Organisasi Profesi Guru

Presiden Jokowi memberi hormat kepada Guru-Guru se Indonesia.

Tema Gambar Slide 2

Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.

Tema Gambar Slide 3

Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.

Showing posts with label KAPAN MUNCULNYA BUZZER. Show all posts
Showing posts with label KAPAN MUNCULNYA BUZZER. Show all posts

Sunday, April 25, 2021

9369. KAPAN MUNCULNYA BUZZER

 


 

KAPAN MUNCULNYA BUZZER

Oleh : Drs. H. M. Yusron Hadi, MM

 

 

 

 

 

 

ASAL USUL BUZZER

 

 

 

Berawal dari salah satu strategi marketing.

 

 

 

Buzzing berubah menjadi salah satu strategi untuk mendongkrak elektabilitas dan popularitas tokoh atau partai politik. 

 

 

 

Buzzer (pendengung) sembunyi di balik topeng mengaku suara publik di media sosial.




' v:shapes="_x0000_i1025">

Berdasar penelitian CIPG, buzzer lahir bersamaan dengan lahirnya Twitter tahun 2009.

 

 

Awalnya, buzzer menjadi strategi pemasaran.

 

 

Untuk mempromosikan produk guna mendongkrak penjualan.

 



Fungsi buzzer berubah tahun  2012.

 

 

 

Ketika pasangan Jokowi-Ahok memakai pasukan buzzer media sosial untuk mendorong segala wacana atau isu politik.






"Buzzer di Indonesia mulai populer dalam Pilkada Jakarta tahun 2012.

 

 

Saat itu pasangan Jokowi Ahok berhasil menang.

 

 

 

 

Dengan mengerahkan "pasukan medsos" bernama Jasmev.

 

 

 

 

Atau Jokowi Ahok Social Media Volunteer," kata pengamat media sosial Pratama Persadha.

 

 

 

 

 

Fungsi buzzer kembali dipakai saat Pipres 2014.

 

 

 

Saat itu, kedua paslon memakai buzzer.

 



Senada dengan Pratama,  mantan buzzer Rahaja Baraha  mengakui awal  penggunaan buzzer adalah saat Pilpres 2009.

 

 

 

 

Tapi saat itu, penggunaan buzzer ini masih sangat minim.

 

 



"Twitter masuk tahun 2009 baru mulai heboh buzzer.

 

 

 

Pada pilpres tahun 2009 buzzer dipakai.

 

 

 

Tapi belum terlalu banyak.

 

 

 

 

Pada tahun 2012 dan 2014 buzzer dipakai maksimal.

 

 

 

 

Kemudian 'boom' ada di setiap pemilu," ujar Rahaja.



Buzzer punya peran saat Pilkada DKI Jakarta 2012.

 

 

 

Buzzer kembali dipakai pada Pilpres 2014. 

 

 

 

Para buzzer merasa bahwa ini  lahan basah.

 

 

 

Tentu tak mau menolak ajakan tokoh politik atau partai politik.

 

 

 



"Awalnya panas pada tahun 2012.

 

 

 

Kemudian ada momen, influencer dipakai menggiring opini dan berlanjut pada pilpres 2014," kata Rahaja.

 

 

 

BUZZER PUNYA PENGARUH KUAT MEMBENTUK OPINI PUBLIK

 

 


Peneliti CIPG Rinaldi Camil mengatakan para influencer di media sosial punya kekuatan besar dalam mempengaruhi suara publik.

 

 

 

 

Mereka punya kemampuan kelas wahid untuk membentuk opini publik. 

 



"Influencer bisa menjalankan peran sebagai buzzer.

 

 

 

Tapi tidak semua influencer itu buzzer. 

 

 

 

Influencer bisa disebut buzzer jika ia memviralkan pesan.

 

 

 

 

Kapabilitas itu dimiliki oleh influencer.

 

 

 

Karena ia punya pasukan buzzer juga.

 

 

Dan dianggap punya kapabilitas mumpuni," ujar Rinaldi.



Kekuatan besar ini mengakibatkan isu politik yang digaungkan buzzer menyebar dengan cepat.

 

 

 

Media sosial memberi alat terbaik untuk konten tepat sasaran kepada khalayak.

 

 



Algoritme seluruh media social membuat konten pesanan menjadi tepat sasaran.

 

 

 

Dan efektif kepada khalayak yang dituju. 

 

 

 

Media sosial menjadi tempat  nyaman.

 

 

 

Karena algoritma mengatur konten yang pengguna sukai.

 

 

 

Fenomena ini disebut Echo Chamber.

 

 

 

Artinya pemakai media sosial berada dalam lingkungan pertemanan berpikir serupa.


 

 


Penyebaran konten di media sosial sangat cepat.

 

 

Karena banyaknya jumlah buzzer dan akun bodong.

 

 

 

Yang meneruskan konten-konten itu.



Beberapa kelompok buzzer membentuk suatu jaringan besar.

 

 

Untuk saling membagi dan komentar di konten pesanan klien.

 

 



"Platform media menyediakan alat  menyebarkan konten dengan sangat efektif.

 

 

 

Yang berbayar dan tidak.

 

 

 

 

Pemakaiannya sangat efektif.

 

 

 

Dan bisa mengumpulkan  masukan untuk konten selanjutnya.

 

 

 

Pratama mengatakan masa depan buzzer sangat cerah.

 

 

 

Prospek buzzer politik atau buzzer pemasaran sangat dibutuhkan di era digital untuk mendorong popularitas.

 

 

 

Dia mengatakan buzzer tak melulu negatif.

 

 

Yang berpihak kepada satu partai politik atau tokoh politik.

 



Dalam marketing, buzzer dipakai  mendongkrak popularitas produk-produk.

 

 



"Buzzersebenarnya tidak selalu negatif.

 

 

Ada juga jasa buzzer untuk mengangkat konten atau tokoh secara positif.

 

 

 

Dengan semakin terkoneksinya manusia.

 

 

 

Keperluan terhadap buzze tinggi.

 

 

 

Selain dalam politik, buzzer juga sangat dibutuhkan dalam bisnis," ujar Pratama.

 

 




Pengamat media sosial Enda Nasution mengungkapkan buzzer adalah akun di media sosial yang tidak punya reputasi.

 

 

 

 

 

 

"Buzzer lebih kepada kelompok orang yang tidak jelas  identitasnya.

 

 

 

Biasanya punya motif ideologis atau ekonomi di belakangnya.

 

 

Dan kemudian menyebarkan informasi.

 

 

 

 

 

Jika ada akun yang punya nama dan latar belakang jelas disebut  influencer.

 

 

 

 

 

Akun yang jelas tidak bisa seenaknya mengunggah sesuatu.

 

 

 

 

Jika dia salah atau ada orang  tidak suka, maka bisa  menimbulkan risiko terhadap pemilik akunnya.

 

 

Fenomena buzzer Indonesia sama seperti ketika media sosial dijadikan ajang untuk perang opini.

 

 

Dan berusaha memenangkan opini publik.

 

 

Dalam alam demokratis, siapa menang opini, maka dia  dianggap lebih popular.

 

 

 

Akhirnya muncul buzzer.

 

 

 

 

 

Karena ruang publik tidak lagi dipenuhi media mainstream.

 

 

 

Tetapi media sosial yang saling mempengaruhi dan berusaha meyakinkan publik.

 

 

 

Enda mengatakan, buzzer ada yang dibayar dan ada yang hanya sukarelawan.

 

 

 

Para sukarelawan, biasanya karena motif ideologis.

 

 

 

Karena memang dia setuju dengan isu ini.

 

 

 

Buzzer yang dibayar biasanya hanya motif ekonomi.

 

 

 

Artinya mungkin selain mendukung, ia profesional di bidangnya sehingga mendapat bayaran.

 

 

 

Dampak buzzer adalah  kebingungan dari masyarakat.

 

 

 

Siapa yang harus dia percaya.

 

 

 

Walaupun ada sumber media yang kredibel.

 

 

 

 

Pemerintah juga masih sebagai sumber yang kredibel.

 

 

 

Tapi di zaman media sosial sekarang, informasi tidak dilihat dari sumbernya.

 

 

 

Bahkan sering tidak tahu sumbernya dari mana.

 

 

 

Karena hasil copy paste dari pihak lain.

 

 

 

Masyarakat harus menentukan sendiri harus percaya dengan siapa.

 

 

Kebanyakan masyarakat mempercayai sesuatu melalui referensi yang dimiliki sebelumnya.

 

 

Jika dia merasa kelompok A itu jahat, maka info yang mendukungnya akan ia percaya.

 

 

 

 

Dan akhirnya ia sebarkan.

 

 

 

Begitu juga sebaliknya.

 

 

Banyak info yang membuat kita hidup tidak pasti.

 

 

 

Karena pihak yang terkenal tidak selalu benar.

 

 

 

(Sumber internet)