Organisasi Profesi Guru

Presiden Jokowi memberi hormat kepada Guru-Guru se Indonesia.

Tema Gambar Slide 2

Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.

Tema Gambar Slide 3

Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.

Monday, January 8, 2018

621. TAK

TIDAK PERNAH DILAKUKAN NABI
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M


      Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang hal-hal yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
      Istilah,“Jika tidak pernah dilakukan oleh Nabi, maka hukumnya adalah haram”. Hal inilah yang dijadikan kaidah sehingga dapat membuat orang mengharamkan sesuatu yang tidak haram dan membid’ahkan sesuatu yang tidak bid’ah.
      Kaidah dalam ilmu Ushul Fiqh berikut ini.
      Kaidah pertama, dalam hukum haram terdapat tiga model.
      Model pertama, kata “nahi” berupa kalimat larangan langsung, seperti dalam surah Al-Quran surah Al-Isra, surah ke-17 ayat 32.

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

     “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا
     
       “Dan janganlan kamu mendekati zina.”
      Model kedua, kata “nafi” berupa larangan tidak langsung, seperti dalam Al-Quran surah Al-Hujurat, surah ke-49 ayat 12.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

      “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antaramu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.”

وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا
    “Dan janganlan kalian saling menggunjing satu sama lain.”
      Model ketiga, kata “waid” berupa kecaman keras, seperti Nabi bersabda,”Siapa yang menipu kami, makaَ dia bukanlah dari golongan kami.” (HR. Muslim).
      Sedangkan “at-Tark” (perbuatan yang ditinggalkan dan tidak dilakukan oleh Nabi , tidak satu pun para ahli Ushul Fiqh menggolongkannya ke dalam kaidah haram.
      Kaidah  kedua, semua yang diperintahkan oleh Nabi maka kerjakan, dan semua yang dilarang oleh Nabi maka tinggalkan, dan tidak ada kaidah tambahan,”Semua yang tidak dilakukan oleh Nabi, maka hukumnya haram.”
      Al-Quran surah Al-Hasyr, surah ke-59 ayat 7.

مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ ۚ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
  
   “Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.”
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ

“Dan apa saja yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah”.
     Kaidah ketiga, yaitu yang diperintahkan oleh Nabi harus dilaksanakan, dan yang dilarang oleh Nabi harus ditinggalkan”.
      Nabi bersabda,“Yang aku perintahkan, laksanakan, dan yang aku larang, tinggalkan”. Tidak ada kalimat tambahan, “Yang tidak aku lakukan, haramkan!”.
    Kaidah keempat, para ulama Ushul Fiqh mendefinisikan sunah adalah ucapan, perbuatan, dan ketetapan yang berasal dari Nabi layak dijadikan sebagai dalil hukum syar’i.
     Hanya terdapat tiga ketetapan dalam sunah Nabi, yaitu “qaul” (ucapan), “fi’l” (perbuatan), dan “taqrir” (ketetapan). Tidak ada disebutkan “at-Tark’ (sesuatu yang ditinggalkan dan tidak pernah dilakukan oleh Nabi), sehingga “at-Tark” tidak termasuk dalil penetapan hukum syar’i.
      Kaidah kelima, masalah “at-Tark” (sesuatu yang ditinggalkan dan tidak dilakukan oleh Nabi) tidak selamanya mengandung makna larangan, tetapi mengandung multi makna dan banyak kemungkinan arti.
     Dalam kaidah Ushul Fiqh dinyatakan bahwa,”Jika sebuah dalil itu mengandung ‘ihtimal’ (banyak kemungkinan dan ketidakpastian), maka tidak layak dijadikan sebagai dalil.”
      Kaidah keenam, masalah “at-Tark” (sesuatu yang ditinggalkan dan tidak pernah dilakukan oleh Nabi), itu adalah hukum asal, sedangkan dalam hukum asalnya tidak ada suatu perbuatan pun.
     Sedangkan perbuatan itu datang belakangan, maka “at-Tark” tidak dapat  menetapkan hukum haram, karena banyak sekali perkara mandub (anjuran) dan perkara mubah (boleh) yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah.
     Apabila dikatakan bahwa semua yang tidak dilakukan Rasulullah mengandung hukum haram, maka akan terhentilah kehidupan kaum muslimin.
      Nabi bersabda, “Apa yang dihalalkan oleh Allah, maka itu halal, apa yang diharamkan, maka itu haram, dan apa yang didiamkan (tidak disebutkan), itu adalah kebaikan dari Allah, maka terimalah, sesungguhnya Allah tidak pernah lupa terhadap segala sesuatu.”
      Al-Quran surah Maryam, surah ke-19 ayat 64.

    وَمَا نَتَنَزَّلُ إِلَّا بِأَمْرِ رَبِّكَ ۖ لَهُ مَا بَيْنَ أَيْدِينَا وَمَا خَلْفَنَا وَمَا بَيْنَ ذَٰلِكَ ۚ وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا

     “Dan tidaklah kami (Jibril) turun, kecuali dengan perintah Tuhanmu. Kepunyaan-Nya-lah apa-apa yang ada di hadapan kita, apa-apa yang ada di belakang kita dan apa-apa yang ada di antara keduanya, dan tidaklah Tuhanmu lupa.’
     Kemudian Rasulullah membacakan ayat, “dan tidaklah Tuhanmu lupa.”. (Qs. Maryam [19]: 64).
وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا
  
   “Dan Tuhanmu tidak lupa.”
     Hal ini menunjukkan bahwa yang tidak disebutkan oleh Allah dan tidak dilakukan oleh Rasulullah bukan berarti mengandung makna haram, tetapi mengandung makna boleh, hingga ada dalil lain yang mengharamkannya.
      Sehingga kaidah,“Jika tidak pernah dilakukan oleh Nabi, maka hukumnya  haram”. Adalah batal dan tidak berlaku.
Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

621. TAK

TIDAK PERNAH DILAKUKAN NABI
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M


      Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang hal-hal yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
      Istilah,“Jika tidak pernah dilakukan oleh Nabi, maka hukumnya adalah haram”. Hal inilah yang dijadikan kaidah sehingga dapat membuat orang mengharamkan sesuatu yang tidak haram dan membid’ahkan sesuatu yang tidak bid’ah.
      Kaidah dalam ilmu Ushul Fiqh berikut ini.
      Kaidah pertama, dalam hukum haram terdapat tiga model.
      Model pertama, kata “nahi” berupa kalimat larangan langsung, seperti dalam surah Al-Quran surah Al-Isra, surah ke-17 ayat 32.

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

     “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا
     
       “Dan janganlan kamu mendekati zina.”
      Model kedua, kata “nafi” berupa larangan tidak langsung, seperti dalam Al-Quran surah Al-Hujurat, surah ke-49 ayat 12.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

      “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antaramu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.”

وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا
    “Dan janganlan kalian saling menggunjing satu sama lain.”
      Model ketiga, kata “waid” berupa kecaman keras, seperti Nabi bersabda,”Siapa yang menipu kami, makaَ dia bukanlah dari golongan kami.” (HR. Muslim).
      Sedangkan “at-Tark” (perbuatan yang ditinggalkan dan tidak dilakukan oleh Nabi , tidak satu pun para ahli Ushul Fiqh menggolongkannya ke dalam kaidah haram.
      Kaidah  kedua, semua yang diperintahkan oleh Nabi maka kerjakan, dan semua yang dilarang oleh Nabi maka tinggalkan, dan tidak ada kaidah tambahan,”Semua yang tidak dilakukan oleh Nabi, maka hukumnya haram.”
      Al-Quran surah Al-Hasyr, surah ke-59 ayat 7.

مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ ۚ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
  
   “Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.”
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ

“Dan apa saja yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah”.
     Kaidah ketiga, yaitu yang diperintahkan oleh Nabi harus dilaksanakan, dan yang dilarang oleh Nabi harus ditinggalkan”.
      Nabi bersabda,“Yang aku perintahkan, laksanakan, dan yang aku larang, tinggalkan”. Tidak ada kalimat tambahan, “Yang tidak aku lakukan, haramkan!”.
    Kaidah keempat, para ulama Ushul Fiqh mendefinisikan sunah adalah ucapan, perbuatan, dan ketetapan yang berasal dari Nabi layak dijadikan sebagai dalil hukum syar’i.
     Hanya terdapat tiga ketetapan dalam sunah Nabi, yaitu “qaul” (ucapan), “fi’l” (perbuatan), dan “taqrir” (ketetapan). Tidak ada disebutkan “at-Tark’ (sesuatu yang ditinggalkan dan tidak pernah dilakukan oleh Nabi), sehingga “at-Tark” tidak termasuk dalil penetapan hukum syar’i.
      Kaidah kelima, masalah “at-Tark” (sesuatu yang ditinggalkan dan tidak dilakukan oleh Nabi) tidak selamanya mengandung makna larangan, tetapi mengandung multi makna dan banyak kemungkinan arti.
     Dalam kaidah Ushul Fiqh dinyatakan bahwa,”Jika sebuah dalil itu mengandung ‘ihtimal’ (banyak kemungkinan dan ketidakpastian), maka tidak layak dijadikan sebagai dalil.”
      Kaidah keenam, masalah “at-Tark” (sesuatu yang ditinggalkan dan tidak pernah dilakukan oleh Nabi), itu adalah hukum asal, sedangkan dalam hukum asalnya tidak ada suatu perbuatan pun.
     Sedangkan perbuatan itu datang belakangan, maka “at-Tark” tidak dapat  menetapkan hukum haram, karena banyak sekali perkara mandub (anjuran) dan perkara mubah (boleh) yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah.
     Apabila dikatakan bahwa semua yang tidak dilakukan Rasulullah mengandung hukum haram, maka akan terhentilah kehidupan kaum muslimin.
      Nabi bersabda, “Apa yang dihalalkan oleh Allah, maka itu halal, apa yang diharamkan, maka itu haram, dan apa yang didiamkan (tidak disebutkan), itu adalah kebaikan dari Allah, maka terimalah, sesungguhnya Allah tidak pernah lupa terhadap segala sesuatu.”
      Al-Quran surah Maryam, surah ke-19 ayat 64.

    وَمَا نَتَنَزَّلُ إِلَّا بِأَمْرِ رَبِّكَ ۖ لَهُ مَا بَيْنَ أَيْدِينَا وَمَا خَلْفَنَا وَمَا بَيْنَ ذَٰلِكَ ۚ وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا

     “Dan tidaklah kami (Jibril) turun, kecuali dengan perintah Tuhanmu. Kepunyaan-Nya-lah apa-apa yang ada di hadapan kita, apa-apa yang ada di belakang kita dan apa-apa yang ada di antara keduanya, dan tidaklah Tuhanmu lupa.’
     Kemudian Rasulullah membacakan ayat, “dan tidaklah Tuhanmu lupa.”. (Qs. Maryam [19]: 64).
وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا
  
   “Dan Tuhanmu tidak lupa.”
     Hal ini menunjukkan bahwa yang tidak disebutkan oleh Allah dan tidak dilakukan oleh Rasulullah bukan berarti mengandung makna haram, tetapi mengandung makna boleh, hingga ada dalil lain yang mengharamkannya.
      Sehingga kaidah,“Jika tidak pernah dilakukan oleh Nabi, maka hukumnya  haram”. Adalah batal dan tidak berlaku.
Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

621. TAK

TIDAK PERNAH DILAKUKAN NABI
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M


      Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang hal-hal yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
      Istilah,“Jika tidak pernah dilakukan oleh Nabi, maka hukumnya adalah haram”. Hal inilah yang dijadikan kaidah sehingga dapat membuat orang mengharamkan sesuatu yang tidak haram dan membid’ahkan sesuatu yang tidak bid’ah.
      Kaidah dalam ilmu Ushul Fiqh berikut ini.
      Kaidah pertama, dalam hukum haram terdapat tiga model.
      Model pertama, kata “nahi” berupa kalimat larangan langsung, seperti dalam surah Al-Quran surah Al-Isra, surah ke-17 ayat 32.

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

     “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا
     
       “Dan janganlan kamu mendekati zina.”
      Model kedua, kata “nafi” berupa larangan tidak langsung, seperti dalam Al-Quran surah Al-Hujurat, surah ke-49 ayat 12.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

      “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antaramu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.”

وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا
    “Dan janganlan kalian saling menggunjing satu sama lain.”
      Model ketiga, kata “waid” berupa kecaman keras, seperti Nabi bersabda,”Siapa yang menipu kami, makaَ dia bukanlah dari golongan kami.” (HR. Muslim).
      Sedangkan “at-Tark” (perbuatan yang ditinggalkan dan tidak dilakukan oleh Nabi , tidak satu pun para ahli Ushul Fiqh menggolongkannya ke dalam kaidah haram.
      Kaidah  kedua, semua yang diperintahkan oleh Nabi maka kerjakan, dan semua yang dilarang oleh Nabi maka tinggalkan, dan tidak ada kaidah tambahan,”Semua yang tidak dilakukan oleh Nabi, maka hukumnya haram.”
      Al-Quran surah Al-Hasyr, surah ke-59 ayat 7.

مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ ۚ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
  
   “Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.”
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ

“Dan apa saja yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah”.
     Kaidah ketiga, yaitu yang diperintahkan oleh Nabi harus dilaksanakan, dan yang dilarang oleh Nabi harus ditinggalkan”.
      Nabi bersabda,“Yang aku perintahkan, laksanakan, dan yang aku larang, tinggalkan”. Tidak ada kalimat tambahan, “Yang tidak aku lakukan, haramkan!”.
    Kaidah keempat, para ulama Ushul Fiqh mendefinisikan sunah adalah ucapan, perbuatan, dan ketetapan yang berasal dari Nabi layak dijadikan sebagai dalil hukum syar’i.
     Hanya terdapat tiga ketetapan dalam sunah Nabi, yaitu “qaul” (ucapan), “fi’l” (perbuatan), dan “taqrir” (ketetapan). Tidak ada disebutkan “at-Tark’ (sesuatu yang ditinggalkan dan tidak pernah dilakukan oleh Nabi), sehingga “at-Tark” tidak termasuk dalil penetapan hukum syar’i.
      Kaidah kelima, masalah “at-Tark” (sesuatu yang ditinggalkan dan tidak dilakukan oleh Nabi) tidak selamanya mengandung makna larangan, tetapi mengandung multi makna dan banyak kemungkinan arti.
     Dalam kaidah Ushul Fiqh dinyatakan bahwa,”Jika sebuah dalil itu mengandung ‘ihtimal’ (banyak kemungkinan dan ketidakpastian), maka tidak layak dijadikan sebagai dalil.”
      Kaidah keenam, masalah “at-Tark” (sesuatu yang ditinggalkan dan tidak pernah dilakukan oleh Nabi), itu adalah hukum asal, sedangkan dalam hukum asalnya tidak ada suatu perbuatan pun.
     Sedangkan perbuatan itu datang belakangan, maka “at-Tark” tidak dapat  menetapkan hukum haram, karena banyak sekali perkara mandub (anjuran) dan perkara mubah (boleh) yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah.
     Apabila dikatakan bahwa semua yang tidak dilakukan Rasulullah mengandung hukum haram, maka akan terhentilah kehidupan kaum muslimin.
      Nabi bersabda, “Apa yang dihalalkan oleh Allah, maka itu halal, apa yang diharamkan, maka itu haram, dan apa yang didiamkan (tidak disebutkan), itu adalah kebaikan dari Allah, maka terimalah, sesungguhnya Allah tidak pernah lupa terhadap segala sesuatu.”
      Al-Quran surah Maryam, surah ke-19 ayat 64.

    وَمَا نَتَنَزَّلُ إِلَّا بِأَمْرِ رَبِّكَ ۖ لَهُ مَا بَيْنَ أَيْدِينَا وَمَا خَلْفَنَا وَمَا بَيْنَ ذَٰلِكَ ۚ وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا

     “Dan tidaklah kami (Jibril) turun, kecuali dengan perintah Tuhanmu. Kepunyaan-Nya-lah apa-apa yang ada di hadapan kita, apa-apa yang ada di belakang kita dan apa-apa yang ada di antara keduanya, dan tidaklah Tuhanmu lupa.’
     Kemudian Rasulullah membacakan ayat, “dan tidaklah Tuhanmu lupa.”. (Qs. Maryam [19]: 64).
وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا
  
   “Dan Tuhanmu tidak lupa.”
     Hal ini menunjukkan bahwa yang tidak disebutkan oleh Allah dan tidak dilakukan oleh Rasulullah bukan berarti mengandung makna haram, tetapi mengandung makna boleh, hingga ada dalil lain yang mengharamkannya.
      Sehingga kaidah,“Jika tidak pernah dilakukan oleh Nabi, maka hukumnya  haram”. Adalah batal dan tidak berlaku.
Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

621. TAK

TIDAK PERNAH DILAKUKAN NABI
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M


      Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang hal-hal yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
      Istilah,“Jika tidak pernah dilakukan oleh Nabi, maka hukumnya adalah haram”. Hal inilah yang dijadikan kaidah sehingga dapat membuat orang mengharamkan sesuatu yang tidak haram dan membid’ahkan sesuatu yang tidak bid’ah.
      Kaidah dalam ilmu Ushul Fiqh berikut ini.
      Kaidah pertama, dalam hukum haram terdapat tiga model.
      Model pertama, kata “nahi” berupa kalimat larangan langsung, seperti dalam surah Al-Quran surah Al-Isra, surah ke-17 ayat 32.

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

     “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا
     
       “Dan janganlan kamu mendekati zina.”
      Model kedua, kata “nafi” berupa larangan tidak langsung, seperti dalam Al-Quran surah Al-Hujurat, surah ke-49 ayat 12.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

      “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antaramu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.”

وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا
    “Dan janganlan kalian saling menggunjing satu sama lain.”
      Model ketiga, kata “waid” berupa kecaman keras, seperti Nabi bersabda,”Siapa yang menipu kami, makaَ dia bukanlah dari golongan kami.” (HR. Muslim).
      Sedangkan “at-Tark” (perbuatan yang ditinggalkan dan tidak dilakukan oleh Nabi , tidak satu pun para ahli Ushul Fiqh menggolongkannya ke dalam kaidah haram.
      Kaidah  kedua, semua yang diperintahkan oleh Nabi maka kerjakan, dan semua yang dilarang oleh Nabi maka tinggalkan, dan tidak ada kaidah tambahan,”Semua yang tidak dilakukan oleh Nabi, maka hukumnya haram.”
      Al-Quran surah Al-Hasyr, surah ke-59 ayat 7.

مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ ۚ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
  
   “Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.”
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ

“Dan apa saja yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah”.
     Kaidah ketiga, yaitu yang diperintahkan oleh Nabi harus dilaksanakan, dan yang dilarang oleh Nabi harus ditinggalkan”.
      Nabi bersabda,“Yang aku perintahkan, laksanakan, dan yang aku larang, tinggalkan”. Tidak ada kalimat tambahan, “Yang tidak aku lakukan, haramkan!”.
    Kaidah keempat, para ulama Ushul Fiqh mendefinisikan sunah adalah ucapan, perbuatan, dan ketetapan yang berasal dari Nabi layak dijadikan sebagai dalil hukum syar’i.
     Hanya terdapat tiga ketetapan dalam sunah Nabi, yaitu “qaul” (ucapan), “fi’l” (perbuatan), dan “taqrir” (ketetapan). Tidak ada disebutkan “at-Tark’ (sesuatu yang ditinggalkan dan tidak pernah dilakukan oleh Nabi), sehingga “at-Tark” tidak termasuk dalil penetapan hukum syar’i.
      Kaidah kelima, masalah “at-Tark” (sesuatu yang ditinggalkan dan tidak dilakukan oleh Nabi) tidak selamanya mengandung makna larangan, tetapi mengandung multi makna dan banyak kemungkinan arti.
     Dalam kaidah Ushul Fiqh dinyatakan bahwa,”Jika sebuah dalil itu mengandung ‘ihtimal’ (banyak kemungkinan dan ketidakpastian), maka tidak layak dijadikan sebagai dalil.”
      Kaidah keenam, masalah “at-Tark” (sesuatu yang ditinggalkan dan tidak pernah dilakukan oleh Nabi), itu adalah hukum asal, sedangkan dalam hukum asalnya tidak ada suatu perbuatan pun.
     Sedangkan perbuatan itu datang belakangan, maka “at-Tark” tidak dapat  menetapkan hukum haram, karena banyak sekali perkara mandub (anjuran) dan perkara mubah (boleh) yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah.
     Apabila dikatakan bahwa semua yang tidak dilakukan Rasulullah mengandung hukum haram, maka akan terhentilah kehidupan kaum muslimin.
      Nabi bersabda, “Apa yang dihalalkan oleh Allah, maka itu halal, apa yang diharamkan, maka itu haram, dan apa yang didiamkan (tidak disebutkan), itu adalah kebaikan dari Allah, maka terimalah, sesungguhnya Allah tidak pernah lupa terhadap segala sesuatu.”
      Al-Quran surah Maryam, surah ke-19 ayat 64.

    وَمَا نَتَنَزَّلُ إِلَّا بِأَمْرِ رَبِّكَ ۖ لَهُ مَا بَيْنَ أَيْدِينَا وَمَا خَلْفَنَا وَمَا بَيْنَ ذَٰلِكَ ۚ وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا

     “Dan tidaklah kami (Jibril) turun, kecuali dengan perintah Tuhanmu. Kepunyaan-Nya-lah apa-apa yang ada di hadapan kita, apa-apa yang ada di belakang kita dan apa-apa yang ada di antara keduanya, dan tidaklah Tuhanmu lupa.’
     Kemudian Rasulullah membacakan ayat, “dan tidaklah Tuhanmu lupa.”. (Qs. Maryam [19]: 64).
وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا
  
   “Dan Tuhanmu tidak lupa.”
     Hal ini menunjukkan bahwa yang tidak disebutkan oleh Allah dan tidak dilakukan oleh Rasulullah bukan berarti mengandung makna haram, tetapi mengandung makna boleh, hingga ada dalil lain yang mengharamkannya.
      Sehingga kaidah,“Jika tidak pernah dilakukan oleh Nabi, maka hukumnya  haram”. Adalah batal dan tidak berlaku.
Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

621. TAK

TIDAK PERNAH DILAKUKAN NABI
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M


      Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang hal-hal yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
      Istilah,“Jika tidak pernah dilakukan oleh Nabi, maka hukumnya adalah haram”. Hal inilah yang dijadikan kaidah sehingga dapat membuat orang mengharamkan sesuatu yang tidak haram dan membid’ahkan sesuatu yang tidak bid’ah.
      Kaidah dalam ilmu Ushul Fiqh berikut ini.
      Kaidah pertama, dalam hukum haram terdapat tiga model.
      Model pertama, kata “nahi” berupa kalimat larangan langsung, seperti dalam surah Al-Quran surah Al-Isra, surah ke-17 ayat 32.

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

     “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا
     
       “Dan janganlan kamu mendekati zina.”
      Model kedua, kata “nafi” berupa larangan tidak langsung, seperti dalam Al-Quran surah Al-Hujurat, surah ke-49 ayat 12.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

      “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antaramu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.”

وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا
    “Dan janganlan kalian saling menggunjing satu sama lain.”
      Model ketiga, kata “waid” berupa kecaman keras, seperti Nabi bersabda,”Siapa yang menipu kami, makaَ dia bukanlah dari golongan kami.” (HR. Muslim).
      Sedangkan “at-Tark” (perbuatan yang ditinggalkan dan tidak dilakukan oleh Nabi , tidak satu pun para ahli Ushul Fiqh menggolongkannya ke dalam kaidah haram.
      Kaidah  kedua, semua yang diperintahkan oleh Nabi maka kerjakan, dan semua yang dilarang oleh Nabi maka tinggalkan, dan tidak ada kaidah tambahan,”Semua yang tidak dilakukan oleh Nabi, maka hukumnya haram.”
      Al-Quran surah Al-Hasyr, surah ke-59 ayat 7.

مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ ۚ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
  
   “Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.”
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ

“Dan apa saja yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah”.
     Kaidah ketiga, yaitu yang diperintahkan oleh Nabi harus dilaksanakan, dan yang dilarang oleh Nabi harus ditinggalkan”.
      Nabi bersabda,“Yang aku perintahkan, laksanakan, dan yang aku larang, tinggalkan”. Tidak ada kalimat tambahan, “Yang tidak aku lakukan, haramkan!”.
    Kaidah keempat, para ulama Ushul Fiqh mendefinisikan sunah adalah ucapan, perbuatan, dan ketetapan yang berasal dari Nabi layak dijadikan sebagai dalil hukum syar’i.
     Hanya terdapat tiga ketetapan dalam sunah Nabi, yaitu “qaul” (ucapan), “fi’l” (perbuatan), dan “taqrir” (ketetapan). Tidak ada disebutkan “at-Tark’ (sesuatu yang ditinggalkan dan tidak pernah dilakukan oleh Nabi), sehingga “at-Tark” tidak termasuk dalil penetapan hukum syar’i.
      Kaidah kelima, masalah “at-Tark” (sesuatu yang ditinggalkan dan tidak dilakukan oleh Nabi) tidak selamanya mengandung makna larangan, tetapi mengandung multi makna dan banyak kemungkinan arti.
     Dalam kaidah Ushul Fiqh dinyatakan bahwa,”Jika sebuah dalil itu mengandung ‘ihtimal’ (banyak kemungkinan dan ketidakpastian), maka tidak layak dijadikan sebagai dalil.”
      Kaidah keenam, masalah “at-Tark” (sesuatu yang ditinggalkan dan tidak pernah dilakukan oleh Nabi), itu adalah hukum asal, sedangkan dalam hukum asalnya tidak ada suatu perbuatan pun.
     Sedangkan perbuatan itu datang belakangan, maka “at-Tark” tidak dapat  menetapkan hukum haram, karena banyak sekali perkara mandub (anjuran) dan perkara mubah (boleh) yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah.
     Apabila dikatakan bahwa semua yang tidak dilakukan Rasulullah mengandung hukum haram, maka akan terhentilah kehidupan kaum muslimin.
      Nabi bersabda, “Apa yang dihalalkan oleh Allah, maka itu halal, apa yang diharamkan, maka itu haram, dan apa yang didiamkan (tidak disebutkan), itu adalah kebaikan dari Allah, maka terimalah, sesungguhnya Allah tidak pernah lupa terhadap segala sesuatu.”
      Al-Quran surah Maryam, surah ke-19 ayat 64.

    وَمَا نَتَنَزَّلُ إِلَّا بِأَمْرِ رَبِّكَ ۖ لَهُ مَا بَيْنَ أَيْدِينَا وَمَا خَلْفَنَا وَمَا بَيْنَ ذَٰلِكَ ۚ وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا

     “Dan tidaklah kami (Jibril) turun, kecuali dengan perintah Tuhanmu. Kepunyaan-Nya-lah apa-apa yang ada di hadapan kita, apa-apa yang ada di belakang kita dan apa-apa yang ada di antara keduanya, dan tidaklah Tuhanmu lupa.’
     Kemudian Rasulullah membacakan ayat, “dan tidaklah Tuhanmu lupa.”. (Qs. Maryam [19]: 64).
وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا
  
   “Dan Tuhanmu tidak lupa.”
     Hal ini menunjukkan bahwa yang tidak disebutkan oleh Allah dan tidak dilakukan oleh Rasulullah bukan berarti mengandung makna haram, tetapi mengandung makna boleh, hingga ada dalil lain yang mengharamkannya.
      Sehingga kaidah,“Jika tidak pernah dilakukan oleh Nabi, maka hukumnya  haram”. Adalah batal dan tidak berlaku.
Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

621. TAK

TIDAK PERNAH DILAKUKAN NABI
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M


      Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang hal-hal yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
      Istilah,“Jika tidak pernah dilakukan oleh Nabi, maka hukumnya adalah haram”. Hal inilah yang dijadikan kaidah sehingga dapat membuat orang mengharamkan sesuatu yang tidak haram dan membid’ahkan sesuatu yang tidak bid’ah.
      Kaidah dalam ilmu Ushul Fiqh berikut ini.
      Kaidah pertama, dalam hukum haram terdapat tiga model.
      Model pertama, kata “nahi” berupa kalimat larangan langsung, seperti dalam surah Al-Quran surah Al-Isra, surah ke-17 ayat 32.

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

     “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا
     
       “Dan janganlan kamu mendekati zina.”
      Model kedua, kata “nafi” berupa larangan tidak langsung, seperti dalam Al-Quran surah Al-Hujurat, surah ke-49 ayat 12.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

      “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antaramu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.”

وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا
    “Dan janganlan kalian saling menggunjing satu sama lain.”
      Model ketiga, kata “waid” berupa kecaman keras, seperti Nabi bersabda,”Siapa yang menipu kami, makaَ dia bukanlah dari golongan kami.” (HR. Muslim).
      Sedangkan “at-Tark” (perbuatan yang ditinggalkan dan tidak dilakukan oleh Nabi , tidak satu pun para ahli Ushul Fiqh menggolongkannya ke dalam kaidah haram.
      Kaidah  kedua, semua yang diperintahkan oleh Nabi maka kerjakan, dan semua yang dilarang oleh Nabi maka tinggalkan, dan tidak ada kaidah tambahan,”Semua yang tidak dilakukan oleh Nabi, maka hukumnya haram.”
      Al-Quran surah Al-Hasyr, surah ke-59 ayat 7.

مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ ۚ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
  
   “Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.”
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ

“Dan apa saja yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah”.
     Kaidah ketiga, yaitu yang diperintahkan oleh Nabi harus dilaksanakan, dan yang dilarang oleh Nabi harus ditinggalkan”.
      Nabi bersabda,“Yang aku perintahkan, laksanakan, dan yang aku larang, tinggalkan”. Tidak ada kalimat tambahan, “Yang tidak aku lakukan, haramkan!”.
    Kaidah keempat, para ulama Ushul Fiqh mendefinisikan sunah adalah ucapan, perbuatan, dan ketetapan yang berasal dari Nabi layak dijadikan sebagai dalil hukum syar’i.
     Hanya terdapat tiga ketetapan dalam sunah Nabi, yaitu “qaul” (ucapan), “fi’l” (perbuatan), dan “taqrir” (ketetapan). Tidak ada disebutkan “at-Tark’ (sesuatu yang ditinggalkan dan tidak pernah dilakukan oleh Nabi), sehingga “at-Tark” tidak termasuk dalil penetapan hukum syar’i.
      Kaidah kelima, masalah “at-Tark” (sesuatu yang ditinggalkan dan tidak dilakukan oleh Nabi) tidak selamanya mengandung makna larangan, tetapi mengandung multi makna dan banyak kemungkinan arti.
     Dalam kaidah Ushul Fiqh dinyatakan bahwa,”Jika sebuah dalil itu mengandung ‘ihtimal’ (banyak kemungkinan dan ketidakpastian), maka tidak layak dijadikan sebagai dalil.”
      Kaidah keenam, masalah “at-Tark” (sesuatu yang ditinggalkan dan tidak pernah dilakukan oleh Nabi), itu adalah hukum asal, sedangkan dalam hukum asalnya tidak ada suatu perbuatan pun.
     Sedangkan perbuatan itu datang belakangan, maka “at-Tark” tidak dapat  menetapkan hukum haram, karena banyak sekali perkara mandub (anjuran) dan perkara mubah (boleh) yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah.
     Apabila dikatakan bahwa semua yang tidak dilakukan Rasulullah mengandung hukum haram, maka akan terhentilah kehidupan kaum muslimin.
      Nabi bersabda, “Apa yang dihalalkan oleh Allah, maka itu halal, apa yang diharamkan, maka itu haram, dan apa yang didiamkan (tidak disebutkan), itu adalah kebaikan dari Allah, maka terimalah, sesungguhnya Allah tidak pernah lupa terhadap segala sesuatu.”
      Al-Quran surah Maryam, surah ke-19 ayat 64.

    وَمَا نَتَنَزَّلُ إِلَّا بِأَمْرِ رَبِّكَ ۖ لَهُ مَا بَيْنَ أَيْدِينَا وَمَا خَلْفَنَا وَمَا بَيْنَ ذَٰلِكَ ۚ وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا

     “Dan tidaklah kami (Jibril) turun, kecuali dengan perintah Tuhanmu. Kepunyaan-Nya-lah apa-apa yang ada di hadapan kita, apa-apa yang ada di belakang kita dan apa-apa yang ada di antara keduanya, dan tidaklah Tuhanmu lupa.’
     Kemudian Rasulullah membacakan ayat, “dan tidaklah Tuhanmu lupa.”. (Qs. Maryam [19]: 64).
وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا
  
   “Dan Tuhanmu tidak lupa.”
     Hal ini menunjukkan bahwa yang tidak disebutkan oleh Allah dan tidak dilakukan oleh Rasulullah bukan berarti mengandung makna haram, tetapi mengandung makna boleh, hingga ada dalil lain yang mengharamkannya.
      Sehingga kaidah,“Jika tidak pernah dilakukan oleh Nabi, maka hukumnya  haram”. Adalah batal dan tidak berlaku.
Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

621. TAK

TIDAK PERNAH DILAKUKAN NABI
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M


      Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang hal-hal yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
      Istilah,“Jika tidak pernah dilakukan oleh Nabi, maka hukumnya adalah haram”. Hal inilah yang dijadikan kaidah sehingga dapat membuat orang mengharamkan sesuatu yang tidak haram dan membid’ahkan sesuatu yang tidak bid’ah.
      Kaidah dalam ilmu Ushul Fiqh berikut ini.
      Kaidah pertama, dalam hukum haram terdapat tiga model.
      Model pertama, kata “nahi” berupa kalimat larangan langsung, seperti dalam surah Al-Quran surah Al-Isra, surah ke-17 ayat 32.

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

     “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا
     
       “Dan janganlan kamu mendekati zina.”
      Model kedua, kata “nafi” berupa larangan tidak langsung, seperti dalam Al-Quran surah Al-Hujurat, surah ke-49 ayat 12.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

      “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antaramu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.”

وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا
    “Dan janganlan kalian saling menggunjing satu sama lain.”
      Model ketiga, kata “waid” berupa kecaman keras, seperti Nabi bersabda,”Siapa yang menipu kami, makaَ dia bukanlah dari golongan kami.” (HR. Muslim).
      Sedangkan “at-Tark” (perbuatan yang ditinggalkan dan tidak dilakukan oleh Nabi , tidak satu pun para ahli Ushul Fiqh menggolongkannya ke dalam kaidah haram.
      Kaidah  kedua, semua yang diperintahkan oleh Nabi maka kerjakan, dan semua yang dilarang oleh Nabi maka tinggalkan, dan tidak ada kaidah tambahan,”Semua yang tidak dilakukan oleh Nabi, maka hukumnya haram.”
      Al-Quran surah Al-Hasyr, surah ke-59 ayat 7.

مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ ۚ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
  
   “Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.”
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ

“Dan apa saja yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah”.
     Kaidah ketiga, yaitu yang diperintahkan oleh Nabi harus dilaksanakan, dan yang dilarang oleh Nabi harus ditinggalkan”.
      Nabi bersabda,“Yang aku perintahkan, laksanakan, dan yang aku larang, tinggalkan”. Tidak ada kalimat tambahan, “Yang tidak aku lakukan, haramkan!”.
    Kaidah keempat, para ulama Ushul Fiqh mendefinisikan sunah adalah ucapan, perbuatan, dan ketetapan yang berasal dari Nabi layak dijadikan sebagai dalil hukum syar’i.
     Hanya terdapat tiga ketetapan dalam sunah Nabi, yaitu “qaul” (ucapan), “fi’l” (perbuatan), dan “taqrir” (ketetapan). Tidak ada disebutkan “at-Tark’ (sesuatu yang ditinggalkan dan tidak pernah dilakukan oleh Nabi), sehingga “at-Tark” tidak termasuk dalil penetapan hukum syar’i.
      Kaidah kelima, masalah “at-Tark” (sesuatu yang ditinggalkan dan tidak dilakukan oleh Nabi) tidak selamanya mengandung makna larangan, tetapi mengandung multi makna dan banyak kemungkinan arti.
     Dalam kaidah Ushul Fiqh dinyatakan bahwa,”Jika sebuah dalil itu mengandung ‘ihtimal’ (banyak kemungkinan dan ketidakpastian), maka tidak layak dijadikan sebagai dalil.”
      Kaidah keenam, masalah “at-Tark” (sesuatu yang ditinggalkan dan tidak pernah dilakukan oleh Nabi), itu adalah hukum asal, sedangkan dalam hukum asalnya tidak ada suatu perbuatan pun.
     Sedangkan perbuatan itu datang belakangan, maka “at-Tark” tidak dapat  menetapkan hukum haram, karena banyak sekali perkara mandub (anjuran) dan perkara mubah (boleh) yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah.
     Apabila dikatakan bahwa semua yang tidak dilakukan Rasulullah mengandung hukum haram, maka akan terhentilah kehidupan kaum muslimin.
      Nabi bersabda, “Apa yang dihalalkan oleh Allah, maka itu halal, apa yang diharamkan, maka itu haram, dan apa yang didiamkan (tidak disebutkan), itu adalah kebaikan dari Allah, maka terimalah, sesungguhnya Allah tidak pernah lupa terhadap segala sesuatu.”
      Al-Quran surah Maryam, surah ke-19 ayat 64.

    وَمَا نَتَنَزَّلُ إِلَّا بِأَمْرِ رَبِّكَ ۖ لَهُ مَا بَيْنَ أَيْدِينَا وَمَا خَلْفَنَا وَمَا بَيْنَ ذَٰلِكَ ۚ وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا

     “Dan tidaklah kami (Jibril) turun, kecuali dengan perintah Tuhanmu. Kepunyaan-Nya-lah apa-apa yang ada di hadapan kita, apa-apa yang ada di belakang kita dan apa-apa yang ada di antara keduanya, dan tidaklah Tuhanmu lupa.’
     Kemudian Rasulullah membacakan ayat, “dan tidaklah Tuhanmu lupa.”. (Qs. Maryam [19]: 64).
وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا
  
   “Dan Tuhanmu tidak lupa.”
     Hal ini menunjukkan bahwa yang tidak disebutkan oleh Allah dan tidak dilakukan oleh Rasulullah bukan berarti mengandung makna haram, tetapi mengandung makna boleh, hingga ada dalil lain yang mengharamkannya.
      Sehingga kaidah,“Jika tidak pernah dilakukan oleh Nabi, maka hukumnya  haram”. Adalah batal dan tidak berlaku.
Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

Sunday, January 7, 2018

620. BIDAH

MEMAHAMI BID’AH
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M


      Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang masalah bid’ah menurut para ulama?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
     Jabir bin Abdillah berkata, “Ketika Rasulullah menyampaikan khutbah, kedua mata beliau memerah, suaranya keras, marahnya kuat, seakan-akan sedang memberikan  peringatan kepada pasukan perang, Rasulullah bersabda, ‘Dia yang telah menjadikan kamu hidup di waktu pagi dan petang’. Kemudian Rasulullah bersabda lagi, ‘Aku diutus, hari kiamat seperti ini’ . Rasulullah mendekatkan dua jarinya, yaitu jari telunjuk dan jari tengah. Kemudian Rasulullah bersabda, ‘Sesungguhnya sebaik-baik cerita  adalah  kitab  Allah  (Al-Quran).  Sebaik-baik  petunjuk  adalah  petunjuk  Muhammad. Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang dibuat-buat. Dan tiap-tiap perkara yang dibuat-buat itu adalah “dhalalah” (sesat )’.” (HR. Muslim).
      Irbadh bin Sariyah berkata, “Rasulullah suatu hari memberikan nasihat kepada kami setelah salat Subuh, nasihat yang sangat menyentuh, membuat air mata menetes dan hati bergetar. Seorang laki-laki berkata, ‘Sesungguhnya ini nasihat orang yang akan pergi jauh, apa yang engkau pesankan kepada kami wahai Rasulullah’. Rasulullah bersabda, ‘Aku wasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah. Tetap mendengar dan patuh, meskipun kamu dipimpin seorang hamba sahaya berkulit hitam. Sesungguhnya orang yang hidup darimu akan melihat banyak pertikaian. Jauhi perkara yang dibuat-buat, sesungguhnya perkara yang dibuat-buat adalah dhalalah (sesat). Siapa yang mendapati itu dari kalian, maka hendaklah ia berpegang pada sunahku dan sunah Khulafaur Rasyidin yang mendapatkan hidayah. Gigitlah dengan gigi geraham’.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
    Imam Syathibi berpendapat bahwa bid’ah adalah suatu cara/kebiasaan dalam agama  Islam, cara  yang dibuat-buat untuk menandingi syariat  Islam, tujuan melakukannya adalah sikap berlebihan dalam beribadah kepada Allah.
      Imam Izz bin Abdissalam berpendapat bahwa bid’ah adalah semua hal dan perkara yang tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah.
      Imam Nawawi berpendapat bahwa para ahli bahasa berkata, bid’ah adalah semua  perbuatan yang dilakukan dengan tidak pernah ada contoh sebelumnya.
      Hafizh Ibnu Hajar Asqalani berpendapat bahwa bid’ah adalah segala sesuatu yang dibuat-buat tanpa ada contoh sebelumnya, tanpa melihat sesuatu yang dibuat-buat itu terpuji atau tercela.
     Semua ulama sepakat bahwa bid’ah adalah sesuatu yang dibuat-buat, tanpa ada contoh sebelumnya, tidak diucapkan dan tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, sehingga mobil dan pesawat terbang adalah bid’ah, maka kita mestinya naik onta seperti Nabi.
    Yang tidak setuju berkata,”Mobil dan pesawat terbang  bukan masalah ibadah, yang dimaksud bid’ah adalah dalam masalah ibadah”, artinya terdapat bid’ah dalam urusan dunia yang dibolehkan dan bid’ah dalam urusan agama yang dilarang.
     Imam Syafi’i (150 – 204 Hijriah) membagi bid’ah menjadi dua bagian, yaitu bid’ah “mahmudah’ (terpuji) dan bid’ah “madzmumah” (tercela). Bid’ah mahmudah (terpuji) adalah bid’ah yang sesuai dengan sunah Nabi, sedangkan bid’ah “madzmumah” (tercela) adalah bid’ah yang bertentangan dengan sunah Nabi.
     Imam Baihaqi berkata bahwa Imam Syafii membagi bid’ah menjadi dua bagian, yaitu bid’ah “dalalah” (sesat) adalah hal yang dibuat-buat dan bertentangan dengan Al-Quran, sunah, atsar, atau Ijma.
     Sedangkan bid’ah “ghair madzmudah” (tidak sesat) adalah hal yang dibuat-buat dalam kebaikan yang tidak bertentangan dengan Al-Quran, sunah, atsar, atau ijma’.

Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

620. BIDAH

MEMAHAMI BID’AH
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M


      Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang masalah bid’ah menurut para ulama?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
     Jabir bin Abdillah berkata, “Ketika Rasulullah menyampaikan khutbah, kedua mata beliau memerah, suaranya keras, marahnya kuat, seakan-akan sedang memberikan  peringatan kepada pasukan perang, Rasulullah bersabda, ‘Dia yang telah menjadikan kamu hidup di waktu pagi dan petang’. Kemudian Rasulullah bersabda lagi, ‘Aku diutus, hari kiamat seperti ini’ . Rasulullah mendekatkan dua jarinya, yaitu jari telunjuk dan jari tengah. Kemudian Rasulullah bersabda, ‘Sesungguhnya sebaik-baik cerita  adalah  kitab  Allah  (Al-Quran).  Sebaik-baik  petunjuk  adalah  petunjuk  Muhammad. Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang dibuat-buat. Dan tiap-tiap perkara yang dibuat-buat itu adalah “dhalalah” (sesat )’.” (HR. Muslim).
      Irbadh bin Sariyah berkata, “Rasulullah suatu hari memberikan nasihat kepada kami setelah salat Subuh, nasihat yang sangat menyentuh, membuat air mata menetes dan hati bergetar. Seorang laki-laki berkata, ‘Sesungguhnya ini nasihat orang yang akan pergi jauh, apa yang engkau pesankan kepada kami wahai Rasulullah’. Rasulullah bersabda, ‘Aku wasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah. Tetap mendengar dan patuh, meskipun kamu dipimpin seorang hamba sahaya berkulit hitam. Sesungguhnya orang yang hidup darimu akan melihat banyak pertikaian. Jauhi perkara yang dibuat-buat, sesungguhnya perkara yang dibuat-buat adalah dhalalah (sesat). Siapa yang mendapati itu dari kalian, maka hendaklah ia berpegang pada sunahku dan sunah Khulafaur Rasyidin yang mendapatkan hidayah. Gigitlah dengan gigi geraham’.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
    Imam Syathibi berpendapat bahwa bid’ah adalah suatu cara/kebiasaan dalam agama  Islam, cara  yang dibuat-buat untuk menandingi syariat  Islam, tujuan melakukannya adalah sikap berlebihan dalam beribadah kepada Allah.
      Imam Izz bin Abdissalam berpendapat bahwa bid’ah adalah semua hal dan perkara yang tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah.
      Imam Nawawi berpendapat bahwa para ahli bahasa berkata, bid’ah adalah semua  perbuatan yang dilakukan dengan tidak pernah ada contoh sebelumnya.
      Hafizh Ibnu Hajar Asqalani berpendapat bahwa bid’ah adalah segala sesuatu yang dibuat-buat tanpa ada contoh sebelumnya, tanpa melihat sesuatu yang dibuat-buat itu terpuji atau tercela.
     Semua ulama sepakat bahwa bid’ah adalah sesuatu yang dibuat-buat, tanpa ada contoh sebelumnya, tidak diucapkan dan tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, sehingga mobil dan pesawat terbang adalah bid’ah, maka kita mestinya naik onta seperti Nabi.
    Yang tidak setuju berkata,”Mobil dan pesawat terbang  bukan masalah ibadah, yang dimaksud bid’ah adalah dalam masalah ibadah”, artinya terdapat bid’ah dalam urusan dunia yang dibolehkan dan bid’ah dalam urusan agama yang dilarang.
     Imam Syafi’i (150 – 204 Hijriah) membagi bid’ah menjadi dua bagian, yaitu bid’ah “mahmudah’ (terpuji) dan bid’ah “madzmumah” (tercela). Bid’ah mahmudah (terpuji) adalah bid’ah yang sesuai dengan sunah Nabi, sedangkan bid’ah “madzmumah” (tercela) adalah bid’ah yang bertentangan dengan sunah Nabi.
     Imam Baihaqi berkata bahwa Imam Syafii membagi bid’ah menjadi dua bagian, yaitu bid’ah “dalalah” (sesat) adalah hal yang dibuat-buat dan bertentangan dengan Al-Quran, sunah, atsar, atau Ijma.
     Sedangkan bid’ah “ghair madzmudah” (tidak sesat) adalah hal yang dibuat-buat dalam kebaikan yang tidak bertentangan dengan Al-Quran, sunah, atsar, atau ijma’.

Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online