah kewajiban taat kepada Allah, bukan hanya  karena ibu memikul beban yang berat dalam mengandung, melahirkan, dan menyusukan anak, tetapi juga karena ibu dibebani tugas menciptakan calon pemimpin umat.
     Fungsi dan peranan inilah yang menjadikan seorang ibu sebagai “umm” (ibu), dan agar tugas dan fungsi tersebut berhasil, maka Allah menganugerahkan kepada kaum ibu struktur biologis dan ciri psikologis yang berbeda dengan kaum bapak.
    Peranan ibu sebagai pendidik generasi berikutnya adalah tugas yang berat, dan peranan ibu tidak dapat diremehkan atau dikesampingkan, tetapi bukan berarti bahwa ibu harus terus-menerus berada di rumah dan tidak mengikuti perkembangan dalam masyarakatnya.
     Para ahli memperingatkan,”Kaum ibu janganlah meniru kaum bapak, karena apabila demikian akan lahir jenis manusia ketiga, yaitu kaum wanita yang kebapakan, bukan kaum wanita yang keibuan, karena kaum bapak dan kaum ibu mempunyai struktur biologis dan psikologis yang berbeda”.
      Para ulama mengingatkan bahwa, “Sangat baik dan terpuji apabila seorang ibu atau istri melayani keperluan suaminya, membersihkan dan mengatur rumah tempat tinggalnya, yang sebenarnya bukanlah kewajiban seorang istri,  karena tugas suami adalah menyiapkan makanan yang telah tersaji dan pakaian yang siap digunakan untuk istri dan anak-anaknya”.
      Para ulama menekankan pentingnya kewajiban seorang ibu dalam mendidik semua anaknya, supaya menjadi manusia yang bertakwa, pandai, dan berbudi luhur, serta bermanfaat buat sesama manusia dan makhluk lainnya..
.
     Oleh karena itu, seorang anak yang baik, berkewajiban menghormati dan mengingat semua jasa orang tuanya dan terutama ibunya, yang telah memberikan ASI yang pernah kita minum, setetes keringat yang pernah dicurahkannya, seuntai kalimat bimbingan yang pernah disampaikannya, yang semuanya itu tidak mungkin dapat  terbalaskan, sehingga kita selalu berdoa untuk kebaikan orang tua kita.
      Al-Quran surah Al-Isra, surah ke-17 ayat 23.

۞ وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

      “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”.
      Al-Quran surah Al-Isra, surah ke-17 ayat 24.

وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا

      “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah,”Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.

Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

544. IBU

IBU PENCETAK PEMIMPIN
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

     Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang seorang ibu adalah pencetak pemimpin dan pembina umat menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
      Kata “ibu” dalam bahasa Al-Quran dinamakan dengan “umm”, dan kata “umm” berasal dari akar kata yang sama dengan kata “imam” (pemimpin) dan “umat”, yang semuanya bermuara pada makna “yang dituju” atau “yang diteladani”, dalam arti pandangan harus tertuju pada “umat”, “pemimpin”, dan “ibu” untuk dicontoh.
      Kata “umm” (ibu) dapat bermakna melalui perhatian seorang ibu kepada anak-anaknya dan  keteladanannya, serta perhatian anak kepadanya, dapat menciptakan calon pemimpin dan membina umat.
     Sebaliknya, apabila seorang ibu yang melahirkan seorang anak, tetapi tidak berfungsi sebagai “umm”, maka “umat” akan hancur dan “imam” (pemimpin) yang dapat dicontoh dan diteladani tidak akan muncul.
      Al-Quran menempatkan kewajiban berbuat baik kepada orang tua, terutama  kepada ibu, pada urutan kedua setelah kewajiban taat kepada Allah, bukan hanya  karena ibu memikul beban yang berat dalam mengandung, melahirkan, dan menyusukan anak, tetapi juga karena ibu dibebani tugas menciptakan calon pemimpin umat.
     Fungsi dan peranan inilah yang menjadikan seorang ibu sebagai “umm” (ibu), dan agar tugas dan fungsi tersebut berhasil, maka Allah menganugerahkan kepada kaum ibu struktur biologis dan ciri psikologis yang berbeda dengan kaum bapak.
    Peranan ibu sebagai pendidik generasi berikutnya adalah tugas yang berat, dan peranan ibu tidak dapat diremehkan atau dikesampingkan, tetapi bukan berarti bahwa ibu harus terus-menerus berada di rumah dan tidak mengikuti perkembangan dalam masyarakatnya.
     Para ahli memperingatkan,”Kaum ibu janganlah meniru kaum bapak, karena apabila demikian akan lahir jenis manusia ketiga, yaitu kaum wanita yang kebapakan, bukan kaum wanita yang keibuan, karena kaum bapak dan kaum ibu mempunyai struktur biologis dan psikologis yang berbeda”.
      Para ulama mengingatkan bahwa, “Sangat baik dan terpuji apabila seorang ibu atau istri melayani keperluan suaminya, membersihkan dan mengatur rumah tempat tinggalnya, yang sebenarnya bukanlah kewajiban seorang istri,  karena tugas suami adalah menyiapkan makanan yang telah tersaji dan pakaian yang siap digunakan untuk istri dan anak-anaknya”.
      Para ulama menekankan pentingnya kewajiban seorang ibu dalam mendidik semua anaknya, supaya menjadi manusia yang bertakwa, pandai, dan berbudi luhur, serta bermanfaat buat sesama manusia dan makhluk lainnya..
.
     Oleh karena itu, seorang anak yang baik, berkewajiban menghormati dan mengingat semua jasa orang tuanya dan terutama ibunya, yang telah memberikan ASI yang pernah kita minum, setetes keringat yang pernah dicurahkannya, seuntai kalimat bimbingan yang pernah disampaikannya, yang semuanya itu tidak mungkin dapat  terbalaskan, sehingga kita selalu berdoa untuk kebaikan orang tua kita.
      Al-Quran surah Al-Isra, surah ke-17 ayat 23.

۞ وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

      “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”.
      Al-Quran surah Al-Isra, surah ke-17 ayat 24.

وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا

      “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah,”Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.

Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

544. IBU

IBU PENCETAK PEMIMPIN
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

     Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang seorang ibu adalah pencetak pemimpin dan pembina umat menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
      Kata “ibu” dalam bahasa Al-Quran dinamakan dengan “umm”, dan kata “umm” berasal dari akar kata yang sama dengan kata “imam” (pemimpin) dan “umat”, yang semuanya bermuara pada makna “yang dituju” atau “yang diteladani”, dalam arti pandangan harus tertuju pada “umat”, “pemimpin”, dan “ibu” untuk dicontoh.
      Kata “umm” (ibu) dapat bermakna melalui perhatian seorang ibu kepada anak-anaknya dan  keteladanannya, serta perhatian anak kepadanya, dapat menciptakan calon pemimpin dan membina umat.
     Sebaliknya, apabila seorang ibu yang melahirkan seorang anak, tetapi tidak berfungsi sebagai “umm”, maka “umat” akan hancur dan “imam” (pemimpin) yang dapat dicontoh dan diteladani tidak akan muncul.
      Al-Quran menempatkan kewajiban berbuat baik kepada orang tua, terutama  kepada ibu, pada urutan kedua setelah kewajiban taat kepada Allah, bukan hanya  karena ibu memikul beban yang berat dalam mengandung, melahirkan, dan menyusukan anak, tetapi juga karena ibu dibebani tugas menciptakan calon pemimpin umat.
     Fungsi dan peranan inilah yang menjadikan seorang ibu sebagai “umm” (ibu), dan agar tugas dan fungsi tersebut berhasil, maka Allah menganugerahkan kepada kaum ibu struktur biologis dan ciri psikologis yang berbeda dengan kaum bapak.
    Peranan ibu sebagai pendidik generasi berikutnya adalah tugas yang berat, dan peranan ibu tidak dapat diremehkan atau dikesampingkan, tetapi bukan berarti bahwa ibu harus terus-menerus berada di rumah dan tidak mengikuti perkembangan dalam masyarakatnya.
     Para ahli memperingatkan,”Kaum ibu janganlah meniru kaum bapak, karena apabila demikian akan lahir jenis manusia ketiga, yaitu kaum wanita yang kebapakan, bukan kaum wanita yang keibuan, karena kaum bapak dan kaum ibu mempunyai struktur biologis dan psikologis yang berbeda”.
      Para ulama mengingatkan bahwa, “Sangat baik dan terpuji apabila seorang ibu atau istri melayani keperluan suaminya, membersihkan dan mengatur rumah tempat tinggalnya, yang sebenarnya bukanlah kewajiban seorang istri,  karena tugas suami adalah menyiapkan makanan yang telah tersaji dan pakaian yang siap digunakan untuk istri dan anak-anaknya”.
      Para ulama menekankan pentingnya kewajiban seorang ibu dalam mendidik semua anaknya, supaya menjadi manusia yang bertakwa, pandai, dan berbudi luhur, serta bermanfaat buat sesama manusia dan makhluk lainnya..
.
     Oleh karena itu, seorang anak yang baik, berkewajiban menghormati dan mengingat semua jasa orang tuanya dan terutama ibunya, yang telah memberikan ASI yang pernah kita minum, setetes keringat yang pernah dicurahkannya, seuntai kalimat bimbingan yang pernah disampaikannya, yang semuanya itu tidak mungkin dapat  terbalaskan, sehingga kita selalu berdoa untuk kebaikan orang tua kita.
      Al-Quran surah Al-Isra, surah ke-17 ayat 23.

۞ وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

      “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”.
      Al-Quran surah Al-Isra, surah ke-17 ayat 24.

وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا

      “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah,”Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.

Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

544. IBU

IBU PENCETAK PEMIMPIN
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

     Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang seorang ibu adalah pencetak pemimpin dan pembina umat menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
      Kata “ibu” dalam bahasa Al-Quran dinamakan dengan “umm”, dan kata “umm” berasal dari akar kata yang sama dengan kata “imam” (pemimpin) dan “umat”, yang semuanya bermuara pada makna “yang dituju” atau “yang diteladani”, dalam arti pandangan harus tertuju pada “umat”, “pemimpin”, dan “ibu” untuk dicontoh.
      Kata “umm” (ibu) dapat bermakna melalui perhatian seorang ibu kepada anak-anaknya dan  keteladanannya, serta perhatian anak kepadanya, dapat menciptakan calon pemimpin dan membina umat.
     Sebaliknya, apabila seorang ibu yang melahirkan seorang anak, tetapi tidak berfungsi sebagai “umm”, maka “umat” akan hancur dan “imam” (pemimpin) yang dapat dicontoh dan diteladani tidak akan muncul.
      Al-Quran menempatkan kewajiban berbuat baik kepada orang tua, terutama  kepada ibu, pada urutan kedua setelah kewajiban taat kepada Allah, bukan hanya  karena ibu memikul beban yang berat dalam mengandung, melahirkan, dan menyusukan anak, tetapi juga karena ibu dibebani tugas menciptakan calon pemimpin umat.
     Fungsi dan peranan inilah yang menjadikan seorang ibu sebagai “umm” (ibu), dan agar tugas dan fungsi tersebut berhasil, maka Allah menganugerahkan kepada kaum ibu struktur biologis dan ciri psikologis yang berbeda dengan kaum bapak.
    Peranan ibu sebagai pendidik generasi berikutnya adalah tugas yang berat, dan peranan ibu tidak dapat diremehkan atau dikesampingkan, tetapi bukan berarti bahwa ibu harus terus-menerus berada di rumah dan tidak mengikuti perkembangan dalam masyarakatnya.
     Para ahli memperingatkan,”Kaum ibu janganlah meniru kaum bapak, karena apabila demikian akan lahir jenis manusia ketiga, yaitu kaum wanita yang kebapakan, bukan kaum wanita yang keibuan, karena kaum bapak dan kaum ibu mempunyai struktur biologis dan psikologis yang berbeda”.
      Para ulama mengingatkan bahwa, “Sangat baik dan terpuji apabila seorang ibu atau istri melayani keperluan suaminya, membersihkan dan mengatur rumah tempat tinggalnya, yang sebenarnya bukanlah kewajiban seorang istri,  karena tugas suami adalah menyiapkan makanan yang telah tersaji dan pakaian yang siap digunakan untuk istri dan anak-anaknya”.
      Para ulama menekankan pentingnya kewajiban seorang ibu dalam mendidik semua anaknya, supaya menjadi manusia yang bertakwa, pandai, dan berbudi luhur, serta bermanfaat buat sesama manusia dan makhluk lainnya..
.
     Oleh karena itu, seorang anak yang baik, berkewajiban menghormati dan mengingat semua jasa orang tuanya dan terutama ibunya, yang telah memberikan ASI yang pernah kita minum, setetes keringat yang pernah dicurahkannya, seuntai kalimat bimbingan yang pernah disampaikannya, yang semuanya itu tidak mungkin dapat  terbalaskan, sehingga kita selalu berdoa untuk kebaikan orang tua kita.
      Al-Quran surah Al-Isra, surah ke-17 ayat 23.

۞ وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

      “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”.
      Al-Quran surah Al-Isra, surah ke-17 ayat 24.

وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا

      “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah,”Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.

Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

544. IBU

IBU PENCETAK PEMIMPIN
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

     Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang seorang ibu adalah pencetak pemimpin dan pembina umat menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
      Kata “ibu” dalam bahasa Al-Quran dinamakan dengan “umm”, dan kata “umm” berasal dari akar kata yang sama dengan kata “imam” (pemimpin) dan “umat”, yang semuanya bermuara pada makna “yang dituju” atau “yang diteladani”, dalam arti pandangan harus tertuju pada “umat”, “pemimpin”, dan “ibu” untuk dicontoh.
      Kata “umm” (ibu) dapat bermakna melalui perhatian seorang ibu kepada anak-anaknya dan  keteladanannya, serta perhatian anak kepadanya, dapat menciptakan calon pemimpin dan membina umat.
     Sebaliknya, apabila seorang ibu yang melahirkan seorang anak, tetapi tidak berfungsi sebagai “umm”, maka “umat” akan hancur dan “imam” (pemimpin) yang dapat dicontoh dan diteladani tidak akan muncul.
      Al-Quran menempatkan kewajiban berbuat baik kepada orang tua, terutama  kepada ibu, pada urutan kedua setelah kewajiban taat kepada Allah, bukan hanya  karena ibu memikul beban yang berat dalam mengandung, melahirkan, dan menyusukan anak, tetapi juga karena ibu dibebani tugas menciptakan calon pemimpin umat.
     Fungsi dan peranan inilah yang menjadikan seorang ibu sebagai “umm” (ibu), dan agar tugas dan fungsi tersebut berhasil, maka Allah menganugerahkan kepada kaum ibu struktur biologis dan ciri psikologis yang berbeda dengan kaum bapak.
    Peranan ibu sebagai pendidik generasi berikutnya adalah tugas yang berat, dan peranan ibu tidak dapat diremehkan atau dikesampingkan, tetapi bukan berarti bahwa ibu harus terus-menerus berada di rumah dan tidak mengikuti perkembangan dalam masyarakatnya.
     Para ahli memperingatkan,”Kaum ibu janganlah meniru kaum bapak, karena apabila demikian akan lahir jenis manusia ketiga, yaitu kaum wanita yang kebapakan, bukan kaum wanita yang keibuan, karena kaum bapak dan kaum ibu mempunyai struktur biologis dan psikologis yang berbeda”.
      Para ulama mengingatkan bahwa, “Sangat baik dan terpuji apabila seorang ibu atau istri melayani keperluan suaminya, membersihkan dan mengatur rumah tempat tinggalnya, yang sebenarnya bukanlah kewajiban seorang istri,  karena tugas suami adalah menyiapkan makanan yang telah tersaji dan pakaian yang siap digunakan untuk istri dan anak-anaknya”.
      Para ulama menekankan pentingnya kewajiban seorang ibu dalam mendidik semua anaknya, supaya menjadi manusia yang bertakwa, pandai, dan berbudi luhur, serta bermanfaat buat sesama manusia dan makhluk lainnya..
.
     Oleh karena itu, seorang anak yang baik, berkewajiban menghormati dan mengingat semua jasa orang tuanya dan terutama ibunya, yang telah memberikan ASI yang pernah kita minum, setetes keringat yang pernah dicurahkannya, seuntai kalimat bimbingan yang pernah disampaikannya, yang semuanya itu tidak mungkin dapat  terbalaskan, sehingga kita selalu berdoa untuk kebaikan orang tua kita.
      Al-Quran surah Al-Isra, surah ke-17 ayat 23.

۞ وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

      “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”.
      Al-Quran surah Al-Isra, surah ke-17 ayat 24.

وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا

      “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah,”Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.

Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

544. IBU

IBU PENCETAK PEMIMPIN
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

     Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang seorang ibu adalah pencetak pemimpin dan pembina umat menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
      Kata “ibu” dalam bahasa Al-Quran dinamakan dengan “umm”, dan kata “umm” berasal dari akar kata yang sama dengan kata “imam” (pemimpin) dan “umat”, yang semuanya bermuara pada makna “yang dituju” atau “yang diteladani”, dalam arti pandangan harus tertuju pada “umat”, “pemimpin”, dan “ibu” untuk dicontoh.
      Kata “umm” (ibu) dapat bermakna melalui perhatian seorang ibu kepada anak-anaknya dan  keteladanannya, serta perhatian anak kepadanya, dapat menciptakan calon pemimpin dan membina umat.
     Sebaliknya, apabila seorang ibu yang melahirkan seorang anak, tetapi tidak berfungsi sebagai “umm”, maka “umat” akan hancur dan “imam” (pemimpin) yang dapat dicontoh dan diteladani tidak akan muncul.
      Al-Quran menempatkan kewajiban berbuat baik kepada orang tua, terutama  kepada ibu, pada urutan kedua setelah kewajiban taat kepada Allah, bukan hanya  karena ibu memikul beban yang berat dalam mengandung, melahirkan, dan menyusukan anak, tetapi juga karena ibu dibebani tugas menciptakan calon pemimpin umat.
     Fungsi dan peranan inilah yang menjadikan seorang ibu sebagai “umm” (ibu), dan agar tugas dan fungsi tersebut berhasil, maka Allah menganugerahkan kepada kaum ibu struktur biologis dan ciri psikologis yang berbeda dengan kaum bapak.
    Peranan ibu sebagai pendidik generasi berikutnya adalah tugas yang berat, dan peranan ibu tidak dapat diremehkan atau dikesampingkan, tetapi bukan berarti bahwa ibu harus terus-menerus berada di rumah dan tidak mengikuti perkembangan dalam masyarakatnya.
     Para ahli memperingatkan,”Kaum ibu janganlah meniru kaum bapak, karena apabila demikian akan lahir jenis manusia ketiga, yaitu kaum wanita yang kebapakan, bukan kaum wanita yang keibuan, karena kaum bapak dan kaum ibu mempunyai struktur biologis dan psikologis yang berbeda”.
      Para ulama mengingatkan bahwa, “Sangat baik dan terpuji apabila seorang ibu atau istri melayani keperluan suaminya, membersihkan dan mengatur rumah tempat tinggalnya, yang sebenarnya bukanlah kewajiban seorang istri,  karena tugas suami adalah menyiapkan makanan yang telah tersaji dan pakaian yang siap digunakan untuk istri dan anak-anaknya”.
      Para ulama menekankan pentingnya kewajiban seorang ibu dalam mendidik semua anaknya, supaya menjadi manusia yang bertakwa, pandai, dan berbudi luhur, serta bermanfaat buat sesama manusia dan makhluk lainnya..
.
     Oleh karena itu, seorang anak yang baik, berkewajiban menghormati dan mengingat semua jasa orang tuanya dan terutama ibunya, yang telah memberikan ASI yang pernah kita minum, setetes keringat yang pernah dicurahkannya, seuntai kalimat bimbingan yang pernah disampaikannya, yang semuanya itu tidak mungkin dapat  terbalaskan, sehingga kita selalu berdoa untuk kebaikan orang tua kita.
      Al-Quran surah Al-Isra, surah ke-17 ayat 23.

۞ وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا

      “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia”.
      Al-Quran surah Al-Isra, surah ke-17 ayat 24.

وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا

      “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah,”Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil”.

Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

Monday, December 4, 2017

543. RUMAH

RUMAHKU SURGAKU
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

     Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang rumahku adalah surgaku menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
     Presiden Soeharto ketika mencanangkan Gerakan Nasional Perumahan dan Pemukiman yang Sehat, berkata,”Adalah kewajiban kita semua, agar setiap keluarga di Indonesia dapat menempati rumah tempat tinggal yang layak."
      Pencanangan ini mengingatkan terhadap pesan Allah kepada Nabi Adam dan istrinya, Hawa, sebelum mereka menginjakkan kakinya di bumi.
      Al-Quran surah Thaha, surah ke-20 ayat 117-119.

فَقُلْنَا يَا آدَمُ إِنَّ هَٰذَا عَدُوٌّ لَكَ وَلِزَوْجِكَ فَلَا يُخْرِجَنَّكُمَا مِنَ الْجَنَّةِ فَتَشْقَىٰ
إِنَّ لَكَ أَلَّا تَجُوعَ فِيهَا وَلَا تَعْرَىٰ وَأَنَّكَ لَا تَظْمَأُ فِيهَا وَلَا تَضْحَىٰ

      “Maka kami berkata,”Hai Adam, sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali janganlah sampai dia mengeluarkanmu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka. Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang. dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya”.
      Al-Quran surah Thaha, surah ke-20 ayat 120-121.

فَوَسْوَسَ إِلَيْهِ الشَّيْطَانُ قَالَ يَا آدَمُ هَلْ أَدُلُّكَ عَلَىٰ شَجَرَةِ الْخُلْدِ وَمُلْكٍ لَا يَبْلَىٰ
فَأَكَلَا مِنْهَا فَبَدَتْ لَهُمَا سَوْآتُهُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفَانِ عَلَيْهِمَا مِنْ وَرَقِ الْجَنَّةِ ۚ وَعَصَىٰ آدَمُ رَبَّهُ فَغَوَىٰ
   
  “Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata,”Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa?" Maka keduanya memakan dari buah pohon itu, lalu nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga, dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah dia”.

      Ayat Al-Quran ini menggambarkan sekelumit kehidupan di dalam surga, dan kebutuhan pokok manusia di selama hidup dunia, yaitu sandang (tidak telanjang), pangan (tidak lapar dan dahaga) dan papan (tidak kepanasan dan kedinginan).
      Allah juga mengisyaratkan kepada Nabi Adam agar bersungguh-sungguh dan  “bersusah payah” dalam mendapatkan rumah tempat tinggal untuk melindungi dirinya dan keluarganya dari sengatan udara yang panas dan dingin.
     Kata “rumah” dalam bahasa Al-Quran adalah “sakan” atau “mascara” dan bentuk jamaknya “masakin”, serta kata “sakan” terambil dari akar kata yang artinya “tenang”, agaknya Al-Quran menyebutkan “rumah” seperti itu, untuk mengisyaratkan bahwa “rumah” seharusnya dapat memberikan ketenangan kepada penghuninya.
     Memang, pada umumnya setiap manusia mendambakan agar rumahnya menjadi tempat yang membahagiakan laksana surga yang diimpikan, yaitu “rumahku adalah surgaku”, seperti ketika Nabi Adam dan Hawa masih berada di surga dahulu.
     Rumah yang berada di surga dinamakan “masakin thayyibah” dan rumah di dunia pun dapat menjadi seperti di surga, apabila faktor “thayyibah” terpenuhi, dan kata “thayyibah” yang biasaya diterjemahkan dengan “menyenangkan” dapat dicapai apabila terpenuhi beberapa syarat, antara lain adalah “hunian yang layak”.
      Para ahli berpendapat bahwa “kesenangan hidup” dan “hidup” itu sendiri,  memerlukan adanya kesinambungan dan persesuaian antara yang dirasakan di dalam diri “pribadi yang hidup” dengan yang “kondisi yang terjadi di luar dirinya”.
     Ketika hujan atau terik matahari menimpa batu, maka batu tidak bereaksi dan hanya menerima keadaan tersebut karena batu bukan makhluk hidup, tetapi makhluk hidup seperti manusia akan berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungannya, dan apabila persesuaian itu dapat terpenuhi, maka hidupnya menjadi layak.
    Hidup dalam pengertian seperti ini adalah bertingkat-tingkat, yang sesuai dengan  perbedaan kemampuan aksi dan reaksi manusia, yang dalam bahasa sehari-hari, kita sering mendengarkan ungkapan,”Si A sangat aktif dan penuh kesungguhan dalam menyelesaikan pekerjaannya”.
      Ungkapan seperti ini dapat menunjukkan bahwa terdapat orang lain, yang hanya mempunyai setengah, seperempat, atau bahkan tidak memiliki sedikit pun kesungguhan dalam hidupnya, artinya orang ini dikatakan hidup karena masih bernapas, tetapi pada hakikatnya dia adalah “mayat hidup”.
      Dalam pandangan agama Islam bahwa “lingkungan” bukan hanya yang tampak secara fisik semata, tetapi  Allah dan para malaikat juga termasuk bagian dari lingkungan hidup manusia.
      Sehingga rumah yang menjadi surga buat penghuninya atau rumah-rumah di surga kelak, bukan sekadar berwujud bangunan saja, tetapi juga berkaitan dengan kepribadian, martabat kehidupan, dan hubungan yang serasi antara penghuninya dengan lingkungannya  yang nyata maupun yang tidak terlihat.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

543. RUMAH

RUMAHKU SURGAKU
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

     Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang rumahku adalah surgaku menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
     Presiden Soeharto ketika mencanangkan Gerakan Nasional Perumahan dan Pemukiman yang Sehat, berkata,”Adalah kewajiban kita semua, agar setiap keluarga di Indonesia dapat menempati rumah tempat tinggal yang layak."
      Pencanangan ini mengingatkan terhadap pesan Allah kepada Nabi Adam dan istrinya, Hawa, sebelum mereka menginjakkan kakinya di bumi.
      Al-Quran surah Thaha, surah ke-20 ayat 117-119.

فَقُلْنَا يَا آدَمُ إِنَّ هَٰذَا عَدُوٌّ لَكَ وَلِزَوْجِكَ فَلَا يُخْرِجَنَّكُمَا مِنَ الْجَنَّةِ فَتَشْقَىٰ
إِنَّ لَكَ أَلَّا تَجُوعَ فِيهَا وَلَا تَعْرَىٰ وَأَنَّكَ لَا تَظْمَأُ فِيهَا وَلَا تَضْحَىٰ

      “Maka kami berkata,”Hai Adam, sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali janganlah sampai dia mengeluarkanmu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka. Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang. dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya”.
      Al-Quran surah Thaha, surah ke-20 ayat 120-121.

فَوَسْوَسَ إِلَيْهِ الشَّيْطَانُ قَالَ يَا آدَمُ هَلْ أَدُلُّكَ عَلَىٰ شَجَرَةِ الْخُلْدِ وَمُلْكٍ لَا يَبْلَىٰ
فَأَكَلَا مِنْهَا فَبَدَتْ لَهُمَا سَوْآتُهُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفَانِ عَلَيْهِمَا مِنْ وَرَقِ الْجَنَّةِ ۚ وَعَصَىٰ آدَمُ رَبَّهُ فَغَوَىٰ
   
  “Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata,”Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa?" Maka keduanya memakan dari buah pohon itu, lalu nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga, dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah dia”.

      Ayat Al-Quran ini menggambarkan sekelumit kehidupan di dalam surga, dan kebutuhan pokok manusia di selama hidup dunia, yaitu sandang (tidak telanjang), pangan (tidak lapar dan dahaga) dan papan (tidak kepanasan dan kedinginan).
      Allah juga mengisyaratkan kepada Nabi Adam agar bersungguh-sungguh dan  “bersusah payah” dalam mendapatkan rumah tempat tinggal untuk melindungi dirinya dan keluarganya dari sengatan udara yang panas dan dingin.
     Kata “rumah” dalam bahasa Al-Quran adalah “sakan” atau “mascara” dan bentuk jamaknya “masakin”, serta kata “sakan” terambil dari akar kata yang artinya “tenang”, agaknya Al-Quran menyebutkan “rumah” seperti itu, untuk mengisyaratkan bahwa “rumah” seharusnya dapat memberikan ketenangan kepada penghuninya.
     Memang, pada umumnya setiap manusia mendambakan agar rumahnya menjadi tempat yang membahagiakan laksana surga yang diimpikan, yaitu “rumahku adalah surgaku”, seperti ketika Nabi Adam dan Hawa masih berada di surga dahulu.
     Rumah yang berada di surga dinamakan “masakin thayyibah” dan rumah di dunia pun dapat menjadi seperti di surga, apabila faktor “thayyibah” terpenuhi, dan kata “thayyibah” yang biasaya diterjemahkan dengan “menyenangkan” dapat dicapai apabila terpenuhi beberapa syarat, antara lain adalah “hunian yang layak”.
      Para ahli berpendapat bahwa “kesenangan hidup” dan “hidup” itu sendiri,  memerlukan adanya kesinambungan dan persesuaian antara yang dirasakan di dalam diri “pribadi yang hidup” dengan yang “kondisi yang terjadi di luar dirinya”.
     Ketika hujan atau terik matahari menimpa batu, maka batu tidak bereaksi dan hanya menerima keadaan tersebut karena batu bukan makhluk hidup, tetapi makhluk hidup seperti manusia akan berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungannya, dan apabila persesuaian itu dapat terpenuhi, maka hidupnya menjadi layak.
    Hidup dalam pengertian seperti ini adalah bertingkat-tingkat, yang sesuai dengan  perbedaan kemampuan aksi dan reaksi manusia, yang dalam bahasa sehari-hari, kita sering mendengarkan ungkapan,”Si A sangat aktif dan penuh kesungguhan dalam menyelesaikan pekerjaannya”.
      Ungkapan seperti ini dapat menunjukkan bahwa terdapat orang lain, yang hanya mempunyai setengah, seperempat, atau bahkan tidak memiliki sedikit pun kesungguhan dalam hidupnya, artinya orang ini dikatakan hidup karena masih bernapas, tetapi pada hakikatnya dia adalah “mayat hidup”.
      Dalam pandangan agama Islam bahwa “lingkungan” bukan hanya yang tampak secara fisik semata, tetapi  Allah dan para malaikat juga termasuk bagian dari lingkungan hidup manusia.
      Sehingga rumah yang menjadi surga buat penghuninya atau rumah-rumah di surga kelak, bukan sekadar berwujud bangunan saja, tetapi juga berkaitan dengan kepribadian, martabat kehidupan, dan hubungan yang serasi antara penghuninya dengan lingkungannya  yang nyata maupun yang tidak terlihat.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

543. RUMAH

RUMAHKU SURGAKU
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

     Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang rumahku adalah surgaku menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
     Presiden Soeharto ketika mencanangkan Gerakan Nasional Perumahan dan Pemukiman yang Sehat, berkata,”Adalah kewajiban kita semua, agar setiap keluarga di Indonesia dapat menempati rumah tempat tinggal yang layak."
      Pencanangan ini mengingatkan terhadap pesan Allah kepada Nabi Adam dan istrinya, Hawa, sebelum mereka menginjakkan kakinya di bumi.
      Al-Quran surah Thaha, surah ke-20 ayat 117-119.

فَقُلْنَا يَا آدَمُ إِنَّ هَٰذَا عَدُوٌّ لَكَ وَلِزَوْجِكَ فَلَا يُخْرِجَنَّكُمَا مِنَ الْجَنَّةِ فَتَشْقَىٰ
إِنَّ لَكَ أَلَّا تَجُوعَ فِيهَا وَلَا تَعْرَىٰ وَأَنَّكَ لَا تَظْمَأُ فِيهَا وَلَا تَضْحَىٰ

      “Maka kami berkata,”Hai Adam, sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali janganlah sampai dia mengeluarkanmu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka. Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang. dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya”.
      Al-Quran surah Thaha, surah ke-20 ayat 120-121.

فَوَسْوَسَ إِلَيْهِ الشَّيْطَانُ قَالَ يَا آدَمُ هَلْ أَدُلُّكَ عَلَىٰ شَجَرَةِ الْخُلْدِ وَمُلْكٍ لَا يَبْلَىٰ
فَأَكَلَا مِنْهَا فَبَدَتْ لَهُمَا سَوْآتُهُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفَانِ عَلَيْهِمَا مِنْ وَرَقِ الْجَنَّةِ ۚ وَعَصَىٰ آدَمُ رَبَّهُ فَغَوَىٰ
   
  “Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata,”Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa?" Maka keduanya memakan dari buah pohon itu, lalu nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga, dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah dia”.

      Ayat Al-Quran ini menggambarkan sekelumit kehidupan di dalam surga, dan kebutuhan pokok manusia di selama hidup dunia, yaitu sandang (tidak telanjang), pangan (tidak lapar dan dahaga) dan papan (tidak kepanasan dan kedinginan).
      Allah juga mengisyaratkan kepada Nabi Adam agar bersungguh-sungguh dan  “bersusah payah” dalam mendapatkan rumah tempat tinggal untuk melindungi dirinya dan keluarganya dari sengatan udara yang panas dan dingin.
     Kata “rumah” dalam bahasa Al-Quran adalah “sakan” atau “mascara” dan bentuk jamaknya “masakin”, serta kata “sakan” terambil dari akar kata yang artinya “tenang”, agaknya Al-Quran menyebutkan “rumah” seperti itu, untuk mengisyaratkan bahwa “rumah” seharusnya dapat memberikan ketenangan kepada penghuninya.
     Memang, pada umumnya setiap manusia mendambakan agar rumahnya menjadi tempat yang membahagiakan laksana surga yang diimpikan, yaitu “rumahku adalah surgaku”, seperti ketika Nabi Adam dan Hawa masih berada di surga dahulu.
     Rumah yang berada di surga dinamakan “masakin thayyibah” dan rumah di dunia pun dapat menjadi seperti di surga, apabila faktor “thayyibah” terpenuhi, dan kata “thayyibah” yang biasaya diterjemahkan dengan “menyenangkan” dapat dicapai apabila terpenuhi beberapa syarat, antara lain adalah “hunian yang layak”.
      Para ahli berpendapat bahwa “kesenangan hidup” dan “hidup” itu sendiri,  memerlukan adanya kesinambungan dan persesuaian antara yang dirasakan di dalam diri “pribadi yang hidup” dengan yang “kondisi yang terjadi di luar dirinya”.
     Ketika hujan atau terik matahari menimpa batu, maka batu tidak bereaksi dan hanya menerima keadaan tersebut karena batu bukan makhluk hidup, tetapi makhluk hidup seperti manusia akan berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungannya, dan apabila persesuaian itu dapat terpenuhi, maka hidupnya menjadi layak.
    Hidup dalam pengertian seperti ini adalah bertingkat-tingkat, yang sesuai dengan  perbedaan kemampuan aksi dan reaksi manusia, yang dalam bahasa sehari-hari, kita sering mendengarkan ungkapan,”Si A sangat aktif dan penuh kesungguhan dalam menyelesaikan pekerjaannya”.
      Ungkapan seperti ini dapat menunjukkan bahwa terdapat orang lain, yang hanya mempunyai setengah, seperempat, atau bahkan tidak memiliki sedikit pun kesungguhan dalam hidupnya, artinya orang ini dikatakan hidup karena masih bernapas, tetapi pada hakikatnya dia adalah “mayat hidup”.
      Dalam pandangan agama Islam bahwa “lingkungan” bukan hanya yang tampak secara fisik semata, tetapi  Allah dan para malaikat juga termasuk bagian dari lingkungan hidup manusia.
      Sehingga rumah yang menjadi surga buat penghuninya atau rumah-rumah di surga kelak, bukan sekadar berwujud bangunan saja, tetapi juga berkaitan dengan kepribadian, martabat kehidupan, dan hubungan yang serasi antara penghuninya dengan lingkungannya  yang nyata maupun yang tidak terlihat.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

543. RUMAH

RUMAHKU SURGAKU
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

     Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang rumahku adalah surgaku menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
     Presiden Soeharto ketika mencanangkan Gerakan Nasional Perumahan dan Pemukiman yang Sehat, berkata,”Adalah kewajiban kita semua, agar setiap keluarga di Indonesia dapat menempati rumah tempat tinggal yang layak."
      Pencanangan ini mengingatkan terhadap pesan Allah kepada Nabi Adam dan istrinya, Hawa, sebelum mereka menginjakkan kakinya di bumi.
      Al-Quran surah Thaha, surah ke-20 ayat 117-119.

فَقُلْنَا يَا آدَمُ إِنَّ هَٰذَا عَدُوٌّ لَكَ وَلِزَوْجِكَ فَلَا يُخْرِجَنَّكُمَا مِنَ الْجَنَّةِ فَتَشْقَىٰ
إِنَّ لَكَ أَلَّا تَجُوعَ فِيهَا وَلَا تَعْرَىٰ وَأَنَّكَ لَا تَظْمَأُ فِيهَا وَلَا تَضْحَىٰ

      “Maka kami berkata,”Hai Adam, sesungguhnya ini (iblis) adalah musuh bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali janganlah sampai dia mengeluarkanmu berdua dari surga, yang menyebabkan kamu menjadi celaka. Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang. dan sesungguhnya kamu tidak akan merasa dahaga dan tidak (pula) akan ditimpa panas matahari di dalamnya”.
      Al-Quran surah Thaha, surah ke-20 ayat 120-121.

فَوَسْوَسَ إِلَيْهِ الشَّيْطَانُ قَالَ يَا آدَمُ هَلْ أَدُلُّكَ عَلَىٰ شَجَرَةِ الْخُلْدِ وَمُلْكٍ لَا يَبْلَىٰ
فَأَكَلَا مِنْهَا فَبَدَتْ لَهُمَا سَوْآتُهُمَا وَطَفِقَا يَخْصِفَانِ عَلَيْهِمَا مِنْ وَرَقِ الْجَنَّةِ ۚ وَعَصَىٰ آدَمُ رَبَّهُ فَغَوَىٰ
   
  “Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepadanya, dengan berkata,”Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepada kamu pohon khuldi dan kerajaan yang tidak akan binasa?" Maka keduanya memakan dari buah pohon itu, lalu nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya menutupinya dengan daun-daun (yang ada di) surga, dan durhakalah Adam kepada Tuhan dan sesatlah dia”.

      Ayat Al-Quran ini menggambarkan sekelumit kehidupan di dalam surga, dan kebutuhan pokok manusia di selama hidup dunia, yaitu sandang (tidak telanjang), pangan (tidak lapar dan dahaga) dan papan (tidak kepanasan dan kedinginan).
      Allah juga mengisyaratkan kepada Nabi Adam agar bersungguh-sungguh dan  “bersusah payah” dalam mendapatkan rumah tempat tinggal untuk melindungi dirinya dan keluarganya dari sengatan udara yang panas dan dingin.
     Kata “rumah” dalam bahasa Al-Quran adalah “sakan” atau “mascara” dan bentuk jamaknya “masakin”, serta kata “sakan” terambil dari akar kata yang artinya “tenang”, agaknya Al-Quran menyebutkan “rumah” seperti itu, untuk mengisyaratkan bahwa “rumah” seharusnya dapat memberikan ketenangan kepada penghuninya.
     Memang, pada umumnya setiap manusia mendambakan agar rumahnya menjadi tempat yang membahagiakan laksana surga yang diimpikan, yaitu “rumahku adalah surgaku”, seperti ketika Nabi Adam dan Hawa masih berada di surga dahulu.
     Rumah yang berada di surga dinamakan “masakin thayyibah” dan rumah di dunia pun dapat menjadi seperti di surga, apabila faktor “thayyibah” terpenuhi, dan kata “thayyibah” yang biasaya diterjemahkan dengan “menyenangkan” dapat dicapai apabila terpenuhi beberapa syarat, antara lain adalah “hunian yang layak”.
      Para ahli berpendapat bahwa “kesenangan hidup” dan “hidup” itu sendiri,  memerlukan adanya kesinambungan dan persesuaian antara yang dirasakan di dalam diri “pribadi yang hidup” dengan yang “kondisi yang terjadi di luar dirinya”.
     Ketika hujan atau terik matahari menimpa batu, maka batu tidak bereaksi dan hanya menerima keadaan tersebut karena batu bukan makhluk hidup, tetapi makhluk hidup seperti manusia akan berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungannya, dan apabila persesuaian itu dapat terpenuhi, maka hidupnya menjadi layak.
    Hidup dalam pengertian seperti ini adalah bertingkat-tingkat, yang sesuai dengan  perbedaan kemampuan aksi dan reaksi manusia, yang dalam bahasa sehari-hari, kita sering mendengarkan ungkapan,”Si A sangat aktif dan penuh kesungguhan dalam menyelesaikan pekerjaannya”.
      Ungkapan seperti ini dapat menunjukkan bahwa terdapat orang lain, yang hanya mempunyai setengah, seperempat, atau bahkan tidak memiliki sedikit pun kesungguhan dalam hidupnya, artinya orang ini dikatakan hidup karena masih bernapas, tetapi pada hakikatnya dia adalah “mayat hidup”.
      Dalam pandangan agama Islam bahwa “lingkungan” bukan hanya yang tampak secara fisik semata, tetapi  Allah dan para malaikat juga termasuk bagian dari lingkungan hidup manusia.
      Sehingga rumah yang menjadi surga buat penghuninya atau rumah-rumah di surga kelak, bukan sekadar berwujud bangunan saja, tetapi juga berkaitan dengan kepribadian, martabat kehidupan, dan hubungan yang serasi antara penghuninya dengan lingkungannya  yang nyata maupun yang tidak terlihat.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online