Organisasi Profesi Guru

Presiden Jokowi memberi hormat kepada Guru-Guru se Indonesia.

Tema Gambar Slide 2

Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.

Tema Gambar Slide 3

Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.

Monday, January 8, 2018

622. BENAR

NABI MEMBENARKAN SAHABAT
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M


      Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang Nabi pernah membenarkan perbuatan para sahabat, padahal Nabi tidak melakukannya?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
    Nabi membenarkan perbuatan para sahabat, padahal Nabi tidak pernah melakukannya, tidak pernah  beliau ucapkan  dan  tidak  pernah  beliau  ajarkan, tetapi  dilakukan  oleh sahabat dan Nabi membenarkannya.
     Kasus pertama, salat dua rakaat setelah wudu’.
      Abu Hurairah berkisah Nabi bersabda kepada Bilal pada salat Subuh, “Wahai Bilal, ceritakan kepadaku tentang amal yang paling engkau harapkan yang telah engkau amalkan dalam Islam? Karena aku mendengar suara gesekan sandalmu di depanku di dalam surge.”
      Bilal menjawab, “Saya tidak pernah melakukan amal yang paling saya harapkan, hanya saja saya tidak pernah bersuci (wudu’) di waktu malam atau siang, melainkan aku salat dengan itu (salat sunah wudu’), salat yang telah ditetapkan bagiku.” (HR. Bukhari).
      Nabi tidak pernah melakukan, mengucapkan, atau mengajarkan salat sunat dua rakaat setelah berwudu, sehingga salat sunah setelah wudu’ adalah bid’ah, karena Nabi tidak pernah melakukannya, maka salat sunah dua rakaat setelah wudu’ adalah “bid’ah hasanah”.
     Hal itu dikatakan sunah “taqririyah” setelah Nabi membenarkannya, tetapi sebelum Nabi membenarkannya, salat sunat dua rakaat setelah berwudu adalah bid’ah, yaitu amal yang dibuat-buat oleh Bilal.
     Seandainya Nabi tidak bertanya kepada Bilal, tentulah Bilal melakukannya seumur hidupnya tanpa mengetahui apa pendapat Nabi tentang salat dua rakaat setelah wudu, sehingga salat setelah wudu’ itu “bid’ah hasanah’ sebelum diakui Nabi, dan setelah mendapatkan pengakuan Nabi, maka berubah menjadi sunah “taqririyah”.
      Kasus kedua, salat dua rakaat sebelum dibunuh.
      Abu Hurairah berkisah, “Nabi mengutus 10 orang ke daerah Hadah antara Asfan dan Mekah, ternyata Khubaib ditawan pasukan musuh. Ketika pasukan musuh akan membunuhnya, Khubaib berkata,”Izinkan aku melaksanakan salat dua rakaat”. Pasukan musuh mengizinkan dan kemudian membunuhnya.
     Khubaib adalah orang pertama yang “men-sunah-kan” salat sunah bagi setiap muslim yang terbunuh dalam keadaan sabar. (HR. Bukhari).
    Nabi tidak pernah mengajarkan, “Hai orang-orang beriman, jika kamu akan dibunuh, maka salat sunahlah dua rakaat”. Salat sunah dua rakaat ini murni inisiatif dari Khubaib, maka Khubaib melakukan perbuatan yang tidak dilakukan, tidak diucapkan dan tidak diajarkan oleh Nabi, maka termasuk bid’ah, tetapi “bid’ah hasanah”, setelah disampaikan kepada Nabi dan diakui beliau, barulah ia menjadi “sunah taqririyah”.
      Kasus ketiga, membaca surat Al-Ikhlas sebelum surat yang lain.
       Anas bin Malik berkisah tentang seorang laki-laki yang menjadi imam salat kaum Ansar di Masjid Quba, setiap selesai membaca Fatihah, ia mengawalinya dengan membaca surat Al-Ikhlas, setelah itu barulah ia membaca surah yang lain.
     Para sahabat melaporkan kepada Nabi, kemudian Nabi bersabda, “Wahai fulan, apa yang membuatmu terus membaca surat Al-Ikhlas?” Ia menjawab, “Sesungguhnya saya sangat suka surat Al-Ikhlas”. Nabi bersabda, “Cintamu kepada surat Al -Ikhlas membuatmu masuk surga.”(HR. Bukhari).
      Kasus keempat, sahabat menutup bacaan dengan surat Al-Ikhlas.
      Aisyah berkata,”Nabi mengutus seorang laki-laki dalam satu pasukan perang. Ia menjadi imam bagi para sahabatnya dalam salat mereka. Ia selalu menutup bacaan ayat dengan surat Al-Ikhlas. Ketika mereka kembali, peristiwa dilaporkan kepada Nabi, dan Nabi bersabda,”Tanyakan kepadanya, mengapa dia melakukannya?” sahabat menjawab,  “Karena  Al-Ikhlas  adalah  sifat  Allah  Yang  Maha  Pengasih, maka saya  suka membacanya”. Nabi bersabda,“Beritahukan kepadanya bahwa Allah mencintainya.”(HR. Bukhari dan Muslim).
      Kasus kelima, Qatadah bin Nu’man membaca surat Al-Ikhlas semalam penuh.      Kemudian dilaporkan kepada Nabi, maka Nabi bersabda,”Sesungguhnya  surat  Al-Ikhlas  sama dengan sepertiga Al-Qur’an.” (HR. Bukhari).
      Kasus keenam, bacaan iftitah yang dibuat oleh sahabat.
     Ibnu Umar berkata, “Ketika kami salat bersama Nabi, seorang laki-laki dari suatu kaum mengucapkan doa iftitah tertentu, maka Nabi bersabda,”Siapakah yang mengucapkan kalimat anu dan anu?” Laki-laki itu menjawab, “Saya wahai Nabi.” Nabi bersabda,”Saya kagum dengan bacaan itu, karena pintu-pintu langit dibukakan karena doa itu.”
      Kasus ketujuh, sebuah doa yang dibuat oleh sahabat Nabi.
    Anas bin Malik berkata,”Sesungguhnya Nabi mendengar seorang laki-laki mengucapkan suatu doa tertentu.” Nabi bersabda, “Engkau telah memohon kepada Allah dengan nama-Nya yang Agung, apabila berdoa dengan doa itu maka doanya akan dikabulkan oleh Allah.”
      Kasus kedelapan, doa tambahan pada bacaan sesudah rukuk.
      Rifa’ah bin Rafi’ berkata, “Suatu hari kami salat di belakang Nabi, ketika Nabi mengangkat kepala dari rukuk dan mengucapkan doa, maka seorang laki-laki yang berada di belakangnya mengucapkan doa tambahan tertentu. Ketika  selesai  salat,  Nabi bersabda, “Siapakah  yang mengucapkan kalimat tadi?”. Laki-laki itu menjawab, “Saya”. Nabi bersabda,”Aku melihat puluhan malaikat mendatangimu, para malaikat berebut menuliskannya pertama kali.” (HR. Bukhari dan Muslim).
      Kasus kesembilan, bacaan ruqyah dibuat oleh sahabat Nabi.
     Seorang sahabat menyembuhkan orang gila yang terikat dengan ruqyah, dengan membacakan surat Al-Fatihah tiga hari pagi dan petang. Dia berkata,”Setiap kali selesai membaca surat Al-Fatihah, saya kumpulkan air liur saya, kemudian saya tiupkan. Seakan-akan orang gila itu sadar dari ikatannya, lalu mereka memberi saya upah, maka saya jawab, ‘Saya akan menanyakan hukumnya kepada Nabi terlebih dahulu’.”
     Nabi bersabda,”Sungguh engkau telah makan dari hasil ruqyah yang benar.” (HR. Abu Daud, Ahmad dan Hakim).
Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

622. BENAR

NABI MEMBENARKAN SAHABAT
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M


      Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang Nabi pernah membenarkan perbuatan para sahabat, padahal Nabi tidak melakukannya?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
    Nabi membenarkan perbuatan para sahabat, padahal Nabi tidak pernah melakukannya, tidak pernah  beliau ucapkan  dan  tidak  pernah  beliau  ajarkan, tetapi  dilakukan  oleh sahabat dan Nabi membenarkannya.
     Kasus pertama, salat dua rakaat setelah wudu’.
      Abu Hurairah berkisah Nabi bersabda kepada Bilal pada salat Subuh, “Wahai Bilal, ceritakan kepadaku tentang amal yang paling engkau harapkan yang telah engkau amalkan dalam Islam? Karena aku mendengar suara gesekan sandalmu di depanku di dalam surge.”
      Bilal menjawab, “Saya tidak pernah melakukan amal yang paling saya harapkan, hanya saja saya tidak pernah bersuci (wudu’) di waktu malam atau siang, melainkan aku salat dengan itu (salat sunah wudu’), salat yang telah ditetapkan bagiku.” (HR. Bukhari).
      Nabi tidak pernah melakukan, mengucapkan, atau mengajarkan salat sunat dua rakaat setelah berwudu, sehingga salat sunah setelah wudu’ adalah bid’ah, karena Nabi tidak pernah melakukannya, maka salat sunah dua rakaat setelah wudu’ adalah “bid’ah hasanah”.
     Hal itu dikatakan sunah “taqririyah” setelah Nabi membenarkannya, tetapi sebelum Nabi membenarkannya, salat sunat dua rakaat setelah berwudu adalah bid’ah, yaitu amal yang dibuat-buat oleh Bilal.
     Seandainya Nabi tidak bertanya kepada Bilal, tentulah Bilal melakukannya seumur hidupnya tanpa mengetahui apa pendapat Nabi tentang salat dua rakaat setelah wudu, sehingga salat setelah wudu’ itu “bid’ah hasanah’ sebelum diakui Nabi, dan setelah mendapatkan pengakuan Nabi, maka berubah menjadi sunah “taqririyah”.
      Kasus kedua, salat dua rakaat sebelum dibunuh.
      Abu Hurairah berkisah, “Nabi mengutus 10 orang ke daerah Hadah antara Asfan dan Mekah, ternyata Khubaib ditawan pasukan musuh. Ketika pasukan musuh akan membunuhnya, Khubaib berkata,”Izinkan aku melaksanakan salat dua rakaat”. Pasukan musuh mengizinkan dan kemudian membunuhnya.
     Khubaib adalah orang pertama yang “men-sunah-kan” salat sunah bagi setiap muslim yang terbunuh dalam keadaan sabar. (HR. Bukhari).
    Nabi tidak pernah mengajarkan, “Hai orang-orang beriman, jika kamu akan dibunuh, maka salat sunahlah dua rakaat”. Salat sunah dua rakaat ini murni inisiatif dari Khubaib, maka Khubaib melakukan perbuatan yang tidak dilakukan, tidak diucapkan dan tidak diajarkan oleh Nabi, maka termasuk bid’ah, tetapi “bid’ah hasanah”, setelah disampaikan kepada Nabi dan diakui beliau, barulah ia menjadi “sunah taqririyah”.
      Kasus ketiga, membaca surat Al-Ikhlas sebelum surat yang lain.
       Anas bin Malik berkisah tentang seorang laki-laki yang menjadi imam salat kaum Ansar di Masjid Quba, setiap selesai membaca Fatihah, ia mengawalinya dengan membaca surat Al-Ikhlas, setelah itu barulah ia membaca surah yang lain.
     Para sahabat melaporkan kepada Nabi, kemudian Nabi bersabda, “Wahai fulan, apa yang membuatmu terus membaca surat Al-Ikhlas?” Ia menjawab, “Sesungguhnya saya sangat suka surat Al-Ikhlas”. Nabi bersabda, “Cintamu kepada surat Al -Ikhlas membuatmu masuk surga.”(HR. Bukhari).
      Kasus keempat, sahabat menutup bacaan dengan surat Al-Ikhlas.
      Aisyah berkata,”Nabi mengutus seorang laki-laki dalam satu pasukan perang. Ia menjadi imam bagi para sahabatnya dalam salat mereka. Ia selalu menutup bacaan ayat dengan surat Al-Ikhlas. Ketika mereka kembali, peristiwa dilaporkan kepada Nabi, dan Nabi bersabda,”Tanyakan kepadanya, mengapa dia melakukannya?” sahabat menjawab,  “Karena  Al-Ikhlas  adalah  sifat  Allah  Yang  Maha  Pengasih, maka saya  suka membacanya”. Nabi bersabda,“Beritahukan kepadanya bahwa Allah mencintainya.”(HR. Bukhari dan Muslim).
      Kasus kelima, Qatadah bin Nu’man membaca surat Al-Ikhlas semalam penuh.      Kemudian dilaporkan kepada Nabi, maka Nabi bersabda,”Sesungguhnya  surat  Al-Ikhlas  sama dengan sepertiga Al-Qur’an.” (HR. Bukhari).
      Kasus keenam, bacaan iftitah yang dibuat oleh sahabat.
     Ibnu Umar berkata, “Ketika kami salat bersama Nabi, seorang laki-laki dari suatu kaum mengucapkan doa iftitah tertentu, maka Nabi bersabda,”Siapakah yang mengucapkan kalimat anu dan anu?” Laki-laki itu menjawab, “Saya wahai Nabi.” Nabi bersabda,”Saya kagum dengan bacaan itu, karena pintu-pintu langit dibukakan karena doa itu.”
      Kasus ketujuh, sebuah doa yang dibuat oleh sahabat Nabi.
    Anas bin Malik berkata,”Sesungguhnya Nabi mendengar seorang laki-laki mengucapkan suatu doa tertentu.” Nabi bersabda, “Engkau telah memohon kepada Allah dengan nama-Nya yang Agung, apabila berdoa dengan doa itu maka doanya akan dikabulkan oleh Allah.”
      Kasus kedelapan, doa tambahan pada bacaan sesudah rukuk.
      Rifa’ah bin Rafi’ berkata, “Suatu hari kami salat di belakang Nabi, ketika Nabi mengangkat kepala dari rukuk dan mengucapkan doa, maka seorang laki-laki yang berada di belakangnya mengucapkan doa tambahan tertentu. Ketika  selesai  salat,  Nabi bersabda, “Siapakah  yang mengucapkan kalimat tadi?”. Laki-laki itu menjawab, “Saya”. Nabi bersabda,”Aku melihat puluhan malaikat mendatangimu, para malaikat berebut menuliskannya pertama kali.” (HR. Bukhari dan Muslim).
      Kasus kesembilan, bacaan ruqyah dibuat oleh sahabat Nabi.
     Seorang sahabat menyembuhkan orang gila yang terikat dengan ruqyah, dengan membacakan surat Al-Fatihah tiga hari pagi dan petang. Dia berkata,”Setiap kali selesai membaca surat Al-Fatihah, saya kumpulkan air liur saya, kemudian saya tiupkan. Seakan-akan orang gila itu sadar dari ikatannya, lalu mereka memberi saya upah, maka saya jawab, ‘Saya akan menanyakan hukumnya kepada Nabi terlebih dahulu’.”
     Nabi bersabda,”Sungguh engkau telah makan dari hasil ruqyah yang benar.” (HR. Abu Daud, Ahmad dan Hakim).
Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

622. BENAR

NABI MEMBENARKAN SAHABAT
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M


      Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang Nabi pernah membenarkan perbuatan para sahabat, padahal Nabi tidak melakukannya?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
    Nabi membenarkan perbuatan para sahabat, padahal Nabi tidak pernah melakukannya, tidak pernah  beliau ucapkan  dan  tidak  pernah  beliau  ajarkan, tetapi  dilakukan  oleh sahabat dan Nabi membenarkannya.
     Kasus pertama, salat dua rakaat setelah wudu’.
      Abu Hurairah berkisah Nabi bersabda kepada Bilal pada salat Subuh, “Wahai Bilal, ceritakan kepadaku tentang amal yang paling engkau harapkan yang telah engkau amalkan dalam Islam? Karena aku mendengar suara gesekan sandalmu di depanku di dalam surge.”
      Bilal menjawab, “Saya tidak pernah melakukan amal yang paling saya harapkan, hanya saja saya tidak pernah bersuci (wudu’) di waktu malam atau siang, melainkan aku salat dengan itu (salat sunah wudu’), salat yang telah ditetapkan bagiku.” (HR. Bukhari).
      Nabi tidak pernah melakukan, mengucapkan, atau mengajarkan salat sunat dua rakaat setelah berwudu, sehingga salat sunah setelah wudu’ adalah bid’ah, karena Nabi tidak pernah melakukannya, maka salat sunah dua rakaat setelah wudu’ adalah “bid’ah hasanah”.
     Hal itu dikatakan sunah “taqririyah” setelah Nabi membenarkannya, tetapi sebelum Nabi membenarkannya, salat sunat dua rakaat setelah berwudu adalah bid’ah, yaitu amal yang dibuat-buat oleh Bilal.
     Seandainya Nabi tidak bertanya kepada Bilal, tentulah Bilal melakukannya seumur hidupnya tanpa mengetahui apa pendapat Nabi tentang salat dua rakaat setelah wudu, sehingga salat setelah wudu’ itu “bid’ah hasanah’ sebelum diakui Nabi, dan setelah mendapatkan pengakuan Nabi, maka berubah menjadi sunah “taqririyah”.
      Kasus kedua, salat dua rakaat sebelum dibunuh.
      Abu Hurairah berkisah, “Nabi mengutus 10 orang ke daerah Hadah antara Asfan dan Mekah, ternyata Khubaib ditawan pasukan musuh. Ketika pasukan musuh akan membunuhnya, Khubaib berkata,”Izinkan aku melaksanakan salat dua rakaat”. Pasukan musuh mengizinkan dan kemudian membunuhnya.
     Khubaib adalah orang pertama yang “men-sunah-kan” salat sunah bagi setiap muslim yang terbunuh dalam keadaan sabar. (HR. Bukhari).
    Nabi tidak pernah mengajarkan, “Hai orang-orang beriman, jika kamu akan dibunuh, maka salat sunahlah dua rakaat”. Salat sunah dua rakaat ini murni inisiatif dari Khubaib, maka Khubaib melakukan perbuatan yang tidak dilakukan, tidak diucapkan dan tidak diajarkan oleh Nabi, maka termasuk bid’ah, tetapi “bid’ah hasanah”, setelah disampaikan kepada Nabi dan diakui beliau, barulah ia menjadi “sunah taqririyah”.
      Kasus ketiga, membaca surat Al-Ikhlas sebelum surat yang lain.
       Anas bin Malik berkisah tentang seorang laki-laki yang menjadi imam salat kaum Ansar di Masjid Quba, setiap selesai membaca Fatihah, ia mengawalinya dengan membaca surat Al-Ikhlas, setelah itu barulah ia membaca surah yang lain.
     Para sahabat melaporkan kepada Nabi, kemudian Nabi bersabda, “Wahai fulan, apa yang membuatmu terus membaca surat Al-Ikhlas?” Ia menjawab, “Sesungguhnya saya sangat suka surat Al-Ikhlas”. Nabi bersabda, “Cintamu kepada surat Al -Ikhlas membuatmu masuk surga.”(HR. Bukhari).
      Kasus keempat, sahabat menutup bacaan dengan surat Al-Ikhlas.
      Aisyah berkata,”Nabi mengutus seorang laki-laki dalam satu pasukan perang. Ia menjadi imam bagi para sahabatnya dalam salat mereka. Ia selalu menutup bacaan ayat dengan surat Al-Ikhlas. Ketika mereka kembali, peristiwa dilaporkan kepada Nabi, dan Nabi bersabda,”Tanyakan kepadanya, mengapa dia melakukannya?” sahabat menjawab,  “Karena  Al-Ikhlas  adalah  sifat  Allah  Yang  Maha  Pengasih, maka saya  suka membacanya”. Nabi bersabda,“Beritahukan kepadanya bahwa Allah mencintainya.”(HR. Bukhari dan Muslim).
      Kasus kelima, Qatadah bin Nu’man membaca surat Al-Ikhlas semalam penuh.      Kemudian dilaporkan kepada Nabi, maka Nabi bersabda,”Sesungguhnya  surat  Al-Ikhlas  sama dengan sepertiga Al-Qur’an.” (HR. Bukhari).
      Kasus keenam, bacaan iftitah yang dibuat oleh sahabat.
     Ibnu Umar berkata, “Ketika kami salat bersama Nabi, seorang laki-laki dari suatu kaum mengucapkan doa iftitah tertentu, maka Nabi bersabda,”Siapakah yang mengucapkan kalimat anu dan anu?” Laki-laki itu menjawab, “Saya wahai Nabi.” Nabi bersabda,”Saya kagum dengan bacaan itu, karena pintu-pintu langit dibukakan karena doa itu.”
      Kasus ketujuh, sebuah doa yang dibuat oleh sahabat Nabi.
    Anas bin Malik berkata,”Sesungguhnya Nabi mendengar seorang laki-laki mengucapkan suatu doa tertentu.” Nabi bersabda, “Engkau telah memohon kepada Allah dengan nama-Nya yang Agung, apabila berdoa dengan doa itu maka doanya akan dikabulkan oleh Allah.”
      Kasus kedelapan, doa tambahan pada bacaan sesudah rukuk.
      Rifa’ah bin Rafi’ berkata, “Suatu hari kami salat di belakang Nabi, ketika Nabi mengangkat kepala dari rukuk dan mengucapkan doa, maka seorang laki-laki yang berada di belakangnya mengucapkan doa tambahan tertentu. Ketika  selesai  salat,  Nabi bersabda, “Siapakah  yang mengucapkan kalimat tadi?”. Laki-laki itu menjawab, “Saya”. Nabi bersabda,”Aku melihat puluhan malaikat mendatangimu, para malaikat berebut menuliskannya pertama kali.” (HR. Bukhari dan Muslim).
      Kasus kesembilan, bacaan ruqyah dibuat oleh sahabat Nabi.
     Seorang sahabat menyembuhkan orang gila yang terikat dengan ruqyah, dengan membacakan surat Al-Fatihah tiga hari pagi dan petang. Dia berkata,”Setiap kali selesai membaca surat Al-Fatihah, saya kumpulkan air liur saya, kemudian saya tiupkan. Seakan-akan orang gila itu sadar dari ikatannya, lalu mereka memberi saya upah, maka saya jawab, ‘Saya akan menanyakan hukumnya kepada Nabi terlebih dahulu’.”
     Nabi bersabda,”Sungguh engkau telah makan dari hasil ruqyah yang benar.” (HR. Abu Daud, Ahmad dan Hakim).
Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

622. BENAR

NABI MEMBENARKAN SAHABAT
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M


      Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang Nabi pernah membenarkan perbuatan para sahabat, padahal Nabi tidak melakukannya?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
    Nabi membenarkan perbuatan para sahabat, padahal Nabi tidak pernah melakukannya, tidak pernah  beliau ucapkan  dan  tidak  pernah  beliau  ajarkan, tetapi  dilakukan  oleh sahabat dan Nabi membenarkannya.
     Kasus pertama, salat dua rakaat setelah wudu’.
      Abu Hurairah berkisah Nabi bersabda kepada Bilal pada salat Subuh, “Wahai Bilal, ceritakan kepadaku tentang amal yang paling engkau harapkan yang telah engkau amalkan dalam Islam? Karena aku mendengar suara gesekan sandalmu di depanku di dalam surge.”
      Bilal menjawab, “Saya tidak pernah melakukan amal yang paling saya harapkan, hanya saja saya tidak pernah bersuci (wudu’) di waktu malam atau siang, melainkan aku salat dengan itu (salat sunah wudu’), salat yang telah ditetapkan bagiku.” (HR. Bukhari).
      Nabi tidak pernah melakukan, mengucapkan, atau mengajarkan salat sunat dua rakaat setelah berwudu, sehingga salat sunah setelah wudu’ adalah bid’ah, karena Nabi tidak pernah melakukannya, maka salat sunah dua rakaat setelah wudu’ adalah “bid’ah hasanah”.
     Hal itu dikatakan sunah “taqririyah” setelah Nabi membenarkannya, tetapi sebelum Nabi membenarkannya, salat sunat dua rakaat setelah berwudu adalah bid’ah, yaitu amal yang dibuat-buat oleh Bilal.
     Seandainya Nabi tidak bertanya kepada Bilal, tentulah Bilal melakukannya seumur hidupnya tanpa mengetahui apa pendapat Nabi tentang salat dua rakaat setelah wudu, sehingga salat setelah wudu’ itu “bid’ah hasanah’ sebelum diakui Nabi, dan setelah mendapatkan pengakuan Nabi, maka berubah menjadi sunah “taqririyah”.
      Kasus kedua, salat dua rakaat sebelum dibunuh.
      Abu Hurairah berkisah, “Nabi mengutus 10 orang ke daerah Hadah antara Asfan dan Mekah, ternyata Khubaib ditawan pasukan musuh. Ketika pasukan musuh akan membunuhnya, Khubaib berkata,”Izinkan aku melaksanakan salat dua rakaat”. Pasukan musuh mengizinkan dan kemudian membunuhnya.
     Khubaib adalah orang pertama yang “men-sunah-kan” salat sunah bagi setiap muslim yang terbunuh dalam keadaan sabar. (HR. Bukhari).
    Nabi tidak pernah mengajarkan, “Hai orang-orang beriman, jika kamu akan dibunuh, maka salat sunahlah dua rakaat”. Salat sunah dua rakaat ini murni inisiatif dari Khubaib, maka Khubaib melakukan perbuatan yang tidak dilakukan, tidak diucapkan dan tidak diajarkan oleh Nabi, maka termasuk bid’ah, tetapi “bid’ah hasanah”, setelah disampaikan kepada Nabi dan diakui beliau, barulah ia menjadi “sunah taqririyah”.
      Kasus ketiga, membaca surat Al-Ikhlas sebelum surat yang lain.
       Anas bin Malik berkisah tentang seorang laki-laki yang menjadi imam salat kaum Ansar di Masjid Quba, setiap selesai membaca Fatihah, ia mengawalinya dengan membaca surat Al-Ikhlas, setelah itu barulah ia membaca surah yang lain.
     Para sahabat melaporkan kepada Nabi, kemudian Nabi bersabda, “Wahai fulan, apa yang membuatmu terus membaca surat Al-Ikhlas?” Ia menjawab, “Sesungguhnya saya sangat suka surat Al-Ikhlas”. Nabi bersabda, “Cintamu kepada surat Al -Ikhlas membuatmu masuk surga.”(HR. Bukhari).
      Kasus keempat, sahabat menutup bacaan dengan surat Al-Ikhlas.
      Aisyah berkata,”Nabi mengutus seorang laki-laki dalam satu pasukan perang. Ia menjadi imam bagi para sahabatnya dalam salat mereka. Ia selalu menutup bacaan ayat dengan surat Al-Ikhlas. Ketika mereka kembali, peristiwa dilaporkan kepada Nabi, dan Nabi bersabda,”Tanyakan kepadanya, mengapa dia melakukannya?” sahabat menjawab,  “Karena  Al-Ikhlas  adalah  sifat  Allah  Yang  Maha  Pengasih, maka saya  suka membacanya”. Nabi bersabda,“Beritahukan kepadanya bahwa Allah mencintainya.”(HR. Bukhari dan Muslim).
      Kasus kelima, Qatadah bin Nu’man membaca surat Al-Ikhlas semalam penuh.      Kemudian dilaporkan kepada Nabi, maka Nabi bersabda,”Sesungguhnya  surat  Al-Ikhlas  sama dengan sepertiga Al-Qur’an.” (HR. Bukhari).
      Kasus keenam, bacaan iftitah yang dibuat oleh sahabat.
     Ibnu Umar berkata, “Ketika kami salat bersama Nabi, seorang laki-laki dari suatu kaum mengucapkan doa iftitah tertentu, maka Nabi bersabda,”Siapakah yang mengucapkan kalimat anu dan anu?” Laki-laki itu menjawab, “Saya wahai Nabi.” Nabi bersabda,”Saya kagum dengan bacaan itu, karena pintu-pintu langit dibukakan karena doa itu.”
      Kasus ketujuh, sebuah doa yang dibuat oleh sahabat Nabi.
    Anas bin Malik berkata,”Sesungguhnya Nabi mendengar seorang laki-laki mengucapkan suatu doa tertentu.” Nabi bersabda, “Engkau telah memohon kepada Allah dengan nama-Nya yang Agung, apabila berdoa dengan doa itu maka doanya akan dikabulkan oleh Allah.”
      Kasus kedelapan, doa tambahan pada bacaan sesudah rukuk.
      Rifa’ah bin Rafi’ berkata, “Suatu hari kami salat di belakang Nabi, ketika Nabi mengangkat kepala dari rukuk dan mengucapkan doa, maka seorang laki-laki yang berada di belakangnya mengucapkan doa tambahan tertentu. Ketika  selesai  salat,  Nabi bersabda, “Siapakah  yang mengucapkan kalimat tadi?”. Laki-laki itu menjawab, “Saya”. Nabi bersabda,”Aku melihat puluhan malaikat mendatangimu, para malaikat berebut menuliskannya pertama kali.” (HR. Bukhari dan Muslim).
      Kasus kesembilan, bacaan ruqyah dibuat oleh sahabat Nabi.
     Seorang sahabat menyembuhkan orang gila yang terikat dengan ruqyah, dengan membacakan surat Al-Fatihah tiga hari pagi dan petang. Dia berkata,”Setiap kali selesai membaca surat Al-Fatihah, saya kumpulkan air liur saya, kemudian saya tiupkan. Seakan-akan orang gila itu sadar dari ikatannya, lalu mereka memberi saya upah, maka saya jawab, ‘Saya akan menanyakan hukumnya kepada Nabi terlebih dahulu’.”
     Nabi bersabda,”Sungguh engkau telah makan dari hasil ruqyah yang benar.” (HR. Abu Daud, Ahmad dan Hakim).
Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

622. BENAR

NABI MEMBENARKAN SAHABAT
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M


      Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang Nabi pernah membenarkan perbuatan para sahabat, padahal Nabi tidak melakukannya?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
    Nabi membenarkan perbuatan para sahabat, padahal Nabi tidak pernah melakukannya, tidak pernah  beliau ucapkan  dan  tidak  pernah  beliau  ajarkan, tetapi  dilakukan  oleh sahabat dan Nabi membenarkannya.
     Kasus pertama, salat dua rakaat setelah wudu’.
      Abu Hurairah berkisah Nabi bersabda kepada Bilal pada salat Subuh, “Wahai Bilal, ceritakan kepadaku tentang amal yang paling engkau harapkan yang telah engkau amalkan dalam Islam? Karena aku mendengar suara gesekan sandalmu di depanku di dalam surge.”
      Bilal menjawab, “Saya tidak pernah melakukan amal yang paling saya harapkan, hanya saja saya tidak pernah bersuci (wudu’) di waktu malam atau siang, melainkan aku salat dengan itu (salat sunah wudu’), salat yang telah ditetapkan bagiku.” (HR. Bukhari).
      Nabi tidak pernah melakukan, mengucapkan, atau mengajarkan salat sunat dua rakaat setelah berwudu, sehingga salat sunah setelah wudu’ adalah bid’ah, karena Nabi tidak pernah melakukannya, maka salat sunah dua rakaat setelah wudu’ adalah “bid’ah hasanah”.
     Hal itu dikatakan sunah “taqririyah” setelah Nabi membenarkannya, tetapi sebelum Nabi membenarkannya, salat sunat dua rakaat setelah berwudu adalah bid’ah, yaitu amal yang dibuat-buat oleh Bilal.
     Seandainya Nabi tidak bertanya kepada Bilal, tentulah Bilal melakukannya seumur hidupnya tanpa mengetahui apa pendapat Nabi tentang salat dua rakaat setelah wudu, sehingga salat setelah wudu’ itu “bid’ah hasanah’ sebelum diakui Nabi, dan setelah mendapatkan pengakuan Nabi, maka berubah menjadi sunah “taqririyah”.
      Kasus kedua, salat dua rakaat sebelum dibunuh.
      Abu Hurairah berkisah, “Nabi mengutus 10 orang ke daerah Hadah antara Asfan dan Mekah, ternyata Khubaib ditawan pasukan musuh. Ketika pasukan musuh akan membunuhnya, Khubaib berkata,”Izinkan aku melaksanakan salat dua rakaat”. Pasukan musuh mengizinkan dan kemudian membunuhnya.
     Khubaib adalah orang pertama yang “men-sunah-kan” salat sunah bagi setiap muslim yang terbunuh dalam keadaan sabar. (HR. Bukhari).
    Nabi tidak pernah mengajarkan, “Hai orang-orang beriman, jika kamu akan dibunuh, maka salat sunahlah dua rakaat”. Salat sunah dua rakaat ini murni inisiatif dari Khubaib, maka Khubaib melakukan perbuatan yang tidak dilakukan, tidak diucapkan dan tidak diajarkan oleh Nabi, maka termasuk bid’ah, tetapi “bid’ah hasanah”, setelah disampaikan kepada Nabi dan diakui beliau, barulah ia menjadi “sunah taqririyah”.
      Kasus ketiga, membaca surat Al-Ikhlas sebelum surat yang lain.
       Anas bin Malik berkisah tentang seorang laki-laki yang menjadi imam salat kaum Ansar di Masjid Quba, setiap selesai membaca Fatihah, ia mengawalinya dengan membaca surat Al-Ikhlas, setelah itu barulah ia membaca surah yang lain.
     Para sahabat melaporkan kepada Nabi, kemudian Nabi bersabda, “Wahai fulan, apa yang membuatmu terus membaca surat Al-Ikhlas?” Ia menjawab, “Sesungguhnya saya sangat suka surat Al-Ikhlas”. Nabi bersabda, “Cintamu kepada surat Al -Ikhlas membuatmu masuk surga.”(HR. Bukhari).
      Kasus keempat, sahabat menutup bacaan dengan surat Al-Ikhlas.
      Aisyah berkata,”Nabi mengutus seorang laki-laki dalam satu pasukan perang. Ia menjadi imam bagi para sahabatnya dalam salat mereka. Ia selalu menutup bacaan ayat dengan surat Al-Ikhlas. Ketika mereka kembali, peristiwa dilaporkan kepada Nabi, dan Nabi bersabda,”Tanyakan kepadanya, mengapa dia melakukannya?” sahabat menjawab,  “Karena  Al-Ikhlas  adalah  sifat  Allah  Yang  Maha  Pengasih, maka saya  suka membacanya”. Nabi bersabda,“Beritahukan kepadanya bahwa Allah mencintainya.”(HR. Bukhari dan Muslim).
      Kasus kelima, Qatadah bin Nu’man membaca surat Al-Ikhlas semalam penuh.      Kemudian dilaporkan kepada Nabi, maka Nabi bersabda,”Sesungguhnya  surat  Al-Ikhlas  sama dengan sepertiga Al-Qur’an.” (HR. Bukhari).
      Kasus keenam, bacaan iftitah yang dibuat oleh sahabat.
     Ibnu Umar berkata, “Ketika kami salat bersama Nabi, seorang laki-laki dari suatu kaum mengucapkan doa iftitah tertentu, maka Nabi bersabda,”Siapakah yang mengucapkan kalimat anu dan anu?” Laki-laki itu menjawab, “Saya wahai Nabi.” Nabi bersabda,”Saya kagum dengan bacaan itu, karena pintu-pintu langit dibukakan karena doa itu.”
      Kasus ketujuh, sebuah doa yang dibuat oleh sahabat Nabi.
    Anas bin Malik berkata,”Sesungguhnya Nabi mendengar seorang laki-laki mengucapkan suatu doa tertentu.” Nabi bersabda, “Engkau telah memohon kepada Allah dengan nama-Nya yang Agung, apabila berdoa dengan doa itu maka doanya akan dikabulkan oleh Allah.”
      Kasus kedelapan, doa tambahan pada bacaan sesudah rukuk.
      Rifa’ah bin Rafi’ berkata, “Suatu hari kami salat di belakang Nabi, ketika Nabi mengangkat kepala dari rukuk dan mengucapkan doa, maka seorang laki-laki yang berada di belakangnya mengucapkan doa tambahan tertentu. Ketika  selesai  salat,  Nabi bersabda, “Siapakah  yang mengucapkan kalimat tadi?”. Laki-laki itu menjawab, “Saya”. Nabi bersabda,”Aku melihat puluhan malaikat mendatangimu, para malaikat berebut menuliskannya pertama kali.” (HR. Bukhari dan Muslim).
      Kasus kesembilan, bacaan ruqyah dibuat oleh sahabat Nabi.
     Seorang sahabat menyembuhkan orang gila yang terikat dengan ruqyah, dengan membacakan surat Al-Fatihah tiga hari pagi dan petang. Dia berkata,”Setiap kali selesai membaca surat Al-Fatihah, saya kumpulkan air liur saya, kemudian saya tiupkan. Seakan-akan orang gila itu sadar dari ikatannya, lalu mereka memberi saya upah, maka saya jawab, ‘Saya akan menanyakan hukumnya kepada Nabi terlebih dahulu’.”
     Nabi bersabda,”Sungguh engkau telah makan dari hasil ruqyah yang benar.” (HR. Abu Daud, Ahmad dan Hakim).
Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

622. BENAR

NABI MEMBENARKAN SAHABAT
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M


      Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang Nabi pernah membenarkan perbuatan para sahabat, padahal Nabi tidak melakukannya?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
    Nabi membenarkan perbuatan para sahabat, padahal Nabi tidak pernah melakukannya, tidak pernah  beliau ucapkan  dan  tidak  pernah  beliau  ajarkan, tetapi  dilakukan  oleh sahabat dan Nabi membenarkannya.
     Kasus pertama, salat dua rakaat setelah wudu’.
      Abu Hurairah berkisah Nabi bersabda kepada Bilal pada salat Subuh, “Wahai Bilal, ceritakan kepadaku tentang amal yang paling engkau harapkan yang telah engkau amalkan dalam Islam? Karena aku mendengar suara gesekan sandalmu di depanku di dalam surge.”
      Bilal menjawab, “Saya tidak pernah melakukan amal yang paling saya harapkan, hanya saja saya tidak pernah bersuci (wudu’) di waktu malam atau siang, melainkan aku salat dengan itu (salat sunah wudu’), salat yang telah ditetapkan bagiku.” (HR. Bukhari).
      Nabi tidak pernah melakukan, mengucapkan, atau mengajarkan salat sunat dua rakaat setelah berwudu, sehingga salat sunah setelah wudu’ adalah bid’ah, karena Nabi tidak pernah melakukannya, maka salat sunah dua rakaat setelah wudu’ adalah “bid’ah hasanah”.
     Hal itu dikatakan sunah “taqririyah” setelah Nabi membenarkannya, tetapi sebelum Nabi membenarkannya, salat sunat dua rakaat setelah berwudu adalah bid’ah, yaitu amal yang dibuat-buat oleh Bilal.
     Seandainya Nabi tidak bertanya kepada Bilal, tentulah Bilal melakukannya seumur hidupnya tanpa mengetahui apa pendapat Nabi tentang salat dua rakaat setelah wudu, sehingga salat setelah wudu’ itu “bid’ah hasanah’ sebelum diakui Nabi, dan setelah mendapatkan pengakuan Nabi, maka berubah menjadi sunah “taqririyah”.
      Kasus kedua, salat dua rakaat sebelum dibunuh.
      Abu Hurairah berkisah, “Nabi mengutus 10 orang ke daerah Hadah antara Asfan dan Mekah, ternyata Khubaib ditawan pasukan musuh. Ketika pasukan musuh akan membunuhnya, Khubaib berkata,”Izinkan aku melaksanakan salat dua rakaat”. Pasukan musuh mengizinkan dan kemudian membunuhnya.
     Khubaib adalah orang pertama yang “men-sunah-kan” salat sunah bagi setiap muslim yang terbunuh dalam keadaan sabar. (HR. Bukhari).
    Nabi tidak pernah mengajarkan, “Hai orang-orang beriman, jika kamu akan dibunuh, maka salat sunahlah dua rakaat”. Salat sunah dua rakaat ini murni inisiatif dari Khubaib, maka Khubaib melakukan perbuatan yang tidak dilakukan, tidak diucapkan dan tidak diajarkan oleh Nabi, maka termasuk bid’ah, tetapi “bid’ah hasanah”, setelah disampaikan kepada Nabi dan diakui beliau, barulah ia menjadi “sunah taqririyah”.
      Kasus ketiga, membaca surat Al-Ikhlas sebelum surat yang lain.
       Anas bin Malik berkisah tentang seorang laki-laki yang menjadi imam salat kaum Ansar di Masjid Quba, setiap selesai membaca Fatihah, ia mengawalinya dengan membaca surat Al-Ikhlas, setelah itu barulah ia membaca surah yang lain.
     Para sahabat melaporkan kepada Nabi, kemudian Nabi bersabda, “Wahai fulan, apa yang membuatmu terus membaca surat Al-Ikhlas?” Ia menjawab, “Sesungguhnya saya sangat suka surat Al-Ikhlas”. Nabi bersabda, “Cintamu kepada surat Al -Ikhlas membuatmu masuk surga.”(HR. Bukhari).
      Kasus keempat, sahabat menutup bacaan dengan surat Al-Ikhlas.
      Aisyah berkata,”Nabi mengutus seorang laki-laki dalam satu pasukan perang. Ia menjadi imam bagi para sahabatnya dalam salat mereka. Ia selalu menutup bacaan ayat dengan surat Al-Ikhlas. Ketika mereka kembali, peristiwa dilaporkan kepada Nabi, dan Nabi bersabda,”Tanyakan kepadanya, mengapa dia melakukannya?” sahabat menjawab,  “Karena  Al-Ikhlas  adalah  sifat  Allah  Yang  Maha  Pengasih, maka saya  suka membacanya”. Nabi bersabda,“Beritahukan kepadanya bahwa Allah mencintainya.”(HR. Bukhari dan Muslim).
      Kasus kelima, Qatadah bin Nu’man membaca surat Al-Ikhlas semalam penuh.      Kemudian dilaporkan kepada Nabi, maka Nabi bersabda,”Sesungguhnya  surat  Al-Ikhlas  sama dengan sepertiga Al-Qur’an.” (HR. Bukhari).
      Kasus keenam, bacaan iftitah yang dibuat oleh sahabat.
     Ibnu Umar berkata, “Ketika kami salat bersama Nabi, seorang laki-laki dari suatu kaum mengucapkan doa iftitah tertentu, maka Nabi bersabda,”Siapakah yang mengucapkan kalimat anu dan anu?” Laki-laki itu menjawab, “Saya wahai Nabi.” Nabi bersabda,”Saya kagum dengan bacaan itu, karena pintu-pintu langit dibukakan karena doa itu.”
      Kasus ketujuh, sebuah doa yang dibuat oleh sahabat Nabi.
    Anas bin Malik berkata,”Sesungguhnya Nabi mendengar seorang laki-laki mengucapkan suatu doa tertentu.” Nabi bersabda, “Engkau telah memohon kepada Allah dengan nama-Nya yang Agung, apabila berdoa dengan doa itu maka doanya akan dikabulkan oleh Allah.”
      Kasus kedelapan, doa tambahan pada bacaan sesudah rukuk.
      Rifa’ah bin Rafi’ berkata, “Suatu hari kami salat di belakang Nabi, ketika Nabi mengangkat kepala dari rukuk dan mengucapkan doa, maka seorang laki-laki yang berada di belakangnya mengucapkan doa tambahan tertentu. Ketika  selesai  salat,  Nabi bersabda, “Siapakah  yang mengucapkan kalimat tadi?”. Laki-laki itu menjawab, “Saya”. Nabi bersabda,”Aku melihat puluhan malaikat mendatangimu, para malaikat berebut menuliskannya pertama kali.” (HR. Bukhari dan Muslim).
      Kasus kesembilan, bacaan ruqyah dibuat oleh sahabat Nabi.
     Seorang sahabat menyembuhkan orang gila yang terikat dengan ruqyah, dengan membacakan surat Al-Fatihah tiga hari pagi dan petang. Dia berkata,”Setiap kali selesai membaca surat Al-Fatihah, saya kumpulkan air liur saya, kemudian saya tiupkan. Seakan-akan orang gila itu sadar dari ikatannya, lalu mereka memberi saya upah, maka saya jawab, ‘Saya akan menanyakan hukumnya kepada Nabi terlebih dahulu’.”
     Nabi bersabda,”Sungguh engkau telah makan dari hasil ruqyah yang benar.” (HR. Abu Daud, Ahmad dan Hakim).
Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

622. BENAR

NABI MEMBENARKAN SAHABAT
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M


      Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang Nabi pernah membenarkan perbuatan para sahabat, padahal Nabi tidak melakukannya?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
    Nabi membenarkan perbuatan para sahabat, padahal Nabi tidak pernah melakukannya, tidak pernah  beliau ucapkan  dan  tidak  pernah  beliau  ajarkan, tetapi  dilakukan  oleh sahabat dan Nabi membenarkannya.
     Kasus pertama, salat dua rakaat setelah wudu’.
      Abu Hurairah berkisah Nabi bersabda kepada Bilal pada salat Subuh, “Wahai Bilal, ceritakan kepadaku tentang amal yang paling engkau harapkan yang telah engkau amalkan dalam Islam? Karena aku mendengar suara gesekan sandalmu di depanku di dalam surge.”
      Bilal menjawab, “Saya tidak pernah melakukan amal yang paling saya harapkan, hanya saja saya tidak pernah bersuci (wudu’) di waktu malam atau siang, melainkan aku salat dengan itu (salat sunah wudu’), salat yang telah ditetapkan bagiku.” (HR. Bukhari).
      Nabi tidak pernah melakukan, mengucapkan, atau mengajarkan salat sunat dua rakaat setelah berwudu, sehingga salat sunah setelah wudu’ adalah bid’ah, karena Nabi tidak pernah melakukannya, maka salat sunah dua rakaat setelah wudu’ adalah “bid’ah hasanah”.
     Hal itu dikatakan sunah “taqririyah” setelah Nabi membenarkannya, tetapi sebelum Nabi membenarkannya, salat sunat dua rakaat setelah berwudu adalah bid’ah, yaitu amal yang dibuat-buat oleh Bilal.
     Seandainya Nabi tidak bertanya kepada Bilal, tentulah Bilal melakukannya seumur hidupnya tanpa mengetahui apa pendapat Nabi tentang salat dua rakaat setelah wudu, sehingga salat setelah wudu’ itu “bid’ah hasanah’ sebelum diakui Nabi, dan setelah mendapatkan pengakuan Nabi, maka berubah menjadi sunah “taqririyah”.
      Kasus kedua, salat dua rakaat sebelum dibunuh.
      Abu Hurairah berkisah, “Nabi mengutus 10 orang ke daerah Hadah antara Asfan dan Mekah, ternyata Khubaib ditawan pasukan musuh. Ketika pasukan musuh akan membunuhnya, Khubaib berkata,”Izinkan aku melaksanakan salat dua rakaat”. Pasukan musuh mengizinkan dan kemudian membunuhnya.
     Khubaib adalah orang pertama yang “men-sunah-kan” salat sunah bagi setiap muslim yang terbunuh dalam keadaan sabar. (HR. Bukhari).
    Nabi tidak pernah mengajarkan, “Hai orang-orang beriman, jika kamu akan dibunuh, maka salat sunahlah dua rakaat”. Salat sunah dua rakaat ini murni inisiatif dari Khubaib, maka Khubaib melakukan perbuatan yang tidak dilakukan, tidak diucapkan dan tidak diajarkan oleh Nabi, maka termasuk bid’ah, tetapi “bid’ah hasanah”, setelah disampaikan kepada Nabi dan diakui beliau, barulah ia menjadi “sunah taqririyah”.
      Kasus ketiga, membaca surat Al-Ikhlas sebelum surat yang lain.
       Anas bin Malik berkisah tentang seorang laki-laki yang menjadi imam salat kaum Ansar di Masjid Quba, setiap selesai membaca Fatihah, ia mengawalinya dengan membaca surat Al-Ikhlas, setelah itu barulah ia membaca surah yang lain.
     Para sahabat melaporkan kepada Nabi, kemudian Nabi bersabda, “Wahai fulan, apa yang membuatmu terus membaca surat Al-Ikhlas?” Ia menjawab, “Sesungguhnya saya sangat suka surat Al-Ikhlas”. Nabi bersabda, “Cintamu kepada surat Al -Ikhlas membuatmu masuk surga.”(HR. Bukhari).
      Kasus keempat, sahabat menutup bacaan dengan surat Al-Ikhlas.
      Aisyah berkata,”Nabi mengutus seorang laki-laki dalam satu pasukan perang. Ia menjadi imam bagi para sahabatnya dalam salat mereka. Ia selalu menutup bacaan ayat dengan surat Al-Ikhlas. Ketika mereka kembali, peristiwa dilaporkan kepada Nabi, dan Nabi bersabda,”Tanyakan kepadanya, mengapa dia melakukannya?” sahabat menjawab,  “Karena  Al-Ikhlas  adalah  sifat  Allah  Yang  Maha  Pengasih, maka saya  suka membacanya”. Nabi bersabda,“Beritahukan kepadanya bahwa Allah mencintainya.”(HR. Bukhari dan Muslim).
      Kasus kelima, Qatadah bin Nu’man membaca surat Al-Ikhlas semalam penuh.      Kemudian dilaporkan kepada Nabi, maka Nabi bersabda,”Sesungguhnya  surat  Al-Ikhlas  sama dengan sepertiga Al-Qur’an.” (HR. Bukhari).
      Kasus keenam, bacaan iftitah yang dibuat oleh sahabat.
     Ibnu Umar berkata, “Ketika kami salat bersama Nabi, seorang laki-laki dari suatu kaum mengucapkan doa iftitah tertentu, maka Nabi bersabda,”Siapakah yang mengucapkan kalimat anu dan anu?” Laki-laki itu menjawab, “Saya wahai Nabi.” Nabi bersabda,”Saya kagum dengan bacaan itu, karena pintu-pintu langit dibukakan karena doa itu.”
      Kasus ketujuh, sebuah doa yang dibuat oleh sahabat Nabi.
    Anas bin Malik berkata,”Sesungguhnya Nabi mendengar seorang laki-laki mengucapkan suatu doa tertentu.” Nabi bersabda, “Engkau telah memohon kepada Allah dengan nama-Nya yang Agung, apabila berdoa dengan doa itu maka doanya akan dikabulkan oleh Allah.”
      Kasus kedelapan, doa tambahan pada bacaan sesudah rukuk.
      Rifa’ah bin Rafi’ berkata, “Suatu hari kami salat di belakang Nabi, ketika Nabi mengangkat kepala dari rukuk dan mengucapkan doa, maka seorang laki-laki yang berada di belakangnya mengucapkan doa tambahan tertentu. Ketika  selesai  salat,  Nabi bersabda, “Siapakah  yang mengucapkan kalimat tadi?”. Laki-laki itu menjawab, “Saya”. Nabi bersabda,”Aku melihat puluhan malaikat mendatangimu, para malaikat berebut menuliskannya pertama kali.” (HR. Bukhari dan Muslim).
      Kasus kesembilan, bacaan ruqyah dibuat oleh sahabat Nabi.
     Seorang sahabat menyembuhkan orang gila yang terikat dengan ruqyah, dengan membacakan surat Al-Fatihah tiga hari pagi dan petang. Dia berkata,”Setiap kali selesai membaca surat Al-Fatihah, saya kumpulkan air liur saya, kemudian saya tiupkan. Seakan-akan orang gila itu sadar dari ikatannya, lalu mereka memberi saya upah, maka saya jawab, ‘Saya akan menanyakan hukumnya kepada Nabi terlebih dahulu’.”
     Nabi bersabda,”Sungguh engkau telah makan dari hasil ruqyah yang benar.” (HR. Abu Daud, Ahmad dan Hakim).
Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

622. BENAR

NABI MEMBENARKAN SAHABAT
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M


      Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang Nabi pernah membenarkan perbuatan para sahabat, padahal Nabi tidak melakukannya?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
    Nabi membenarkan perbuatan para sahabat, padahal Nabi tidak pernah melakukannya, tidak pernah  beliau ucapkan  dan  tidak  pernah  beliau  ajarkan, tetapi  dilakukan  oleh sahabat dan Nabi membenarkannya.
     Kasus pertama, salat dua rakaat setelah wudu’.
      Abu Hurairah berkisah Nabi bersabda kepada Bilal pada salat Subuh, “Wahai Bilal, ceritakan kepadaku tentang amal yang paling engkau harapkan yang telah engkau amalkan dalam Islam? Karena aku mendengar suara gesekan sandalmu di depanku di dalam surge.”
      Bilal menjawab, “Saya tidak pernah melakukan amal yang paling saya harapkan, hanya saja saya tidak pernah bersuci (wudu’) di waktu malam atau siang, melainkan aku salat dengan itu (salat sunah wudu’), salat yang telah ditetapkan bagiku.” (HR. Bukhari).
      Nabi tidak pernah melakukan, mengucapkan, atau mengajarkan salat sunat dua rakaat setelah berwudu, sehingga salat sunah setelah wudu’ adalah bid’ah, karena Nabi tidak pernah melakukannya, maka salat sunah dua rakaat setelah wudu’ adalah “bid’ah hasanah”.
     Hal itu dikatakan sunah “taqririyah” setelah Nabi membenarkannya, tetapi sebelum Nabi membenarkannya, salat sunat dua rakaat setelah berwudu adalah bid’ah, yaitu amal yang dibuat-buat oleh Bilal.
     Seandainya Nabi tidak bertanya kepada Bilal, tentulah Bilal melakukannya seumur hidupnya tanpa mengetahui apa pendapat Nabi tentang salat dua rakaat setelah wudu, sehingga salat setelah wudu’ itu “bid’ah hasanah’ sebelum diakui Nabi, dan setelah mendapatkan pengakuan Nabi, maka berubah menjadi sunah “taqririyah”.
      Kasus kedua, salat dua rakaat sebelum dibunuh.
      Abu Hurairah berkisah, “Nabi mengutus 10 orang ke daerah Hadah antara Asfan dan Mekah, ternyata Khubaib ditawan pasukan musuh. Ketika pasukan musuh akan membunuhnya, Khubaib berkata,”Izinkan aku melaksanakan salat dua rakaat”. Pasukan musuh mengizinkan dan kemudian membunuhnya.
     Khubaib adalah orang pertama yang “men-sunah-kan” salat sunah bagi setiap muslim yang terbunuh dalam keadaan sabar. (HR. Bukhari).
    Nabi tidak pernah mengajarkan, “Hai orang-orang beriman, jika kamu akan dibunuh, maka salat sunahlah dua rakaat”. Salat sunah dua rakaat ini murni inisiatif dari Khubaib, maka Khubaib melakukan perbuatan yang tidak dilakukan, tidak diucapkan dan tidak diajarkan oleh Nabi, maka termasuk bid’ah, tetapi “bid’ah hasanah”, setelah disampaikan kepada Nabi dan diakui beliau, barulah ia menjadi “sunah taqririyah”.
      Kasus ketiga, membaca surat Al-Ikhlas sebelum surat yang lain.
       Anas bin Malik berkisah tentang seorang laki-laki yang menjadi imam salat kaum Ansar di Masjid Quba, setiap selesai membaca Fatihah, ia mengawalinya dengan membaca surat Al-Ikhlas, setelah itu barulah ia membaca surah yang lain.
     Para sahabat melaporkan kepada Nabi, kemudian Nabi bersabda, “Wahai fulan, apa yang membuatmu terus membaca surat Al-Ikhlas?” Ia menjawab, “Sesungguhnya saya sangat suka surat Al-Ikhlas”. Nabi bersabda, “Cintamu kepada surat Al -Ikhlas membuatmu masuk surga.”(HR. Bukhari).
      Kasus keempat, sahabat menutup bacaan dengan surat Al-Ikhlas.
      Aisyah berkata,”Nabi mengutus seorang laki-laki dalam satu pasukan perang. Ia menjadi imam bagi para sahabatnya dalam salat mereka. Ia selalu menutup bacaan ayat dengan surat Al-Ikhlas. Ketika mereka kembali, peristiwa dilaporkan kepada Nabi, dan Nabi bersabda,”Tanyakan kepadanya, mengapa dia melakukannya?” sahabat menjawab,  “Karena  Al-Ikhlas  adalah  sifat  Allah  Yang  Maha  Pengasih, maka saya  suka membacanya”. Nabi bersabda,“Beritahukan kepadanya bahwa Allah mencintainya.”(HR. Bukhari dan Muslim).
      Kasus kelima, Qatadah bin Nu’man membaca surat Al-Ikhlas semalam penuh.      Kemudian dilaporkan kepada Nabi, maka Nabi bersabda,”Sesungguhnya  surat  Al-Ikhlas  sama dengan sepertiga Al-Qur’an.” (HR. Bukhari).
      Kasus keenam, bacaan iftitah yang dibuat oleh sahabat.
     Ibnu Umar berkata, “Ketika kami salat bersama Nabi, seorang laki-laki dari suatu kaum mengucapkan doa iftitah tertentu, maka Nabi bersabda,”Siapakah yang mengucapkan kalimat anu dan anu?” Laki-laki itu menjawab, “Saya wahai Nabi.” Nabi bersabda,”Saya kagum dengan bacaan itu, karena pintu-pintu langit dibukakan karena doa itu.”
      Kasus ketujuh, sebuah doa yang dibuat oleh sahabat Nabi.
    Anas bin Malik berkata,”Sesungguhnya Nabi mendengar seorang laki-laki mengucapkan suatu doa tertentu.” Nabi bersabda, “Engkau telah memohon kepada Allah dengan nama-Nya yang Agung, apabila berdoa dengan doa itu maka doanya akan dikabulkan oleh Allah.”
      Kasus kedelapan, doa tambahan pada bacaan sesudah rukuk.
      Rifa’ah bin Rafi’ berkata, “Suatu hari kami salat di belakang Nabi, ketika Nabi mengangkat kepala dari rukuk dan mengucapkan doa, maka seorang laki-laki yang berada di belakangnya mengucapkan doa tambahan tertentu. Ketika  selesai  salat,  Nabi bersabda, “Siapakah  yang mengucapkan kalimat tadi?”. Laki-laki itu menjawab, “Saya”. Nabi bersabda,”Aku melihat puluhan malaikat mendatangimu, para malaikat berebut menuliskannya pertama kali.” (HR. Bukhari dan Muslim).
      Kasus kesembilan, bacaan ruqyah dibuat oleh sahabat Nabi.
     Seorang sahabat menyembuhkan orang gila yang terikat dengan ruqyah, dengan membacakan surat Al-Fatihah tiga hari pagi dan petang. Dia berkata,”Setiap kali selesai membaca surat Al-Fatihah, saya kumpulkan air liur saya, kemudian saya tiupkan. Seakan-akan orang gila itu sadar dari ikatannya, lalu mereka memberi saya upah, maka saya jawab, ‘Saya akan menanyakan hukumnya kepada Nabi terlebih dahulu’.”
     Nabi bersabda,”Sungguh engkau telah makan dari hasil ruqyah yang benar.” (HR. Abu Daud, Ahmad dan Hakim).
Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

621. TAK

TIDAK PERNAH DILAKUKAN NABI
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M


      Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang hal-hal yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
      Istilah,“Jika tidak pernah dilakukan oleh Nabi, maka hukumnya adalah haram”. Hal inilah yang dijadikan kaidah sehingga dapat membuat orang mengharamkan sesuatu yang tidak haram dan membid’ahkan sesuatu yang tidak bid’ah.
      Kaidah dalam ilmu Ushul Fiqh berikut ini.
      Kaidah pertama, dalam hukum haram terdapat tiga model.
      Model pertama, kata “nahi” berupa kalimat larangan langsung, seperti dalam surah Al-Quran surah Al-Isra, surah ke-17 ayat 32.

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

     “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا
     
       “Dan janganlan kamu mendekati zina.”
      Model kedua, kata “nafi” berupa larangan tidak langsung, seperti dalam Al-Quran surah Al-Hujurat, surah ke-49 ayat 12.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

      “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antaramu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.”

وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا
    “Dan janganlan kalian saling menggunjing satu sama lain.”
      Model ketiga, kata “waid” berupa kecaman keras, seperti Nabi bersabda,”Siapa yang menipu kami, makaَ dia bukanlah dari golongan kami.” (HR. Muslim).
      Sedangkan “at-Tark” (perbuatan yang ditinggalkan dan tidak dilakukan oleh Nabi , tidak satu pun para ahli Ushul Fiqh menggolongkannya ke dalam kaidah haram.
      Kaidah  kedua, semua yang diperintahkan oleh Nabi maka kerjakan, dan semua yang dilarang oleh Nabi maka tinggalkan, dan tidak ada kaidah tambahan,”Semua yang tidak dilakukan oleh Nabi, maka hukumnya haram.”
      Al-Quran surah Al-Hasyr, surah ke-59 ayat 7.

مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ ۚ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
  
   “Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.”
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ

“Dan apa saja yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah”.
     Kaidah ketiga, yaitu yang diperintahkan oleh Nabi harus dilaksanakan, dan yang dilarang oleh Nabi harus ditinggalkan”.
      Nabi bersabda,“Yang aku perintahkan, laksanakan, dan yang aku larang, tinggalkan”. Tidak ada kalimat tambahan, “Yang tidak aku lakukan, haramkan!”.
    Kaidah keempat, para ulama Ushul Fiqh mendefinisikan sunah adalah ucapan, perbuatan, dan ketetapan yang berasal dari Nabi layak dijadikan sebagai dalil hukum syar’i.
     Hanya terdapat tiga ketetapan dalam sunah Nabi, yaitu “qaul” (ucapan), “fi’l” (perbuatan), dan “taqrir” (ketetapan). Tidak ada disebutkan “at-Tark’ (sesuatu yang ditinggalkan dan tidak pernah dilakukan oleh Nabi), sehingga “at-Tark” tidak termasuk dalil penetapan hukum syar’i.
      Kaidah kelima, masalah “at-Tark” (sesuatu yang ditinggalkan dan tidak dilakukan oleh Nabi) tidak selamanya mengandung makna larangan, tetapi mengandung multi makna dan banyak kemungkinan arti.
     Dalam kaidah Ushul Fiqh dinyatakan bahwa,”Jika sebuah dalil itu mengandung ‘ihtimal’ (banyak kemungkinan dan ketidakpastian), maka tidak layak dijadikan sebagai dalil.”
      Kaidah keenam, masalah “at-Tark” (sesuatu yang ditinggalkan dan tidak pernah dilakukan oleh Nabi), itu adalah hukum asal, sedangkan dalam hukum asalnya tidak ada suatu perbuatan pun.
     Sedangkan perbuatan itu datang belakangan, maka “at-Tark” tidak dapat  menetapkan hukum haram, karena banyak sekali perkara mandub (anjuran) dan perkara mubah (boleh) yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah.
     Apabila dikatakan bahwa semua yang tidak dilakukan Rasulullah mengandung hukum haram, maka akan terhentilah kehidupan kaum muslimin.
      Nabi bersabda, “Apa yang dihalalkan oleh Allah, maka itu halal, apa yang diharamkan, maka itu haram, dan apa yang didiamkan (tidak disebutkan), itu adalah kebaikan dari Allah, maka terimalah, sesungguhnya Allah tidak pernah lupa terhadap segala sesuatu.”
      Al-Quran surah Maryam, surah ke-19 ayat 64.

    وَمَا نَتَنَزَّلُ إِلَّا بِأَمْرِ رَبِّكَ ۖ لَهُ مَا بَيْنَ أَيْدِينَا وَمَا خَلْفَنَا وَمَا بَيْنَ ذَٰلِكَ ۚ وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا

     “Dan tidaklah kami (Jibril) turun, kecuali dengan perintah Tuhanmu. Kepunyaan-Nya-lah apa-apa yang ada di hadapan kita, apa-apa yang ada di belakang kita dan apa-apa yang ada di antara keduanya, dan tidaklah Tuhanmu lupa.’
     Kemudian Rasulullah membacakan ayat, “dan tidaklah Tuhanmu lupa.”. (Qs. Maryam [19]: 64).
وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا
  
   “Dan Tuhanmu tidak lupa.”
     Hal ini menunjukkan bahwa yang tidak disebutkan oleh Allah dan tidak dilakukan oleh Rasulullah bukan berarti mengandung makna haram, tetapi mengandung makna boleh, hingga ada dalil lain yang mengharamkannya.
      Sehingga kaidah,“Jika tidak pernah dilakukan oleh Nabi, maka hukumnya  haram”. Adalah batal dan tidak berlaku.
Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

621. TAK

TIDAK PERNAH DILAKUKAN NABI
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M


      Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang hal-hal yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
      Istilah,“Jika tidak pernah dilakukan oleh Nabi, maka hukumnya adalah haram”. Hal inilah yang dijadikan kaidah sehingga dapat membuat orang mengharamkan sesuatu yang tidak haram dan membid’ahkan sesuatu yang tidak bid’ah.
      Kaidah dalam ilmu Ushul Fiqh berikut ini.
      Kaidah pertama, dalam hukum haram terdapat tiga model.
      Model pertama, kata “nahi” berupa kalimat larangan langsung, seperti dalam surah Al-Quran surah Al-Isra, surah ke-17 ayat 32.

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

     “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا
     
       “Dan janganlan kamu mendekati zina.”
      Model kedua, kata “nafi” berupa larangan tidak langsung, seperti dalam Al-Quran surah Al-Hujurat, surah ke-49 ayat 12.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

      “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antaramu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.”

وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا
    “Dan janganlan kalian saling menggunjing satu sama lain.”
      Model ketiga, kata “waid” berupa kecaman keras, seperti Nabi bersabda,”Siapa yang menipu kami, makaَ dia bukanlah dari golongan kami.” (HR. Muslim).
      Sedangkan “at-Tark” (perbuatan yang ditinggalkan dan tidak dilakukan oleh Nabi , tidak satu pun para ahli Ushul Fiqh menggolongkannya ke dalam kaidah haram.
      Kaidah  kedua, semua yang diperintahkan oleh Nabi maka kerjakan, dan semua yang dilarang oleh Nabi maka tinggalkan, dan tidak ada kaidah tambahan,”Semua yang tidak dilakukan oleh Nabi, maka hukumnya haram.”
      Al-Quran surah Al-Hasyr, surah ke-59 ayat 7.

مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ ۚ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
  
   “Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.”
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ

“Dan apa saja yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah”.
     Kaidah ketiga, yaitu yang diperintahkan oleh Nabi harus dilaksanakan, dan yang dilarang oleh Nabi harus ditinggalkan”.
      Nabi bersabda,“Yang aku perintahkan, laksanakan, dan yang aku larang, tinggalkan”. Tidak ada kalimat tambahan, “Yang tidak aku lakukan, haramkan!”.
    Kaidah keempat, para ulama Ushul Fiqh mendefinisikan sunah adalah ucapan, perbuatan, dan ketetapan yang berasal dari Nabi layak dijadikan sebagai dalil hukum syar’i.
     Hanya terdapat tiga ketetapan dalam sunah Nabi, yaitu “qaul” (ucapan), “fi’l” (perbuatan), dan “taqrir” (ketetapan). Tidak ada disebutkan “at-Tark’ (sesuatu yang ditinggalkan dan tidak pernah dilakukan oleh Nabi), sehingga “at-Tark” tidak termasuk dalil penetapan hukum syar’i.
      Kaidah kelima, masalah “at-Tark” (sesuatu yang ditinggalkan dan tidak dilakukan oleh Nabi) tidak selamanya mengandung makna larangan, tetapi mengandung multi makna dan banyak kemungkinan arti.
     Dalam kaidah Ushul Fiqh dinyatakan bahwa,”Jika sebuah dalil itu mengandung ‘ihtimal’ (banyak kemungkinan dan ketidakpastian), maka tidak layak dijadikan sebagai dalil.”
      Kaidah keenam, masalah “at-Tark” (sesuatu yang ditinggalkan dan tidak pernah dilakukan oleh Nabi), itu adalah hukum asal, sedangkan dalam hukum asalnya tidak ada suatu perbuatan pun.
     Sedangkan perbuatan itu datang belakangan, maka “at-Tark” tidak dapat  menetapkan hukum haram, karena banyak sekali perkara mandub (anjuran) dan perkara mubah (boleh) yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah.
     Apabila dikatakan bahwa semua yang tidak dilakukan Rasulullah mengandung hukum haram, maka akan terhentilah kehidupan kaum muslimin.
      Nabi bersabda, “Apa yang dihalalkan oleh Allah, maka itu halal, apa yang diharamkan, maka itu haram, dan apa yang didiamkan (tidak disebutkan), itu adalah kebaikan dari Allah, maka terimalah, sesungguhnya Allah tidak pernah lupa terhadap segala sesuatu.”
      Al-Quran surah Maryam, surah ke-19 ayat 64.

    وَمَا نَتَنَزَّلُ إِلَّا بِأَمْرِ رَبِّكَ ۖ لَهُ مَا بَيْنَ أَيْدِينَا وَمَا خَلْفَنَا وَمَا بَيْنَ ذَٰلِكَ ۚ وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا

     “Dan tidaklah kami (Jibril) turun, kecuali dengan perintah Tuhanmu. Kepunyaan-Nya-lah apa-apa yang ada di hadapan kita, apa-apa yang ada di belakang kita dan apa-apa yang ada di antara keduanya, dan tidaklah Tuhanmu lupa.’
     Kemudian Rasulullah membacakan ayat, “dan tidaklah Tuhanmu lupa.”. (Qs. Maryam [19]: 64).
وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا
  
   “Dan Tuhanmu tidak lupa.”
     Hal ini menunjukkan bahwa yang tidak disebutkan oleh Allah dan tidak dilakukan oleh Rasulullah bukan berarti mengandung makna haram, tetapi mengandung makna boleh, hingga ada dalil lain yang mengharamkannya.
      Sehingga kaidah,“Jika tidak pernah dilakukan oleh Nabi, maka hukumnya  haram”. Adalah batal dan tidak berlaku.
Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

621. TAK

TIDAK PERNAH DILAKUKAN NABI
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M


      Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang hal-hal yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
      Istilah,“Jika tidak pernah dilakukan oleh Nabi, maka hukumnya adalah haram”. Hal inilah yang dijadikan kaidah sehingga dapat membuat orang mengharamkan sesuatu yang tidak haram dan membid’ahkan sesuatu yang tidak bid’ah.
      Kaidah dalam ilmu Ushul Fiqh berikut ini.
      Kaidah pertama, dalam hukum haram terdapat tiga model.
      Model pertama, kata “nahi” berupa kalimat larangan langsung, seperti dalam surah Al-Quran surah Al-Isra, surah ke-17 ayat 32.

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا

     “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”

وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا
     
       “Dan janganlan kamu mendekati zina.”
      Model kedua, kata “nafi” berupa larangan tidak langsung, seperti dalam Al-Quran surah Al-Hujurat, surah ke-49 ayat 12.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

      “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antaramu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.”

وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا
    “Dan janganlan kalian saling menggunjing satu sama lain.”
      Model ketiga, kata “waid” berupa kecaman keras, seperti Nabi bersabda,”Siapa yang menipu kami, makaَ dia bukanlah dari golongan kami.” (HR. Muslim).
      Sedangkan “at-Tark” (perbuatan yang ditinggalkan dan tidak dilakukan oleh Nabi , tidak satu pun para ahli Ushul Fiqh menggolongkannya ke dalam kaidah haram.
      Kaidah  kedua, semua yang diperintahkan oleh Nabi maka kerjakan, dan semua yang dilarang oleh Nabi maka tinggalkan, dan tidak ada kaidah tambahan,”Semua yang tidak dilakukan oleh Nabi, maka hukumnya haram.”
      Al-Quran surah Al-Hasyr, surah ke-59 ayat 7.

مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ ۚ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
  
   “Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.”
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ

“Dan apa saja yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah”.
     Kaidah ketiga, yaitu yang diperintahkan oleh Nabi harus dilaksanakan, dan yang dilarang oleh Nabi harus ditinggalkan”.
      Nabi bersabda,“Yang aku perintahkan, laksanakan, dan yang aku larang, tinggalkan”. Tidak ada kalimat tambahan, “Yang tidak aku lakukan, haramkan!”.
    Kaidah keempat, para ulama Ushul Fiqh mendefinisikan sunah adalah ucapan, perbuatan, dan ketetapan yang berasal dari Nabi layak dijadikan sebagai dalil hukum syar’i.
     Hanya terdapat tiga ketetapan dalam sunah Nabi, yaitu “qaul” (ucapan), “fi’l” (perbuatan), dan “taqrir” (ketetapan). Tidak ada disebutkan “at-Tark’ (sesuatu yang ditinggalkan dan tidak pernah dilakukan oleh Nabi), sehingga “at-Tark” tidak termasuk dalil penetapan hukum syar’i.
      Kaidah kelima, masalah “at-Tark” (sesuatu yang ditinggalkan dan tidak dilakukan oleh Nabi) tidak selamanya mengandung makna larangan, tetapi mengandung multi makna dan banyak kemungkinan arti.
     Dalam kaidah Ushul Fiqh dinyatakan bahwa,”Jika sebuah dalil itu mengandung ‘ihtimal’ (banyak kemungkinan dan ketidakpastian), maka tidak layak dijadikan sebagai dalil.”
      Kaidah keenam, masalah “at-Tark” (sesuatu yang ditinggalkan dan tidak pernah dilakukan oleh Nabi), itu adalah hukum asal, sedangkan dalam hukum asalnya tidak ada suatu perbuatan pun.
     Sedangkan perbuatan itu datang belakangan, maka “at-Tark” tidak dapat  menetapkan hukum haram, karena banyak sekali perkara mandub (anjuran) dan perkara mubah (boleh) yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah.
     Apabila dikatakan bahwa semua yang tidak dilakukan Rasulullah mengandung hukum haram, maka akan terhentilah kehidupan kaum muslimin.
      Nabi bersabda, “Apa yang dihalalkan oleh Allah, maka itu halal, apa yang diharamkan, maka itu haram, dan apa yang didiamkan (tidak disebutkan), itu adalah kebaikan dari Allah, maka terimalah, sesungguhnya Allah tidak pernah lupa terhadap segala sesuatu.”
      Al-Quran surah Maryam, surah ke-19 ayat 64.

    وَمَا نَتَنَزَّلُ إِلَّا بِأَمْرِ رَبِّكَ ۖ لَهُ مَا بَيْنَ أَيْدِينَا وَمَا خَلْفَنَا وَمَا بَيْنَ ذَٰلِكَ ۚ وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا

     “Dan tidaklah kami (Jibril) turun, kecuali dengan perintah Tuhanmu. Kepunyaan-Nya-lah apa-apa yang ada di hadapan kita, apa-apa yang ada di belakang kita dan apa-apa yang ada di antara keduanya, dan tidaklah Tuhanmu lupa.’
     Kemudian Rasulullah membacakan ayat, “dan tidaklah Tuhanmu lupa.”. (Qs. Maryam [19]: 64).
وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا
  
   “Dan Tuhanmu tidak lupa.”
     Hal ini menunjukkan bahwa yang tidak disebutkan oleh Allah dan tidak dilakukan oleh Rasulullah bukan berarti mengandung makna haram, tetapi mengandung makna boleh, hingga ada dalil lain yang mengharamkannya.
      Sehingga kaidah,“Jika tidak pernah dilakukan oleh Nabi, maka hukumnya  haram”. Adalah batal dan tidak berlaku.
Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online