Organisasi Profesi Guru

Presiden Jokowi memberi hormat kepada Guru-Guru se Indonesia.

Tema Gambar Slide 2

Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.

Tema Gambar Slide 3

Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.

Saturday, August 5, 2017

172. SYAFII

IMAM SYAFII MENJAWAB TEKA TEKI,
MODEL MATEMATIKA
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

      Ajaran Islam bersumber kepada Al-Quran dan Sunah. Memiliki beberapa cabang ilmu, salah satunya “Ilmu Fikih”. Ilmu Fikih mempelajari tentang Hukum Islam. Dunia Islam mengenal 4 mazhab terbesar, yaitu Mazhab Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali.
    Masing-masing mazhab mempunyai “karakter” dan “keistimewaan” tersendiri. Mazhab Hanafi didirikan oleh Nukman bin Tsabit, yang lahir tahun 89 Hijriah, dan wafat tahun 150 Hijirah. Nukman bin Tsabit seorang guru besar ilmu fikih di Irak.
      Mazhab Maliki didirikan oleh Imam Malik bin Anas, yang lahir tahun 93 Hijriah, dan wafat tahun 179 Hijriah. Imam Malik bin Anas berasal dari Madinah.
     Mazhab Syafii didirikan oleh Muhammad bin Idris, yang lahir tahun 150 Hijriah, dan wafat tahun 200 Hijirah. Muhammad bin Idris berasal dari Gaza, Palestina.
     Mazhab Hambali didirikan oleh Ahmad bin Hambal, yang lahir tahun 164 Hijriah, dan wafat tahun 241 Hijriah. Ahmad bin Hambal berasal dari Baghdad, Irak.
      Khalifah Harun Ar-Rasyid amat mencintai Imam Syafii, tetapi para ulama yang lain ingin menguji kemampuan Imam Syafii. Para ulama mengajukan beberapa pertanyaan bersifat teka teki matematika untuk menguji kecerdasan Imam Syafii.
     Teka teki pertama. Seorang lelaki menyembelih seekor domba, lalu dimasaknya sehingga siap dimakan. Dia keluar rumah untuk suatu keperluan, beberapa waktu kemudian, dia kembali pulang.
      Dia berkata kepada keluarganya,”Makanlah dombanya, karena domba itu haram untuk saya.”  Keluarganya menjawab,” Domba itu juga haram untuk kami.”
      Imam Syafii menjawab, “Lelaki itu seorang musyrik. Dia menyembelih domba atas nama berhala, lalu dia keluar rumah untuk beberapa kepentingan.  Allah memberinya hidayah, kemudiand ia masuk Islam, maka domba itu haram baginya. Keluarganya ikut masuk Islam, maka domba itu haram bagi mereka.”
     Teka teki kedua. “Terdapat dua orang muslim, merdeka, dan waras. Keduanya minum khamar. Orang pertama dihukum pidana, tetapi orang kedua dibebaskan, tidak  dihukum.”
     Imam Syafii menjawab,”Orang yang pertama sudah baligh, sedangkan orang yang kedua belum baligh.”
     Teka teki ketiga. Terdapat seorang lelaki dan seorang wanita dewasa.  Keduanya bertemu dua anak kecil di jalan, lalu mereka menciumnya. Tatkala ditanyakan kepada mereka, lelaki dewasa menjawab,”Bapakku merupakan kakek mereka, sedangkan saudaraku adalah paman mereka, dan istriku ialah istri bapak mereka.
     Wanita dewasa menjawab,”Ibuku, nenek mereka, sedangkan saudaraku adalah bibi mereka, dari pihak ibunya.”
      Imam Syafii menjawab,” Lelaki dan wanita dewasa itu adalah ayah dan ibu mereka.”
      Teka teki keempat. “Terdapat 2 orang wanita dewasa, dan 2 anak. Keduanya berkata,” Selamat datang untuk anak kami, yang sekaligus suami dan anak suami kami.”
      Imam Syafii menjawab,”Dua anak tersebut merupakan anak dua wanita itu. Masing-masing wanita, menikah dengan anak temannya. Kedua anak itu menjadi anak mereka, menjadi suami dan anak dari suami mereka.”
      Teka teki kelima. “Seorang lelaki mengambil segelas besar air untuk diminum. Dia minum setengah gelas dengan hala, tetapi setengah gelas lagi menjadi haram.”
      Imam Syafii menjawab, “Lelaki itu minum setengan gelas.  Lalu dia mimisan, darahnya masuk ke dalam gelas sisanya, maka setengah gelas sisanya menjadi haram.”
      Teka teki keenam. “Lima lelaki berzina dengan wanita. Orang yang pertama dihukum bunuh, sedangkan orang yang kedua dihukum rajam. Orang yang ketiga dihukum cambuk, sedangkan orang yang keempat dihukum setengah pidana, tetapi orang kelima dibebaskan.”
     Imam Syafii menjawab,”orang yang pertama menganggap zina halal, maka dia dibunuh. Orang yang kedua, sudah menikah, maka dia dirajam. Orang yang ketiga, belum menikah, maka dia dicambuk. Orang yang keempat, seorang budak, maka dia dihukum setengah pidana. Sedangkan orang yang kelima, seorang gila, maka dia dibebaskan”.
     Teka teki ketujuh. “Seorang lelaki memberi istrinya sebuah kantung berisi sesuatu yang disegel. Dia minta istrinya mengosongkan isinya dengan syarat tidak boleh dibuka, dilubangi, atau dirusak segelnya.”
      Imam Syafii menjawab,”Kantung itu berisi gula atau garam. Kantung itu hanya perlu direndam dalam air, maka isinya sudah mencair.”

Daftar Pustaka
1. Asy-Syinawi, Abdul Aziz. Biografi Empat Mazhab. Penerbit Beirut Publishing. Ummul Qura. Jakarta, 2013.

172. SYAFII

IMAM SYAFII MENJAWAB TEKA TEKI,
MODEL MATEMATIKA
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

      Ajaran Islam bersumber kepada Al-Quran dan Sunah. Memiliki beberapa cabang ilmu, salah satunya “Ilmu Fikih”. Ilmu Fikih mempelajari tentang Hukum Islam. Dunia Islam mengenal 4 mazhab terbesar, yaitu Mazhab Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali.
    Masing-masing mazhab mempunyai “karakter” dan “keistimewaan” tersendiri. Mazhab Hanafi didirikan oleh Nukman bin Tsabit, yang lahir tahun 89 Hijriah, dan wafat tahun 150 Hijirah. Nukman bin Tsabit seorang guru besar ilmu fikih di Irak.
      Mazhab Maliki didirikan oleh Imam Malik bin Anas, yang lahir tahun 93 Hijriah, dan wafat tahun 179 Hijriah. Imam Malik bin Anas berasal dari Madinah.
     Mazhab Syafii didirikan oleh Muhammad bin Idris, yang lahir tahun 150 Hijriah, dan wafat tahun 200 Hijirah. Muhammad bin Idris berasal dari Gaza, Palestina.
     Mazhab Hambali didirikan oleh Ahmad bin Hambal, yang lahir tahun 164 Hijriah, dan wafat tahun 241 Hijriah. Ahmad bin Hambal berasal dari Baghdad, Irak.
      Khalifah Harun Ar-Rasyid amat mencintai Imam Syafii, tetapi para ulama yang lain ingin menguji kemampuan Imam Syafii. Para ulama mengajukan beberapa pertanyaan bersifat teka teki matematika untuk menguji kecerdasan Imam Syafii.
     Teka teki pertama. Seorang lelaki menyembelih seekor domba, lalu dimasaknya sehingga siap dimakan. Dia keluar rumah untuk suatu keperluan, beberapa waktu kemudian, dia kembali pulang.
      Dia berkata kepada keluarganya,”Makanlah dombanya, karena domba itu haram untuk saya.”  Keluarganya menjawab,” Domba itu juga haram untuk kami.”
      Imam Syafii menjawab, “Lelaki itu seorang musyrik. Dia menyembelih domba atas nama berhala, lalu dia keluar rumah untuk beberapa kepentingan.  Allah memberinya hidayah, kemudiand ia masuk Islam, maka domba itu haram baginya. Keluarganya ikut masuk Islam, maka domba itu haram bagi mereka.”
     Teka teki kedua. “Terdapat dua orang muslim, merdeka, dan waras. Keduanya minum khamar. Orang pertama dihukum pidana, tetapi orang kedua dibebaskan, tidak  dihukum.”
     Imam Syafii menjawab,”Orang yang pertama sudah baligh, sedangkan orang yang kedua belum baligh.”
     Teka teki ketiga. Terdapat seorang lelaki dan seorang wanita dewasa.  Keduanya bertemu dua anak kecil di jalan, lalu mereka menciumnya. Tatkala ditanyakan kepada mereka, lelaki dewasa menjawab,”Bapakku merupakan kakek mereka, sedangkan saudaraku adalah paman mereka, dan istriku ialah istri bapak mereka.
     Wanita dewasa menjawab,”Ibuku, nenek mereka, sedangkan saudaraku adalah bibi mereka, dari pihak ibunya.”
      Imam Syafii menjawab,” Lelaki dan wanita dewasa itu adalah ayah dan ibu mereka.”
      Teka teki keempat. “Terdapat 2 orang wanita dewasa, dan 2 anak. Keduanya berkata,” Selamat datang untuk anak kami, yang sekaligus suami dan anak suami kami.”
      Imam Syafii menjawab,”Dua anak tersebut merupakan anak dua wanita itu. Masing-masing wanita, menikah dengan anak temannya. Kedua anak itu menjadi anak mereka, menjadi suami dan anak dari suami mereka.”
      Teka teki kelima. “Seorang lelaki mengambil segelas besar air untuk diminum. Dia minum setengah gelas dengan hala, tetapi setengah gelas lagi menjadi haram.”
      Imam Syafii menjawab, “Lelaki itu minum setengan gelas.  Lalu dia mimisan, darahnya masuk ke dalam gelas sisanya, maka setengah gelas sisanya menjadi haram.”
      Teka teki keenam. “Lima lelaki berzina dengan wanita. Orang yang pertama dihukum bunuh, sedangkan orang yang kedua dihukum rajam. Orang yang ketiga dihukum cambuk, sedangkan orang yang keempat dihukum setengah pidana, tetapi orang kelima dibebaskan.”
     Imam Syafii menjawab,”orang yang pertama menganggap zina halal, maka dia dibunuh. Orang yang kedua, sudah menikah, maka dia dirajam. Orang yang ketiga, belum menikah, maka dia dicambuk. Orang yang keempat, seorang budak, maka dia dihukum setengah pidana. Sedangkan orang yang kelima, seorang gila, maka dia dibebaskan”.
     Teka teki ketujuh. “Seorang lelaki memberi istrinya sebuah kantung berisi sesuatu yang disegel. Dia minta istrinya mengosongkan isinya dengan syarat tidak boleh dibuka, dilubangi, atau dirusak segelnya.”
      Imam Syafii menjawab,”Kantung itu berisi gula atau garam. Kantung itu hanya perlu direndam dalam air, maka isinya sudah mencair.”

Daftar Pustaka
1. Asy-Syinawi, Abdul Aziz. Biografi Empat Mazhab. Penerbit Beirut Publishing. Ummul Qura. Jakarta, 2013.

171. MUSA

NABI MUSA INGIN MENYAKSIKAN KEADILAN ALLAH
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

      Al-Quran surah At-Tin, surah ke-95 ayat 1-5. “Demi buah Tin dan buah Zaitun. Demi bukit Sinai. Demi kota Mekah yang aman. Sungguh, Kami menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka). Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh. Bagi mereka pahala yang tidak terputus.”
      Alkisah, Nabi Musa berada di bukit Sinai, yang lebih dikenal dengan nama bukit  “Thursina”, selama 40 hari. Nabi Musa menerima wahyu dari Allah melalui Malaikat Jibril, berupa Kitab Taurat.
      Bukit adalah tumpukan tanah yang lebih tinggi daripada tempat sekelilingnya, tetapi lebih rendah daripada gunung. Gunung merupakan bukit yang amat besar dan tinggi, biasanya lebih dari 600 meter.
      Pada hari ke-30, Nabi Musa berdoa,”Ya Allah, ampunilah dosa hamba, karena hamba amat lancang. Hamba ingin menyaksikan sendiri secara langsung, ingin membuktikan sendiri bahwa Engkau Maha Adil.”
      Malaikat Jibril turun,”Wahai Musa, Allah mendengarkan doamu. Apakah kamu masih tidak yakin bahwa Allah Maha Adil?” Musa Menjawab,”Ya Allah, ampunilah hamba. Hamba sudah yakin bahwa Allah Maha Adil. Tetapi, hamba ingin lebih yakin dan mantap, apabila menyaksikannya sendiri.”
      Malaikat Jibril turun lagi,“Wahai Musa, Allah memberi salam kepadamu. Jika kamu ingin menyaksikan keadilan Allah, pergilah mendekat ke sumber air.” Kemudian Nabi Musa pergi mendekati sebuah sumber air. Nabi Musa bersembunyi, ingin menyaksikan apa yang akan terjadi.
      Tidak berapa lama kemudian, muncul seorang ksatria penunggang kuda.  Dia membawa sebilah pedang dengan sarungnya yang diselipkan di punggungnya. Juga, membawa sekantung uang yang menggantung di pinggang kirinya.
      Penunggang kuda turun ke sumber air. Dia mencuci muka dan menikmati air sepuasnya. Beberapa saat kemudian, dia meninggalkan sumber air. Sekantung uangnya tertinggal, tergeletak di bebatuan dekat sumber air.
     Penunggang kuda sudah berlalu, muncul seorang anak kecil yang berumur sekitar 9 tahun. Dia menuju sumber air dan mengisi kantung airnya. Anak kecil menemukan sekantung uang dan membawanya pergi.
      Anak kecil telah menjauh, kemudian datang seorang tua yang buta. Dia mendengar gemericik sumber air, lalu mendatanginya. Si orang tua buta mencuci muka dan “bersuci”. Kemudian si orang tua yang buta melaksanakan “salat”.
      Beberapa saat kemudian si ksatria berkuda kembali lagi. Dia turun menuju  sumber air. Dia mencari uangnya  yang hilang, tetapi tidak menemukannya. Dia berkata, “Hai orang tua, apakah kamu mengambil uangku sekantung yang tertinggal di sini?” Si orang tua menjawab,”Maaf Nak, saya buta. Saya  tidak mengetahui jika ada uang yang tertinggal.”
      Penunggang kuda dan orang tua buta bertengkar. Akhirnya, si orang tua buta mati terbunuh. Penunggang kuda beranjak pergi meninggalkan jenazah si orang tua buta. Nabi Musa menyaksikan semuanya dari tempat persembunyian.
     Nabi Musa bergumam, “Sungguh, peristiwa yang tidak adil.  Yang salah adalah anak kecil, karena dia yang mengambil uangnya. Seandainya, si anak kecil tidak mengambil uang itu, maka si orang tua yang buta tidak akan mati terbunuh.”
      Malaikat Jibril turun, “Wahai Musa, kamu tidak bisa menilai keadilan Allah. Karena kamu hanya menyaksikan peristiwa “sesaat” saja, yang kamu lihat hanya kejadian satu “episode” saja. Kamu tidak bisa melihat seluruh rangkaian yang terjadi.”
      Malaikat Jibril melanjutkan, “Orang tua si anak kecil, pernah ikut bekerja kepada si penunggang kuda. Dia belum menerima gajinya. Si penunggang kuda belum membayar gajinya, selama bekerja.”
      Malaikat Jibril melanjutkan, “Uang yang belum dibayarkan kepada orang tua si anak kecil, besarnya persis sama dengan jumlah uang yang ditemukan anak itu. Jumlah gaji yang belum dibayarkan, tepat sama dengan jumlah uang dalam kantung penunggang kuda. Si penunggang kuda tidak pernah merencanakan membawa uang dalam kantung sejumlah itu.”
      “Orang tua si anak sudah meninggal, karena dibunuh seseorang. Pembunuhnya adalah si orang tua yang buta itu,” lanjut malaikat Jibril.
     Nabi Musa berkata, “Allah Maha Adil. Ya Allah, ampunilah hamba-Mu yang lemah, hina, daif, dan bodoh ini.    Yang gampang dan cepat menilai sesuatu kejadian hanya berdasarkan penglihatan dan pengetahuan yang sekilas saja.”  
Daftar Pustaka
1. Bahjat, Ahmad. Nabi Nabi Allah. Penerbit Qisthi Press. Jakarta, 2015.
2. Katsir, Ibnu. Kisah Para Nabi. Penerbit Pustaka Azzam. Jakarta, 2011

171.MUSA

NABI MUSA INGIN MENYAKSIKAN KEADILAN ALLAH
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

      Al-Quran surah At-Tin, surah ke-95 ayat 1-5. “Demi buah Tin dan buah Zaitun. Demi bukit Sinai. Demi kota Mekah yang aman. Sungguh, Kami menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka). Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh. Bagi mereka pahala yang tidak terputus.”
      Alkisah, Nabi Musa berada di bukit Sinai, yang lebih dikenal dengan nama bukit  “Thursina”, selama 40 hari. Nabi Musa menerima wahyu dari Allah melalui Malaikat Jibril, berupa Kitab Taurat.
      Bukit adalah tumpukan tanah yang lebih tinggi daripada tempat sekelilingnya, tetapi lebih rendah daripada gunung. Gunung merupakan bukit yang amat besar dan tinggi, biasanya lebih dari 600 meter.
      Pada hari ke-30, Nabi Musa berdoa,”Ya Allah, ampunilah dosa hamba, karena hamba amat lancang. Hamba ingin menyaksikan sendiri secara langsung, ingin membuktikan sendiri bahwa Engkau Maha Adil.”
      Malaikat Jibril turun,”Wahai Musa, Allah mendengarkan doamu. Apakah kamu masih tidak yakin bahwa Allah Maha Adil?” Musa Menjawab,”Ya Allah, ampunilah hamba. Hamba sudah yakin bahwa Allah Maha Adil. Tetapi, hamba ingin lebih yakin dan mantap, apabila menyaksikannya sendiri.”
      Malaikat Jibril turun lagi,“Wahai Musa, Allah memberi salam kepadamu. Jika kamu ingin menyaksikan keadilan Allah, pergilah mendekat ke sumber air.” Kemudian Nabi Musa pergi mendekati sebuah sumber air. Nabi Musa bersembunyi, ingin menyaksikan apa yang akan terjadi.
      Tidak berapa lama kemudian, muncul seorang ksatria penunggang kuda.  Dia membawa sebilah pedang dengan sarungnya yang diselipkan di punggungnya. Juga, membawa sekantung uang yang menggantung di pinggang kirinya.
      Penunggang kuda turun ke sumber air. Dia mencuci muka dan menikmati air sepuasnya. Beberapa saat kemudian, dia meninggalkan sumber air. Sekantung uangnya tertinggal, tergeletak di bebatuan dekat sumber air.
     Penunggang kuda sudah berlalu, muncul seorang anak kecil yang berumur sekitar 9 tahun. Dia menuju sumber air dan mengisi kantung airnya. Anak kecil menemukan sekantung uang dan membawanya pergi.
      Anak kecil telah menjauh, kemudian datang seorang tua yang buta. Dia mendengar gemericik sumber air, lalu mendatanginya. Si orang tua buta mencuci muka dan “bersuci”. Kemudian si orang tua yang buta melaksanakan “salat”.
      Beberapa saat kemudian si ksatria berkuda kembali lagi. Dia turun menuju  sumber air. Dia mencari uangnya  yang hilang, tetapi tidak menemukannya. Dia berkata, “Hai orang tua, apakah kamu mengambil uangku sekantung yang tertinggal di sini?” Si orang tua menjawab,”Maaf Nak, saya buta. Saya  tidak mengetahui jika ada uang yang tertinggal.”
      Penunggang kuda dan orang tua buta bertengkar. Akhirnya, si orang tua buta mati terbunuh. Penunggang kuda beranjak pergi meninggalkan jenazah si orang tua buta. Nabi Musa menyaksikan semuanya dari tempat persembunyian.
     Nabi Musa bergumam, “Sungguh, peristiwa yang tidak adil.  Yang salah adalah anak kecil, karena dia yang mengambil uangnya. Seandainya, si anak kecil tidak mengambil uang itu, maka si orang tua yang buta tidak akan mati terbunuh.”
      Malaikat Jibril turun, “Wahai Musa, kamu tidak bisa menilai keadilan Allah. Karena kamu hanya menyaksikan peristiwa “sesaat” saja, yang kamu lihat hanya kejadian satu “episode” saja. Kamu tidak bisa melihat seluruh rangkaian yang terjadi.”
      Malaikat Jibril melanjutkan, “Orang tua si anak kecil, pernah ikut bekerja kepada si penunggang kuda. Dia belum menerima gajinya. Si penunggang kuda belum membayar gajinya, selama bekerja.”
      Malaikat Jibril melanjutkan, “Uang yang belum dibayarkan kepada orang tua si anak kecil, besarnya persis sama dengan jumlah uang yang ditemukan anak itu. Jumlah gaji yang belum dibayarkan, tepat sama dengan jumlah uang dalam kantung penunggang kuda. Si penunggang kuda tidak pernah merencanakan membawa uang dalam kantung sejumlah itu.”
      “Orang tua si anak sudah meninggal, karena dibunuh seseorang. Pembunuhnya adalah si orang tua yang buta itu,” lanjut malaikat Jibril.
     Nabi Musa berkata, “Allah Maha Adil. Ya Allah, ampunilah hamba-Mu yang lemah, hina, daif, dan bodoh ini.    Yang gampang dan cepat menilai sesuatu kejadian hanya berdasarkan penglihatan dan pengetahuan yang sekilas saja.”  
Daftar Pustaka
1. Bahjat, Ahmad. Nabi Nabi Allah. Penerbit Qisthi Press. Jakarta, 2015.
2. Katsir, Ibnu. Kisah Para Nabi. Penerbit Pustaka Azzam. Jakarta, 2011

171. MUSA

NABI MUSA INGIN MENYAKSIKAN KEADILAN ALLAH
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

      Al-Quran surah At-Tin, surah ke-95 ayat 1-5. “Demi buah Tin dan buah Zaitun. Demi bukit Sinai. Demi kota Mekah yang aman. Sungguh, Kami menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka). Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh. Bagi mereka pahala yang tidak terputus.”
      Alkisah, Nabi Musa berada di bukit Sinai, yang lebih dikenal dengan nama bukit  “Thursina”, selama 40 hari. Nabi Musa menerima wahyu dari Allah melalui Malaikat Jibril, berupa Kitab Taurat.
      Bukit adalah tumpukan tanah yang lebih tinggi daripada tempat sekelilingnya, tetapi lebih rendah daripada gunung. Gunung merupakan bukit yang amat besar dan tinggi, biasanya lebih dari 600 meter.
      Pada hari ke-30, Nabi Musa berdoa,”Ya Allah, ampunilah dosa hamba, karena hamba amat lancang. Hamba ingin menyaksikan sendiri secara langsung, ingin membuktikan sendiri bahwa Engkau Maha Adil.”
      Malaikat Jibril turun,”Wahai Musa, Allah mendengarkan doamu. Apakah kamu masih tidak yakin bahwa Allah Maha Adil?” Musa Menjawab,”Ya Allah, ampunilah hamba. Hamba sudah yakin bahwa Allah Maha Adil. Tetapi, hamba ingin lebih yakin dan mantap, apabila menyaksikannya sendiri.”
      Malaikat Jibril turun lagi,“Wahai Musa, Allah memberi salam kepadamu. Jika kamu ingin menyaksikan keadilan Allah, pergilah mendekat ke sumber air.” Kemudian Nabi Musa pergi mendekati sebuah sumber air. Nabi Musa bersembunyi, ingin menyaksikan apa yang akan terjadi.
      Tidak berapa lama kemudian, muncul seorang ksatria penunggang kuda.  Dia membawa sebilah pedang dengan sarungnya yang diselipkan di punggungnya. Juga, membawa sekantung uang yang menggantung di pinggang kirinya.
      Penunggang kuda turun ke sumber air. Dia mencuci muka dan menikmati air sepuasnya. Beberapa saat kemudian, dia meninggalkan sumber air. Sekantung uangnya tertinggal, tergeletak di bebatuan dekat sumber air.
     Penunggang kuda sudah berlalu, muncul seorang anak kecil yang berumur sekitar 9 tahun. Dia menuju sumber air dan mengisi kantung airnya. Anak kecil menemukan sekantung uang dan membawanya pergi.
      Anak kecil telah menjauh, kemudian datang seorang tua yang buta. Dia mendengar gemericik sumber air, lalu mendatanginya. Si orang tua buta mencuci muka dan “bersuci”. Kemudian si orang tua yang buta melaksanakan “salat”.
      Beberapa saat kemudian si ksatria berkuda kembali lagi. Dia turun menuju  sumber air. Dia mencari uangnya  yang hilang, tetapi tidak menemukannya. Dia berkata, “Hai orang tua, apakah kamu mengambil uangku sekantung yang tertinggal di sini?” Si orang tua menjawab,”Maaf Nak, saya buta. Saya  tidak mengetahui jika ada uang yang tertinggal.”
      Penunggang kuda dan orang tua buta bertengkar. Akhirnya, si orang tua buta mati terbunuh. Penunggang kuda beranjak pergi meninggalkan jenazah si orang tua buta. Nabi Musa menyaksikan semuanya dari tempat persembunyian.
     Nabi Musa bergumam, “Sungguh, peristiwa yang tidak adil.  Yang salah adalah anak kecil, karena dia yang mengambil uangnya. Seandainya, si anak kecil tidak mengambil uang itu, maka si orang tua yang buta tidak akan mati terbunuh.”
      Malaikat Jibril turun, “Wahai Musa, kamu tidak bisa menilai keadilan Allah. Karena kamu hanya menyaksikan peristiwa “sesaat” saja, yang kamu lihat hanya kejadian satu “episode” saja. Kamu tidak bisa melihat seluruh rangkaian yang terjadi.”
      Malaikat Jibril melanjutkan, “Orang tua si anak kecil, pernah ikut bekerja kepada si penunggang kuda. Dia belum menerima gajinya. Si penunggang kuda belum membayar gajinya, selama bekerja.”
      Malaikat Jibril melanjutkan, “Uang yang belum dibayarkan kepada orang tua si anak kecil, besarnya persis sama dengan jumlah uang yang ditemukan anak itu. Jumlah gaji yang belum dibayarkan, tepat sama dengan jumlah uang dalam kantung penunggang kuda. Si penunggang kuda tidak pernah merencanakan membawa uang dalam kantung sejumlah itu.”
      “Orang tua si anak sudah meninggal, karena dibunuh seseorang. Pembunuhnya adalah si orang tua yang buta itu,” lanjut malaikat Jibril.
     Nabi Musa berkata, “Allah Maha Adil. Ya Allah, ampunilah hamba-Mu yang lemah, hina, daif, dan bodoh ini.    Yang gampang dan cepat menilai sesuatu kejadian hanya berdasarkan penglihatan dan pengetahuan yang sekilas saja.”  
Daftar Pustaka
1. Bahjat, Ahmad. Nabi Nabi Allah. Penerbit Qisthi Press. Jakarta, 2015.
2. Katsir, Ibnu. Kisah Para Nabi. Penerbit Pustaka Azzam. Jakarta, 2011

171. MUSA

NABI MUSA INGIN MENYAKSIKAN KEADILAN ALLAH
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

      Al-Quran surah At-Tin, surah ke-95 ayat 1-5. “Demi buah Tin dan buah Zaitun. Demi bukit Sinai. Demi kota Mekah yang aman. Sungguh, Kami menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka). Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh. Bagi mereka pahala yang tidak terputus.”
      Alkisah, Nabi Musa berada di bukit Sinai, yang lebih dikenal dengan nama bukit  “Thursina”, selama 40 hari. Nabi Musa menerima wahyu dari Allah melalui Malaikat Jibril, berupa Kitab Taurat.
      Bukit adalah tumpukan tanah yang lebih tinggi daripada tempat sekelilingnya, tetapi lebih rendah daripada gunung. Gunung merupakan bukit yang amat besar dan tinggi, biasanya lebih dari 600 meter.
      Pada hari ke-30, Nabi Musa berdoa,”Ya Allah, ampunilah dosa hamba, karena hamba amat lancang. Hamba ingin menyaksikan sendiri secara langsung, ingin membuktikan sendiri bahwa Engkau Maha Adil.”
      Malaikat Jibril turun,”Wahai Musa, Allah mendengarkan doamu. Apakah kamu masih tidak yakin bahwa Allah Maha Adil?” Musa Menjawab,”Ya Allah, ampunilah hamba. Hamba sudah yakin bahwa Allah Maha Adil. Tetapi, hamba ingin lebih yakin dan mantap, apabila menyaksikannya sendiri.”
      Malaikat Jibril turun lagi,“Wahai Musa, Allah memberi salam kepadamu. Jika kamu ingin menyaksikan keadilan Allah, pergilah mendekat ke sumber air.” Kemudian Nabi Musa pergi mendekati sebuah sumber air. Nabi Musa bersembunyi, ingin menyaksikan apa yang akan terjadi.
      Tidak berapa lama kemudian, muncul seorang ksatria penunggang kuda.  Dia membawa sebilah pedang dengan sarungnya yang diselipkan di punggungnya. Juga, membawa sekantung uang yang menggantung di pinggang kirinya.
      Penunggang kuda turun ke sumber air. Dia mencuci muka dan menikmati air sepuasnya. Beberapa saat kemudian, dia meninggalkan sumber air. Sekantung uangnya tertinggal, tergeletak di bebatuan dekat sumber air.
     Penunggang kuda sudah berlalu, muncul seorang anak kecil yang berumur sekitar 9 tahun. Dia menuju sumber air dan mengisi kantung airnya. Anak kecil menemukan sekantung uang dan membawanya pergi.
      Anak kecil telah menjauh, kemudian datang seorang tua yang buta. Dia mendengar gemericik sumber air, lalu mendatanginya. Si orang tua buta mencuci muka dan “bersuci”. Kemudian si orang tua yang buta melaksanakan “salat”.
      Beberapa saat kemudian si ksatria berkuda kembali lagi. Dia turun menuju  sumber air. Dia mencari uangnya  yang hilang, tetapi tidak menemukannya. Dia berkata, “Hai orang tua, apakah kamu mengambil uangku sekantung yang tertinggal di sini?” Si orang tua menjawab,”Maaf Nak, saya buta. Saya  tidak mengetahui jika ada uang yang tertinggal.”
      Penunggang kuda dan orang tua buta bertengkar. Akhirnya, si orang tua buta mati terbunuh. Penunggang kuda beranjak pergi meninggalkan jenazah si orang tua buta. Nabi Musa menyaksikan semuanya dari tempat persembunyian.
     Nabi Musa bergumam, “Sungguh, peristiwa yang tidak adil.  Yang salah adalah anak kecil, karena dia yang mengambil uangnya. Seandainya, si anak kecil tidak mengambil uang itu, maka si orang tua yang buta tidak akan mati terbunuh.”
      Malaikat Jibril turun, “Wahai Musa, kamu tidak bisa menilai keadilan Allah. Karena kamu hanya menyaksikan peristiwa “sesaat” saja, yang kamu lihat hanya kejadian satu “episode” saja. Kamu tidak bisa melihat seluruh rangkaian yang terjadi.”
      Malaikat Jibril melanjutkan, “Orang tua si anak kecil, pernah ikut bekerja kepada si penunggang kuda. Dia belum menerima gajinya. Si penunggang kuda belum membayar gajinya, selama bekerja.”
      Malaikat Jibril melanjutkan, “Uang yang belum dibayarkan kepada orang tua si anak kecil, besarnya persis sama dengan jumlah uang yang ditemukan anak itu. Jumlah gaji yang belum dibayarkan, tepat sama dengan jumlah uang dalam kantung penunggang kuda. Si penunggang kuda tidak pernah merencanakan membawa uang dalam kantung sejumlah itu.”
      “Orang tua si anak sudah meninggal, karena dibunuh seseorang. Pembunuhnya adalah si orang tua yang buta itu,” lanjut malaikat Jibril.
     Nabi Musa berkata, “Allah Maha Adil. Ya Allah, ampunilah hamba-Mu yang lemah, hina, daif, dan bodoh ini.    Yang gampang dan cepat menilai sesuatu kejadian hanya berdasarkan penglihatan dan pengetahuan yang sekilas saja.”  
Daftar Pustaka
1. Bahjat, Ahmad. Nabi Nabi Allah. Penerbit Qisthi Press. Jakarta, 2015.
2. Katsir, Ibnu. Kisah Para Nabi. Penerbit Pustaka Azzam. Jakarta, 2011

171. MUSA

NABI MUSA INGIN MENYAKSIKAN KEADILAN ALLAH
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

      Al-Quran surah At-Tin, surah ke-95 ayat 1-5. “Demi buah Tin dan buah Zaitun. Demi bukit Sinai. Demi kota Mekah yang aman. Sungguh, Kami menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka). Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh. Bagi mereka pahala yang tidak terputus.”
      Alkisah, Nabi Musa berada di bukit Sinai, yang lebih dikenal dengan nama bukit  “Thursina”, selama 40 hari. Nabi Musa menerima wahyu dari Allah melalui Malaikat Jibril, berupa Kitab Taurat.
      Bukit adalah tumpukan tanah yang lebih tinggi daripada tempat sekelilingnya, tetapi lebih rendah daripada gunung. Gunung merupakan bukit yang amat besar dan tinggi, biasanya lebih dari 600 meter.
      Pada hari ke-30, Nabi Musa berdoa,”Ya Allah, ampunilah dosa hamba, karena hamba amat lancang. Hamba ingin menyaksikan sendiri secara langsung, ingin membuktikan sendiri bahwa Engkau Maha Adil.”
      Malaikat Jibril turun,”Wahai Musa, Allah mendengarkan doamu. Apakah kamu masih tidak yakin bahwa Allah Maha Adil?” Musa Menjawab,”Ya Allah, ampunilah hamba. Hamba sudah yakin bahwa Allah Maha Adil. Tetapi, hamba ingin lebih yakin dan mantap, apabila menyaksikannya sendiri.”
      Malaikat Jibril turun lagi,“Wahai Musa, Allah memberi salam kepadamu. Jika kamu ingin menyaksikan keadilan Allah, pergilah mendekat ke sumber air.” Kemudian Nabi Musa pergi mendekati sebuah sumber air. Nabi Musa bersembunyi, ingin menyaksikan apa yang akan terjadi.
      Tidak berapa lama kemudian, muncul seorang ksatria penunggang kuda.  Dia membawa sebilah pedang dengan sarungnya yang diselipkan di punggungnya. Juga, membawa sekantung uang yang menggantung di pinggang kirinya.
      Penunggang kuda turun ke sumber air. Dia mencuci muka dan menikmati air sepuasnya. Beberapa saat kemudian, dia meninggalkan sumber air. Sekantung uangnya tertinggal, tergeletak di bebatuan dekat sumber air.
     Penunggang kuda sudah berlalu, muncul seorang anak kecil yang berumur sekitar 9 tahun. Dia menuju sumber air dan mengisi kantung airnya. Anak kecil menemukan sekantung uang dan membawanya pergi.
      Anak kecil telah menjauh, kemudian datang seorang tua yang buta. Dia mendengar gemericik sumber air, lalu mendatanginya. Si orang tua buta mencuci muka dan “bersuci”. Kemudian si orang tua yang buta melaksanakan “salat”.
      Beberapa saat kemudian si ksatria berkuda kembali lagi. Dia turun menuju  sumber air. Dia mencari uangnya  yang hilang, tetapi tidak menemukannya. Dia berkata, “Hai orang tua, apakah kamu mengambil uangku sekantung yang tertinggal di sini?” Si orang tua menjawab,”Maaf Nak, saya buta. Saya  tidak mengetahui jika ada uang yang tertinggal.”
      Penunggang kuda dan orang tua buta bertengkar. Akhirnya, si orang tua buta mati terbunuh. Penunggang kuda beranjak pergi meninggalkan jenazah si orang tua buta. Nabi Musa menyaksikan semuanya dari tempat persembunyian.
     Nabi Musa bergumam, “Sungguh, peristiwa yang tidak adil.  Yang salah adalah anak kecil, karena dia yang mengambil uangnya. Seandainya, si anak kecil tidak mengambil uang itu, maka si orang tua yang buta tidak akan mati terbunuh.”
      Malaikat Jibril turun, “Wahai Musa, kamu tidak bisa menilai keadilan Allah. Karena kamu hanya menyaksikan peristiwa “sesaat” saja, yang kamu lihat hanya kejadian satu “episode” saja. Kamu tidak bisa melihat seluruh rangkaian yang terjadi.”
      Malaikat Jibril melanjutkan, “Orang tua si anak kecil, pernah ikut bekerja kepada si penunggang kuda. Dia belum menerima gajinya. Si penunggang kuda belum membayar gajinya, selama bekerja.”
      Malaikat Jibril melanjutkan, “Uang yang belum dibayarkan kepada orang tua si anak kecil, besarnya persis sama dengan jumlah uang yang ditemukan anak itu. Jumlah gaji yang belum dibayarkan, tepat sama dengan jumlah uang dalam kantung penunggang kuda. Si penunggang kuda tidak pernah merencanakan membawa uang dalam kantung sejumlah itu.”
      “Orang tua si anak sudah meninggal, karena dibunuh seseorang. Pembunuhnya adalah si orang tua yang buta itu,” lanjut malaikat Jibril.
     Nabi Musa berkata, “Allah Maha Adil. Ya Allah, ampunilah hamba-Mu yang lemah, hina, daif, dan bodoh ini.    Yang gampang dan cepat menilai sesuatu kejadian hanya berdasarkan penglihatan dan pengetahuan yang sekilas saja.”  
Daftar Pustaka
1. Bahjat, Ahmad. Nabi Nabi Allah. Penerbit Qisthi Press. Jakarta, 2015.
2. Katsir, Ibnu. Kisah Para Nabi. Penerbit Pustaka Azzam. Jakarta, 2011

171. MUSA

NABI MUSA INGIN MENYAKSIKAN KEADILAN ALLAH
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

      Al-Quran surah At-Tin, surah ke-95 ayat 1-5. “Demi buah Tin dan buah Zaitun. Demi bukit Sinai. Demi kota Mekah yang aman. Sungguh, Kami menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka). Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh. Bagi mereka pahala yang tidak terputus.”
      Alkisah, Nabi Musa berada di bukit Sinai, yang lebih dikenal dengan nama bukit  “Thursina”, selama 40 hari. Nabi Musa menerima wahyu dari Allah melalui Malaikat Jibril, berupa Kitab Taurat.
      Bukit adalah tumpukan tanah yang lebih tinggi daripada tempat sekelilingnya, tetapi lebih rendah daripada gunung. Gunung merupakan bukit yang amat besar dan tinggi, biasanya lebih dari 600 meter.
      Pada hari ke-30, Nabi Musa berdoa,”Ya Allah, ampunilah dosa hamba, karena hamba amat lancang. Hamba ingin menyaksikan sendiri secara langsung, ingin membuktikan sendiri bahwa Engkau Maha Adil.”
      Malaikat Jibril turun,”Wahai Musa, Allah mendengarkan doamu. Apakah kamu masih tidak yakin bahwa Allah Maha Adil?” Musa Menjawab,”Ya Allah, ampunilah hamba. Hamba sudah yakin bahwa Allah Maha Adil. Tetapi, hamba ingin lebih yakin dan mantap, apabila menyaksikannya sendiri.”
      Malaikat Jibril turun lagi,“Wahai Musa, Allah memberi salam kepadamu. Jika kamu ingin menyaksikan keadilan Allah, pergilah mendekat ke sumber air.” Kemudian Nabi Musa pergi mendekati sebuah sumber air. Nabi Musa bersembunyi, ingin menyaksikan apa yang akan terjadi.
      Tidak berapa lama kemudian, muncul seorang ksatria penunggang kuda.  Dia membawa sebilah pedang dengan sarungnya yang diselipkan di punggungnya. Juga, membawa sekantung uang yang menggantung di pinggang kirinya.
      Penunggang kuda turun ke sumber air. Dia mencuci muka dan menikmati air sepuasnya. Beberapa saat kemudian, dia meninggalkan sumber air. Sekantung uangnya tertinggal, tergeletak di bebatuan dekat sumber air.
     Penunggang kuda sudah berlalu, muncul seorang anak kecil yang berumur sekitar 9 tahun. Dia menuju sumber air dan mengisi kantung airnya. Anak kecil menemukan sekantung uang dan membawanya pergi.
      Anak kecil telah menjauh, kemudian datang seorang tua yang buta. Dia mendengar gemericik sumber air, lalu mendatanginya. Si orang tua buta mencuci muka dan “bersuci”. Kemudian si orang tua yang buta melaksanakan “salat”.
      Beberapa saat kemudian si ksatria berkuda kembali lagi. Dia turun menuju  sumber air. Dia mencari uangnya  yang hilang, tetapi tidak menemukannya. Dia berkata, “Hai orang tua, apakah kamu mengambil uangku sekantung yang tertinggal di sini?” Si orang tua menjawab,”Maaf Nak, saya buta. Saya  tidak mengetahui jika ada uang yang tertinggal.”
      Penunggang kuda dan orang tua buta bertengkar. Akhirnya, si orang tua buta mati terbunuh. Penunggang kuda beranjak pergi meninggalkan jenazah si orang tua buta. Nabi Musa menyaksikan semuanya dari tempat persembunyian.
     Nabi Musa bergumam, “Sungguh, peristiwa yang tidak adil.  Yang salah adalah anak kecil, karena dia yang mengambil uangnya. Seandainya, si anak kecil tidak mengambil uang itu, maka si orang tua yang buta tidak akan mati terbunuh.”
      Malaikat Jibril turun, “Wahai Musa, kamu tidak bisa menilai keadilan Allah. Karena kamu hanya menyaksikan peristiwa “sesaat” saja, yang kamu lihat hanya kejadian satu “episode” saja. Kamu tidak bisa melihat seluruh rangkaian yang terjadi.”
      Malaikat Jibril melanjutkan, “Orang tua si anak kecil, pernah ikut bekerja kepada si penunggang kuda. Dia belum menerima gajinya. Si penunggang kuda belum membayar gajinya, selama bekerja.”
      Malaikat Jibril melanjutkan, “Uang yang belum dibayarkan kepada orang tua si anak kecil, besarnya persis sama dengan jumlah uang yang ditemukan anak itu. Jumlah gaji yang belum dibayarkan, tepat sama dengan jumlah uang dalam kantung penunggang kuda. Si penunggang kuda tidak pernah merencanakan membawa uang dalam kantung sejumlah itu.”
      “Orang tua si anak sudah meninggal, karena dibunuh seseorang. Pembunuhnya adalah si orang tua yang buta itu,” lanjut malaikat Jibril.
     Nabi Musa berkata, “Allah Maha Adil. Ya Allah, ampunilah hamba-Mu yang lemah, hina, daif, dan bodoh ini.    Yang gampang dan cepat menilai sesuatu kejadian hanya berdasarkan penglihatan dan pengetahuan yang sekilas saja.”  
Daftar Pustaka
1. Bahjat, Ahmad. Nabi Nabi Allah. Penerbit Qisthi Press. Jakarta, 2015.
2. Katsir, Ibnu. Kisah Para Nabi. Penerbit Pustaka Azzam. Jakarta, 2011

171. MUSA

NABI MUSA INGIN MENYAKSIKAN KEADILAN ALLAH
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

      Al-Quran surah At-Tin, surah ke-95 ayat 1-5. “Demi buah Tin dan buah Zaitun. Demi bukit Sinai. Demi kota Mekah yang aman. Sungguh, Kami menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka). Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh. Bagi mereka pahala yang tidak terputus.”
      Alkisah, Nabi Musa berada di bukit Sinai, yang lebih dikenal dengan nama bukit  “Thursina”, selama 40 hari. Nabi Musa menerima wahyu dari Allah melalui Malaikat Jibril, berupa Kitab Taurat.
      Bukit adalah tumpukan tanah yang lebih tinggi daripada tempat sekelilingnya, tetapi lebih rendah daripada gunung. Gunung merupakan bukit yang amat besar dan tinggi, biasanya lebih dari 600 meter.
      Pada hari ke-30, Nabi Musa berdoa,”Ya Allah, ampunilah dosa hamba, karena hamba amat lancang. Hamba ingin menyaksikan sendiri secara langsung, ingin membuktikan sendiri bahwa Engkau Maha Adil.”
      Malaikat Jibril turun,”Wahai Musa, Allah mendengarkan doamu. Apakah kamu masih tidak yakin bahwa Allah Maha Adil?” Musa Menjawab,”Ya Allah, ampunilah hamba. Hamba sudah yakin bahwa Allah Maha Adil. Tetapi, hamba ingin lebih yakin dan mantap, apabila menyaksikannya sendiri.”
      Malaikat Jibril turun lagi,“Wahai Musa, Allah memberi salam kepadamu. Jika kamu ingin menyaksikan keadilan Allah, pergilah mendekat ke sumber air.” Kemudian Nabi Musa pergi mendekati sebuah sumber air. Nabi Musa bersembunyi, ingin menyaksikan apa yang akan terjadi.
      Tidak berapa lama kemudian, muncul seorang ksatria penunggang kuda.  Dia membawa sebilah pedang dengan sarungnya yang diselipkan di punggungnya. Juga, membawa sekantung uang yang menggantung di pinggang kirinya.
      Penunggang kuda turun ke sumber air. Dia mencuci muka dan menikmati air sepuasnya. Beberapa saat kemudian, dia meninggalkan sumber air. Sekantung uangnya tertinggal, tergeletak di bebatuan dekat sumber air.
     Penunggang kuda sudah berlalu, muncul seorang anak kecil yang berumur sekitar 9 tahun. Dia menuju sumber air dan mengisi kantung airnya. Anak kecil menemukan sekantung uang dan membawanya pergi.
      Anak kecil telah menjauh, kemudian datang seorang tua yang buta. Dia mendengar gemericik sumber air, lalu mendatanginya. Si orang tua buta mencuci muka dan “bersuci”. Kemudian si orang tua yang buta melaksanakan “salat”.
      Beberapa saat kemudian si ksatria berkuda kembali lagi. Dia turun menuju  sumber air. Dia mencari uangnya  yang hilang, tetapi tidak menemukannya. Dia berkata, “Hai orang tua, apakah kamu mengambil uangku sekantung yang tertinggal di sini?” Si orang tua menjawab,”Maaf Nak, saya buta. Saya  tidak mengetahui jika ada uang yang tertinggal.”
      Penunggang kuda dan orang tua buta bertengkar. Akhirnya, si orang tua buta mati terbunuh. Penunggang kuda beranjak pergi meninggalkan jenazah si orang tua buta. Nabi Musa menyaksikan semuanya dari tempat persembunyian.
     Nabi Musa bergumam, “Sungguh, peristiwa yang tidak adil.  Yang salah adalah anak kecil, karena dia yang mengambil uangnya. Seandainya, si anak kecil tidak mengambil uang itu, maka si orang tua yang buta tidak akan mati terbunuh.”
      Malaikat Jibril turun, “Wahai Musa, kamu tidak bisa menilai keadilan Allah. Karena kamu hanya menyaksikan peristiwa “sesaat” saja, yang kamu lihat hanya kejadian satu “episode” saja. Kamu tidak bisa melihat seluruh rangkaian yang terjadi.”
      Malaikat Jibril melanjutkan, “Orang tua si anak kecil, pernah ikut bekerja kepada si penunggang kuda. Dia belum menerima gajinya. Si penunggang kuda belum membayar gajinya, selama bekerja.”
      Malaikat Jibril melanjutkan, “Uang yang belum dibayarkan kepada orang tua si anak kecil, besarnya persis sama dengan jumlah uang yang ditemukan anak itu. Jumlah gaji yang belum dibayarkan, tepat sama dengan jumlah uang dalam kantung penunggang kuda. Si penunggang kuda tidak pernah merencanakan membawa uang dalam kantung sejumlah itu.”
      “Orang tua si anak sudah meninggal, karena dibunuh seseorang. Pembunuhnya adalah si orang tua yang buta itu,” lanjut malaikat Jibril.
     Nabi Musa berkata, “Allah Maha Adil. Ya Allah, ampunilah hamba-Mu yang lemah, hina, daif, dan bodoh ini.    Yang gampang dan cepat menilai sesuatu kejadian hanya berdasarkan penglihatan dan pengetahuan yang sekilas saja.”  
Daftar Pustaka
1. Bahjat, Ahmad. Nabi Nabi Allah. Penerbit Qisthi Press. Jakarta, 2015.
2. Katsir, Ibnu. Kisah Para Nabi. Penerbit Pustaka Azzam. Jakarta, 2011

171.MUSA

NABI MUSA INGIN MENYAKSIKAN KEADILAN ALLAH
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

      Al-Quran surah At-Tin, surah ke-95 ayat 1-5. “Demi buah Tin dan buah Zaitun. Demi bukit Sinai. Demi kota Mekah yang aman. Sungguh, Kami menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka). Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh. Bagi mereka pahala yang tidak terputus.”
      Alkisah, Nabi Musa berada di bukit Sinai, yang lebih dikenal dengan nama bukit  “Thursina”, selama 40 hari. Nabi Musa menerima wahyu dari Allah melalui Malaikat Jibril, berupa Kitab Taurat.
      Bukit adalah tumpukan tanah yang lebih tinggi daripada tempat sekelilingnya, tetapi lebih rendah daripada gunung. Gunung merupakan bukit yang amat besar dan tinggi, biasanya lebih dari 600 meter.
      Pada hari ke-30, Nabi Musa berdoa,”Ya Allah, ampunilah dosa hamba, karena hamba amat lancang. Hamba ingin menyaksikan sendiri secara langsung, ingin membuktikan sendiri bahwa Engkau Maha Adil.”
      Malaikat Jibril turun,”Wahai Musa, Allah mendengarkan doamu. Apakah kamu masih tidak yakin bahwa Allah Maha Adil?” Musa Menjawab,”Ya Allah, ampunilah hamba. Hamba sudah yakin bahwa Allah Maha Adil. Tetapi, hamba ingin lebih yakin dan mantap, apabila menyaksikannya sendiri.”
      Malaikat Jibril turun lagi,“Wahai Musa, Allah memberi salam kepadamu. Jika kamu ingin menyaksikan keadilan Allah, pergilah mendekat ke sumber air.” Kemudian Nabi Musa pergi mendekati sebuah sumber air. Nabi Musa bersembunyi, ingin menyaksikan apa yang akan terjadi.
      Tidak berapa lama kemudian, muncul seorang ksatria penunggang kuda.  Dia membawa sebilah pedang dengan sarungnya yang diselipkan di punggungnya. Juga, membawa sekantung uang yang menggantung di pinggang kirinya.
      Penunggang kuda turun ke sumber air. Dia mencuci muka dan menikmati air sepuasnya. Beberapa saat kemudian, dia meninggalkan sumber air. Sekantung uangnya tertinggal, tergeletak di bebatuan dekat sumber air.
     Penunggang kuda sudah berlalu, muncul seorang anak kecil yang berumur sekitar 9 tahun. Dia menuju sumber air dan mengisi kantung airnya. Anak kecil menemukan sekantung uang dan membawanya pergi.
      Anak kecil telah menjauh, kemudian datang seorang tua yang buta. Dia mendengar gemericik sumber air, lalu mendatanginya. Si orang tua buta mencuci muka dan “bersuci”. Kemudian si orang tua yang buta melaksanakan “salat”.
      Beberapa saat kemudian si ksatria berkuda kembali lagi. Dia turun menuju  sumber air. Dia mencari uangnya  yang hilang, tetapi tidak menemukannya. Dia berkata, “Hai orang tua, apakah kamu mengambil uangku sekantung yang tertinggal di sini?” Si orang tua menjawab,”Maaf Nak, saya buta. Saya  tidak mengetahui jika ada uang yang tertinggal.”
      Penunggang kuda dan orang tua buta bertengkar. Akhirnya, si orang tua buta mati terbunuh. Penunggang kuda beranjak pergi meninggalkan jenazah si orang tua buta. Nabi Musa menyaksikan semuanya dari tempat persembunyian.
     Nabi Musa bergumam, “Sungguh, peristiwa yang tidak adil.  Yang salah adalah anak kecil, karena dia yang mengambil uangnya. Seandainya, si anak kecil tidak mengambil uang itu, maka si orang tua yang buta tidak akan mati terbunuh.”
      Malaikat Jibril turun, “Wahai Musa, kamu tidak bisa menilai keadilan Allah. Karena kamu hanya menyaksikan peristiwa “sesaat” saja, yang kamu lihat hanya kejadian satu “episode” saja. Kamu tidak bisa melihat seluruh rangkaian yang terjadi.”
      Malaikat Jibril melanjutkan, “Orang tua si anak kecil, pernah ikut bekerja kepada si penunggang kuda. Dia belum menerima gajinya. Si penunggang kuda belum membayar gajinya, selama bekerja.”
      Malaikat Jibril melanjutkan, “Uang yang belum dibayarkan kepada orang tua si anak kecil, besarnya persis sama dengan jumlah uang yang ditemukan anak itu. Jumlah gaji yang belum dibayarkan, tepat sama dengan jumlah uang dalam kantung penunggang kuda. Si penunggang kuda tidak pernah merencanakan membawa uang dalam kantung sejumlah itu.”
      “Orang tua si anak sudah meninggal, karena dibunuh seseorang. Pembunuhnya adalah si orang tua yang buta itu,” lanjut malaikat Jibril.
     Nabi Musa berkata, “Allah Maha Adil. Ya Allah, ampunilah hamba-Mu yang lemah, hina, daif, dan bodoh ini.    Yang gampang dan cepat menilai sesuatu kejadian hanya berdasarkan penglihatan dan pengetahuan yang sekilas saja.”  
Daftar Pustaka
1. Bahjat, Ahmad. Nabi Nabi Allah. Penerbit Qisthi Press. Jakarta, 2015.
2. Katsir, Ibnu. Kisah Para Nabi. Penerbit Pustaka Azzam. Jakarta, 2011

171. MUSA

NABI MUSA INGIN MENYAKSIKAN KEADILAN ALLAH
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

      Al-Quran surah At-Tin, surah ke-95 ayat 1-5. “Demi buah Tin dan buah Zaitun. Demi bukit Sinai. Demi kota Mekah yang aman. Sungguh, Kami menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka). Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh. Bagi mereka pahala yang tidak terputus.”
      Alkisah, Nabi Musa berada di bukit Sinai, yang lebih dikenal dengan nama bukit  “Thursina”, selama 40 hari. Nabi Musa menerima wahyu dari Allah melalui Malaikat Jibril, berupa Kitab Taurat.
      Bukit adalah tumpukan tanah yang lebih tinggi daripada tempat sekelilingnya, tetapi lebih rendah daripada gunung. Gunung merupakan bukit yang amat besar dan tinggi, biasanya lebih dari 600 meter.
      Pada hari ke-30, Nabi Musa berdoa,”Ya Allah, ampunilah dosa hamba, karena hamba amat lancang. Hamba ingin menyaksikan sendiri secara langsung, ingin membuktikan sendiri bahwa Engkau Maha Adil.”
      Malaikat Jibril turun,”Wahai Musa, Allah mendengarkan doamu. Apakah kamu masih tidak yakin bahwa Allah Maha Adil?” Musa Menjawab,”Ya Allah, ampunilah hamba. Hamba sudah yakin bahwa Allah Maha Adil. Tetapi, hamba ingin lebih yakin dan mantap, apabila menyaksikannya sendiri.”
      Malaikat Jibril turun lagi,“Wahai Musa, Allah memberi salam kepadamu. Jika kamu ingin menyaksikan keadilan Allah, pergilah mendekat ke sumber air.” Kemudian Nabi Musa pergi mendekati sebuah sumber air. Nabi Musa bersembunyi, ingin menyaksikan apa yang akan terjadi.
      Tidak berapa lama kemudian, muncul seorang ksatria penunggang kuda.  Dia membawa sebilah pedang dengan sarungnya yang diselipkan di punggungnya. Juga, membawa sekantung uang yang menggantung di pinggang kirinya.
      Penunggang kuda turun ke sumber air. Dia mencuci muka dan menikmati air sepuasnya. Beberapa saat kemudian, dia meninggalkan sumber air. Sekantung uangnya tertinggal, tergeletak di bebatuan dekat sumber air.
     Penunggang kuda sudah berlalu, muncul seorang anak kecil yang berumur sekitar 9 tahun. Dia menuju sumber air dan mengisi kantung airnya. Anak kecil menemukan sekantung uang dan membawanya pergi.
      Anak kecil telah menjauh, kemudian datang seorang tua yang buta. Dia mendengar gemericik sumber air, lalu mendatanginya. Si orang tua buta mencuci muka dan “bersuci”. Kemudian si orang tua yang buta melaksanakan “salat”.
      Beberapa saat kemudian si ksatria berkuda kembali lagi. Dia turun menuju  sumber air. Dia mencari uangnya  yang hilang, tetapi tidak menemukannya. Dia berkata, “Hai orang tua, apakah kamu mengambil uangku sekantung yang tertinggal di sini?” Si orang tua menjawab,”Maaf Nak, saya buta. Saya  tidak mengetahui jika ada uang yang tertinggal.”
      Penunggang kuda dan orang tua buta bertengkar. Akhirnya, si orang tua buta mati terbunuh. Penunggang kuda beranjak pergi meninggalkan jenazah si orang tua buta. Nabi Musa menyaksikan semuanya dari tempat persembunyian.
     Nabi Musa bergumam, “Sungguh, peristiwa yang tidak adil.  Yang salah adalah anak kecil, karena dia yang mengambil uangnya. Seandainya, si anak kecil tidak mengambil uang itu, maka si orang tua yang buta tidak akan mati terbunuh.”
      Malaikat Jibril turun, “Wahai Musa, kamu tidak bisa menilai keadilan Allah. Karena kamu hanya menyaksikan peristiwa “sesaat” saja, yang kamu lihat hanya kejadian satu “episode” saja. Kamu tidak bisa melihat seluruh rangkaian yang terjadi.”
      Malaikat Jibril melanjutkan, “Orang tua si anak kecil, pernah ikut bekerja kepada si penunggang kuda. Dia belum menerima gajinya. Si penunggang kuda belum membayar gajinya, selama bekerja.”
      Malaikat Jibril melanjutkan, “Uang yang belum dibayarkan kepada orang tua si anak kecil, besarnya persis sama dengan jumlah uang yang ditemukan anak itu. Jumlah gaji yang belum dibayarkan, tepat sama dengan jumlah uang dalam kantung penunggang kuda. Si penunggang kuda tidak pernah merencanakan membawa uang dalam kantung sejumlah itu.”
      “Orang tua si anak sudah meninggal, karena dibunuh seseorang. Pembunuhnya adalah si orang tua yang buta itu,” lanjut malaikat Jibril.
     Nabi Musa berkata, “Allah Maha Adil. Ya Allah, ampunilah hamba-Mu yang lemah, hina, daif, dan bodoh ini.    Yang gampang dan cepat menilai sesuatu kejadian hanya berdasarkan penglihatan dan pengetahuan yang sekilas saja.”  
Daftar Pustaka
1. Bahjat, Ahmad. Nabi Nabi Allah. Penerbit Qisthi Press. Jakarta, 2015.
2. Katsir, Ibnu. Kisah Para Nabi. Penerbit Pustaka Azzam. Jakarta, 2011

171.MUSA

NABI MUSA INGIN MENYAKSIKAN KEADILAN ALLAH
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

      Al-Quran surah At-Tin, surah ke-95 ayat 1-5. “Demi buah Tin dan buah Zaitun. Demi bukit Sinai. Demi kota Mekah yang aman. Sungguh, Kami menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka). Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh. Bagi mereka pahala yang tidak terputus.”
      Alkisah, Nabi Musa berada di bukit Sinai, yang lebih dikenal dengan nama bukit  “Thursina”, selama 40 hari. Nabi Musa menerima wahyu dari Allah melalui Malaikat Jibril, berupa Kitab Taurat.
      Bukit adalah tumpukan tanah yang lebih tinggi daripada tempat sekelilingnya, tetapi lebih rendah daripada gunung. Gunung merupakan bukit yang amat besar dan tinggi, biasanya lebih dari 600 meter.
      Pada hari ke-30, Nabi Musa berdoa,”Ya Allah, ampunilah dosa hamba, karena hamba amat lancang. Hamba ingin menyaksikan sendiri secara langsung, ingin membuktikan sendiri bahwa Engkau Maha Adil.”
      Malaikat Jibril turun,”Wahai Musa, Allah mendengarkan doamu. Apakah kamu masih tidak yakin bahwa Allah Maha Adil?” Musa Menjawab,”Ya Allah, ampunilah hamba. Hamba sudah yakin bahwa Allah Maha Adil. Tetapi, hamba ingin lebih yakin dan mantap, apabila menyaksikannya sendiri.”
      Malaikat Jibril turun lagi,“Wahai Musa, Allah memberi salam kepadamu. Jika kamu ingin menyaksikan keadilan Allah, pergilah mendekat ke sumber air.” Kemudian Nabi Musa pergi mendekati sebuah sumber air. Nabi Musa bersembunyi, ingin menyaksikan apa yang akan terjadi.
      Tidak berapa lama kemudian, muncul seorang ksatria penunggang kuda.  Dia membawa sebilah pedang dengan sarungnya yang diselipkan di punggungnya. Juga, membawa sekantung uang yang menggantung di pinggang kirinya.
      Penunggang kuda turun ke sumber air. Dia mencuci muka dan menikmati air sepuasnya. Beberapa saat kemudian, dia meninggalkan sumber air. Sekantung uangnya tertinggal, tergeletak di bebatuan dekat sumber air.
     Penunggang kuda sudah berlalu, muncul seorang anak kecil yang berumur sekitar 9 tahun. Dia menuju sumber air dan mengisi kantung airnya. Anak kecil menemukan sekantung uang dan membawanya pergi.
      Anak kecil telah menjauh, kemudian datang seorang tua yang buta. Dia mendengar gemericik sumber air, lalu mendatanginya. Si orang tua buta mencuci muka dan “bersuci”. Kemudian si orang tua yang buta melaksanakan “salat”.
      Beberapa saat kemudian si ksatria berkuda kembali lagi. Dia turun menuju  sumber air. Dia mencari uangnya  yang hilang, tetapi tidak menemukannya. Dia berkata, “Hai orang tua, apakah kamu mengambil uangku sekantung yang tertinggal di sini?” Si orang tua menjawab,”Maaf Nak, saya buta. Saya  tidak mengetahui jika ada uang yang tertinggal.”
      Penunggang kuda dan orang tua buta bertengkar. Akhirnya, si orang tua buta mati terbunuh. Penunggang kuda beranjak pergi meninggalkan jenazah si orang tua buta. Nabi Musa menyaksikan semuanya dari tempat persembunyian.
     Nabi Musa bergumam, “Sungguh, peristiwa yang tidak adil.  Yang salah adalah anak kecil, karena dia yang mengambil uangnya. Seandainya, si anak kecil tidak mengambil uang itu, maka si orang tua yang buta tidak akan mati terbunuh.”
      Malaikat Jibril turun, “Wahai Musa, kamu tidak bisa menilai keadilan Allah. Karena kamu hanya menyaksikan peristiwa “sesaat” saja, yang kamu lihat hanya kejadian satu “episode” saja. Kamu tidak bisa melihat seluruh rangkaian yang terjadi.”
      Malaikat Jibril melanjutkan, “Orang tua si anak kecil, pernah ikut bekerja kepada si penunggang kuda. Dia belum menerima gajinya. Si penunggang kuda belum membayar gajinya, selama bekerja.”
      Malaikat Jibril melanjutkan, “Uang yang belum dibayarkan kepada orang tua si anak kecil, besarnya persis sama dengan jumlah uang yang ditemukan anak itu. Jumlah gaji yang belum dibayarkan, tepat sama dengan jumlah uang dalam kantung penunggang kuda. Si penunggang kuda tidak pernah merencanakan membawa uang dalam kantung sejumlah itu.”
      “Orang tua si anak sudah meninggal, karena dibunuh seseorang. Pembunuhnya adalah si orang tua yang buta itu,” lanjut malaikat Jibril.
     Nabi Musa berkata, “Allah Maha Adil. Ya Allah, ampunilah hamba-Mu yang lemah, hina, daif, dan bodoh ini.    Yang gampang dan cepat menilai sesuatu kejadian hanya berdasarkan penglihatan dan pengetahuan yang sekilas saja.”  
Daftar Pustaka
1. Bahjat, Ahmad. Nabi Nabi Allah. Penerbit Qisthi Press. Jakarta, 2015.
2. Katsir, Ibnu. Kisah Para Nabi. Penerbit Pustaka Azzam. Jakarta, 2011

Friday, August 4, 2017

170. JILBAB

JILBAB WANITA MUSLIMAH,
MENGANGKAT DERAJAT WANITA
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

       Mengapa Allah memerintahkan wanita muslimah menjaga diri mereka dengan memakai jilbab? Dr. Zakir Naik menjelaskan beberapa alasannya.
      Pertama. Jilbab mencegah pelecehan. Al-Quran memerintahkan para wanita muslimah memakai jilbab. Agar mereka diakui sebagai wanita sopan. Juga, akan mencegah para wanita muslimah dari gangguan pelecehan seksual.
     Jilbab merupakan kerudung lebar yang dipakai wanita muslimah untuk menutupi kepala dan leher sampai dada. Hijab ialah kain yang digunakan untuk menutupi muka dan tubuh wanita muslimah sehingga tubuhnya tak terlihat.
       Al-Quran surah Al-Ahzab, surah ke-33 ayat 59. “Wahai Nabi, katakan kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin,”Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu agar mereka lebih mudah dikenal, sehingga mereka tidak diganggu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
      Beberapa orang non-Islam menganggap Islam merendahkan derajat wanita.  Pemakaian jilbab merupakan salah satu contoh “penaklukan” wanita dalam Islam.
      Mari kita bahas status wanita sebelum Islam. Wanita pada zaman dahulu bahkan hingga kini, kerap kali digunakan sebagai objek nafsu.
      Zaman Babilonia. Para wanita dianggap bukan manusia, dan tidak memiliki hak sama sekali. Jika seorang pria membunuh seorang wanita, bukan pria itu yang dihukum, tetapi  istrinya yang dihukum mati.
      Zaman Yunani. Peradaban Yunani dianggap paling mulia dari semua peradaban kuno. Di bawah sistem yang sangat “mulia”, perempuan dirampas semua haknya dan dipandang rendah.
     Dalam mitologi Yunani, seorang “wanita imajiner” yang disebut “Pandora” dianggap  akar penyebab kemalangan manusia. Orang-orang Yunani menganggap wanita sebagai “bukan manusia” dan lebih rendah  dibandingkan dengan  pria.
      Kesucian perempuan sangat berharga, dan harga diri perempuan dianggap tinggi. Tetapi, orang-orang Yunani kewalahan dengan penyimpangan seksual. Pelacuran menjadi hal rutin yang dilakukan semua kelas masyarakat Yunani.
      Zaman Romawi. Ketika Peradaban Romawi kuno berada di puncak “kemuliaannya”, seorang pria memiliki hak mengambil nyawa istrinya. Pelacuran dan ketelanjangan hal yang umum terjadi.
      Zaman Mesir. Penduduk Mesir kuno menganggap perempuan adalah simbol kejahatan dan dianggap sebagai tanda setan.
      Zaman Arab Pra-Islam. Sebelum Islam menyebar di Arab Saudi, orang-orang Arab memandang rendah perempuan dan sering terjadi ketika anak wanita lahir, dia dikubur hidup-hidup. Islam datang mengangkat derajat wanita dan memberikan mereka kesetaraan.
      Kedua, Jilbab atau hijab untuk pria. Orang biasanya hanya membahas jilbab atau hijab dalam konteks perempuan. Namun, dalam Al-Quran, pertama kali Allah menyebutkan “hijab” untuk kaum pria sebelum “hijab” untuk kaum wanita.
     Al-Quran surah An-Nur, surah ke-24 ayat 30. “Katakan kepada orang laki-laki yang beriman,”Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya. Yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat.”
       Saat seorang pria yang memandang wanita dan memiliki pikiran yang kurang ajar , maka si lelaki harus menundukkan pandangannya.
      Ketiga, jilbab atau hijab untuk perempuan. Al-Quran surah An-Nur, surah ke-24 ayat 31. “Katakan kepada wanita yang beriman,”Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya. Mereka jangan menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan jangan menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Mereka jangan memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Bertobatlah kamu kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman agar kamu beruntung.”
     Beberapa kriteria  untuk jilbab atau hijab. Ukuran luasan jilbab, yaitu besarnya ukuran bagian tubuh yang harus ditutupi. Ukuran luasnya berbeda untuk pria dan wanita. Laki-laki wajib menutup tubuh minimal dari pusar sampai ke lutut.
      Hijab untuk wanita muslimah, wajib menutupi seluruh tubuh. Kecuali wajah dan tangan sampai pergelangan tangan. Bahkan bagian tubuh ini pun dapat ditutupi jika mereka menginginkannya.
    Beberapa ulama berpendapat wajah dan tangan wanita muslimah wajib untuk dikenakan jilbab atau hijab.
     Baju yang dipakai harus longgar dan tak boleh menampakkan bentuk badan.  Baju yang dikenakan tak boleh transparan, sehingga dapat terlihat. Baju yang digunakan  tak boleh glamor sehingga dapat menarik lawan jenis.
      Baju yang dipakai tidak boleh menyerupai lawan jenis. Baju yang dikenakan tidak boleh menyerupai orang-orang tidak beriman. Misalnya, memakai lambang atau identitas non-Islam.
      Hijab juga mencakup sikap dan perilaku. Seseorang yang hanya memenuhi kriteria hijab dari segi berpakaian hanyalah pengamat hijab.  “Hijab” berpakaian harus disertai “hijab” niat, mata, hati, dan pemikiran. Termasuk cara berjalan, berbicara, berperilaku, dan sebaginya.
      Hukuman bagi pemerkosa. Berdasarkan syariat Islam, seorang pria yang memerkosa seorang wanita, diganjar hukuman mati. Banyak yang berfikir bahwa hukuman ini “keras” dan “kejam”.
     Beberapa orang mengatakan Islam agama yang kejam dan barbar. Misalkan, pemerkosaan terjadi pada istri Anda, ibu atau saudara perempuan Anda. Lalu Anda yang menjadi hakim dan si pemerkosa dibawa ke hadapan Anda.
      Apa hukuman yang akan Anda berikan kepadanya? Semua orang mengatakan si pemerkosa harus dihukum mati. Beberapa mengatakan mereka akan menyiksa si pemerkosa sampai mati.
      Apabila ada orang memperkosa istri Anda atau ibu Anda, lalu Anda ingin membunuhnya. Tetapi, jika kejahatan yang sama menimpa istri orang lain atau putri orang lain, Anda mengatakan hukuman mati adalah biadab. Mengapa harus ada standar ganda?
      Masyarakat Barat mengklaim telah mengangkat derajat wanita, benarkah? Prinsip Barat mengenai liberalisasi wanita bentuk terselubung “perdagangan” wanita, “bisnis”  tubuh dan jiwa wanita, serta perampasan kehormatan wanita.
      Masyarakat Barat mengklaim telah mengangkat derajat wanita. Sebenarnya mereka merusaknya dengan status selir, gundik, dan teman tidur tanpa ikatan. Yang merupakan alat bagi para pencari kesenangan, dan penikmat seks bebas. Mereka bersembunyi di balik layar warna-warni seni dan budaya.
      Amerika Serikat salah satu negara dengan tingkat perkosaan tertinggi. Amerika Serikat negara paling modern di dunia. Namun, di Amerika Serikat terjadi perkosaan tertinggi dibandingkan dengan negara lain.
      Menurut laporan FBI, pada tahun 1990. Di AS, setiap hari rata-rata terjadi 1.756 kasus perkosaan. Laporan lain mengatakan rata-rata setiap hari terdapat 1.900 kasus perkosaan dilakukan di Amerika Serikat pada tahun yang tidak disebutkan, mungkin  tahun 1992 atau 1993.
       Kalau konsep hijab diterapkan pada masyarakat umum di Amerika. Bayangkan  setiap kali seorang pria melihat seorang wanita, kemudian muncul pikiran yang kurang ajar, lalu dia menurunkan tatapannya.
      Setiap wanita memakai hijab, menutupi tubuhnya, kecuali bagian wajah dan telapak serta pergelangan tangan. Apabila hal-hal tersebut telah dilakukan, namun masih terjadi perkosaan, maka si pemerkosa layak diganjar hukuman mati.
       Kesimpulannya, jilbab tidak menurunkan derajat seorang wanita. Tetapi malah mengangkat derajat wanita dan melindungi dirinya. Dengan mengutamakan norma kesopanan dan menjaga kesuciannya.
Daftar Pustaka.
1. Naik, Zakir Abdul Karim. “Answer to non-muslim common question about Islam”. Jawaban Berbagai Pertanyaan Mengenai Islam.