NABI MUSA INGIN MENYAKSIKAN KEADILAN ALLAH
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.
Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang Nabi Musa yang ingin menyaksikan keadilan Allah?” berikut ini penjelasannya.
Al-Quran surah At-Tin, surah ke-95 ayat 1-6.
وَالتِّينِ وَالزَّيْتُونِ وَطُورِ سِينِينَ وَهَٰذَا الْبَلَدِ الْأَمِينِ لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ ثُمَّ رَدَدْنَاهُ أَسْفَلَ سَافِلِينَ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ فَلَهُمْ أَجْرٌ غَيْرُ مَمْنُونٍ
“Demi buah Tin dan buah Zaitun. Demi bukit Sinai. Demi kota Mekah yang aman. Sungguh, Kami menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, bagi mereka pahala yang tidak terputus.”
Alkisah, Nabi Musa berada di bukit Sinai, yang lebih dikenal dengan nama bukit “Thursina”, selama 40 hari, karena Nabi Musa sedang menerima wahyu dari Allah melalui Malaikat Jibril, berupa Kitab Taurat.
Bukit adalah tumpukan tanah yang lebih tinggi daripada tempat sekelilingnya, tetapi lebih rendah daripada gunung, sedangkan gunung adalah bukit yang amat besar dan tinggi, biasanya lebih dari 600 meter.
Pada hari ke-30, Nabi Musa berdoa,”Ya Allah, ampunilah dosa hamba, karena hamba amat lancang, hamba ingin menyaksikan sendiri secara langsung, dan ingin membuktikan sendiri bahwa Engkau Maha Adil.”
Malaikat Jibril turun,”Wahai Musa, Allah mendengarkan doamu, apakah kamu masih tidak yakin bahwa Allah Maha Adil?” Musa Menjawab,”Ya Allah, ampunilah hamba, sebenarnya hamba sudah yakin bahwa Allah Maha Adil, tetapi, hamba ingin lebih yakin dan mantap, apabila menyaksikannya sendiri.”
Malaikat Jibril turun lagi,“Wahai Musa, Allah memberi salam kepadamu, apabila kamu ingin menyaksikan keadilan Allah, pergilah mendekat ke sebuah sumber air.” Kemudian Nabi Musa pergi mendekati sebuah sumber air, lalu Nabi Musa bersembunyi ingin menyaksikan peristiwa yang akan terjadi.
Tidak berapa lama kemudian, muncul seorang ksatria penunggang kuda yang membawa sebilah pedang dengan sarungnya yang diselipkan di punggungnya, dan membawa sekantung uang yang menggantung di pinggang kirinya.
Penunggang kuda langsung turun menuju sumber air, lalu dia mencuci muka dan menikmati air sepuasnya. Beberapa saat kemudian, dia meninggalkan sumber air, tetapi sekantung uangnya tertinggal tergeletak di atas bebatuan dekat sumber air.
Penunggang kuda sudah berlalu, muncul seorang anak kecil berumur sekitar 9 tahun. Dia menuju sumber air dan mengisi kantung airnya, dan anak kecil itu menemukan sekantung uang, lalu membawanya pergi.
Anak kecil telah menjauh, kemudian datang seorang tua yang buta yang mendengar gemericik sumber air, lalu mendatanginya. Si orang tua buta mencuci muka dan “bersuci”, kemudian dia melaksanakan “salat”.
Beberapa saat kemudian si ksatria berkuda kembali lagi, dengan cepat dia turun menuju sumber air untuk mencari uangnya yang hilang, tetapi tidak menemukannya. Dia berteriak, “Hai orang tua, apakah kamu mengambil uangku sekantung yang tertinggal di sini?” Si orang tua menjawab,”Maaf Nak, saya buta, sehingga saya tidak mengetahui jika ada uang yang tertinggal.”
Kemudian si penunggang kuda dan orang tua buta bertengkar, akhirnya si orang tua buta mati terbunuh, lalu si penunggang kuda beranjak pergi meninggalkan mayat si orang tua buta, sedangkan Nabi Musa menyaksikan semuanya dari tempat persembunyian.
Nabi Musa bergumam, “Sungguh, peristiwa yang tidak adil, sebenarnya yang salah adalah anak kecil, karena dia yang mengambil uangnya. Seandainya, si anak kecil tidak mengambil uang itu, maka si orang tua yang buta tidak akan mati terbunuh.”
Malaikat Jibril turun, “Wahai Musa, kamu tidak bisa menilai keadilan Allah, karena kamu hanya menyaksikan peristiwa “sesaat” saja, yang kamu lihat hanya kejadian satu “episode” saja, dan kamu tidak bisa melihat seluruh rangkaian yang terjadi.”
Malaikat Jibril melanjutkan, “Orang tua si anak kecil itu pernah ikut bekerja kepada si penunggang kuda dan dia belum menerima gajinya, karena si penunggang kuda belum membayar gajinya selama bekerja.”
Malaikat Jibril melanjutkan, “Uang yang belum dibayarkan kepada orang tua si anak kecil, besarnya persis sama dengan jumlah uang yang ditemukan anak itu, yaitu jumlah gaji yang belum dibayarkan, tepat sama dengan jumlah uang dalam kantung penunggang kuda, padahal si penunggang kuda tidak pernah merencanakan membawa uang dalam kantung sejumlah itu.”
“Orang tua si anak sudah meninggal, karena dibunuh seseorang, dan pembunuhnya adalah si orang tua yang buta itu,” lanjut malaikat Jibril.
Nabi Musa berkata, “Allah Maha Adil. Ya Allah, ampunilah hamba-Mu yang lemah, hina, daif, dan bodoh ini, yang gampang dan cepat menilai sesuatu kejadian hanya berdasarkan penglihatan dan pengetahuan yang sekilas saja.”
Daftar Pustaka
1. Bahjat, Ahmad. Nabi Nabi Allah. Penerbit Qisthi Press. Jakarta, 2015.
2. Katsir, Ibnu. Kisah Para Nabi. Penerbit Pustaka Azzam. Jakarta, 2011
0 comments:
Post a Comment