BIASAKAN MEMUJI ANAK YANG BAIK
Oleh:
Drs. H.M. Yusron Hadi, M.M.
Pintar
adalah pandai, cakap, cerdik, banyak akal, dan mahir (melakukan sesuatu)
Akhlak
adalah budi pekerti dan kelakuan.
Akhlak
baik adalah kelakuan dan budi pekerti elok dan tidak jahat.
Mengapa
kita banyak memuji anak pintar disbanding anak baik?
Banyak
orang tua dan guru lebih suka memuji anak pintar daripada anak baik.
Para
orang tua dan guru lebih senang memuji anak pandai dan juara di sekolah.
Tetapi
kurang memuji anak yang berbuat baik dengan perilaku dan akhlak baik di
sekolah.
Sebagian
berkata yang terbaik adalah pintar otaknya sekaligus baik perilakunya.
Tetapi
faktanya secara bawah sadar kita lebih suka memuji kepintaran seorang anak
ketimbang kebaikan anak lainnya.
Coba
saja perhatikan sikap terhadap anak sendiri.
Memang
ada yang menyadari akhlak mulia jauh lebih penting daripada kepintaran.
Para
orang tua ini lebih sering memuji anaknya yang berbuat baik ketimbang yang
pintar di sekolah.
Mari kita renungkan kisah
berikut ini:
Kisah
tragis manusia super jenius.
Menjadi
jenius dambaan mayoritas manusia.
Masalahnya,
pengharapan sekaligus tekanan berlebih bisa mengorbankan hidup orang berotak
super.
Contoh
paling tragis terekam pada kisah William J. Sidis, si jenius ber-IQ 250 - 300.
Mungkin
belum banyak yang mengenal nama William J. Sidis.
Kisah
berikut akan menjelaskan siapa, apa, dan bagaimana kiprahnya di dunia keilmuan.
Sebuah
dunia yang mendewakan manusia super cerdas, lalu lalai pada sisi kemanusiaan.
Boris
dan Sarah Sidis, pasutri Yahudi Ukraina imigran ke Amerika Serikat di akhir
abad ke-19 akibat tekanan politik dan agama di negara asal mereka.
Boris
dan Sarah menetap di New York.
Boris
menjadi psikolog cukup terkenal berkat metode hipnosis.
Sarah menjadi dokter, dan di zaman itu, ia satu-satunya wanita
yang mendapat gelar dokter.
Karir
pasutri ini sangat cemerlang.
Apakah
semua cukup? Belum.
Mereka
ingin anak yang mewarisi kecemerlangan otak mereka.
Pada
1 April 1898, Sarah melahirkan anak pertama, yaitu William James Sidis .
Sejak
kecil, pendidikan dan pembentukan William begitu intens.
Tabungan
keluarga untuk buku, mainan, perlengkapan lain yang bisa mendorong anak
berkembang cepat.
Memanfaatkan
teknik psikologi inovatif Boris, William diajarkan untuk mengenal dan
mengucapkan huruf dari alfabet dalam beberapa bulan.
Si
kecil sudah bisa berbicara seperti "door" (pintu) saat usianya 6
bulan.
Serta
terampil makan sendiri dengan sendok ketika 8 bulan.
Apa
bayangan Anda tentang William?
Ya,
anak ajaib.
Boris
dan Sarah sangat bangga.
Bayangkan,
saat usia 2 tahun William bisa membaca harian New York Times dan mengetik bahasa
Inggris dan Perancis.
Sisi
negatifnya, pelatihan berlebih ditambah atensi media (berkat Sarah yang suka
menulis jurnal memamerkan keberhasilan anak mereka) mengakibatkan William
kehilangan sisi "anak" yang seharusnya bermain dengan teman
seusianya.
Pada
usia 9 tahun ia sudah diterima di Harvard, meskipun pihak kampus menolaknya
hadir di kelas, karena secara emosional ia belum dewasa.
Orang
tua William menekan Harvard dengan menuliskan kisahnya hingga dimuat di halaman
pertama New York Times.
Lalu
Tufts College mengaku pada publik bahwa William mengoreksi kesalahan dalam
buku-buku matematika dan mencoba untuk menemukan kesalahan dalam teori
relativitas Einstein.
Akhirnya
Harvard menyerah, William pun bisa kuliah.
Ia
terdaftar sebagai mahasiswa ketika usianya 11 tahun.
Boston, 1910.
Di
puncak musim dingin, ratusan orang hadir mendengarkan bocah ajaib William J
Sidis berbicara tentang dimensi ke-4 pada tubuh manusia.
Kabar
ini menyebar cepat, dunia terkesima.
Media
mendapat sumber berita paling sensasional.
Wartawan
terus menguntit William di kampusnya.
Bagaikan
selebritas, ia tak punya waktu privasi lagi.
Di
usia 16 tahun William lulus dari Harvard dengan predikat cum laude.
Membanggakan
orang tua dan publik, tapi tidak bagi William.
Menurut
penulis biografi Sidis Amy Wallace, William mengaku tidak pernah mencium
seorang gadis.
Suatu
hal yang 'aneh' dalam budaya remaja Amerika.
Saat
wisuda, ia memberi pernyataan terbuka pada wartawan, "Saya ingin menjalani
kehidupan yang sempurna.
Satu-satunya
cara untuk menjalani kehidupan yang sempurna adalah hidup dalam pengasingan.
Saya
selalu membenci orang banyak.”
Setelah
meninggalkan Harvard, masyarakat dan orang tuanya mengharapkan hal besar dari
William.
Dia
mengajar matematika di Rice University di Houston, Texas.
William
yang lebih muda dari semua siswanya mengakibatkan kesulitan dalam mengajar.
Dia
mengundurkan diri dan pindah kembali ke Boston.
Di
saat sama, Amerika sebagai negara kapitalis bertolak belakang dengan komunis.
William
justru berpaham sosialis, hal ini membawanya ke penjara di bulan Mei 1919
karena merancang demonstrasi sayap kiri.
Dalam
sel, ia bertemu Martha Foley seorang sosialis Irlandia.
Cinta
mereka berjalan rumit, sdengan faham William yang 'unik' soal cinta, seni, dan
seks hanya agen "kehidupan tidak
sempurna."
Pengakuannya
sebagai ateis dan sosialis di pengadilan menghasilkan hukuman 18 bulan penjara
bagi William.
Untung,
pengaruh orang tuanya membuat ia keluar penjara.
Ia
lalu pindah dari satu kota ke kota lain, dari satu pekerjaan ke pekerjaan lain,
dan mengubah namanya agar tak ditemukan.
Selama
dalam keterasingan hidupnya, ia menulis puluhan buku dengan nama samaran.
Masa-masa
inilah karyanya terbilang fenomenal.
Dalam
The Animate and the Inanimate (1925), William mengklaim tentang wilayah gelap
di alam semesta (teori yang sekarang berkembang soal dark matter, anti matter,
dan black hole).
Sidis
juga menulis sejarah Amerika dari jaman prasejarah hingga 1928.
Ia
menyebut orang kulit merah sebagai penduduk pribumi juga hidup di waktu sama
ketika nenek moyang kulit putih berkembang di Eropa.
William
memutuskan kontak dengan orangtuanya, menggiring dalam kesendirian sebagai
anti-sosial.
Meskipun
media tetap berusaha menjadikannya sumber berita.
Tulisan
di The New Yorker tahun 1937 memuat tulisan seorang reporter wanita yang
dikirim untuk berteman sambil mengorek rahasia hidup William merupakan aib
terbesar dalam hidupnya.
Penggambaran
dirinya yang kekanak-kanakan, atau menangis di tempat kerja sungguh kisah
memalukan.
Tuntutan
William pada The New Yorker sempat sampai ke Mahkamah Agung, bagaimanapun
publik telah melihat 'kehancuran' William yang gagal menjadi seorang pria
seperti seharusnya.
Akhirnya,
saat musim panas Juli 1944, William ditemukan tak sadar dalam apartemen kecilnya di Boston.
Ia
terserang stroke, otaknya sekarat.
Tak
pernah sadar lagi dan meninggal pada usia 46 tahun.
Satu
kenangan tersisa hanya foto dalam dompetnya, foto Martha Foley.
(Sumber:
internet)
0 comments:
Post a Comment