Organisasi Profesi Guru

Presiden Jokowi memberi hormat kepada Guru-Guru se Indonesia.

Tema Gambar Slide 2

Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.

Tema Gambar Slide 3

Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.

Friday, December 1, 2017

530. NIKMAT

KENIKMATAN BERPUASA
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

    Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang kenikmatan berpuasa  Ramadan menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
    Kata “puasa” atau “shiam” dalam bahasa Al-Quran artinya “menahan diri”,  dan  Al-Quran ketika menetapkan kewajiban puasa tidak menegaskan bahwa kewajiban tersebut datangnya dari Allah, tetapi redaksi yang digunakan adalah dalam bentuk pasif, yaitu ”Diwajibkan atas kamu berpuasa”.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 183.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

       “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
      Agaknya, redaksi tersebut sengaja dipilih untuk mengisyaratkan bahwa kewajiban berpuasa tidak harus datangnya dari Allah, tetapi manusia itu sendiri akan mewajibkan dirinya sendiri berpuasa  apabila menyadari betapa banyaknya manfaat berpuasa.
     Manusia diciptakan oleh Allah dari unsur tanah dan roh AIlah, maka unsur tanah mendorongnya memenuhi kebutuhan jasmani, sedangkan roh Allah mengantarkannya kepada hal yang bersifat rohaniah.
     Kebutuhan jasmani manusia, terutama kebutuhan “fa'ali”, yaitu kebutuhan makan, minum dan hubungan seks menempati tempat teratas dari segala macam kebutuhan manusia, dan daya tarik makan, minum, dan hubungan seks sangat kuat sehingga sering kali menjerumuskan.
    Orang yang mampu mengendalikan dirinya dalam kebutuhan dasarnya, diharapkan mampu mengontrol dirinya dari kebutuhan nafsu lainnya, sehingga mudah dipahami bahwa syarat sahnya puasa dalam ajaran Islam adalah “menahan diri dari makan, minum dan hubungan seksual”.
     Naluri para binatang secara alami telah mengatur jenis, kadar, waktu makan, waktu tidur dan hubungan seksualnya, sedangkan naluri manusia tidak seperti binatang, karena manusia memperoleh kebebasan yang dapat menguntungkan dan malah membahayakan manusia sendiri.
     Agama datang untuk mengatur kebebasan manusia dalam mengendalikan nafsunya, karena kenyataan menunjukkan bahwa manusia yang mengosumsi makanan melebihi kebutuhan jasmaninya, maka dia tidak dapat menikmati makanan dan minuman tersebut yang akan mengurangi aktivitas dan menjadikannya lesu sepanjang hari.
    Naluri hubungan seksual dan kebutuhan nafsu lainnya apabila diikuti tidak akan pernah terpuaskan, seperti perasaan gatal (eksim), semakin digaruk akan semakin tidak menyembuhkan bahkan akan menimbulkan infeksi.
     Manusia memerlukan obat yang mujarab sebagai latihan untuk mengendalikan kebutuhan nafsunya, dan salah satu obat yang ditempuh oleh agama untuk mengendalian nafsu adalah syariat berpuasa.
       Nabi bersabda,”Terdapat dua kegembiraan dan kenikmatan yang diperoleh oleh orang-orang yang berpuasa, yaitu kenikmatan pada waktu berbuka dan kenikmatan pada saat kelak ketika berjumpa dengan Allah”.
      Besarnya kenikmatan rohani melebihi kenikmatan jasmani, seperti kenikmatan rohani dalam berpuasa hanya dapat dirasakan oleh yang mengalaminya sendiri, sungguh disayangkan apabila terdapat orang yang tidak pernah merasakan kenikmatan berpuasa karena tidak pernah mencobanya.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

530. NIKMAT

KENIKMATAN BERPUASA
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

    Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang kenikmatan berpuasa  Ramadan menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
    Kata “puasa” atau “shiam” dalam bahasa Al-Quran artinya “menahan diri”,  dan  Al-Quran ketika menetapkan kewajiban puasa tidak menegaskan bahwa kewajiban tersebut datangnya dari Allah, tetapi redaksi yang digunakan adalah dalam bentuk pasif, yaitu ”Diwajibkan atas kamu berpuasa”.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 183.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

       “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
      Agaknya, redaksi tersebut sengaja dipilih untuk mengisyaratkan bahwa kewajiban berpuasa tidak harus datangnya dari Allah, tetapi manusia itu sendiri akan mewajibkan dirinya sendiri berpuasa  apabila menyadari betapa banyaknya manfaat berpuasa.
     Manusia diciptakan oleh Allah dari unsur tanah dan roh AIlah, maka unsur tanah mendorongnya memenuhi kebutuhan jasmani, sedangkan roh Allah mengantarkannya kepada hal yang bersifat rohaniah.
     Kebutuhan jasmani manusia, terutama kebutuhan “fa'ali”, yaitu kebutuhan makan, minum dan hubungan seks menempati tempat teratas dari segala macam kebutuhan manusia, dan daya tarik makan, minum, dan hubungan seks sangat kuat sehingga sering kali menjerumuskan.
    Orang yang mampu mengendalikan dirinya dalam kebutuhan dasarnya, diharapkan mampu mengontrol dirinya dari kebutuhan nafsu lainnya, sehingga mudah dipahami bahwa syarat sahnya puasa dalam ajaran Islam adalah “menahan diri dari makan, minum dan hubungan seksual”.
     Naluri para binatang secara alami telah mengatur jenis, kadar, waktu makan, waktu tidur dan hubungan seksualnya, sedangkan naluri manusia tidak seperti binatang, karena manusia memperoleh kebebasan yang dapat menguntungkan dan malah membahayakan manusia sendiri.
     Agama datang untuk mengatur kebebasan manusia dalam mengendalikan nafsunya, karena kenyataan menunjukkan bahwa manusia yang mengosumsi makanan melebihi kebutuhan jasmaninya, maka dia tidak dapat menikmati makanan dan minuman tersebut yang akan mengurangi aktivitas dan menjadikannya lesu sepanjang hari.
    Naluri hubungan seksual dan kebutuhan nafsu lainnya apabila diikuti tidak akan pernah terpuaskan, seperti perasaan gatal (eksim), semakin digaruk akan semakin tidak menyembuhkan bahkan akan menimbulkan infeksi.
     Manusia memerlukan obat yang mujarab sebagai latihan untuk mengendalikan kebutuhan nafsunya, dan salah satu obat yang ditempuh oleh agama untuk mengendalian nafsu adalah syariat berpuasa.
       Nabi bersabda,”Terdapat dua kegembiraan dan kenikmatan yang diperoleh oleh orang-orang yang berpuasa, yaitu kenikmatan pada waktu berbuka dan kenikmatan pada saat kelak ketika berjumpa dengan Allah”.
      Besarnya kenikmatan rohani melebihi kenikmatan jasmani, seperti kenikmatan rohani dalam berpuasa hanya dapat dirasakan oleh yang mengalaminya sendiri, sungguh disayangkan apabila terdapat orang yang tidak pernah merasakan kenikmatan berpuasa karena tidak pernah mencobanya.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

530. NIKMAT

KENIKMATAN BERPUASA
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

    Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang kenikmatan berpuasa  Ramadan menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
    Kata “puasa” atau “shiam” dalam bahasa Al-Quran artinya “menahan diri”,  dan  Al-Quran ketika menetapkan kewajiban puasa tidak menegaskan bahwa kewajiban tersebut datangnya dari Allah, tetapi redaksi yang digunakan adalah dalam bentuk pasif, yaitu ”Diwajibkan atas kamu berpuasa”.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 183.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

       “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
      Agaknya, redaksi tersebut sengaja dipilih untuk mengisyaratkan bahwa kewajiban berpuasa tidak harus datangnya dari Allah, tetapi manusia itu sendiri akan mewajibkan dirinya sendiri berpuasa  apabila menyadari betapa banyaknya manfaat berpuasa.
     Manusia diciptakan oleh Allah dari unsur tanah dan roh AIlah, maka unsur tanah mendorongnya memenuhi kebutuhan jasmani, sedangkan roh Allah mengantarkannya kepada hal yang bersifat rohaniah.
     Kebutuhan jasmani manusia, terutama kebutuhan “fa'ali”, yaitu kebutuhan makan, minum dan hubungan seks menempati tempat teratas dari segala macam kebutuhan manusia, dan daya tarik makan, minum, dan hubungan seks sangat kuat sehingga sering kali menjerumuskan.
    Orang yang mampu mengendalikan dirinya dalam kebutuhan dasarnya, diharapkan mampu mengontrol dirinya dari kebutuhan nafsu lainnya, sehingga mudah dipahami bahwa syarat sahnya puasa dalam ajaran Islam adalah “menahan diri dari makan, minum dan hubungan seksual”.
     Naluri para binatang secara alami telah mengatur jenis, kadar, waktu makan, waktu tidur dan hubungan seksualnya, sedangkan naluri manusia tidak seperti binatang, karena manusia memperoleh kebebasan yang dapat menguntungkan dan malah membahayakan manusia sendiri.
     Agama datang untuk mengatur kebebasan manusia dalam mengendalikan nafsunya, karena kenyataan menunjukkan bahwa manusia yang mengosumsi makanan melebihi kebutuhan jasmaninya, maka dia tidak dapat menikmati makanan dan minuman tersebut yang akan mengurangi aktivitas dan menjadikannya lesu sepanjang hari.
    Naluri hubungan seksual dan kebutuhan nafsu lainnya apabila diikuti tidak akan pernah terpuaskan, seperti perasaan gatal (eksim), semakin digaruk akan semakin tidak menyembuhkan bahkan akan menimbulkan infeksi.
     Manusia memerlukan obat yang mujarab sebagai latihan untuk mengendalikan kebutuhan nafsunya, dan salah satu obat yang ditempuh oleh agama untuk mengendalian nafsu adalah syariat berpuasa.
       Nabi bersabda,”Terdapat dua kegembiraan dan kenikmatan yang diperoleh oleh orang-orang yang berpuasa, yaitu kenikmatan pada waktu berbuka dan kenikmatan pada saat kelak ketika berjumpa dengan Allah”.
      Besarnya kenikmatan rohani melebihi kenikmatan jasmani, seperti kenikmatan rohani dalam berpuasa hanya dapat dirasakan oleh yang mengalaminya sendiri, sungguh disayangkan apabila terdapat orang yang tidak pernah merasakan kenikmatan berpuasa karena tidak pernah mencobanya.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

530. NlKMAT

KENIKMATAN BERPUASA
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

    Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang kenikmatan berpuasa  Ramadan menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
    Kata “puasa” atau “shiam” dalam bahasa Al-Quran artinya “menahan diri”,  dan  Al-Quran ketika menetapkan kewajiban puasa tidak menegaskan bahwa kewajiban tersebut datangnya dari Allah, tetapi redaksi yang digunakan adalah dalam bentuk pasif, yaitu ”Diwajibkan atas kamu berpuasa”.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 183.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

       “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
      Agaknya, redaksi tersebut sengaja dipilih untuk mengisyaratkan bahwa kewajiban berpuasa tidak harus datangnya dari Allah, tetapi manusia itu sendiri akan mewajibkan dirinya sendiri berpuasa  apabila menyadari betapa banyaknya manfaat berpuasa.
     Manusia diciptakan oleh Allah dari unsur tanah dan roh AIlah, maka unsur tanah mendorongnya memenuhi kebutuhan jasmani, sedangkan roh Allah mengantarkannya kepada hal yang bersifat rohaniah.
     Kebutuhan jasmani manusia, terutama kebutuhan “fa'ali”, yaitu kebutuhan makan, minum dan hubungan seks menempati tempat teratas dari segala macam kebutuhan manusia, dan daya tarik makan, minum, dan hubungan seks sangat kuat sehingga sering kali menjerumuskan.
    Orang yang mampu mengendalikan dirinya dalam kebutuhan dasarnya, diharapkan mampu mengontrol dirinya dari kebutuhan nafsu lainnya, sehingga mudah dipahami bahwa syarat sahnya puasa dalam ajaran Islam adalah “menahan diri dari makan, minum dan hubungan seksual”.
     Naluri para binatang secara alami telah mengatur jenis, kadar, waktu makan, waktu tidur dan hubungan seksualnya, sedangkan naluri manusia tidak seperti binatang, karena manusia memperoleh kebebasan yang dapat menguntungkan dan malah membahayakan manusia sendiri.
     Agama datang untuk mengatur kebebasan manusia dalam mengendalikan nafsunya, karena kenyataan menunjukkan bahwa manusia yang mengosumsi makanan melebihi kebutuhan jasmaninya, maka dia tidak dapat menikmati makanan dan minuman tersebut yang akan mengurangi aktivitas dan menjadikannya lesu sepanjang hari.
    Naluri hubungan seksual dan kebutuhan nafsu lainnya apabila diikuti tidak akan pernah terpuaskan, seperti perasaan gatal (eksim), semakin digaruk akan semakin tidak menyembuhkan bahkan akan menimbulkan infeksi.
     Manusia memerlukan obat yang mujarab sebagai latihan untuk mengendalikan kebutuhan nafsunya, dan salah satu obat yang ditempuh oleh agama untuk mengendalian nafsu adalah syariat berpuasa.
       Nabi bersabda,”Terdapat dua kegembiraan dan kenikmatan yang diperoleh oleh orang-orang yang berpuasa, yaitu kenikmatan pada waktu berbuka dan kenikmatan pada saat kelak ketika berjumpa dengan Allah”.
      Besarnya kenikmatan rohani melebihi kenikmatan jasmani, seperti kenikmatan rohani dalam berpuasa hanya dapat dirasakan oleh yang mengalaminya sendiri, sungguh disayangkan apabila terdapat orang yang tidak pernah merasakan kenikmatan berpuasa karena tidak pernah mencobanya.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

530. NIKMAT

KENIKMATAN BERPUASA
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

    Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang kenikmatan berpuasa  Ramadan menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
    Kata “puasa” atau “shiam” dalam bahasa Al-Quran artinya “menahan diri”,  dan  Al-Quran ketika menetapkan kewajiban puasa tidak menegaskan bahwa kewajiban tersebut datangnya dari Allah, tetapi redaksi yang digunakan adalah dalam bentuk pasif, yaitu ”Diwajibkan atas kamu berpuasa”.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 183.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

       “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
      Agaknya, redaksi tersebut sengaja dipilih untuk mengisyaratkan bahwa kewajiban berpuasa tidak harus datangnya dari Allah, tetapi manusia itu sendiri akan mewajibkan dirinya sendiri berpuasa  apabila menyadari betapa banyaknya manfaat berpuasa.
     Manusia diciptakan oleh Allah dari unsur tanah dan roh AIlah, maka unsur tanah mendorongnya memenuhi kebutuhan jasmani, sedangkan roh Allah mengantarkannya kepada hal yang bersifat rohaniah.
     Kebutuhan jasmani manusia, terutama kebutuhan “fa'ali”, yaitu kebutuhan makan, minum dan hubungan seks menempati tempat teratas dari segala macam kebutuhan manusia, dan daya tarik makan, minum, dan hubungan seks sangat kuat sehingga sering kali menjerumuskan.
    Orang yang mampu mengendalikan dirinya dalam kebutuhan dasarnya, diharapkan mampu mengontrol dirinya dari kebutuhan nafsu lainnya, sehingga mudah dipahami bahwa syarat sahnya puasa dalam ajaran Islam adalah “menahan diri dari makan, minum dan hubungan seksual”.
     Naluri para binatang secara alami telah mengatur jenis, kadar, waktu makan, waktu tidur dan hubungan seksualnya, sedangkan naluri manusia tidak seperti binatang, karena manusia memperoleh kebebasan yang dapat menguntungkan dan malah membahayakan manusia sendiri.
     Agama datang untuk mengatur kebebasan manusia dalam mengendalikan nafsunya, karena kenyataan menunjukkan bahwa manusia yang mengosumsi makanan melebihi kebutuhan jasmaninya, maka dia tidak dapat menikmati makanan dan minuman tersebut yang akan mengurangi aktivitas dan menjadikannya lesu sepanjang hari.
    Naluri hubungan seksual dan kebutuhan nafsu lainnya apabila diikuti tidak akan pernah terpuaskan, seperti perasaan gatal (eksim), semakin digaruk akan semakin tidak menyembuhkan bahkan akan menimbulkan infeksi.
     Manusia memerlukan obat yang mujarab sebagai latihan untuk mengendalikan kebutuhan nafsunya, dan salah satu obat yang ditempuh oleh agama untuk mengendalian nafsu adalah syariat berpuasa.
       Nabi bersabda,”Terdapat dua kegembiraan dan kenikmatan yang diperoleh oleh orang-orang yang berpuasa, yaitu kenikmatan pada waktu berbuka dan kenikmatan pada saat kelak ketika berjumpa dengan Allah”.
      Besarnya kenikmatan rohani melebihi kenikmatan jasmani, seperti kenikmatan rohani dalam berpuasa hanya dapat dirasakan oleh yang mengalaminya sendiri, sungguh disayangkan apabila terdapat orang yang tidak pernah merasakan kenikmatan berpuasa karena tidak pernah mencobanya.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

530. NIKMAT

KENIKMATAN BERPUASA
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

    Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang kenikmatan berpuasa  Ramadan menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
    Kata “puasa” atau “shiam” dalam bahasa Al-Quran artinya “menahan diri”,  dan  Al-Quran ketika menetapkan kewajiban puasa tidak menegaskan bahwa kewajiban tersebut datangnya dari Allah, tetapi redaksi yang digunakan adalah dalam bentuk pasif, yaitu ”Diwajibkan atas kamu berpuasa”.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 183.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

       “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
      Agaknya, redaksi tersebut sengaja dipilih untuk mengisyaratkan bahwa kewajiban berpuasa tidak harus datangnya dari Allah, tetapi manusia itu sendiri akan mewajibkan dirinya sendiri berpuasa  apabila menyadari betapa banyaknya manfaat berpuasa.
     Manusia diciptakan oleh Allah dari unsur tanah dan roh AIlah, maka unsur tanah mendorongnya memenuhi kebutuhan jasmani, sedangkan roh Allah mengantarkannya kepada hal yang bersifat rohaniah.
     Kebutuhan jasmani manusia, terutama kebutuhan “fa'ali”, yaitu kebutuhan makan, minum dan hubungan seks menempati tempat teratas dari segala macam kebutuhan manusia, dan daya tarik makan, minum, dan hubungan seks sangat kuat sehingga sering kali menjerumuskan.
    Orang yang mampu mengendalikan dirinya dalam kebutuhan dasarnya, diharapkan mampu mengontrol dirinya dari kebutuhan nafsu lainnya, sehingga mudah dipahami bahwa syarat sahnya puasa dalam ajaran Islam adalah “menahan diri dari makan, minum dan hubungan seksual”.
     Naluri para binatang secara alami telah mengatur jenis, kadar, waktu makan, waktu tidur dan hubungan seksualnya, sedangkan naluri manusia tidak seperti binatang, karena manusia memperoleh kebebasan yang dapat menguntungkan dan malah membahayakan manusia sendiri.
     Agama datang untuk mengatur kebebasan manusia dalam mengendalikan nafsunya, karena kenyataan menunjukkan bahwa manusia yang mengosumsi makanan melebihi kebutuhan jasmaninya, maka dia tidak dapat menikmati makanan dan minuman tersebut yang akan mengurangi aktivitas dan menjadikannya lesu sepanjang hari.
    Naluri hubungan seksual dan kebutuhan nafsu lainnya apabila diikuti tidak akan pernah terpuaskan, seperti perasaan gatal (eksim), semakin digaruk akan semakin tidak menyembuhkan bahkan akan menimbulkan infeksi.
     Manusia memerlukan obat yang mujarab sebagai latihan untuk mengendalikan kebutuhan nafsunya, dan salah satu obat yang ditempuh oleh agama untuk mengendalian nafsu adalah syariat berpuasa.
       Nabi bersabda,”Terdapat dua kegembiraan dan kenikmatan yang diperoleh oleh orang-orang yang berpuasa, yaitu kenikmatan pada waktu berbuka dan kenikmatan pada saat kelak ketika berjumpa dengan Allah”.
      Besarnya kenikmatan rohani melebihi kenikmatan jasmani, seperti kenikmatan rohani dalam berpuasa hanya dapat dirasakan oleh yang mengalaminya sendiri, sungguh disayangkan apabila terdapat orang yang tidak pernah merasakan kenikmatan berpuasa karena tidak pernah mencobanya.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

530. NIKMAT

KENIKMATAN BERPUASA
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

    Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang kenikmatan berpuasa  Ramadan menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
    Kata “puasa” atau “shiam” dalam bahasa Al-Quran artinya “menahan diri”,  dan  Al-Quran ketika menetapkan kewajiban puasa tidak menegaskan bahwa kewajiban tersebut datangnya dari Allah, tetapi redaksi yang digunakan adalah dalam bentuk pasif, yaitu ”Diwajibkan atas kamu berpuasa”.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 183.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

       “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
      Agaknya, redaksi tersebut sengaja dipilih untuk mengisyaratkan bahwa kewajiban berpuasa tidak harus datangnya dari Allah, tetapi manusia itu sendiri akan mewajibkan dirinya sendiri berpuasa  apabila menyadari betapa banyaknya manfaat berpuasa.
     Manusia diciptakan oleh Allah dari unsur tanah dan roh AIlah, maka unsur tanah mendorongnya memenuhi kebutuhan jasmani, sedangkan roh Allah mengantarkannya kepada hal yang bersifat rohaniah.
     Kebutuhan jasmani manusia, terutama kebutuhan “fa'ali”, yaitu kebutuhan makan, minum dan hubungan seks menempati tempat teratas dari segala macam kebutuhan manusia, dan daya tarik makan, minum, dan hubungan seks sangat kuat sehingga sering kali menjerumuskan.
    Orang yang mampu mengendalikan dirinya dalam kebutuhan dasarnya, diharapkan mampu mengontrol dirinya dari kebutuhan nafsu lainnya, sehingga mudah dipahami bahwa syarat sahnya puasa dalam ajaran Islam adalah “menahan diri dari makan, minum dan hubungan seksual”.
     Naluri para binatang secara alami telah mengatur jenis, kadar, waktu makan, waktu tidur dan hubungan seksualnya, sedangkan naluri manusia tidak seperti binatang, karena manusia memperoleh kebebasan yang dapat menguntungkan dan malah membahayakan manusia sendiri.
     Agama datang untuk mengatur kebebasan manusia dalam mengendalikan nafsunya, karena kenyataan menunjukkan bahwa manusia yang mengosumsi makanan melebihi kebutuhan jasmaninya, maka dia tidak dapat menikmati makanan dan minuman tersebut yang akan mengurangi aktivitas dan menjadikannya lesu sepanjang hari.
    Naluri hubungan seksual dan kebutuhan nafsu lainnya apabila diikuti tidak akan pernah terpuaskan, seperti perasaan gatal (eksim), semakin digaruk akan semakin tidak menyembuhkan bahkan akan menimbulkan infeksi.
     Manusia memerlukan obat yang mujarab sebagai latihan untuk mengendalikan kebutuhan nafsunya, dan salah satu obat yang ditempuh oleh agama untuk mengendalian nafsu adalah syariat berpuasa.
       Nabi bersabda,”Terdapat dua kegembiraan dan kenikmatan yang diperoleh oleh orang-orang yang berpuasa, yaitu kenikmatan pada waktu berbuka dan kenikmatan pada saat kelak ketika berjumpa dengan Allah”.
      Besarnya kenikmatan rohani melebihi kenikmatan jasmani, seperti kenikmatan rohani dalam berpuasa hanya dapat dirasakan oleh yang mengalaminya sendiri, sungguh disayangkan apabila terdapat orang yang tidak pernah merasakan kenikmatan berpuasa karena tidak pernah mencobanya.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

530. NIKMAT

KENIKMATAN BERPUASA
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

    Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang kenikmatan berpuasa  Ramadan menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
    Kata “puasa” atau “shiam” dalam bahasa Al-Quran artinya “menahan diri”,  dan  Al-Quran ketika menetapkan kewajiban puasa tidak menegaskan bahwa kewajiban tersebut datangnya dari Allah, tetapi redaksi yang digunakan adalah dalam bentuk pasif, yaitu ”Diwajibkan atas kamu berpuasa”.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 183.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

       “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
      Agaknya, redaksi tersebut sengaja dipilih untuk mengisyaratkan bahwa kewajiban berpuasa tidak harus datangnya dari Allah, tetapi manusia itu sendiri akan mewajibkan dirinya sendiri berpuasa  apabila menyadari betapa banyaknya manfaat berpuasa.
     Manusia diciptakan oleh Allah dari unsur tanah dan roh AIlah, maka unsur tanah mendorongnya memenuhi kebutuhan jasmani, sedangkan roh Allah mengantarkannya kepada hal yang bersifat rohaniah.
     Kebutuhan jasmani manusia, terutama kebutuhan “fa'ali”, yaitu kebutuhan makan, minum dan hubungan seks menempati tempat teratas dari segala macam kebutuhan manusia, dan daya tarik makan, minum, dan hubungan seks sangat kuat sehingga sering kali menjerumuskan.
    Orang yang mampu mengendalikan dirinya dalam kebutuhan dasarnya, diharapkan mampu mengontrol dirinya dari kebutuhan nafsu lainnya, sehingga mudah dipahami bahwa syarat sahnya puasa dalam ajaran Islam adalah “menahan diri dari makan, minum dan hubungan seksual”.
     Naluri para binatang secara alami telah mengatur jenis, kadar, waktu makan, waktu tidur dan hubungan seksualnya, sedangkan naluri manusia tidak seperti binatang, karena manusia memperoleh kebebasan yang dapat menguntungkan dan malah membahayakan manusia sendiri.
     Agama datang untuk mengatur kebebasan manusia dalam mengendalikan nafsunya, karena kenyataan menunjukkan bahwa manusia yang mengosumsi makanan melebihi kebutuhan jasmaninya, maka dia tidak dapat menikmati makanan dan minuman tersebut yang akan mengurangi aktivitas dan menjadikannya lesu sepanjang hari.
    Naluri hubungan seksual dan kebutuhan nafsu lainnya apabila diikuti tidak akan pernah terpuaskan, seperti perasaan gatal (eksim), semakin digaruk akan semakin tidak menyembuhkan bahkan akan menimbulkan infeksi.
     Manusia memerlukan obat yang mujarab sebagai latihan untuk mengendalikan kebutuhan nafsunya, dan salah satu obat yang ditempuh oleh agama untuk mengendalian nafsu adalah syariat berpuasa.
       Nabi bersabda,”Terdapat dua kegembiraan dan kenikmatan yang diperoleh oleh orang-orang yang berpuasa, yaitu kenikmatan pada waktu berbuka dan kenikmatan pada saat kelak ketika berjumpa dengan Allah”.
      Besarnya kenikmatan rohani melebihi kenikmatan jasmani, seperti kenikmatan rohani dalam berpuasa hanya dapat dirasakan oleh yang mengalaminya sendiri, sungguh disayangkan apabila terdapat orang yang tidak pernah merasakan kenikmatan berpuasa karena tidak pernah mencobanya.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

530. NIKMAT

KENIKMATAN BERPUASA
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

    Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang kenikmatan berpuasa  Ramadan menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
    Kata “puasa” atau “shiam” dalam bahasa Al-Quran artinya “menahan diri”,  dan  Al-Quran ketika menetapkan kewajiban puasa tidak menegaskan bahwa kewajiban tersebut datangnya dari Allah, tetapi redaksi yang digunakan adalah dalam bentuk pasif, yaitu ”Diwajibkan atas kamu berpuasa”.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 183.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

       “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
      Agaknya, redaksi tersebut sengaja dipilih untuk mengisyaratkan bahwa kewajiban berpuasa tidak harus datangnya dari Allah, tetapi manusia itu sendiri akan mewajibkan dirinya sendiri berpuasa  apabila menyadari betapa banyaknya manfaat berpuasa.
     Manusia diciptakan oleh Allah dari unsur tanah dan roh AIlah, maka unsur tanah mendorongnya memenuhi kebutuhan jasmani, sedangkan roh Allah mengantarkannya kepada hal yang bersifat rohaniah.
     Kebutuhan jasmani manusia, terutama kebutuhan “fa'ali”, yaitu kebutuhan makan, minum dan hubungan seks menempati tempat teratas dari segala macam kebutuhan manusia, dan daya tarik makan, minum, dan hubungan seks sangat kuat sehingga sering kali menjerumuskan.
    Orang yang mampu mengendalikan dirinya dalam kebutuhan dasarnya, diharapkan mampu mengontrol dirinya dari kebutuhan nafsu lainnya, sehingga mudah dipahami bahwa syarat sahnya puasa dalam ajaran Islam adalah “menahan diri dari makan, minum dan hubungan seksual”.
     Naluri para binatang secara alami telah mengatur jenis, kadar, waktu makan, waktu tidur dan hubungan seksualnya, sedangkan naluri manusia tidak seperti binatang, karena manusia memperoleh kebebasan yang dapat menguntungkan dan malah membahayakan manusia sendiri.
     Agama datang untuk mengatur kebebasan manusia dalam mengendalikan nafsunya, karena kenyataan menunjukkan bahwa manusia yang mengosumsi makanan melebihi kebutuhan jasmaninya, maka dia tidak dapat menikmati makanan dan minuman tersebut yang akan mengurangi aktivitas dan menjadikannya lesu sepanjang hari.
    Naluri hubungan seksual dan kebutuhan nafsu lainnya apabila diikuti tidak akan pernah terpuaskan, seperti perasaan gatal (eksim), semakin digaruk akan semakin tidak menyembuhkan bahkan akan menimbulkan infeksi.
     Manusia memerlukan obat yang mujarab sebagai latihan untuk mengendalikan kebutuhan nafsunya, dan salah satu obat yang ditempuh oleh agama untuk mengendalian nafsu adalah syariat berpuasa.
       Nabi bersabda,”Terdapat dua kegembiraan dan kenikmatan yang diperoleh oleh orang-orang yang berpuasa, yaitu kenikmatan pada waktu berbuka dan kenikmatan pada saat kelak ketika berjumpa dengan Allah”.
      Besarnya kenikmatan rohani melebihi kenikmatan jasmani, seperti kenikmatan rohani dalam berpuasa hanya dapat dirasakan oleh yang mengalaminya sendiri, sungguh disayangkan apabila terdapat orang yang tidak pernah merasakan kenikmatan berpuasa karena tidak pernah mencobanya.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

530. NIKMAT

KENIKMATAN BERPUASA
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

    Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang kenikmatan berpuasa  Ramadan menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
    Kata “puasa” atau “shiam” dalam bahasa Al-Quran artinya “menahan diri”,  dan  Al-Quran ketika menetapkan kewajiban puasa tidak menegaskan bahwa kewajiban tersebut datangnya dari Allah, tetapi redaksi yang digunakan adalah dalam bentuk pasif, yaitu ”Diwajibkan atas kamu berpuasa”.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 183.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

       “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
      Agaknya, redaksi tersebut sengaja dipilih untuk mengisyaratkan bahwa kewajiban berpuasa tidak harus datangnya dari Allah, tetapi manusia itu sendiri akan mewajibkan dirinya sendiri berpuasa  apabila menyadari betapa banyaknya manfaat berpuasa.
     Manusia diciptakan oleh Allah dari unsur tanah dan roh AIlah, maka unsur tanah mendorongnya memenuhi kebutuhan jasmani, sedangkan roh Allah mengantarkannya kepada hal yang bersifat rohaniah.
     Kebutuhan jasmani manusia, terutama kebutuhan “fa'ali”, yaitu kebutuhan makan, minum dan hubungan seks menempati tempat teratas dari segala macam kebutuhan manusia, dan daya tarik makan, minum, dan hubungan seks sangat kuat sehingga sering kali menjerumuskan.
    Orang yang mampu mengendalikan dirinya dalam kebutuhan dasarnya, diharapkan mampu mengontrol dirinya dari kebutuhan nafsu lainnya, sehingga mudah dipahami bahwa syarat sahnya puasa dalam ajaran Islam adalah “menahan diri dari makan, minum dan hubungan seksual”.
     Naluri para binatang secara alami telah mengatur jenis, kadar, waktu makan, waktu tidur dan hubungan seksualnya, sedangkan naluri manusia tidak seperti binatang, karena manusia memperoleh kebebasan yang dapat menguntungkan dan malah membahayakan manusia sendiri.
     Agama datang untuk mengatur kebebasan manusia dalam mengendalikan nafsunya, karena kenyataan menunjukkan bahwa manusia yang mengosumsi makanan melebihi kebutuhan jasmaninya, maka dia tidak dapat menikmati makanan dan minuman tersebut yang akan mengurangi aktivitas dan menjadikannya lesu sepanjang hari.
    Naluri hubungan seksual dan kebutuhan nafsu lainnya apabila diikuti tidak akan pernah terpuaskan, seperti perasaan gatal (eksim), semakin digaruk akan semakin tidak menyembuhkan bahkan akan menimbulkan infeksi.
     Manusia memerlukan obat yang mujarab sebagai latihan untuk mengendalikan kebutuhan nafsunya, dan salah satu obat yang ditempuh oleh agama untuk mengendalian nafsu adalah syariat berpuasa.
       Nabi bersabda,”Terdapat dua kegembiraan dan kenikmatan yang diperoleh oleh orang-orang yang berpuasa, yaitu kenikmatan pada waktu berbuka dan kenikmatan pada saat kelak ketika berjumpa dengan Allah”.
      Besarnya kenikmatan rohani melebihi kenikmatan jasmani, seperti kenikmatan rohani dalam berpuasa hanya dapat dirasakan oleh yang mengalaminya sendiri, sungguh disayangkan apabila terdapat orang yang tidak pernah merasakan kenikmatan berpuasa karena tidak pernah mencobanya.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

530. NIKMAT

KENIKMATAN BERPUASA
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

    Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang kenikmatan berpuasa  Ramadan menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
    Kata “puasa” atau “shiam” dalam bahasa Al-Quran artinya “menahan diri”,  dan  Al-Quran ketika menetapkan kewajiban puasa tidak menegaskan bahwa kewajiban tersebut datangnya dari Allah, tetapi redaksi yang digunakan adalah dalam bentuk pasif, yaitu ”Diwajibkan atas kamu berpuasa”.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 183.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

       “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”.
      Agaknya, redaksi tersebut sengaja dipilih untuk mengisyaratkan bahwa kewajiban berpuasa tidak harus datangnya dari Allah, tetapi manusia itu sendiri akan mewajibkan dirinya sendiri berpuasa  apabila menyadari betapa banyaknya manfaat berpuasa.
     Manusia diciptakan oleh Allah dari unsur tanah dan roh AIlah, maka unsur tanah mendorongnya memenuhi kebutuhan jasmani, sedangkan roh Allah mengantarkannya kepada hal yang bersifat rohaniah.
     Kebutuhan jasmani manusia, terutama kebutuhan “fa'ali”, yaitu kebutuhan makan, minum dan hubungan seks menempati tempat teratas dari segala macam kebutuhan manusia, dan daya tarik makan, minum, dan hubungan seks sangat kuat sehingga sering kali menjerumuskan.
    Orang yang mampu mengendalikan dirinya dalam kebutuhan dasarnya, diharapkan mampu mengontrol dirinya dari kebutuhan nafsu lainnya, sehingga mudah dipahami bahwa syarat sahnya puasa dalam ajaran Islam adalah “menahan diri dari makan, minum dan hubungan seksual”.
     Naluri para binatang secara alami telah mengatur jenis, kadar, waktu makan, waktu tidur dan hubungan seksualnya, sedangkan naluri manusia tidak seperti binatang, karena manusia memperoleh kebebasan yang dapat menguntungkan dan malah membahayakan manusia sendiri.
     Agama datang untuk mengatur kebebasan manusia dalam mengendalikan nafsunya, karena kenyataan menunjukkan bahwa manusia yang mengosumsi makanan melebihi kebutuhan jasmaninya, maka dia tidak dapat menikmati makanan dan minuman tersebut yang akan mengurangi aktivitas dan menjadikannya lesu sepanjang hari.
    Naluri hubungan seksual dan kebutuhan nafsu lainnya apabila diikuti tidak akan pernah terpuaskan, seperti perasaan gatal (eksim), semakin digaruk akan semakin tidak menyembuhkan bahkan akan menimbulkan infeksi.
     Manusia memerlukan obat yang mujarab sebagai latihan untuk mengendalikan kebutuhan nafsunya, dan salah satu obat yang ditempuh oleh agama untuk mengendalian nafsu adalah syariat berpuasa.
       Nabi bersabda,”Terdapat dua kegembiraan dan kenikmatan yang diperoleh oleh orang-orang yang berpuasa, yaitu kenikmatan pada waktu berbuka dan kenikmatan pada saat kelak ketika berjumpa dengan Allah”.
      Besarnya kenikmatan rohani melebihi kenikmatan jasmani, seperti kenikmatan rohani dalam berpuasa hanya dapat dirasakan oleh yang mengalaminya sendiri, sungguh disayangkan apabila terdapat orang yang tidak pernah merasakan kenikmatan berpuasa karena tidak pernah mencobanya.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

Thursday, November 30, 2017

529. MAKNA

MEMAHAMI MAKNA RAMADAN
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

    Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang makna Ramadan menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
      Kata “Ramadan” terambil dari akar kata yang artinya “membakar” atau “mengasah”, dan dinamakan bulan “Ramadan” (membakar) karena pada bulan ini semua dosa manusia pupus, habis terbakar, disebabkan kesadaran dan amal kebaikannya.
    Dinamakan bulan “Ramadan” (mengasah) karena bulan tersebut dijadikan sebagai waktu untuk “mengasah” dan “mengasuh” jiwa manusia, dan bulan Ramadan juga diibaratkan sebagai tanah subur yang siap ditaburi benih-benih kebajikan.
    Semua orang dipersilakan untuk menabur, kemudian pada waktunya menuai hasil sesuai dengan benih yang ditanamnya, dan bagi yang lalai, maka  tanah garapannya hanya akan ditumbuhi rerumputan yang tidak berguna.
     Berpuasa selama bulan Ramadan adalah usaha manusia sebagai makhluk Allah dengan sekuat kemampuannya untuk mencontoh sifat-sifat yang mulia dari Allah, misalnya sifat-sifat Allah yang “tidak makan dan tidak minum, bahkan memberikan makan dan minum”, serta “tidak mempunyai anak dan tidak dilahirkan”.
     Manusia yang berpuasa berusaha mencontoh sifat Allah yang tidak makan dan tidak minum, padahal makan dan minum adalah kebutuhan primer manusia, sehingga apabila manusia mampu mengendalikannya, maka kebutuhan yang lainnya akan mudah dikendalikan.
     Dalam segi hikmah dan tujuan berpuasa, manusia seharusnya mencontoh dalam keseluruhan sifat-sifat Allah yang mulia, dan hakikat berpuasa adalah menabur benih yang dapat manusia mengantarkan kepada "bersikap dan bersifat dengan sikap dan sifat Allah”, sehingga sikap dan sifat yang mulia tersebut dapat menghiasi dirinya  dalam bersikap, berperilaku dan cara berpikirnya.
      Allah Maha Hidup, Maha Berpengetahuan, Maha Kaya, Maha Pengasih, Maha Damai, terhadap semua makhluk-Nya, serta perlu dicatat bahwa yang dimaksudkan dengan “hidup” bukan sekadar menarik dan menghembuskan nafas.
    Tetapi, yang diamksudkan dengan “hidup” adalah yang sejalan dengan sifat Allah Maha Yang Hidup yang sesuai dengan kemampuan manusia, yakni hidup  berkesinambungan yang melampaui batas generasi, umat, dan bangsa, yang akan dapat  dicapai melalui kerja keras tanpa berhenti.
      Al-Quran surah ke-55 ayat 29 menyatakan bahwa Allah setiap saat dalam kesibukan.

يَسْأَلُهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ
    
    “Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan”.
      Karya besar Nabi justru terjadi pada bulan Ramadan, misalnya kemenangan dalam Perang Badar, dan keberhasilan menguasai kota Mekah tanpa pertumpahan darah, dan sebagainya.
     Kemenangan umat Islam sepeninggal Nabi yang terjadi dalam bulan Ramadan,  misalnya kemenangan pasukan Muslim di Spanyol terjadi pada bulan Ramadan  (91H/710 M), kemenangan dalam Perang Salib (584 H/1188 M), kemenangan melawan pasukan Tartar (658 H/1168 M), dan banyak lainnya.
     Proklamasi Kemerdekaan bangsa Indonesia juga tercapai pada hari Jumat Legi bulan  Ramadan, sehingga selama bulan Ramadan tetap semangat kerja seperti bulan lainnya untuk membangun peradaban manusia yang lebih baik.

Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

529. MAKNA

MEMAHAMI MAKNA RAMADAN
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

    Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang makna Ramadan menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
      Kata “Ramadan” terambil dari akar kata yang artinya “membakar” atau “mengasah”, dan dinamakan bulan “Ramadan” (membakar) karena pada bulan ini semua dosa manusia pupus, habis terbakar, disebabkan kesadaran dan amal kebaikannya.
    Dinamakan bulan “Ramadan” (mengasah) karena bulan tersebut dijadikan sebagai waktu untuk “mengasah” dan “mengasuh” jiwa manusia, dan bulan Ramadan juga diibaratkan sebagai tanah subur yang siap ditaburi benih-benih kebajikan.
    Semua orang dipersilakan untuk menabur, kemudian pada waktunya menuai hasil sesuai dengan benih yang ditanamnya, dan bagi yang lalai, maka  tanah garapannya hanya akan ditumbuhi rerumputan yang tidak berguna.
     Berpuasa selama bulan Ramadan adalah usaha manusia sebagai makhluk Allah dengan sekuat kemampuannya untuk mencontoh sifat-sifat yang mulia dari Allah, misalnya sifat-sifat Allah yang “tidak makan dan tidak minum, bahkan memberikan makan dan minum”, serta “tidak mempunyai anak dan tidak dilahirkan”.
     Manusia yang berpuasa berusaha mencontoh sifat Allah yang tidak makan dan tidak minum, padahal makan dan minum adalah kebutuhan primer manusia, sehingga apabila manusia mampu mengendalikannya, maka kebutuhan yang lainnya akan mudah dikendalikan.
     Dalam segi hikmah dan tujuan berpuasa, manusia seharusnya mencontoh dalam keseluruhan sifat-sifat Allah yang mulia, dan hakikat berpuasa adalah menabur benih yang dapat manusia mengantarkan kepada "bersikap dan bersifat dengan sikap dan sifat Allah”, sehingga sikap dan sifat yang mulia tersebut dapat menghiasi dirinya  dalam bersikap, berperilaku dan cara berpikirnya.
      Allah Maha Hidup, Maha Berpengetahuan, Maha Kaya, Maha Pengasih, Maha Damai, terhadap semua makhluk-Nya, serta perlu dicatat bahwa yang dimaksudkan dengan “hidup” bukan sekadar menarik dan menghembuskan nafas.
    Tetapi, yang diamksudkan dengan “hidup” adalah yang sejalan dengan sifat Allah Maha Yang Hidup yang sesuai dengan kemampuan manusia, yakni hidup  berkesinambungan yang melampaui batas generasi, umat, dan bangsa, yang akan dapat  dicapai melalui kerja keras tanpa berhenti.
      Al-Quran surah ke-55 ayat 29 menyatakan bahwa Allah setiap saat dalam kesibukan.

يَسْأَلُهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ ۚ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ
    
    “Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan”.
      Karya besar Nabi justru terjadi pada bulan Ramadan, misalnya kemenangan dalam Perang Badar, dan keberhasilan menguasai kota Mekah tanpa pertumpahan darah, dan sebagainya.
     Kemenangan umat Islam sepeninggal Nabi yang terjadi dalam bulan Ramadan,  misalnya kemenangan pasukan Muslim di Spanyol terjadi pada bulan Ramadan  (91H/710 M), kemenangan dalam Perang Salib (584 H/1188 M), kemenangan melawan pasukan Tartar (658 H/1168 M), dan banyak lainnya.
     Proklamasi Kemerdekaan bangsa Indonesia juga tercapai pada hari Jumat Legi bulan  Ramadan, sehingga selama bulan Ramadan tetap semangat kerja seperti bulan lainnya untuk membangun peradaban manusia yang lebih baik.

Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online