Organisasi Profesi Guru

Presiden Jokowi memberi hormat kepada Guru-Guru se Indonesia.

Tema Gambar Slide 2

Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.

Tema Gambar Slide 3

Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.

Friday, November 3, 2017

448. HUKUM 2

ASPEK HUKUM PUASA RAMADAN
(Seri ke-2)
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.



       Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang “Aspek hukum puasaRamadan menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya
      Kata “puasa” menurut KBBI V bisa diartikan “meniadakan makan, minum, dan sebagainya dengan sengaja (terutama bertalian dengan keagamaan)”, “salah satu rukun Islam berupa ibadah menahan diri atau berpantang makan, minum, dan segala yang membatalkannya mulai terbit fajar sampai terbenam matahari”, dan “saum”.
      Kata “Ramadan” menurut KBBI V adalah bulan ke- 9 tahun Hijriah (29 atau 30 hari), pada bulan ini umat Islam yang sudah akil balig diwajibkan berpuasa.
      Keempat, kalimat “Wa 'alal ladzina yuthiqunahu fidyatun tha'amu miskin” (Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya membayar fidiah, yaitu memberi makan seorang miskin).
      Penggalan ayat ini diperselisihkan maknanya oleh para ulama, sebagian ulama   berpendapat  bahwa pada mulanya Allah memberikan alternatif bagi orang yang wajib puasa, yakni berpuasa atau berbuka dengan membayar fidiah.
     Sebagian ulama berpendapat bahwa ayat ini berbicara tentang musafir, orang yang sakit, dan orang yang merasa berat untuk berpuasa Ramadan, maka bagi mereka dibolehkan untuk tidak berpuasa dengan syarat membayar fidiah.
   Mayoritas ulama memahami penggalan ayat ini berbicara tentang orang yang sudah tua  dan  orang  yang mempunyai pekerjaan sangat berat, sehingga berpuasa sangat memberatkannya, sedangkan dia tidak mempunyai sumber rezeki yang lain.
     Dalam kondisi semacam ini, maka mereka diperbolehkan untuk tidak berpuasa Ramadan dengan syarat membayar fidiah, termasuk terhadap orang yang sakit sehingga tidak mampu berpuasa, dan memperlambat penyembuhan, serta wanita hamil dan menyusui.
     Fidiah adalah memberi makan fakir dan miskin setiap hari, selama dia tidak  berpuasa Ramadan, besarnya fidiah ada yang berpendapat sebanyak “setengah shak” (gantang) atau sekitar 3,125 gram gandum, kurma, atau makanan pokok yang lain.
     Ada yang menyatakan “satu mud” yaitu sekitar lima per enam  liter,  dan  ada  yang mengembalikan penentuan jumlahnya kepada kebiasaan yang berlaku pada setiap masyarakat.
       Kelima, kalimat “Uhilla lakum lailatash-shiyamir-rafatsu ila nisa'ikum” (Dihalalkan kepadamu pada malam Ramadan bersetubuh dengan istrimu. 
      Ayat ini membolehkan hubungan suami dan istri pada malam hari bulan  Ramadan, dan termasuk “mengeluarkan sperma” dengan cara apa pun.
      Sebagian ulama menilai berpelukan dan berciuman suami istri pada siang hari bulan Ramadan hukumnya adalah “makruh”,  karena dapat  mengakibatkan keluarnya sperma.
        Mayoritas ulama berpendapat suami dan istri yang  melakukan hubungan seks pada malam hari, tidak harus mandi junub sebelum terbitnya fajar, tetapi berkewajiban mandi junub sebelum terbitnya matahari untuk melakukan salat  subuh.
       Keenam, kalimat “Wakulu wasyrabu hatta yatabayyana lakumul khaith al-abyadhu minal khaithil aswadi minal fajr” (Makan dan minumlah sampai terang bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar).
    Waktu “imsak” biasanya 10 menit sebelum Subuh, adalah untuk mencegah dan memberikan peringatan untuk tidak lagi melakukan aktivitas yang terlarang.
       Ketujuh, kaliamat “Tsumma atimmush shiyama ilal lail” (Kemudian sempurnakan puasa itu sampai malam). Puasa dimulai  dengan terbitnya  fajar,  dan berakhir dengan datangnya malam.
     Para ulama berbeda pendapat tentang yang dimaksud “malam hari”, ada yang memahami “malam hari” adalah tenggelamnya matahari, meskipun masih terdapat mega merah, serta ada yang memahami “malam hari” adalah hilangnya mega merah dan menyebarnya kegelapan.
  Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online.

448. HUKUM 2

ASPEK HUKUM PUASA RAMADAN
(Seri ke-2)
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.



       Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang “Aspek hukum puasaRamadan menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya
      Kata “puasa” menurut KBBI V bisa diartikan “meniadakan makan, minum, dan sebagainya dengan sengaja (terutama bertalian dengan keagamaan)”, “salah satu rukun Islam berupa ibadah menahan diri atau berpantang makan, minum, dan segala yang membatalkannya mulai terbit fajar sampai terbenam matahari”, dan “saum”.
      Kata “Ramadan” menurut KBBI V adalah bulan ke- 9 tahun Hijriah (29 atau 30 hari), pada bulan ini umat Islam yang sudah akil balig diwajibkan berpuasa.
      Keempat, kalimat “Wa 'alal ladzina yuthiqunahu fidyatun tha'amu miskin” (Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya membayar fidiah, yaitu memberi makan seorang miskin).
      Penggalan ayat ini diperselisihkan maknanya oleh para ulama, sebagian ulama   berpendapat  bahwa pada mulanya Allah memberikan alternatif bagi orang yang wajib puasa, yakni berpuasa atau berbuka dengan membayar fidiah.
     Sebagian ulama berpendapat bahwa ayat ini berbicara tentang musafir, orang yang sakit, dan orang yang merasa berat untuk berpuasa Ramadan, maka bagi mereka dibolehkan untuk tidak berpuasa dengan syarat membayar fidiah.
   Mayoritas ulama memahami penggalan ayat ini berbicara tentang orang yang sudah tua  dan  orang  yang mempunyai pekerjaan sangat berat, sehingga berpuasa sangat memberatkannya, sedangkan dia tidak mempunyai sumber rezeki yang lain.
     Dalam kondisi semacam ini, maka mereka diperbolehkan untuk tidak berpuasa Ramadan dengan syarat membayar fidiah, termasuk terhadap orang yang sakit sehingga tidak mampu berpuasa, dan memperlambat penyembuhan, serta wanita hamil dan menyusui.
     Fidiah adalah memberi makan fakir dan miskin setiap hari, selama dia tidak  berpuasa Ramadan, besarnya fidiah ada yang berpendapat sebanyak “setengah shak” (gantang) atau sekitar 3,125 gram gandum, kurma, atau makanan pokok yang lain.
     Ada yang menyatakan “satu mud” yaitu sekitar lima per enam  liter,  dan  ada  yang mengembalikan penentuan jumlahnya kepada kebiasaan yang berlaku pada setiap masyarakat.
       Kelima, kalimat “Uhilla lakum lailatash-shiyamir-rafatsu ila nisa'ikum” (Dihalalkan kepadamu pada malam Ramadan bersetubuh dengan istrimu. 
      Ayat ini membolehkan hubungan suami dan istri pada malam hari bulan  Ramadan, dan termasuk “mengeluarkan sperma” dengan cara apa pun.
      Sebagian ulama menilai berpelukan dan berciuman suami istri pada siang hari bulan Ramadan hukumnya adalah “makruh”,  karena dapat  mengakibatkan keluarnya sperma.
        Mayoritas ulama berpendapat suami dan istri yang  melakukan hubungan seks pada malam hari, tidak harus mandi junub sebelum terbitnya fajar, tetapi berkewajiban mandi junub sebelum terbitnya matahari untuk melakukan salat  subuh.
       Keenam, kalimat “Wakulu wasyrabu hatta yatabayyana lakumul khaith al-abyadhu minal khaithil aswadi minal fajr” (Makan dan minumlah sampai terang bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar).
    Waktu “imsak” biasanya 10 menit sebelum Subuh, adalah untuk mencegah dan memberikan peringatan untuk tidak lagi melakukan aktivitas yang terlarang.
       Ketujuh, kaliamat “Tsumma atimmush shiyama ilal lail” (Kemudian sempurnakan puasa itu sampai malam). Puasa dimulai  dengan terbitnya  fajar,  dan berakhir dengan datangnya malam.
     Para ulama berbeda pendapat tentang yang dimaksud “malam hari”, ada yang memahami “malam hari” adalah tenggelamnya matahari, meskipun masih terdapat mega merah, serta ada yang memahami “malam hari” adalah hilangnya mega merah dan menyebarnya kegelapan.
  Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online.

448. HUKUM 2

ASPEK HUKUM PUASA RAMADAN
(Seri ke-2)
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.



       Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang “Aspek hukum puasaRamadan menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya
      Kata “puasa” menurut KBBI V bisa diartikan “meniadakan makan, minum, dan sebagainya dengan sengaja (terutama bertalian dengan keagamaan)”, “salah satu rukun Islam berupa ibadah menahan diri atau berpantang makan, minum, dan segala yang membatalkannya mulai terbit fajar sampai terbenam matahari”, dan “saum”.
      Kata “Ramadan” menurut KBBI V adalah bulan ke- 9 tahun Hijriah (29 atau 30 hari), pada bulan ini umat Islam yang sudah akil balig diwajibkan berpuasa.
      Keempat, kalimat “Wa 'alal ladzina yuthiqunahu fidyatun tha'amu miskin” (Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya membayar fidiah, yaitu memberi makan seorang miskin).
      Penggalan ayat ini diperselisihkan maknanya oleh para ulama, sebagian ulama   berpendapat  bahwa pada mulanya Allah memberikan alternatif bagi orang yang wajib puasa, yakni berpuasa atau berbuka dengan membayar fidiah.
     Sebagian ulama berpendapat bahwa ayat ini berbicara tentang musafir, orang yang sakit, dan orang yang merasa berat untuk berpuasa Ramadan, maka bagi mereka dibolehkan untuk tidak berpuasa dengan syarat membayar fidiah.
   Mayoritas ulama memahami penggalan ayat ini berbicara tentang orang yang sudah tua  dan  orang  yang mempunyai pekerjaan sangat berat, sehingga berpuasa sangat memberatkannya, sedangkan dia tidak mempunyai sumber rezeki yang lain.
     Dalam kondisi semacam ini, maka mereka diperbolehkan untuk tidak berpuasa Ramadan dengan syarat membayar fidiah, termasuk terhadap orang yang sakit sehingga tidak mampu berpuasa, dan memperlambat penyembuhan, serta wanita hamil dan menyusui.
     Fidiah adalah memberi makan fakir dan miskin setiap hari, selama dia tidak  berpuasa Ramadan, besarnya fidiah ada yang berpendapat sebanyak “setengah shak” (gantang) atau sekitar 3,125 gram gandum, kurma, atau makanan pokok yang lain.
     Ada yang menyatakan “satu mud” yaitu sekitar lima per enam  liter,  dan  ada  yang mengembalikan penentuan jumlahnya kepada kebiasaan yang berlaku pada setiap masyarakat.
       Kelima, kalimat “Uhilla lakum lailatash-shiyamir-rafatsu ila nisa'ikum” (Dihalalkan kepadamu pada malam Ramadan bersetubuh dengan istrimu. 
      Ayat ini membolehkan hubungan suami dan istri pada malam hari bulan  Ramadan, dan termasuk “mengeluarkan sperma” dengan cara apa pun.
      Sebagian ulama menilai berpelukan dan berciuman suami istri pada siang hari bulan Ramadan hukumnya adalah “makruh”,  karena dapat  mengakibatkan keluarnya sperma.
        Mayoritas ulama berpendapat suami dan istri yang  melakukan hubungan seks pada malam hari, tidak harus mandi junub sebelum terbitnya fajar, tetapi berkewajiban mandi junub sebelum terbitnya matahari untuk melakukan salat  subuh.
       Keenam, kalimat “Wakulu wasyrabu hatta yatabayyana lakumul khaith al-abyadhu minal khaithil aswadi minal fajr” (Makan dan minumlah sampai terang bagimu benang putih dan benang hitam, yaitu fajar).
    Waktu “imsak” biasanya 10 menit sebelum Subuh, adalah untuk mencegah dan memberikan peringatan untuk tidak lagi melakukan aktivitas yang terlarang.
       Ketujuh, kaliamat “Tsumma atimmush shiyama ilal lail” (Kemudian sempurnakan puasa itu sampai malam). Puasa dimulai  dengan terbitnya  fajar,  dan berakhir dengan datangnya malam.
     Para ulama berbeda pendapat tentang yang dimaksud “malam hari”, ada yang memahami “malam hari” adalah tenggelamnya matahari, meskipun masih terdapat mega merah, serta ada yang memahami “malam hari” adalah hilangnya mega merah dan menyebarnya kegelapan.
  Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online.

447. HUKUM 1

ASPEK HUKUM PUASA RAMADAN
(Seri ke-1)
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.



       Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang “Aspek hukum puasa Ramadan menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya
      Kata “puasa” menurut KBBI V bisa diartikan “meniadakan makan, minum, dan sebagainya dengan sengaja (terutama bertalian dengan keagamaan)”, “salah satu rukun Islam berupa ibadah menahan diri atau berpantang makan, minum, dan segala yang membatalkannya mulai terbit fajar sampai terbenam matahari”, dan “saum”.
      Kata “Ramadan” menurut KBBI V adalah bulan ke- 9 tahun Hijriah (29 atau 30 hari), pada bulan ini umat Islam yang sudah akil balig diwajibkan berpuasa.
        Al-Quran menggunakan kata “shiam” sebanyak 8 kali, kesemuanya  dalam arti “puasa” menurut pengertian hukum syariat, hanna 1 kali Al-Quran memakai kata “shaum”,  tetapi  maknanya adalah “menahan diri untuk tidak bebicara”.
     Uraian Al-Quran tentang puasa Ramadan, ditemukan dalam  surat Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 183, 184, 185, dan 187, artinya puasa Ramadan baru diwajibkan  setelah Nabi Muhammad berada di Madinah, karena para ulama sepakat bahwa surah Al-Baqarah turun di Madinah.
     Para sejarawan menyatakan bahwa kewajiban berpuasa Ramadan pertama kali ditetapkan Allah pada 10 Syakban tahun ke-2 Hijriah di Madinah
      Pertama, Kalimat “Faman kana minkum maridha” (Siapa di antaramu yang sakit), kata “maridh” artinya “sakit”, dan penyakit dalam kaitannya dengan berpuasa secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu orang yang tidak dapat berpuasa, maka dia wajib berbuka, dan orang yang dapat berpuasa, tetapi jika berpuasa, maka melambatkan kesembuhan, maka dia dianjurkan tidak berpuasa.
      Sebagian ulama berpendapat bahwa penyakit apa pun yang diderita oleh seseorang, maka dibolehkan tidak berpuasa Ramadan, karena Al-Quran tidak memerinci masalah ini.
     Agaknya Allah sengaja memilih redaksi demikian, dan menyerahkan kepada nurani manusia masing-masing untuk menentukan sendiri apakah dia  berpuasa  atau  tidak, dan orang yang tidak berpuasa karena sakit atau dalam perjalanan harus  menggantikan berpuasa di luar bulan Ramadan.
   Kedua, kalimat “Aw'ala safarin” (atau dalam perjalanan), para ulama berbeda pendapat tentang bolehnya berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir, yang berkaitan dengan jarak perjalanan yang ditempuh.
       Secara umum jarak perjalanannya adalah sekitar 90 kilometer, tetapi ada yang tidak menetapkan jarak tertentu, sehingga berapa pun  jarak yang ditempuh selama dinamakan perjalanan, maka bisa mendapatkan kemudahan atau “rukhshah”.
      Para ulama berbeda pendapat tentang “illat” (sebab) dibolehkannya tidak berpuasa, apakah karena adanya unsur “perjalanan” atau karena “keletihan” akibat perjalanan?
      Para ulama berbeda pendapat tentang manakah yang lebih utama bagi seorang musafir, berpuasa atau tidak berpuasa.
     Sebagian ulama menilai  bahwa  berpuasa lebih utama dan lebih baik bagi yang mampu, tetapi sebagian ulama yang lain berpendapat sebaiknya diserahkan kepada orangnya masing-masing, maka itulah yang lebih baik dan utama.
     Ketika Nabi dan para sahabat dalam perjalanan pada bulan Ramadan, sebagian sahabat ada yang berpuasa dan ada yang tidak berpuasa, dan ternyata Nabi tidak mencela siapa pun.
      Ketiga, kalimat “Fa 'iddatun min ayyamin ukhar” (sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari yang lain). Sebagian ulama menyisipkan kalimat, sehingga berbunyi,”Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia tidak berpuasa),  maka  (wajib  baginya  berpuasa) sebanyak hari-hari yang ditinggalkan itu pada hari yang lain.”
    Kalimat “Lalu  dia  tidak  berpuasa”  adalah sisipan yang dilakukan oleh sebagian ulama, tetapi ditolak oleh sebagian ulama yang lain, sehingga orang yang dalam perjalanan “wajib tidak berpuasa” dan “wajib menggantinya pada hari lain.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online.

447. HUKUM 1

ASPEK HUKUM PUASA RAMADAN
(Seri ke-1)
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.



       Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang “Aspek hukum puasa Ramadan menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya
      Kata “puasa” menurut KBBI V bisa diartikan “meniadakan makan, minum, dan sebagainya dengan sengaja (terutama bertalian dengan keagamaan)”, “salah satu rukun Islam berupa ibadah menahan diri atau berpantang makan, minum, dan segala yang membatalkannya mulai terbit fajar sampai terbenam matahari”, dan “saum”.
      Kata “Ramadan” menurut KBBI V adalah bulan ke- 9 tahun Hijriah (29 atau 30 hari), pada bulan ini umat Islam yang sudah akil balig diwajibkan berpuasa.
        Al-Quran menggunakan kata “shiam” sebanyak 8 kali, kesemuanya  dalam arti “puasa” menurut pengertian hukum syariat, hanna 1 kali Al-Quran memakai kata “shaum”,  tetapi  maknanya adalah “menahan diri untuk tidak bebicara”.
     Uraian Al-Quran tentang puasa Ramadan, ditemukan dalam  surat Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 183, 184, 185, dan 187, artinya puasa Ramadan baru diwajibkan  setelah Nabi Muhammad berada di Madinah, karena para ulama sepakat bahwa surah Al-Baqarah turun di Madinah.
     Para sejarawan menyatakan bahwa kewajiban berpuasa Ramadan pertama kali ditetapkan Allah pada 10 Syakban tahun ke-2 Hijriah di Madinah
      Pertama, Kalimat “Faman kana minkum maridha” (Siapa di antaramu yang sakit), kata “maridh” artinya “sakit”, dan penyakit dalam kaitannya dengan berpuasa secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu orang yang tidak dapat berpuasa, maka dia wajib berbuka, dan orang yang dapat berpuasa, tetapi jika berpuasa, maka melambatkan kesembuhan, maka dia dianjurkan tidak berpuasa.
      Sebagian ulama berpendapat bahwa penyakit apa pun yang diderita oleh seseorang, maka dibolehkan tidak berpuasa Ramadan, karena Al-Quran tidak memerinci masalah ini.
     Agaknya Allah sengaja memilih redaksi demikian, dan menyerahkan kepada nurani manusia masing-masing untuk menentukan sendiri apakah dia  berpuasa  atau  tidak, dan orang yang tidak berpuasa karena sakit atau dalam perjalanan harus  menggantikan berpuasa di luar bulan Ramadan.
   Kedua, kalimat “Aw'ala safarin” (atau dalam perjalanan), para ulama berbeda pendapat tentang bolehnya berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir, yang berkaitan dengan jarak perjalanan yang ditempuh.
       Secara umum jarak perjalanannya adalah sekitar 90 kilometer, tetapi ada yang tidak menetapkan jarak tertentu, sehingga berapa pun  jarak yang ditempuh selama dinamakan perjalanan, maka bisa mendapatkan kemudahan atau “rukhshah”.
      Para ulama berbeda pendapat tentang “illat” (sebab) dibolehkannya tidak berpuasa, apakah karena adanya unsur “perjalanan” atau karena “keletihan” akibat perjalanan?
      Para ulama berbeda pendapat tentang manakah yang lebih utama bagi seorang musafir, berpuasa atau tidak berpuasa.
     Sebagian ulama menilai  bahwa  berpuasa lebih utama dan lebih baik bagi yang mampu, tetapi sebagian ulama yang lain berpendapat sebaiknya diserahkan kepada orangnya masing-masing, maka itulah yang lebih baik dan utama.
     Ketika Nabi dan para sahabat dalam perjalanan pada bulan Ramadan, sebagian sahabat ada yang berpuasa dan ada yang tidak berpuasa, dan ternyata Nabi tidak mencela siapa pun.
      Ketiga, kalimat “Fa 'iddatun min ayyamin ukhar” (sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari yang lain). Sebagian ulama menyisipkan kalimat, sehingga berbunyi,”Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia tidak berpuasa),  maka  (wajib  baginya  berpuasa) sebanyak hari-hari yang ditinggalkan itu pada hari yang lain.”
    Kalimat “Lalu  dia  tidak  berpuasa”  adalah sisipan yang dilakukan oleh sebagian ulama, tetapi ditolak oleh sebagian ulama yang lain, sehingga orang yang dalam perjalanan “wajib tidak berpuasa” dan “wajib menggantinya pada hari lain.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online.

447. HUKUM 1

ASPEK HUKUM PUASA RAMADAN
(Seri ke-1)
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.



       Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang “Aspek hukum puasa Ramadan menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya
      Kata “puasa” menurut KBBI V bisa diartikan “meniadakan makan, minum, dan sebagainya dengan sengaja (terutama bertalian dengan keagamaan)”, “salah satu rukun Islam berupa ibadah menahan diri atau berpantang makan, minum, dan segala yang membatalkannya mulai terbit fajar sampai terbenam matahari”, dan “saum”.
      Kata “Ramadan” menurut KBBI V adalah bulan ke- 9 tahun Hijriah (29 atau 30 hari), pada bulan ini umat Islam yang sudah akil balig diwajibkan berpuasa.
        Al-Quran menggunakan kata “shiam” sebanyak 8 kali, kesemuanya  dalam arti “puasa” menurut pengertian hukum syariat, hanna 1 kali Al-Quran memakai kata “shaum”,  tetapi  maknanya adalah “menahan diri untuk tidak bebicara”.
     Uraian Al-Quran tentang puasa Ramadan, ditemukan dalam  surat Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 183, 184, 185, dan 187, artinya puasa Ramadan baru diwajibkan  setelah Nabi Muhammad berada di Madinah, karena para ulama sepakat bahwa surah Al-Baqarah turun di Madinah.
     Para sejarawan menyatakan bahwa kewajiban berpuasa Ramadan pertama kali ditetapkan Allah pada 10 Syakban tahun ke-2 Hijriah di Madinah
      Pertama, Kalimat “Faman kana minkum maridha” (Siapa di antaramu yang sakit), kata “maridh” artinya “sakit”, dan penyakit dalam kaitannya dengan berpuasa secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu orang yang tidak dapat berpuasa, maka dia wajib berbuka, dan orang yang dapat berpuasa, tetapi jika berpuasa, maka melambatkan kesembuhan, maka dia dianjurkan tidak berpuasa.
      Sebagian ulama berpendapat bahwa penyakit apa pun yang diderita oleh seseorang, maka dibolehkan tidak berpuasa Ramadan, karena Al-Quran tidak memerinci masalah ini.
     Agaknya Allah sengaja memilih redaksi demikian, dan menyerahkan kepada nurani manusia masing-masing untuk menentukan sendiri apakah dia  berpuasa  atau  tidak, dan orang yang tidak berpuasa karena sakit atau dalam perjalanan harus  menggantikan berpuasa di luar bulan Ramadan.
   Kedua, kalimat “Aw'ala safarin” (atau dalam perjalanan), para ulama berbeda pendapat tentang bolehnya berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir, yang berkaitan dengan jarak perjalanan yang ditempuh.
       Secara umum jarak perjalanannya adalah sekitar 90 kilometer, tetapi ada yang tidak menetapkan jarak tertentu, sehingga berapa pun  jarak yang ditempuh selama dinamakan perjalanan, maka bisa mendapatkan kemudahan atau “rukhshah”.
      Para ulama berbeda pendapat tentang “illat” (sebab) dibolehkannya tidak berpuasa, apakah karena adanya unsur “perjalanan” atau karena “keletihan” akibat perjalanan?
      Para ulama berbeda pendapat tentang manakah yang lebih utama bagi seorang musafir, berpuasa atau tidak berpuasa.
     Sebagian ulama menilai  bahwa  berpuasa lebih utama dan lebih baik bagi yang mampu, tetapi sebagian ulama yang lain berpendapat sebaiknya diserahkan kepada orangnya masing-masing, maka itulah yang lebih baik dan utama.
     Ketika Nabi dan para sahabat dalam perjalanan pada bulan Ramadan, sebagian sahabat ada yang berpuasa dan ada yang tidak berpuasa, dan ternyata Nabi tidak mencela siapa pun.
      Ketiga, kalimat “Fa 'iddatun min ayyamin ukhar” (sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari yang lain). Sebagian ulama menyisipkan kalimat, sehingga berbunyi,”Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia tidak berpuasa),  maka  (wajib  baginya  berpuasa) sebanyak hari-hari yang ditinggalkan itu pada hari yang lain.”
    Kalimat “Lalu  dia  tidak  berpuasa”  adalah sisipan yang dilakukan oleh sebagian ulama, tetapi ditolak oleh sebagian ulama yang lain, sehingga orang yang dalam perjalanan “wajib tidak berpuasa” dan “wajib menggantinya pada hari lain.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online.

447. HUKUM 1

ASPEK HUKUM PUASA RAMADAN
(Seri ke-1)
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.



       Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang “Aspek hukum puasa Ramadan menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya
      Kata “puasa” menurut KBBI V bisa diartikan “meniadakan makan, minum, dan sebagainya dengan sengaja (terutama bertalian dengan keagamaan)”, “salah satu rukun Islam berupa ibadah menahan diri atau berpantang makan, minum, dan segala yang membatalkannya mulai terbit fajar sampai terbenam matahari”, dan “saum”.
      Kata “Ramadan” menurut KBBI V adalah bulan ke- 9 tahun Hijriah (29 atau 30 hari), pada bulan ini umat Islam yang sudah akil balig diwajibkan berpuasa.
        Al-Quran menggunakan kata “shiam” sebanyak 8 kali, kesemuanya  dalam arti “puasa” menurut pengertian hukum syariat, hanna 1 kali Al-Quran memakai kata “shaum”,  tetapi  maknanya adalah “menahan diri untuk tidak bebicara”.
     Uraian Al-Quran tentang puasa Ramadan, ditemukan dalam  surat Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 183, 184, 185, dan 187, artinya puasa Ramadan baru diwajibkan  setelah Nabi Muhammad berada di Madinah, karena para ulama sepakat bahwa surah Al-Baqarah turun di Madinah.
     Para sejarawan menyatakan bahwa kewajiban berpuasa Ramadan pertama kali ditetapkan Allah pada 10 Syakban tahun ke-2 Hijriah di Madinah
      Pertama, Kalimat “Faman kana minkum maridha” (Siapa di antaramu yang sakit), kata “maridh” artinya “sakit”, dan penyakit dalam kaitannya dengan berpuasa secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu orang yang tidak dapat berpuasa, maka dia wajib berbuka, dan orang yang dapat berpuasa, tetapi jika berpuasa, maka melambatkan kesembuhan, maka dia dianjurkan tidak berpuasa.
      Sebagian ulama berpendapat bahwa penyakit apa pun yang diderita oleh seseorang, maka dibolehkan tidak berpuasa Ramadan, karena Al-Quran tidak memerinci masalah ini.
     Agaknya Allah sengaja memilih redaksi demikian, dan menyerahkan kepada nurani manusia masing-masing untuk menentukan sendiri apakah dia  berpuasa  atau  tidak, dan orang yang tidak berpuasa karena sakit atau dalam perjalanan harus  menggantikan berpuasa di luar bulan Ramadan.
   Kedua, kalimat “Aw'ala safarin” (atau dalam perjalanan), para ulama berbeda pendapat tentang bolehnya berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir, yang berkaitan dengan jarak perjalanan yang ditempuh.
       Secara umum jarak perjalanannya adalah sekitar 90 kilometer, tetapi ada yang tidak menetapkan jarak tertentu, sehingga berapa pun  jarak yang ditempuh selama dinamakan perjalanan, maka bisa mendapatkan kemudahan atau “rukhshah”.
      Para ulama berbeda pendapat tentang “illat” (sebab) dibolehkannya tidak berpuasa, apakah karena adanya unsur “perjalanan” atau karena “keletihan” akibat perjalanan?
      Para ulama berbeda pendapat tentang manakah yang lebih utama bagi seorang musafir, berpuasa atau tidak berpuasa.
     Sebagian ulama menilai  bahwa  berpuasa lebih utama dan lebih baik bagi yang mampu, tetapi sebagian ulama yang lain berpendapat sebaiknya diserahkan kepada orangnya masing-masing, maka itulah yang lebih baik dan utama.
     Ketika Nabi dan para sahabat dalam perjalanan pada bulan Ramadan, sebagian sahabat ada yang berpuasa dan ada yang tidak berpuasa, dan ternyata Nabi tidak mencela siapa pun.
      Ketiga, kalimat “Fa 'iddatun min ayyamin ukhar” (sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari yang lain). Sebagian ulama menyisipkan kalimat, sehingga berbunyi,”Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia tidak berpuasa),  maka  (wajib  baginya  berpuasa) sebanyak hari-hari yang ditinggalkan itu pada hari yang lain.”
    Kalimat “Lalu  dia  tidak  berpuasa”  adalah sisipan yang dilakukan oleh sebagian ulama, tetapi ditolak oleh sebagian ulama yang lain, sehingga orang yang dalam perjalanan “wajib tidak berpuasa” dan “wajib menggantinya pada hari lain.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online.

447. HUKUM 1

ASPEK HUKUM PUASA RAMADAN
(Seri ke-1)
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.



       Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang “Aspek hukum puasa Ramadan menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya
      Kata “puasa” menurut KBBI V bisa diartikan “meniadakan makan, minum, dan sebagainya dengan sengaja (terutama bertalian dengan keagamaan)”, “salah satu rukun Islam berupa ibadah menahan diri atau berpantang makan, minum, dan segala yang membatalkannya mulai terbit fajar sampai terbenam matahari”, dan “saum”.
      Kata “Ramadan” menurut KBBI V adalah bulan ke- 9 tahun Hijriah (29 atau 30 hari), pada bulan ini umat Islam yang sudah akil balig diwajibkan berpuasa.
        Al-Quran menggunakan kata “shiam” sebanyak 8 kali, kesemuanya  dalam arti “puasa” menurut pengertian hukum syariat, hanna 1 kali Al-Quran memakai kata “shaum”,  tetapi  maknanya adalah “menahan diri untuk tidak bebicara”.
     Uraian Al-Quran tentang puasa Ramadan, ditemukan dalam  surat Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 183, 184, 185, dan 187, artinya puasa Ramadan baru diwajibkan  setelah Nabi Muhammad berada di Madinah, karena para ulama sepakat bahwa surah Al-Baqarah turun di Madinah.
     Para sejarawan menyatakan bahwa kewajiban berpuasa Ramadan pertama kali ditetapkan Allah pada 10 Syakban tahun ke-2 Hijriah di Madinah
      Pertama, Kalimat “Faman kana minkum maridha” (Siapa di antaramu yang sakit), kata “maridh” artinya “sakit”, dan penyakit dalam kaitannya dengan berpuasa secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu orang yang tidak dapat berpuasa, maka dia wajib berbuka, dan orang yang dapat berpuasa, tetapi jika berpuasa, maka melambatkan kesembuhan, maka dia dianjurkan tidak berpuasa.
      Sebagian ulama berpendapat bahwa penyakit apa pun yang diderita oleh seseorang, maka dibolehkan tidak berpuasa Ramadan, karena Al-Quran tidak memerinci masalah ini.
     Agaknya Allah sengaja memilih redaksi demikian, dan menyerahkan kepada nurani manusia masing-masing untuk menentukan sendiri apakah dia  berpuasa  atau  tidak, dan orang yang tidak berpuasa karena sakit atau dalam perjalanan harus  menggantikan berpuasa di luar bulan Ramadan.
   Kedua, kalimat “Aw'ala safarin” (atau dalam perjalanan), para ulama berbeda pendapat tentang bolehnya berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir, yang berkaitan dengan jarak perjalanan yang ditempuh.
       Secara umum jarak perjalanannya adalah sekitar 90 kilometer, tetapi ada yang tidak menetapkan jarak tertentu, sehingga berapa pun  jarak yang ditempuh selama dinamakan perjalanan, maka bisa mendapatkan kemudahan atau “rukhshah”.
      Para ulama berbeda pendapat tentang “illat” (sebab) dibolehkannya tidak berpuasa, apakah karena adanya unsur “perjalanan” atau karena “keletihan” akibat perjalanan?
      Para ulama berbeda pendapat tentang manakah yang lebih utama bagi seorang musafir, berpuasa atau tidak berpuasa.
     Sebagian ulama menilai  bahwa  berpuasa lebih utama dan lebih baik bagi yang mampu, tetapi sebagian ulama yang lain berpendapat sebaiknya diserahkan kepada orangnya masing-masing, maka itulah yang lebih baik dan utama.
     Ketika Nabi dan para sahabat dalam perjalanan pada bulan Ramadan, sebagian sahabat ada yang berpuasa dan ada yang tidak berpuasa, dan ternyata Nabi tidak mencela siapa pun.
      Ketiga, kalimat “Fa 'iddatun min ayyamin ukhar” (sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari yang lain). Sebagian ulama menyisipkan kalimat, sehingga berbunyi,”Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia tidak berpuasa),  maka  (wajib  baginya  berpuasa) sebanyak hari-hari yang ditinggalkan itu pada hari yang lain.”
    Kalimat “Lalu  dia  tidak  berpuasa”  adalah sisipan yang dilakukan oleh sebagian ulama, tetapi ditolak oleh sebagian ulama yang lain, sehingga orang yang dalam perjalanan “wajib tidak berpuasa” dan “wajib menggantinya pada hari lain.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online.

447. HUKUM 1

ASPEK HUKUM PUASA RAMADAN
(Seri ke-1)
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.



       Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang “Aspek hukum puasa Ramadan menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya
      Kata “puasa” menurut KBBI V bisa diartikan “meniadakan makan, minum, dan sebagainya dengan sengaja (terutama bertalian dengan keagamaan)”, “salah satu rukun Islam berupa ibadah menahan diri atau berpantang makan, minum, dan segala yang membatalkannya mulai terbit fajar sampai terbenam matahari”, dan “saum”.
      Kata “Ramadan” menurut KBBI V adalah bulan ke- 9 tahun Hijriah (29 atau 30 hari), pada bulan ini umat Islam yang sudah akil balig diwajibkan berpuasa.
        Al-Quran menggunakan kata “shiam” sebanyak 8 kali, kesemuanya  dalam arti “puasa” menurut pengertian hukum syariat, hanna 1 kali Al-Quran memakai kata “shaum”,  tetapi  maknanya adalah “menahan diri untuk tidak bebicara”.
     Uraian Al-Quran tentang puasa Ramadan, ditemukan dalam  surat Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 183, 184, 185, dan 187, artinya puasa Ramadan baru diwajibkan  setelah Nabi Muhammad berada di Madinah, karena para ulama sepakat bahwa surah Al-Baqarah turun di Madinah.
     Para sejarawan menyatakan bahwa kewajiban berpuasa Ramadan pertama kali ditetapkan Allah pada 10 Syakban tahun ke-2 Hijriah di Madinah
      Pertama, Kalimat “Faman kana minkum maridha” (Siapa di antaramu yang sakit), kata “maridh” artinya “sakit”, dan penyakit dalam kaitannya dengan berpuasa secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu orang yang tidak dapat berpuasa, maka dia wajib berbuka, dan orang yang dapat berpuasa, tetapi jika berpuasa, maka melambatkan kesembuhan, maka dia dianjurkan tidak berpuasa.
      Sebagian ulama berpendapat bahwa penyakit apa pun yang diderita oleh seseorang, maka dibolehkan tidak berpuasa Ramadan, karena Al-Quran tidak memerinci masalah ini.
     Agaknya Allah sengaja memilih redaksi demikian, dan menyerahkan kepada nurani manusia masing-masing untuk menentukan sendiri apakah dia  berpuasa  atau  tidak, dan orang yang tidak berpuasa karena sakit atau dalam perjalanan harus  menggantikan berpuasa di luar bulan Ramadan.
   Kedua, kalimat “Aw'ala safarin” (atau dalam perjalanan), para ulama berbeda pendapat tentang bolehnya berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir, yang berkaitan dengan jarak perjalanan yang ditempuh.
       Secara umum jarak perjalanannya adalah sekitar 90 kilometer, tetapi ada yang tidak menetapkan jarak tertentu, sehingga berapa pun  jarak yang ditempuh selama dinamakan perjalanan, maka bisa mendapatkan kemudahan atau “rukhshah”.
      Para ulama berbeda pendapat tentang “illat” (sebab) dibolehkannya tidak berpuasa, apakah karena adanya unsur “perjalanan” atau karena “keletihan” akibat perjalanan?
      Para ulama berbeda pendapat tentang manakah yang lebih utama bagi seorang musafir, berpuasa atau tidak berpuasa.
     Sebagian ulama menilai  bahwa  berpuasa lebih utama dan lebih baik bagi yang mampu, tetapi sebagian ulama yang lain berpendapat sebaiknya diserahkan kepada orangnya masing-masing, maka itulah yang lebih baik dan utama.
     Ketika Nabi dan para sahabat dalam perjalanan pada bulan Ramadan, sebagian sahabat ada yang berpuasa dan ada yang tidak berpuasa, dan ternyata Nabi tidak mencela siapa pun.
      Ketiga, kalimat “Fa 'iddatun min ayyamin ukhar” (sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari yang lain). Sebagian ulama menyisipkan kalimat, sehingga berbunyi,”Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia tidak berpuasa),  maka  (wajib  baginya  berpuasa) sebanyak hari-hari yang ditinggalkan itu pada hari yang lain.”
    Kalimat “Lalu  dia  tidak  berpuasa”  adalah sisipan yang dilakukan oleh sebagian ulama, tetapi ditolak oleh sebagian ulama yang lain, sehingga orang yang dalam perjalanan “wajib tidak berpuasa” dan “wajib menggantinya pada hari lain.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online.

447. HUKUM 1

ASPEK HUKUM PUASA RAMADAN
(Seri ke-1)
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.



       Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang “Aspek hukum puasa Ramadan menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya
      Kata “puasa” menurut KBBI V bisa diartikan “meniadakan makan, minum, dan sebagainya dengan sengaja (terutama bertalian dengan keagamaan)”, “salah satu rukun Islam berupa ibadah menahan diri atau berpantang makan, minum, dan segala yang membatalkannya mulai terbit fajar sampai terbenam matahari”, dan “saum”.
      Kata “Ramadan” menurut KBBI V adalah bulan ke- 9 tahun Hijriah (29 atau 30 hari), pada bulan ini umat Islam yang sudah akil balig diwajibkan berpuasa.
        Al-Quran menggunakan kata “shiam” sebanyak 8 kali, kesemuanya  dalam arti “puasa” menurut pengertian hukum syariat, hanna 1 kali Al-Quran memakai kata “shaum”,  tetapi  maknanya adalah “menahan diri untuk tidak bebicara”.
     Uraian Al-Quran tentang puasa Ramadan, ditemukan dalam  surat Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 183, 184, 185, dan 187, artinya puasa Ramadan baru diwajibkan  setelah Nabi Muhammad berada di Madinah, karena para ulama sepakat bahwa surah Al-Baqarah turun di Madinah.
     Para sejarawan menyatakan bahwa kewajiban berpuasa Ramadan pertama kali ditetapkan Allah pada 10 Syakban tahun ke-2 Hijriah di Madinah
      Pertama, Kalimat “Faman kana minkum maridha” (Siapa di antaramu yang sakit), kata “maridh” artinya “sakit”, dan penyakit dalam kaitannya dengan berpuasa secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu orang yang tidak dapat berpuasa, maka dia wajib berbuka, dan orang yang dapat berpuasa, tetapi jika berpuasa, maka melambatkan kesembuhan, maka dia dianjurkan tidak berpuasa.
      Sebagian ulama berpendapat bahwa penyakit apa pun yang diderita oleh seseorang, maka dibolehkan tidak berpuasa Ramadan, karena Al-Quran tidak memerinci masalah ini.
     Agaknya Allah sengaja memilih redaksi demikian, dan menyerahkan kepada nurani manusia masing-masing untuk menentukan sendiri apakah dia  berpuasa  atau  tidak, dan orang yang tidak berpuasa karena sakit atau dalam perjalanan harus  menggantikan berpuasa di luar bulan Ramadan.
   Kedua, kalimat “Aw'ala safarin” (atau dalam perjalanan), para ulama berbeda pendapat tentang bolehnya berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir, yang berkaitan dengan jarak perjalanan yang ditempuh.
       Secara umum jarak perjalanannya adalah sekitar 90 kilometer, tetapi ada yang tidak menetapkan jarak tertentu, sehingga berapa pun  jarak yang ditempuh selama dinamakan perjalanan, maka bisa mendapatkan kemudahan atau “rukhshah”.
      Para ulama berbeda pendapat tentang “illat” (sebab) dibolehkannya tidak berpuasa, apakah karena adanya unsur “perjalanan” atau karena “keletihan” akibat perjalanan?
      Para ulama berbeda pendapat tentang manakah yang lebih utama bagi seorang musafir, berpuasa atau tidak berpuasa.
     Sebagian ulama menilai  bahwa  berpuasa lebih utama dan lebih baik bagi yang mampu, tetapi sebagian ulama yang lain berpendapat sebaiknya diserahkan kepada orangnya masing-masing, maka itulah yang lebih baik dan utama.
     Ketika Nabi dan para sahabat dalam perjalanan pada bulan Ramadan, sebagian sahabat ada yang berpuasa dan ada yang tidak berpuasa, dan ternyata Nabi tidak mencela siapa pun.
      Ketiga, kalimat “Fa 'iddatun min ayyamin ukhar” (sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari yang lain). Sebagian ulama menyisipkan kalimat, sehingga berbunyi,”Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia tidak berpuasa),  maka  (wajib  baginya  berpuasa) sebanyak hari-hari yang ditinggalkan itu pada hari yang lain.”
    Kalimat “Lalu  dia  tidak  berpuasa”  adalah sisipan yang dilakukan oleh sebagian ulama, tetapi ditolak oleh sebagian ulama yang lain, sehingga orang yang dalam perjalanan “wajib tidak berpuasa” dan “wajib menggantinya pada hari lain.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online.

447. HUKUM 1

ASPEK HUKUM PUASA RAMADAN
(Seri ke-1)
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.



       Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang “Aspek hukum puasa Ramadan menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya
      Kata “puasa” menurut KBBI V bisa diartikan “meniadakan makan, minum, dan sebagainya dengan sengaja (terutama bertalian dengan keagamaan)”, “salah satu rukun Islam berupa ibadah menahan diri atau berpantang makan, minum, dan segala yang membatalkannya mulai terbit fajar sampai terbenam matahari”, dan “saum”.
      Kata “Ramadan” menurut KBBI V adalah bulan ke- 9 tahun Hijriah (29 atau 30 hari), pada bulan ini umat Islam yang sudah akil balig diwajibkan berpuasa.
        Al-Quran menggunakan kata “shiam” sebanyak 8 kali, kesemuanya  dalam arti “puasa” menurut pengertian hukum syariat, hanna 1 kali Al-Quran memakai kata “shaum”,  tetapi  maknanya adalah “menahan diri untuk tidak bebicara”.
     Uraian Al-Quran tentang puasa Ramadan, ditemukan dalam  surat Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 183, 184, 185, dan 187, artinya puasa Ramadan baru diwajibkan  setelah Nabi Muhammad berada di Madinah, karena para ulama sepakat bahwa surah Al-Baqarah turun di Madinah.
     Para sejarawan menyatakan bahwa kewajiban berpuasa Ramadan pertama kali ditetapkan Allah pada 10 Syakban tahun ke-2 Hijriah di Madinah
      Pertama, Kalimat “Faman kana minkum maridha” (Siapa di antaramu yang sakit), kata “maridh” artinya “sakit”, dan penyakit dalam kaitannya dengan berpuasa secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu orang yang tidak dapat berpuasa, maka dia wajib berbuka, dan orang yang dapat berpuasa, tetapi jika berpuasa, maka melambatkan kesembuhan, maka dia dianjurkan tidak berpuasa.
      Sebagian ulama berpendapat bahwa penyakit apa pun yang diderita oleh seseorang, maka dibolehkan tidak berpuasa Ramadan, karena Al-Quran tidak memerinci masalah ini.
     Agaknya Allah sengaja memilih redaksi demikian, dan menyerahkan kepada nurani manusia masing-masing untuk menentukan sendiri apakah dia  berpuasa  atau  tidak, dan orang yang tidak berpuasa karena sakit atau dalam perjalanan harus  menggantikan berpuasa di luar bulan Ramadan.
   Kedua, kalimat “Aw'ala safarin” (atau dalam perjalanan), para ulama berbeda pendapat tentang bolehnya berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir, yang berkaitan dengan jarak perjalanan yang ditempuh.
       Secara umum jarak perjalanannya adalah sekitar 90 kilometer, tetapi ada yang tidak menetapkan jarak tertentu, sehingga berapa pun  jarak yang ditempuh selama dinamakan perjalanan, maka bisa mendapatkan kemudahan atau “rukhshah”.
      Para ulama berbeda pendapat tentang “illat” (sebab) dibolehkannya tidak berpuasa, apakah karena adanya unsur “perjalanan” atau karena “keletihan” akibat perjalanan?
      Para ulama berbeda pendapat tentang manakah yang lebih utama bagi seorang musafir, berpuasa atau tidak berpuasa.
     Sebagian ulama menilai  bahwa  berpuasa lebih utama dan lebih baik bagi yang mampu, tetapi sebagian ulama yang lain berpendapat sebaiknya diserahkan kepada orangnya masing-masing, maka itulah yang lebih baik dan utama.
     Ketika Nabi dan para sahabat dalam perjalanan pada bulan Ramadan, sebagian sahabat ada yang berpuasa dan ada yang tidak berpuasa, dan ternyata Nabi tidak mencela siapa pun.
      Ketiga, kalimat “Fa 'iddatun min ayyamin ukhar” (sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari yang lain). Sebagian ulama menyisipkan kalimat, sehingga berbunyi,”Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia tidak berpuasa),  maka  (wajib  baginya  berpuasa) sebanyak hari-hari yang ditinggalkan itu pada hari yang lain.”
    Kalimat “Lalu  dia  tidak  berpuasa”  adalah sisipan yang dilakukan oleh sebagian ulama, tetapi ditolak oleh sebagian ulama yang lain, sehingga orang yang dalam perjalanan “wajib tidak berpuasa” dan “wajib menggantinya pada hari lain.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online.

447. HUKUM 1

ASPEK HUKUM PUASA RAMADAN
(Seri ke-1)
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.



       Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang “Aspek hukum puasa Ramadan menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya
      Kata “puasa” menurut KBBI V bisa diartikan “meniadakan makan, minum, dan sebagainya dengan sengaja (terutama bertalian dengan keagamaan)”, “salah satu rukun Islam berupa ibadah menahan diri atau berpantang makan, minum, dan segala yang membatalkannya mulai terbit fajar sampai terbenam matahari”, dan “saum”.
      Kata “Ramadan” menurut KBBI V adalah bulan ke- 9 tahun Hijriah (29 atau 30 hari), pada bulan ini umat Islam yang sudah akil balig diwajibkan berpuasa.
        Al-Quran menggunakan kata “shiam” sebanyak 8 kali, kesemuanya  dalam arti “puasa” menurut pengertian hukum syariat, hanna 1 kali Al-Quran memakai kata “shaum”,  tetapi  maknanya adalah “menahan diri untuk tidak bebicara”.
     Uraian Al-Quran tentang puasa Ramadan, ditemukan dalam  surat Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 183, 184, 185, dan 187, artinya puasa Ramadan baru diwajibkan  setelah Nabi Muhammad berada di Madinah, karena para ulama sepakat bahwa surah Al-Baqarah turun di Madinah.
     Para sejarawan menyatakan bahwa kewajiban berpuasa Ramadan pertama kali ditetapkan Allah pada 10 Syakban tahun ke-2 Hijriah di Madinah
      Pertama, Kalimat “Faman kana minkum maridha” (Siapa di antaramu yang sakit), kata “maridh” artinya “sakit”, dan penyakit dalam kaitannya dengan berpuasa secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu orang yang tidak dapat berpuasa, maka dia wajib berbuka, dan orang yang dapat berpuasa, tetapi jika berpuasa, maka melambatkan kesembuhan, maka dia dianjurkan tidak berpuasa.
      Sebagian ulama berpendapat bahwa penyakit apa pun yang diderita oleh seseorang, maka dibolehkan tidak berpuasa Ramadan, karena Al-Quran tidak memerinci masalah ini.
     Agaknya Allah sengaja memilih redaksi demikian, dan menyerahkan kepada nurani manusia masing-masing untuk menentukan sendiri apakah dia  berpuasa  atau  tidak, dan orang yang tidak berpuasa karena sakit atau dalam perjalanan harus  menggantikan berpuasa di luar bulan Ramadan.
   Kedua, kalimat “Aw'ala safarin” (atau dalam perjalanan), para ulama berbeda pendapat tentang bolehnya berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir, yang berkaitan dengan jarak perjalanan yang ditempuh.
       Secara umum jarak perjalanannya adalah sekitar 90 kilometer, tetapi ada yang tidak menetapkan jarak tertentu, sehingga berapa pun  jarak yang ditempuh selama dinamakan perjalanan, maka bisa mendapatkan kemudahan atau “rukhshah”.
      Para ulama berbeda pendapat tentang “illat” (sebab) dibolehkannya tidak berpuasa, apakah karena adanya unsur “perjalanan” atau karena “keletihan” akibat perjalanan?
      Para ulama berbeda pendapat tentang manakah yang lebih utama bagi seorang musafir, berpuasa atau tidak berpuasa.
     Sebagian ulama menilai  bahwa  berpuasa lebih utama dan lebih baik bagi yang mampu, tetapi sebagian ulama yang lain berpendapat sebaiknya diserahkan kepada orangnya masing-masing, maka itulah yang lebih baik dan utama.
     Ketika Nabi dan para sahabat dalam perjalanan pada bulan Ramadan, sebagian sahabat ada yang berpuasa dan ada yang tidak berpuasa, dan ternyata Nabi tidak mencela siapa pun.
      Ketiga, kalimat “Fa 'iddatun min ayyamin ukhar” (sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari yang lain). Sebagian ulama menyisipkan kalimat, sehingga berbunyi,”Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia tidak berpuasa),  maka  (wajib  baginya  berpuasa) sebanyak hari-hari yang ditinggalkan itu pada hari yang lain.”
    Kalimat “Lalu  dia  tidak  berpuasa”  adalah sisipan yang dilakukan oleh sebagian ulama, tetapi ditolak oleh sebagian ulama yang lain, sehingga orang yang dalam perjalanan “wajib tidak berpuasa” dan “wajib menggantinya pada hari lain.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online.

447. HUKUM 1

ASPEK HUKUM PUASA RAMADAN
(Seri ke-1)
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.



       Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang “Aspek hukum puasa Ramadan menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya
      Kata “puasa” menurut KBBI V bisa diartikan “meniadakan makan, minum, dan sebagainya dengan sengaja (terutama bertalian dengan keagamaan)”, “salah satu rukun Islam berupa ibadah menahan diri atau berpantang makan, minum, dan segala yang membatalkannya mulai terbit fajar sampai terbenam matahari”, dan “saum”.
      Kata “Ramadan” menurut KBBI V adalah bulan ke- 9 tahun Hijriah (29 atau 30 hari), pada bulan ini umat Islam yang sudah akil balig diwajibkan berpuasa.
        Al-Quran menggunakan kata “shiam” sebanyak 8 kali, kesemuanya  dalam arti “puasa” menurut pengertian hukum syariat, hanna 1 kali Al-Quran memakai kata “shaum”,  tetapi  maknanya adalah “menahan diri untuk tidak bebicara”.
     Uraian Al-Quran tentang puasa Ramadan, ditemukan dalam  surat Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 183, 184, 185, dan 187, artinya puasa Ramadan baru diwajibkan  setelah Nabi Muhammad berada di Madinah, karena para ulama sepakat bahwa surah Al-Baqarah turun di Madinah.
     Para sejarawan menyatakan bahwa kewajiban berpuasa Ramadan pertama kali ditetapkan Allah pada 10 Syakban tahun ke-2 Hijriah di Madinah
      Pertama, Kalimat “Faman kana minkum maridha” (Siapa di antaramu yang sakit), kata “maridh” artinya “sakit”, dan penyakit dalam kaitannya dengan berpuasa secara garis besar dapat dibagi dua, yaitu orang yang tidak dapat berpuasa, maka dia wajib berbuka, dan orang yang dapat berpuasa, tetapi jika berpuasa, maka melambatkan kesembuhan, maka dia dianjurkan tidak berpuasa.
      Sebagian ulama berpendapat bahwa penyakit apa pun yang diderita oleh seseorang, maka dibolehkan tidak berpuasa Ramadan, karena Al-Quran tidak memerinci masalah ini.
     Agaknya Allah sengaja memilih redaksi demikian, dan menyerahkan kepada nurani manusia masing-masing untuk menentukan sendiri apakah dia  berpuasa  atau  tidak, dan orang yang tidak berpuasa karena sakit atau dalam perjalanan harus  menggantikan berpuasa di luar bulan Ramadan.
   Kedua, kalimat “Aw'ala safarin” (atau dalam perjalanan), para ulama berbeda pendapat tentang bolehnya berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir, yang berkaitan dengan jarak perjalanan yang ditempuh.
       Secara umum jarak perjalanannya adalah sekitar 90 kilometer, tetapi ada yang tidak menetapkan jarak tertentu, sehingga berapa pun  jarak yang ditempuh selama dinamakan perjalanan, maka bisa mendapatkan kemudahan atau “rukhshah”.
      Para ulama berbeda pendapat tentang “illat” (sebab) dibolehkannya tidak berpuasa, apakah karena adanya unsur “perjalanan” atau karena “keletihan” akibat perjalanan?
      Para ulama berbeda pendapat tentang manakah yang lebih utama bagi seorang musafir, berpuasa atau tidak berpuasa.
     Sebagian ulama menilai  bahwa  berpuasa lebih utama dan lebih baik bagi yang mampu, tetapi sebagian ulama yang lain berpendapat sebaiknya diserahkan kepada orangnya masing-masing, maka itulah yang lebih baik dan utama.
     Ketika Nabi dan para sahabat dalam perjalanan pada bulan Ramadan, sebagian sahabat ada yang berpuasa dan ada yang tidak berpuasa, dan ternyata Nabi tidak mencela siapa pun.
      Ketiga, kalimat “Fa 'iddatun min ayyamin ukhar” (sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari yang lain). Sebagian ulama menyisipkan kalimat, sehingga berbunyi,”Barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu dia tidak berpuasa),  maka  (wajib  baginya  berpuasa) sebanyak hari-hari yang ditinggalkan itu pada hari yang lain.”
    Kalimat “Lalu  dia  tidak  berpuasa”  adalah sisipan yang dilakukan oleh sebagian ulama, tetapi ditolak oleh sebagian ulama yang lain, sehingga orang yang dalam perjalanan “wajib tidak berpuasa” dan “wajib menggantinya pada hari lain.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online.