Friday, December 18, 2020

8125. BIASAKAN MEMUJI ANAK YANG BAIK

 


BIASAKAN MEMUJI ANAK YANG BAIK

Oleh: Drs. H.M. Yusron Hadi, M.M.

 

 

 

 

 

Pintar adalah pandai, cakap, cerdik, banyak akal, dan mahir (melakukan sesuatu)

Akhlak adalah budi pekerti dan kelakuan.

 

 

Akhlak baik adalah kelakuan dan budi pekerti elok dan tidak jahat.

 

 

Mengapa kita banyak memuji anak pintar disbanding anak baik?

Banyak orang tua dan guru lebih suka memuji anak pintar daripada anak baik.

 

 

Para orang tua dan guru lebih senang memuji anak pandai dan juara di sekolah.

 

 

Tetapi kurang memuji anak yang berbuat baik dengan perilaku dan akhlak baik di sekolah.

 

 

Sebagian berkata yang terbaik adalah pintar otaknya sekaligus baik perilakunya.

 

 

 

Tetapi faktanya secara bawah sadar kita lebih suka memuji kepintaran seorang anak ketimbang kebaikan anak lainnya.

 

 

Coba saja perhatikan sikap  terhadap anak sendiri.

 

 

Memang ada yang menyadari akhlak mulia jauh lebih penting daripada kepintaran.

 

 

Para orang tua ini lebih sering memuji anaknya yang berbuat baik ketimbang yang pintar di sekolah.

 

 

 

Mari kita renungkan kisah berikut ini:

 

Kisah tragis manusia super jenius.

 

 

Menjadi jenius dambaan mayoritas manusia.

 

 

Masalahnya, pengharapan sekaligus tekanan berlebih bisa mengorbankan hidup orang berotak super.

 

 

Contoh paling tragis terekam pada kisah William J. Sidis, si jenius ber-IQ 250 - 300.

 

 

Mungkin belum banyak yang mengenal nama William J. Sidis.

Kisah berikut akan menjelaskan siapa, apa, dan bagaimana kiprahnya di dunia keilmuan.

 

 

Sebuah dunia yang mendewakan manusia super cerdas, lalu lalai pada sisi kemanusiaan.

 

 

Boris dan Sarah Sidis, pasutri Yahudi Ukraina imigran ke Amerika Serikat di akhir abad ke-19 akibat tekanan politik dan agama di negara asal mereka.

 

 

Boris dan Sarah menetap di New York.

 

 

Boris menjadi psikolog cukup terkenal berkat metode hipnosis.

 

 

Sarah menjadi dokter, dan di zaman itu, ia satu-satunya wanita yang mendapat gelar dokter.

 

 

Karir pasutri ini sangat cemerlang.

 

Apakah semua cukup? Belum.

 

Mereka ingin anak yang mewarisi kecemerlangan otak mereka.

 

 

Pada 1 April 1898, Sarah melahirkan anak pertama, yaitu William James Sidis .

 

 

Sejak kecil, pendidikan dan pembentukan William begitu intens.

 

 

Tabungan keluarga untuk buku, mainan, perlengkapan lain yang bisa mendorong anak berkembang cepat.

 

Memanfaatkan teknik psikologi inovatif Boris, William diajarkan untuk mengenal dan mengucapkan huruf dari alfabet dalam beberapa bulan.

 

 

Si kecil sudah bisa berbicara seperti "door" (pintu) saat usianya 6 bulan.

 

 

Serta terampil makan sendiri dengan sendok ketika 8 bulan.

 

Apa bayangan Anda tentang William?

 

 

Ya, anak ajaib.

 

 

Boris dan Sarah sangat bangga.

 

 

Bayangkan, saat usia 2 tahun William bisa membaca harian New York Times dan mengetik bahasa Inggris dan Perancis.

 

 

Sisi negatifnya, pelatihan berlebih ditambah atensi media (berkat Sarah yang suka menulis jurnal memamerkan keberhasilan anak mereka) mengakibatkan William kehilangan sisi "anak" yang seharusnya bermain dengan teman seusianya.

 

 

Pada usia 9 tahun ia sudah diterima di Harvard, meskipun pihak kampus menolaknya hadir di kelas, karena secara emosional ia belum dewasa.

 

 

Orang tua William menekan Harvard dengan menuliskan kisahnya hingga dimuat di halaman pertama New York Times.

 

 

Lalu Tufts College mengaku pada publik bahwa William mengoreksi kesalahan dalam buku-buku matematika dan mencoba untuk menemukan kesalahan dalam teori relativitas Einstein.

 

 

Akhirnya Harvard menyerah, William pun bisa kuliah.

 

 

Ia terdaftar sebagai mahasiswa ketika usianya 11 tahun.

 

 

Boston, 1910.

 

Di puncak musim dingin, ratusan orang hadir mendengarkan bocah ajaib William J Sidis berbicara tentang dimensi ke-4 pada tubuh manusia.

 

 

Kabar ini menyebar cepat, dunia terkesima.

 

 

Media mendapat sumber berita paling sensasional.

 

 

Wartawan terus menguntit William di kampusnya.

 

 

Bagaikan selebritas, ia tak punya waktu privasi lagi.

 

 

Di usia 16 tahun William lulus dari Harvard dengan predikat cum laude.

 

 

Membanggakan orang tua dan publik, tapi tidak bagi William.

 

 

Menurut penulis biografi Sidis Amy Wallace, William mengaku tidak pernah mencium seorang gadis.

 

 

Suatu hal yang 'aneh' dalam budaya remaja Amerika.

 

 

Saat wisuda, ia memberi pernyataan terbuka pada wartawan, "Saya ingin menjalani kehidupan yang sempurna.

 

 

Satu-satunya cara untuk menjalani kehidupan yang sempurna adalah hidup dalam pengasingan.

 

 

Saya selalu membenci orang banyak.”

 

 

Setelah meninggalkan Harvard, masyarakat dan orang tuanya mengharapkan hal besar dari William.

 

 

Dia mengajar matematika di Rice University di Houston, Texas.

 

William yang lebih muda dari semua siswanya mengakibatkan kesulitan dalam mengajar.

 

 

Dia mengundurkan diri dan pindah kembali ke Boston.

 

 

Di saat sama, Amerika sebagai negara kapitalis bertolak belakang dengan komunis.

 

 

 

William justru berpaham sosialis, hal ini membawanya ke penjara di bulan Mei 1919 karena merancang demonstrasi sayap kiri.

 

 

Dalam sel, ia bertemu Martha Foley seorang sosialis Irlandia.

 

 

Cinta mereka berjalan rumit, sdengan faham William yang 'unik' soal cinta, seni, dan seks hanya agen  "kehidupan tidak sempurna."

 

 

Pengakuannya sebagai ateis dan sosialis di pengadilan menghasilkan hukuman 18 bulan penjara bagi William.

 

 

Untung, pengaruh orang tuanya membuat ia keluar penjara.

 

Ia lalu pindah dari satu kota ke kota lain, dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain, dan mengubah namanya agar tak ditemukan.

 

 

Selama dalam keterasingan hidupnya, ia menulis puluhan buku dengan nama samaran.

 

 

Masa-masa inilah karyanya terbilang fenomenal.

 

 

Dalam The Animate and the Inanimate (1925), William mengklaim tentang wilayah gelap di alam semesta (teori yang sekarang berkembang soal dark matter, anti matter, dan black hole).

 

 

Sidis juga menulis sejarah Amerika dari jaman prasejarah hingga 1928.

 

 

Ia menyebut orang kulit merah sebagai penduduk pribumi juga hidup di waktu sama ketika nenek moyang kulit putih berkembang di Eropa.

 

 

 

William memutuskan kontak dengan orangtuanya, menggiring dalam kesendirian sebagai anti-sosial.

 

 

Meskipun media tetap berusaha menjadikannya sumber berita.

 

 

Tulisan di The New Yorker tahun 1937 memuat tulisan seorang reporter wanita yang dikirim untuk berteman sambil mengorek rahasia hidup William merupakan aib terbesar dalam hidupnya.

 

 

Penggambaran dirinya yang kekanak-kanakan, atau menangis di tempat kerja sungguh kisah memalukan.

 

 

Tuntutan William pada The New Yorker sempat sampai ke Mahkamah Agung, bagaimanapun publik telah melihat 'kehancuran' William yang gagal menjadi seorang pria seperti seharusnya.

 

 

Akhirnya, saat musim panas Juli 1944, William ditemukan tak sadar  dalam apartemen kecilnya di Boston.

 

 

Ia terserang stroke, otaknya sekarat.

 

 

Tak pernah sadar lagi dan meninggal pada usia 46 tahun.

 

 

Satu kenangan tersisa hanya foto dalam dompetnya, foto Martha Foley.

 

(Sumber: internet)

0 comments:

Post a Comment