Sunday, September 17, 2017

274. SHUFFAH

AHLI SHUFFAH,
“SANTRI KELELAWAR” MASJID NABAWI
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.

      Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang Ahli Shuffah yang tinggal di Masjid Nabawi Madinah pada zaman Nabi Muhammad?” Berikut ini penjelasannya
      Shuffah adalah sebuah lokasi di Madinah, tempat untuk menampung para pendatang dari luar daerah dan fakir miskin yang tidak memiliki rumah. Misalnya, kaum Muhajirin yang hijrah dari Mekah, dan para pendatang yang belum memiliki rumah, dan tidak mempunyai kerabat di Madinah, sehingga mereka bermukim dan menginap di Shuffah yang berada di teras Masjid Nabawi, Madinah.
      Mereka datang dari jauh untuk belajar ilmu agama langsung kepada Nabi Muhammad. Para Ahli Shuffah bagaikan santri di sebuah pondok pesantren yang “bebas”, “nomaden”, dan tidak memiliki tempat tinggal tetap, sehingga bisa disebut santri “lowo” atau “kelelawar” yang bisa “hinggap” di mana saja.
      Para Ahli Shuffah adalah orang yang menuntut ilmu agama, agar mereka mampu menyebarkan ilmu agama kepada kaumnya, nantinya mereka bertugas memberikan bimbingan dan pencerahan ajaran Islam kepada suku dan kelompoknya.
      Al-Quran surah At-Taubah, surah ke-9 ayat 122.
۞ وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ

      “Tidak sepatutnya orang-orang mukmin semuanya pergi berperang, mengapa tidak pergi di antara mereka, memperdalam pengetahuan tentang agama, untuk memberi peringatan kepada kaumnya, apabila mereka telah kembali kepadanya, agar mereka dapat menjaga dirinya.”
        Para Ahli Shuffah adalah para pemeluk Islam pendatang, dan dianggap sebagai  tamu Islam oleh Nabi, karena mereka tidak punya tempat tinggal, dan tidak memiliki kerabat di Madinah, maka mereka tinggal di “teras” Masjid Nabawi yang terletak di sebelah utara rumah Aisyah, istri Nabi.
    Jumlah para Ahli Shuffah tidak menentu, jumlah penghuni yang “normal” sekitar 70 orang, tetapi mereka bisa bertambah, apabila banyak tamu yang datang dari luar kota jumlahnya bisa mencapai 700 orang, dan bisa berkurang ketika sebagian mereka bepergian.
      Para Ahli Shuffah yang terkenal adalah Abu Hurairah seorang perawi hadis ternama yang berasal dari Yaman, dan  Salman Al-Farisi seorang pencetus Perang Parit yang berasal dari Persia, kemudian Bilal bin Rabah seorang mantan budak yang dibeli oleh Abu Bakar dan dibebaskan yang menjadi muazin Nabi karena suaranya yang merdu.
     Penghuni Ahli Shuffah yang lain adalah Hanzalah bin Abi Amr seorang pengantin baru yang belum mandi junud dan mati syahid dalam Perang Uhud, kemudian jenazahnya  dimandikan oleh malaikat, dan banyak lagi lainnya.
      Apabila Nabi mendapatkan sedekah, maka beliau segera mengirimkannya kepada Ahli Shuffah, dan Nabi tidak mengambil sedekah sedikit pun. Kalau Nabi memperoleh hadiah, maka Nabi mengirimkan kepada Ahli Shuffah, dan beliau ikut makan bersama mereka.
      Luas daerah Shuffah tidak diketahui secara pasti, tetapi mampu menampung banyak orang. Nabi pernah menjadikan tempat itu untuk “walimah”, yang hadir sekitar 300 orang, dan sebagian mereka duduk di sekitar kamar Aisyah, istri Nabi, yang berdempetan dengan Masjid Nabawi.
      Penghuni pertama Shuffah adalah kaum Muhajirin yang berasal dari Mekah yang sering disebut “Shuffatul Muhajirin”, tempat ini juga dipakai para tamu yang menunggu Nabi karena mereka ingin menyatakan masuk Islam dan siap melaksanakan perintah dan berjuang bersama Nabi.
     Abu Hurairah adalah penanggung jawab Shuffah, yaitu orang yang mengatur penghuni Shuffah, yang mencatat penghuni yang singgah sebentar atau menetap lama.
    Beberapa kaum Ansar yang asli penduduk Madinah ikut bergabung, meskipun mereka sudah mempunyai rumah karena mereka ingin “zuhud”, misalnya, Kaab bin Malik, Hanzhalah bin Abi Amir, dan Haritsah bin Nukman.
     Kegiatan rutin penghuni Shuffah adalah belajar agama dan berperang membela agama Islam, meskipun mereka terbiasa dan terlatih hidup “prihatin” dan  kekurangan.
      Mereka banyak iktikaf di Masjid Nabawi, salat berjamaah, berzikir, belajar dan mengajar Al-Quran, belajar membaca dan menulis, serta pernah ada “murid” yang memberikan hadiah busur panah kepada “guru” yang mengajarinya. 
      Shuffah melahirkan banyak “ilmuwan’, yaitu Abu Hurairah seorang penghafal banyak hadis, dan Hudzaifah bin Yaman seorang spesialis hadis fitnah.
     Mereka adalah orang yang tekun beribadah, dan rajin berperang mengikuti Nabi, sehingga beberapa orang penghuni Shuffah mati syahid membela ajaran Islam.
     Para penghuni Shuffah sudah terbiasa hidup serba kekurangan, kebanyakan mereka tidak memiliki pakaian yang memadai untuk menutupi dan melindungi seluruh badan dari dinginnya udara.
      Abu Hurairah berkisah,”Saya melihat 70 orang penghuni Shuffah, tidak ada orang yang memakai “rida”, yaitu kain penutup tubuh bagian atas tubuh, mereka hanya mengenakan “kisa”, yakni semacam “sarung” yang diikatkan pada leher, sebagian ada yang menjulur sampai kaki untuk menyatukan dengan tangan karena khawatir terlihat auratnya.
      Para Ahli Shuffah sering mengosumsi kurma kering, dan Nabi mengirimkan kurma setengah “mud” setiap hari atau sekitar segenggam tangan. Oleh karenanya, sebagian penghuni merasakan perutnya panas, karena terlalu banyak makan kurma kering.
    Nabi sering memberikan semangat dan motivasi agar para Ahli Shuffah tetap tegar dan bersabar.  Kadang kala mereka diundang makan “kenduren”, dan dibawakan susu dan makanan istimewa lainnya, misalnya “tsarid” berupa bubur gandum bercampur minyak samin.
      Nabi sering mengunjungi mereka untuk menanyakan kondisi, lalu duduk bersama untuk memotivasi mereka agar selalu tekun belajar Al-Quran. Apabila ada sedekah, Nabi memberikan semuanya kepada mereka, tetapi jika ada hadiah  Nabi ikut menikmatinya bersama meraka.
      Ketika Fatimah, puteri Nabi, melahirkan Hasan bin Ali, maka Nabi menyuruhnya untuk bersedekah kepada penghuni Shuffah seharga perak seberat rambut Hasan yang dicukur, dan Nabi sering mengutamakan keperluan para penghuni Shuffah dibandingkan dengan kepentingan keluarga Nabi sendiri.
     Nabi menganjurkan kepada para sahabat agar sering membantu para penghuni Shuffah dan sering mengirimkan para Ahli Shuffah untuk berdakwah ke luar daerah.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 273.
لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا ۗ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

    “(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah, mereka tidak dapat (berusaha) di muka bumi, orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya, karena menjaga diri dari minta-minta, kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak, apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), sesungguhnya Allah Maha Mengetahui “.
      Demikian potret kehidupan awal umat Islam yaitu kehidupan yang dibangun dengan gotong royong, kebersamaan, dan saling menolong, karena Islam dibangun dengan prinsip pihak yang “kelebihan” membantu kebutuhan pihak yang “kekurangan”. 
Daftar Pustaka
1. Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfury. Sirah Nabawiyah. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta. 2006.
2. Ghani, Muhammad Ilyas Abdul. Sejarah Masjid Nabawi. Madinah 2004.
3. Ghani, Muhammad Ilyas Abdul. Sejarah Mekah. Mekah 2004   
4. Kisah Para Sahabat.

Related Posts:

0 comments:

Post a Comment