Organisasi Profesi Guru

Presiden Jokowi memberi hormat kepada Guru-Guru se Indonesia.

Tema Gambar Slide 2

Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.

Tema Gambar Slide 3

Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.

Saturday, December 2, 2017

535. HAJI

PANGGILAN IBADAH HAJI
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

    Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang panggilan ibadah haji?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
      Al-Quran surah Al-Haj, surah ke-22  ayat 27.

وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ

      “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh”.
    Allah memerintahkan kepada Nabi Ibrahim, “Kumandangkanlah panggilan kepada manusia untuk melaksanakan ibadah haji”. Nabi Ibrahim menjawab,”Ya Allah, suara saya tidak akan terdengar oleh seluruh manusia”. Kemudian Allah berfirman,”Yang penting serukan panggilan itu, Kami yang akan memperdengarkannya”.
     Sungguh Maha Benar Allah, sekarang ini semua umat Islam di seluruh pelosok penjuru dunia, pasti pernah mendengar adanya panggilan ibadah haji, dan memahami  adanya kewajiban ibadah haji sebagai tamu-tamu Allah.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2  ayat 197.

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ ۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ ۗ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ ۗ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَىٰ ۚ وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ
   
     “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.”
     Al-Quran menjelaskan kepada para tamu undangan untuk beribadah haji, “Datanglah dengan membawa bekal", itulah kelak yang akan menentukan “layanan Tuan rumah” kepada para tamu.
      Kakbah adalah “rumah” Allah tanpa warna warni yang mengesankan kesederhanaan, dan bangunan Kabah dapat mengarah ke mana saja, karena dari mana pun para tamu masuk, asalkan membawa bekal yang baik, maka para tamu akan diterima oleh Allah.
     Terdapat tata cara “protokoler” yang ditetapkan oleh Allah, yang mungkin  menimbulkan pertanyaan atau mungkin ditertawakan apabila bekal yang dibawa tidak mencukupi.
     Para tamu Allah diminta untuk mengelilingi bangunan Kakbah, mondar mandir antara bukit Sofa dan Marwa, melontar dengan kerikil kecil, mencium batu hitam Hajar Aswad, pakaian yang dikenakan oleh lelaki tidak boleh berjahit, alas kaki jangan menutup mata kaki, dan ketika berpakaian ihram, maka tidak boleh berhias lagi.
     Menyisir rambut, menggunting kuku, dan mencabut bulu apabila dilakukan akan terkena denda, lebih-lebih lagi bercumbu suami dan istri, membunuh binatang, dan  mencabut tumbuhan akan terkena “dam” (denda).
     Banyak sekali pengunjung di sekeliling Kakbah, sehingga banyak kepentingan yang dapat berbenturan, serta terdapat penggoda, setan dan iblis banyak yang berkeliaran menanti mangsa atau mencari pengikut.
      Apabila bekal kita tidak cukup, maka bukan “rumah” Allah yang kita jumpai, tetapi sarang iblis yang akan kita huni, dan bekal yang terbaik adalah “takwa”, yaitu nama  himpunan simpul keagamaan yang mencakup pengetahuan, ketabahan, keikhlasan, kesadaran akan jati diri, serta persamaan manusia dan kelemahannya di hadapan Allah.
      Dengan bekal pengetahuan, sang tamu akan sadar bahwa apa yang dilihat dan dilakukannya adalah simbol yang penuh makna, dan apabila dihayati akan mengantarkannya ke dalam pemahaman bahwa “rumah” Allah yang mengarah ke segala arah melambangkan Allah yang berada di segala arah.
    Ketika kesadaran ini muncul, maka tanpa segan para tamu akan mencium atau atau  melambaikan tangan ke arah batu hitam “Hajar Aswad”, karena melambangkan “tangan” Allah yang diulurkan untuk menerima para tamunya yang datang dan  mengikat janji setia.
     Dengan bekal kesadaran akan persamaan manusia dan kelemahannya di hadapan Allah, maka para tamu akan melepaskan atribut “kebesaran dunia” pada saat  melepaskan pakaian sehari-harinya dan menggantinya dengan  pakaian ihram.
    Sejak saat inilah para tamu Allah tidak gampang tersinggung, dan tidak cepat marah, karena perasaan “kesombongannya” telah ditinggalkannya dan diganti dengan perasaan tunduk dan patuh dihadapan Allah.
     Langkah pertama untuk memperoleh dan menjaga bekal takwa adalah dengan meluruskan niat, menyingkirkan segala rayuan, menghapus semua iming-iming dunia, dan hanya menghadapkan wajah kepada Allah semata.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2  ayat 196.

وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ ۚ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ ۖ وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ ۚ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ ۚ فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ ۚ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ ۗ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ۗ ذَٰلِكَ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

      “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan `umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidiah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan `umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidiah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidilharam (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya”.
      Sempurnakan haji dan umrah karena Allah semata, karena Nabi bersabda,”Nilai setiap perbuatan ditentukan oleh niat pelakunya”.

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ

      “Sesungguhnya, semua amal perbuatan tergantung kepada niatnya”.

Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

535. HAJI

PANGGILAN IBADAH HAJI
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

    Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang panggilan ibadah haji?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
      Al-Quran surah Al-Haj, surah ke-22  ayat 27.

وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ

      “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh”.
    Allah memerintahkan kepada Nabi Ibrahim, “Kumandangkanlah panggilan kepada manusia untuk melaksanakan ibadah haji”. Nabi Ibrahim menjawab,”Ya Allah, suara saya tidak akan terdengar oleh seluruh manusia”. Kemudian Allah berfirman,”Yang penting serukan panggilan itu, Kami yang akan memperdengarkannya”.
     Sungguh Maha Benar Allah, sekarang ini semua umat Islam di seluruh pelosok penjuru dunia, pasti pernah mendengar adanya panggilan ibadah haji, dan memahami  adanya kewajiban ibadah haji sebagai tamu-tamu Allah.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2  ayat 197.

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ ۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ ۗ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ ۗ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَىٰ ۚ وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ
   
     “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.”
     Al-Quran menjelaskan kepada para tamu undangan untuk beribadah haji, “Datanglah dengan membawa bekal", itulah kelak yang akan menentukan “layanan Tuan rumah” kepada para tamu.
      Kakbah adalah “rumah” Allah tanpa warna warni yang mengesankan kesederhanaan, dan bangunan Kabah dapat mengarah ke mana saja, karena dari mana pun para tamu masuk, asalkan membawa bekal yang baik, maka para tamu akan diterima oleh Allah.
     Terdapat tata cara “protokoler” yang ditetapkan oleh Allah, yang mungkin  menimbulkan pertanyaan atau mungkin ditertawakan apabila bekal yang dibawa tidak mencukupi.
     Para tamu Allah diminta untuk mengelilingi bangunan Kakbah, mondar mandir antara bukit Sofa dan Marwa, melontar dengan kerikil kecil, mencium batu hitam Hajar Aswad, pakaian yang dikenakan oleh lelaki tidak boleh berjahit, alas kaki jangan menutup mata kaki, dan ketika berpakaian ihram, maka tidak boleh berhias lagi.
     Menyisir rambut, menggunting kuku, dan mencabut bulu apabila dilakukan akan terkena denda, lebih-lebih lagi bercumbu suami dan istri, membunuh binatang, dan  mencabut tumbuhan akan terkena “dam” (denda).
     Banyak sekali pengunjung di sekeliling Kakbah, sehingga banyak kepentingan yang dapat berbenturan, serta terdapat penggoda, setan dan iblis banyak yang berkeliaran menanti mangsa atau mencari pengikut.
      Apabila bekal kita tidak cukup, maka bukan “rumah” Allah yang kita jumpai, tetapi sarang iblis yang akan kita huni, dan bekal yang terbaik adalah “takwa”, yaitu nama  himpunan simpul keagamaan yang mencakup pengetahuan, ketabahan, keikhlasan, kesadaran akan jati diri, serta persamaan manusia dan kelemahannya di hadapan Allah.
      Dengan bekal pengetahuan, sang tamu akan sadar bahwa apa yang dilihat dan dilakukannya adalah simbol yang penuh makna, dan apabila dihayati akan mengantarkannya ke dalam pemahaman bahwa “rumah” Allah yang mengarah ke segala arah melambangkan Allah yang berada di segala arah.
    Ketika kesadaran ini muncul, maka tanpa segan para tamu akan mencium atau atau  melambaikan tangan ke arah batu hitam “Hajar Aswad”, karena melambangkan “tangan” Allah yang diulurkan untuk menerima para tamunya yang datang dan  mengikat janji setia.
     Dengan bekal kesadaran akan persamaan manusia dan kelemahannya di hadapan Allah, maka para tamu akan melepaskan atribut “kebesaran dunia” pada saat  melepaskan pakaian sehari-harinya dan menggantinya dengan  pakaian ihram.
    Sejak saat inilah para tamu Allah tidak gampang tersinggung, dan tidak cepat marah, karena perasaan “kesombongannya” telah ditinggalkannya dan diganti dengan perasaan tunduk dan patuh dihadapan Allah.
     Langkah pertama untuk memperoleh dan menjaga bekal takwa adalah dengan meluruskan niat, menyingkirkan segala rayuan, menghapus semua iming-iming dunia, dan hanya menghadapkan wajah kepada Allah semata.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2  ayat 196.

وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ ۚ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ ۖ وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ ۚ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ ۚ فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ ۚ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ ۗ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ۗ ذَٰلِكَ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

      “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan `umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidiah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan `umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidiah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidilharam (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya”.
      Sempurnakan haji dan umrah karena Allah semata, karena Nabi bersabda,”Nilai setiap perbuatan ditentukan oleh niat pelakunya”.

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ

      “Sesungguhnya, semua amal perbuatan tergantung kepada niatnya”.

Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

535. HAJI

PANGGILAN IBADAH HAJI
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

    Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang panggilan ibadah haji?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
      Al-Quran surah Al-Haj, surah ke-22  ayat 27.

وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ

      “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh”.
    Allah memerintahkan kepada Nabi Ibrahim, “Kumandangkanlah panggilan kepada manusia untuk melaksanakan ibadah haji”. Nabi Ibrahim menjawab,”Ya Allah, suara saya tidak akan terdengar oleh seluruh manusia”. Kemudian Allah berfirman,”Yang penting serukan panggilan itu, Kami yang akan memperdengarkannya”.
     Sungguh Maha Benar Allah, sekarang ini semua umat Islam di seluruh pelosok penjuru dunia, pasti pernah mendengar adanya panggilan ibadah haji, dan memahami  adanya kewajiban ibadah haji sebagai tamu-tamu Allah.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2  ayat 197.

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ ۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ ۗ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ ۗ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَىٰ ۚ وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ
   
     “(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.”
     Al-Quran menjelaskan kepada para tamu undangan untuk beribadah haji, “Datanglah dengan membawa bekal", itulah kelak yang akan menentukan “layanan Tuan rumah” kepada para tamu.
      Kakbah adalah “rumah” Allah tanpa warna warni yang mengesankan kesederhanaan, dan bangunan Kabah dapat mengarah ke mana saja, karena dari mana pun para tamu masuk, asalkan membawa bekal yang baik, maka para tamu akan diterima oleh Allah.
     Terdapat tata cara “protokoler” yang ditetapkan oleh Allah, yang mungkin  menimbulkan pertanyaan atau mungkin ditertawakan apabila bekal yang dibawa tidak mencukupi.
     Para tamu Allah diminta untuk mengelilingi bangunan Kakbah, mondar mandir antara bukit Sofa dan Marwa, melontar dengan kerikil kecil, mencium batu hitam Hajar Aswad, pakaian yang dikenakan oleh lelaki tidak boleh berjahit, alas kaki jangan menutup mata kaki, dan ketika berpakaian ihram, maka tidak boleh berhias lagi.
     Menyisir rambut, menggunting kuku, dan mencabut bulu apabila dilakukan akan terkena denda, lebih-lebih lagi bercumbu suami dan istri, membunuh binatang, dan  mencabut tumbuhan akan terkena “dam” (denda).
     Banyak sekali pengunjung di sekeliling Kakbah, sehingga banyak kepentingan yang dapat berbenturan, serta terdapat penggoda, setan dan iblis banyak yang berkeliaran menanti mangsa atau mencari pengikut.
      Apabila bekal kita tidak cukup, maka bukan “rumah” Allah yang kita jumpai, tetapi sarang iblis yang akan kita huni, dan bekal yang terbaik adalah “takwa”, yaitu nama  himpunan simpul keagamaan yang mencakup pengetahuan, ketabahan, keikhlasan, kesadaran akan jati diri, serta persamaan manusia dan kelemahannya di hadapan Allah.
      Dengan bekal pengetahuan, sang tamu akan sadar bahwa apa yang dilihat dan dilakukannya adalah simbol yang penuh makna, dan apabila dihayati akan mengantarkannya ke dalam pemahaman bahwa “rumah” Allah yang mengarah ke segala arah melambangkan Allah yang berada di segala arah.
    Ketika kesadaran ini muncul, maka tanpa segan para tamu akan mencium atau atau  melambaikan tangan ke arah batu hitam “Hajar Aswad”, karena melambangkan “tangan” Allah yang diulurkan untuk menerima para tamunya yang datang dan  mengikat janji setia.
     Dengan bekal kesadaran akan persamaan manusia dan kelemahannya di hadapan Allah, maka para tamu akan melepaskan atribut “kebesaran dunia” pada saat  melepaskan pakaian sehari-harinya dan menggantinya dengan  pakaian ihram.
    Sejak saat inilah para tamu Allah tidak gampang tersinggung, dan tidak cepat marah, karena perasaan “kesombongannya” telah ditinggalkannya dan diganti dengan perasaan tunduk dan patuh dihadapan Allah.
     Langkah pertama untuk memperoleh dan menjaga bekal takwa adalah dengan meluruskan niat, menyingkirkan segala rayuan, menghapus semua iming-iming dunia, dan hanya menghadapkan wajah kepada Allah semata.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2  ayat 196.

وَأَتِمُّوا الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ لِلَّهِ ۚ فَإِنْ أُحْصِرْتُمْ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ ۖ وَلَا تَحْلِقُوا رُءُوسَكُمْ حَتَّىٰ يَبْلُغَ الْهَدْيُ مَحِلَّهُ ۚ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ ۚ فَإِذَا أَمِنْتُمْ فَمَنْ تَمَتَّعَ بِالْعُمْرَةِ إِلَى الْحَجِّ فَمَا اسْتَيْسَرَ مِنَ الْهَدْيِ ۚ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ فِي الْحَجِّ وَسَبْعَةٍ إِذَا رَجَعْتُمْ ۗ تِلْكَ عَشَرَةٌ كَامِلَةٌ ۗ ذَٰلِكَ لِمَنْ لَمْ يَكُنْ أَهْلُهُ حَاضِرِي الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

      “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan `umrah karena Allah. Jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), maka (sembelihlah) korban yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu, sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidiah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan `umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. Demikian itu (kewajiban membayar fidiah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar) Masjidilharam (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya”.
      Sempurnakan haji dan umrah karena Allah semata, karena Nabi bersabda,”Nilai setiap perbuatan ditentukan oleh niat pelakunya”.

إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ

      “Sesungguhnya, semua amal perbuatan tergantung kepada niatnya”.

Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

Friday, December 1, 2017

534. ZAKAT

MEMAHAMI MAKNA ZAKAT
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

    Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang makna zakat menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya
      Bulan Ramadan adalah bulan ibadah dan “taqarrub” (pendekatan diri) kepada Allah, dan bulan Ramadan dijadikan pula oleh masyarakat sebagai bulan zakat dan sedekah, meskipun pada hakikatnya zakat harta dan sedekah tidak mutlak harus dikaitkan dengan bulan Ramadan.
     Karena banyaknya wajib zakat dan orang-orang yang tergugah hatinya untuk bersedekah pada bulan Ramadan, maka tidak heran apabila banyak terlihat kaum “mustadh'afin” (miskin dan lemah) yang hilir mudik dengan “membuang perasaan malu”, untuk mendapatkan haknya, sehingga terlihat semacam “pameran kemiskinan”,  yang tidak direstui oleh agama.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 43.

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

     “Dan dirikan salat, tunaikan zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk”.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 110.

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
    
    “Dan dirikan salat dan tunaikan zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan”.
      Ayat Al-Quran yang menyangkut kewajiban berzakat dalam redaksinya selalu digambarkan dengan kata “atu”, yang dari akarnya dapat dibentuk berbagai ragam kata dan mengandung berbagai makna.
     Kata “atu” bisa diartikan “istiqamah” (bersikap jujur dan konsekuen), “cepat”, “pelaksanaan dengan amat sempurna”, “memudahkan jalan”, “mengantar kepada”, “seorang yang agung lagi bijaksana”, dan lainnya.
     Jika semua makna yang dikandung oleh kata “atu” dihayati, maka kita akan memperoleh gambaran yang sangat jelas dan indah tentang cara menunaikan kewajiban zakat.
      Dalam bahasa Al-Quran ketika mengeluarkan zakat diusahakan memenuhi berikut.
      Pertama, zakat harus dikeluarkan dengan sikap “istikamah” (teguh pendirian dan selalu konsisten) sehingga tidak terjadi kecurangan  dalam perhitungan, pemilihan dan pembagiannya.
     Kedua, bergegas dan bercepat-cepat dalam pengeluaran zakat, artinya tidak senang menunda-nunda dan mengulur-ulur, sehingga waktunya berlalu.
     Ketiga, mempermudah pembagian dan penyaluran penerimaan zakat, dengan mengusahakan mengantarkannya kepada yang berhak, untuk menghindari “pameran kemiskinan” dan menumbuhkan perasaan malu untuk menjadi “pengemis”
     Keempat, para panitia petugas penerima dan penyalur zakat adalah orang-orang yang terpilih karena sikapnya  yang baik, santun, terpercaya, luwes, dan bijaksana.
     Apabila persyaratan di atas dipenuhi, maka dapat diyakini bahwa harta benda yang dikeluarkan benar-benar menjadi zakat dalam arti “menyucikan” dan “mengembangkan” jiwa dan harta benda milik para “muzaki” (orang yang wajib membayar zakat).
     Kesucian jiwa akan melahirkan ketenangan dan ketenteraan batin bagi si pemberi dan penerima zakat, karena zakat dapat menghilangkan benih kedengkian dan iri hati orang-orang yang miskin dan lemah ketika melihat orang-orang yang kaya, tetapi tidak mau dan enggan mengulurkan bantuan kepada orang yang membutuhkan.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 276.

يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
    
      “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa”.
     Pengembangan harta dengan berzakat, ditinjau dalam aspek spiritual keagamaan berdasarkan ayat Allah dengan cara memusnahkan riba dan mengembangkan sedekah / zakat, tetapi zakat juga harus ditinjau secara ekonomis-psikologis, yaitu dengan adanya ketenangan batin pemberi zakat.
      Dengan berzakat, maka seseorang dapat lebih mengkonsentrasikan usaha dan pemikirannya guna pengembangan hartanya, dan pemberian zakat mendorong terciptanya daya beli baru dan daya produksi dan para penerima tersebut.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online


Tuntunan bagi Si Pemberi dan Si Peminta
(LOST PAGE)
Imam Ahmad Ibn HanbaJ ditanya mengenai kapan seseorang diperbolehkan
meminta. "Ketika ia tidak memperoleh makan malam maupun
siang," demikian jawaban pakar hukum dan hadis ini. Dari sini diketahui
bahwa bagi orang yang meminta sesuatu yang bersifat materi - bila ia
Muslim yang baik lagi mengerti - benar-benar adalah dia yang sangat
membutuhkan. Dalam konteks inilah Al-Quran berpesan, jika ada orang yang
meminta maka janganlah dihardik (lihat QS 80: 8-10). Dan dalam konteks
ini pula yang berpunya diharapkan memberi sebelum diminta.
Ketika Umar r.a. diberi sesuatu oleh Nabi, ia menolak: "Berikanlah kepada
yang lebih miskin." 'Terimalah pemberian selama engkau tidak meminta. Itu
adalah rizki Tuhan, gunakan atau sedekahkan. Engkau boleh menerima
selama tidak menengadahkan kepala kepada yang berpunya untuk menanti
pemberiannya," demikian pesan Nabi.
"Demi Tuhan yang jiwaku ada di tangan-Nya, aku tidak pernah akan
meminta, tetapi tidak pula akan menolak selama diberi," demikian Umar
r.a. bersumpah (HR Muslim dan Nasai).
Inilah sebagian petunjuk agama yang perlu dihayati oleh setiap orang agar
tidak terlihat pamer kemiskinan di persada bumi ini.[]
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

534. ZAKAT

MEMAHAMI MAKNA ZAKAT
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

    Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang makna zakat menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya
      Bulan Ramadan adalah bulan ibadah dan “taqarrub” (pendekatan diri) kepada Allah, dan bulan Ramadan dijadikan pula oleh masyarakat sebagai bulan zakat dan sedekah, meskipun pada hakikatnya zakat harta dan sedekah tidak mutlak harus dikaitkan dengan bulan Ramadan.
     Karena banyaknya wajib zakat dan orang-orang yang tergugah hatinya untuk bersedekah pada bulan Ramadan, maka tidak heran apabila banyak terlihat kaum “mustadh'afin” (miskin dan lemah) yang hilir mudik dengan “membuang perasaan malu”, untuk mendapatkan haknya, sehingga terlihat semacam “pameran kemiskinan”,  yang tidak direstui oleh agama.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 43.

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

     “Dan dirikan salat, tunaikan zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk”.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 110.

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
    
    “Dan dirikan salat dan tunaikan zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan”.
      Ayat Al-Quran yang menyangkut kewajiban berzakat dalam redaksinya selalu digambarkan dengan kata “atu”, yang dari akarnya dapat dibentuk berbagai ragam kata dan mengandung berbagai makna.
     Kata “atu” bisa diartikan “istiqamah” (bersikap jujur dan konsekuen), “cepat”, “pelaksanaan dengan amat sempurna”, “memudahkan jalan”, “mengantar kepada”, “seorang yang agung lagi bijaksana”, dan lainnya.
     Jika semua makna yang dikandung oleh kata “atu” dihayati, maka kita akan memperoleh gambaran yang sangat jelas dan indah tentang cara menunaikan kewajiban zakat.
      Dalam bahasa Al-Quran ketika mengeluarkan zakat diusahakan memenuhi berikut.
      Pertama, zakat harus dikeluarkan dengan sikap “istikamah” (teguh pendirian dan selalu konsisten) sehingga tidak terjadi kecurangan  dalam perhitungan, pemilihan dan pembagiannya.
     Kedua, bergegas dan bercepat-cepat dalam pengeluaran zakat, artinya tidak senang menunda-nunda dan mengulur-ulur, sehingga waktunya berlalu.
     Ketiga, mempermudah pembagian dan penyaluran penerimaan zakat, dengan mengusahakan mengantarkannya kepada yang berhak, untuk menghindari “pameran kemiskinan” dan menumbuhkan perasaan malu untuk menjadi “pengemis”
     Keempat, para panitia petugas penerima dan penyalur zakat adalah orang-orang yang terpilih karena sikapnya  yang baik, santun, terpercaya, luwes, dan bijaksana.
     Apabila persyaratan di atas dipenuhi, maka dapat diyakini bahwa harta benda yang dikeluarkan benar-benar menjadi zakat dalam arti “menyucikan” dan “mengembangkan” jiwa dan harta benda milik para “muzaki” (orang yang wajib membayar zakat).
     Kesucian jiwa akan melahirkan ketenangan dan ketenteraan batin bagi si pemberi dan penerima zakat, karena zakat dapat menghilangkan benih kedengkian dan iri hati orang-orang yang miskin dan lemah ketika melihat orang-orang yang kaya, tetapi tidak mau dan enggan mengulurkan bantuan kepada orang yang membutuhkan.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 276.

يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
    
      “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa”.
     Pengembangan harta dengan berzakat, ditinjau dalam aspek spiritual keagamaan berdasarkan ayat Allah dengan cara memusnahkan riba dan mengembangkan sedekah / zakat, tetapi zakat juga harus ditinjau secara ekonomis-psikologis, yaitu dengan adanya ketenangan batin pemberi zakat.
      Dengan berzakat, maka seseorang dapat lebih mengkonsentrasikan usaha dan pemikirannya guna pengembangan hartanya, dan pemberian zakat mendorong terciptanya daya beli baru dan daya produksi dan para penerima tersebut.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online


Tuntunan bagi Si Pemberi dan Si Peminta
(LOST PAGE)
Imam Ahmad Ibn HanbaJ ditanya mengenai kapan seseorang diperbolehkan
meminta. "Ketika ia tidak memperoleh makan malam maupun
siang," demikian jawaban pakar hukum dan hadis ini. Dari sini diketahui
bahwa bagi orang yang meminta sesuatu yang bersifat materi - bila ia
Muslim yang baik lagi mengerti - benar-benar adalah dia yang sangat
membutuhkan. Dalam konteks inilah Al-Quran berpesan, jika ada orang yang
meminta maka janganlah dihardik (lihat QS 80: 8-10). Dan dalam konteks
ini pula yang berpunya diharapkan memberi sebelum diminta.
Ketika Umar r.a. diberi sesuatu oleh Nabi, ia menolak: "Berikanlah kepada
yang lebih miskin." 'Terimalah pemberian selama engkau tidak meminta. Itu
adalah rizki Tuhan, gunakan atau sedekahkan. Engkau boleh menerima
selama tidak menengadahkan kepala kepada yang berpunya untuk menanti
pemberiannya," demikian pesan Nabi.
"Demi Tuhan yang jiwaku ada di tangan-Nya, aku tidak pernah akan
meminta, tetapi tidak pula akan menolak selama diberi," demikian Umar
r.a. bersumpah (HR Muslim dan Nasai).
Inilah sebagian petunjuk agama yang perlu dihayati oleh setiap orang agar
tidak terlihat pamer kemiskinan di persada bumi ini.[]
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

534. ZAKAT

MEMAHAMI MAKNA ZAKAT
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

    Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang makna zakat menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya
      Bulan Ramadan adalah bulan ibadah dan “taqarrub” (pendekatan diri) kepada Allah, dan bulan Ramadan dijadikan pula oleh masyarakat sebagai bulan zakat dan sedekah, meskipun pada hakikatnya zakat harta dan sedekah tidak mutlak harus dikaitkan dengan bulan Ramadan.
     Karena banyaknya wajib zakat dan orang-orang yang tergugah hatinya untuk bersedekah pada bulan Ramadan, maka tidak heran apabila banyak terlihat kaum “mustadh'afin” (miskin dan lemah) yang hilir mudik dengan “membuang perasaan malu”, untuk mendapatkan haknya, sehingga terlihat semacam “pameran kemiskinan”,  yang tidak direstui oleh agama.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 43.

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

     “Dan dirikan salat, tunaikan zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk”.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 110.

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
    
    “Dan dirikan salat dan tunaikan zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan”.
      Ayat Al-Quran yang menyangkut kewajiban berzakat dalam redaksinya selalu digambarkan dengan kata “atu”, yang dari akarnya dapat dibentuk berbagai ragam kata dan mengandung berbagai makna.
     Kata “atu” bisa diartikan “istiqamah” (bersikap jujur dan konsekuen), “cepat”, “pelaksanaan dengan amat sempurna”, “memudahkan jalan”, “mengantar kepada”, “seorang yang agung lagi bijaksana”, dan lainnya.
     Jika semua makna yang dikandung oleh kata “atu” dihayati, maka kita akan memperoleh gambaran yang sangat jelas dan indah tentang cara menunaikan kewajiban zakat.
      Dalam bahasa Al-Quran ketika mengeluarkan zakat diusahakan memenuhi berikut.
      Pertama, zakat harus dikeluarkan dengan sikap “istikamah” (teguh pendirian dan selalu konsisten) sehingga tidak terjadi kecurangan  dalam perhitungan, pemilihan dan pembagiannya.
     Kedua, bergegas dan bercepat-cepat dalam pengeluaran zakat, artinya tidak senang menunda-nunda dan mengulur-ulur, sehingga waktunya berlalu.
     Ketiga, mempermudah pembagian dan penyaluran penerimaan zakat, dengan mengusahakan mengantarkannya kepada yang berhak, untuk menghindari “pameran kemiskinan” dan menumbuhkan perasaan malu untuk menjadi “pengemis”
     Keempat, para panitia petugas penerima dan penyalur zakat adalah orang-orang yang terpilih karena sikapnya  yang baik, santun, terpercaya, luwes, dan bijaksana.
     Apabila persyaratan di atas dipenuhi, maka dapat diyakini bahwa harta benda yang dikeluarkan benar-benar menjadi zakat dalam arti “menyucikan” dan “mengembangkan” jiwa dan harta benda milik para “muzaki” (orang yang wajib membayar zakat).
     Kesucian jiwa akan melahirkan ketenangan dan ketenteraan batin bagi si pemberi dan penerima zakat, karena zakat dapat menghilangkan benih kedengkian dan iri hati orang-orang yang miskin dan lemah ketika melihat orang-orang yang kaya, tetapi tidak mau dan enggan mengulurkan bantuan kepada orang yang membutuhkan.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 276.

يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
    
      “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa”.
     Pengembangan harta dengan berzakat, ditinjau dalam aspek spiritual keagamaan berdasarkan ayat Allah dengan cara memusnahkan riba dan mengembangkan sedekah / zakat, tetapi zakat juga harus ditinjau secara ekonomis-psikologis, yaitu dengan adanya ketenangan batin pemberi zakat.
      Dengan berzakat, maka seseorang dapat lebih mengkonsentrasikan usaha dan pemikirannya guna pengembangan hartanya, dan pemberian zakat mendorong terciptanya daya beli baru dan daya produksi dan para penerima tersebut.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online


Tuntunan bagi Si Pemberi dan Si Peminta
(LOST PAGE)
Imam Ahmad Ibn HanbaJ ditanya mengenai kapan seseorang diperbolehkan
meminta. "Ketika ia tidak memperoleh makan malam maupun
siang," demikian jawaban pakar hukum dan hadis ini. Dari sini diketahui
bahwa bagi orang yang meminta sesuatu yang bersifat materi - bila ia
Muslim yang baik lagi mengerti - benar-benar adalah dia yang sangat
membutuhkan. Dalam konteks inilah Al-Quran berpesan, jika ada orang yang
meminta maka janganlah dihardik (lihat QS 80: 8-10). Dan dalam konteks
ini pula yang berpunya diharapkan memberi sebelum diminta.
Ketika Umar r.a. diberi sesuatu oleh Nabi, ia menolak: "Berikanlah kepada
yang lebih miskin." 'Terimalah pemberian selama engkau tidak meminta. Itu
adalah rizki Tuhan, gunakan atau sedekahkan. Engkau boleh menerima
selama tidak menengadahkan kepala kepada yang berpunya untuk menanti
pemberiannya," demikian pesan Nabi.
"Demi Tuhan yang jiwaku ada di tangan-Nya, aku tidak pernah akan
meminta, tetapi tidak pula akan menolak selama diberi," demikian Umar
r.a. bersumpah (HR Muslim dan Nasai).
Inilah sebagian petunjuk agama yang perlu dihayati oleh setiap orang agar
tidak terlihat pamer kemiskinan di persada bumi ini.[]
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

534. ZAKAT

MEMAHAMI MAKNA ZAKAT
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

    Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang makna zakat menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya
      Bulan Ramadan adalah bulan ibadah dan “taqarrub” (pendekatan diri) kepada Allah, dan bulan Ramadan dijadikan pula oleh masyarakat sebagai bulan zakat dan sedekah, meskipun pada hakikatnya zakat harta dan sedekah tidak mutlak harus dikaitkan dengan bulan Ramadan.
     Karena banyaknya wajib zakat dan orang-orang yang tergugah hatinya untuk bersedekah pada bulan Ramadan, maka tidak heran apabila banyak terlihat kaum “mustadh'afin” (miskin dan lemah) yang hilir mudik dengan “membuang perasaan malu”, untuk mendapatkan haknya, sehingga terlihat semacam “pameran kemiskinan”,  yang tidak direstui oleh agama.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 43.

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

     “Dan dirikan salat, tunaikan zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk”.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 110.

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
    
    “Dan dirikan salat dan tunaikan zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan”.
      Ayat Al-Quran yang menyangkut kewajiban berzakat dalam redaksinya selalu digambarkan dengan kata “atu”, yang dari akarnya dapat dibentuk berbagai ragam kata dan mengandung berbagai makna.
     Kata “atu” bisa diartikan “istiqamah” (bersikap jujur dan konsekuen), “cepat”, “pelaksanaan dengan amat sempurna”, “memudahkan jalan”, “mengantar kepada”, “seorang yang agung lagi bijaksana”, dan lainnya.
     Jika semua makna yang dikandung oleh kata “atu” dihayati, maka kita akan memperoleh gambaran yang sangat jelas dan indah tentang cara menunaikan kewajiban zakat.
      Dalam bahasa Al-Quran ketika mengeluarkan zakat diusahakan memenuhi berikut.
      Pertama, zakat harus dikeluarkan dengan sikap “istikamah” (teguh pendirian dan selalu konsisten) sehingga tidak terjadi kecurangan  dalam perhitungan, pemilihan dan pembagiannya.
     Kedua, bergegas dan bercepat-cepat dalam pengeluaran zakat, artinya tidak senang menunda-nunda dan mengulur-ulur, sehingga waktunya berlalu.
     Ketiga, mempermudah pembagian dan penyaluran penerimaan zakat, dengan mengusahakan mengantarkannya kepada yang berhak, untuk menghindari “pameran kemiskinan” dan menumbuhkan perasaan malu untuk menjadi “pengemis”
     Keempat, para panitia petugas penerima dan penyalur zakat adalah orang-orang yang terpilih karena sikapnya  yang baik, santun, terpercaya, luwes, dan bijaksana.
     Apabila persyaratan di atas dipenuhi, maka dapat diyakini bahwa harta benda yang dikeluarkan benar-benar menjadi zakat dalam arti “menyucikan” dan “mengembangkan” jiwa dan harta benda milik para “muzaki” (orang yang wajib membayar zakat).
     Kesucian jiwa akan melahirkan ketenangan dan ketenteraan batin bagi si pemberi dan penerima zakat, karena zakat dapat menghilangkan benih kedengkian dan iri hati orang-orang yang miskin dan lemah ketika melihat orang-orang yang kaya, tetapi tidak mau dan enggan mengulurkan bantuan kepada orang yang membutuhkan.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 276.

يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
    
      “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa”.
     Pengembangan harta dengan berzakat, ditinjau dalam aspek spiritual keagamaan berdasarkan ayat Allah dengan cara memusnahkan riba dan mengembangkan sedekah / zakat, tetapi zakat juga harus ditinjau secara ekonomis-psikologis, yaitu dengan adanya ketenangan batin pemberi zakat.
      Dengan berzakat, maka seseorang dapat lebih mengkonsentrasikan usaha dan pemikirannya guna pengembangan hartanya, dan pemberian zakat mendorong terciptanya daya beli baru dan daya produksi dan para penerima tersebut.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online


Tuntunan bagi Si Pemberi dan Si Peminta
(LOST PAGE)
Imam Ahmad Ibn HanbaJ ditanya mengenai kapan seseorang diperbolehkan
meminta. "Ketika ia tidak memperoleh makan malam maupun
siang," demikian jawaban pakar hukum dan hadis ini. Dari sini diketahui
bahwa bagi orang yang meminta sesuatu yang bersifat materi - bila ia
Muslim yang baik lagi mengerti - benar-benar adalah dia yang sangat
membutuhkan. Dalam konteks inilah Al-Quran berpesan, jika ada orang yang
meminta maka janganlah dihardik (lihat QS 80: 8-10). Dan dalam konteks
ini pula yang berpunya diharapkan memberi sebelum diminta.
Ketika Umar r.a. diberi sesuatu oleh Nabi, ia menolak: "Berikanlah kepada
yang lebih miskin." 'Terimalah pemberian selama engkau tidak meminta. Itu
adalah rizki Tuhan, gunakan atau sedekahkan. Engkau boleh menerima
selama tidak menengadahkan kepala kepada yang berpunya untuk menanti
pemberiannya," demikian pesan Nabi.
"Demi Tuhan yang jiwaku ada di tangan-Nya, aku tidak pernah akan
meminta, tetapi tidak pula akan menolak selama diberi," demikian Umar
r.a. bersumpah (HR Muslim dan Nasai).
Inilah sebagian petunjuk agama yang perlu dihayati oleh setiap orang agar
tidak terlihat pamer kemiskinan di persada bumi ini.[]
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

534. ZAKAT

MEMAHAMI MAKNA ZAKAT
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

    Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang makna zakat menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya
      Bulan Ramadan adalah bulan ibadah dan “taqarrub” (pendekatan diri) kepada Allah, dan bulan Ramadan dijadikan pula oleh masyarakat sebagai bulan zakat dan sedekah, meskipun pada hakikatnya zakat harta dan sedekah tidak mutlak harus dikaitkan dengan bulan Ramadan.
     Karena banyaknya wajib zakat dan orang-orang yang tergugah hatinya untuk bersedekah pada bulan Ramadan, maka tidak heran apabila banyak terlihat kaum “mustadh'afin” (miskin dan lemah) yang hilir mudik dengan “membuang perasaan malu”, untuk mendapatkan haknya, sehingga terlihat semacam “pameran kemiskinan”,  yang tidak direstui oleh agama.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 43.

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

     “Dan dirikan salat, tunaikan zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk”.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 110.

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
    
    “Dan dirikan salat dan tunaikan zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan”.
      Ayat Al-Quran yang menyangkut kewajiban berzakat dalam redaksinya selalu digambarkan dengan kata “atu”, yang dari akarnya dapat dibentuk berbagai ragam kata dan mengandung berbagai makna.
     Kata “atu” bisa diartikan “istiqamah” (bersikap jujur dan konsekuen), “cepat”, “pelaksanaan dengan amat sempurna”, “memudahkan jalan”, “mengantar kepada”, “seorang yang agung lagi bijaksana”, dan lainnya.
     Jika semua makna yang dikandung oleh kata “atu” dihayati, maka kita akan memperoleh gambaran yang sangat jelas dan indah tentang cara menunaikan kewajiban zakat.
      Dalam bahasa Al-Quran ketika mengeluarkan zakat diusahakan memenuhi berikut.
      Pertama, zakat harus dikeluarkan dengan sikap “istikamah” (teguh pendirian dan selalu konsisten) sehingga tidak terjadi kecurangan  dalam perhitungan, pemilihan dan pembagiannya.
     Kedua, bergegas dan bercepat-cepat dalam pengeluaran zakat, artinya tidak senang menunda-nunda dan mengulur-ulur, sehingga waktunya berlalu.
     Ketiga, mempermudah pembagian dan penyaluran penerimaan zakat, dengan mengusahakan mengantarkannya kepada yang berhak, untuk menghindari “pameran kemiskinan” dan menumbuhkan perasaan malu untuk menjadi “pengemis”
     Keempat, para panitia petugas penerima dan penyalur zakat adalah orang-orang yang terpilih karena sikapnya  yang baik, santun, terpercaya, luwes, dan bijaksana.
     Apabila persyaratan di atas dipenuhi, maka dapat diyakini bahwa harta benda yang dikeluarkan benar-benar menjadi zakat dalam arti “menyucikan” dan “mengembangkan” jiwa dan harta benda milik para “muzaki” (orang yang wajib membayar zakat).
     Kesucian jiwa akan melahirkan ketenangan dan ketenteraan batin bagi si pemberi dan penerima zakat, karena zakat dapat menghilangkan benih kedengkian dan iri hati orang-orang yang miskin dan lemah ketika melihat orang-orang yang kaya, tetapi tidak mau dan enggan mengulurkan bantuan kepada orang yang membutuhkan.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 276.

يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
    
      “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa”.
     Pengembangan harta dengan berzakat, ditinjau dalam aspek spiritual keagamaan berdasarkan ayat Allah dengan cara memusnahkan riba dan mengembangkan sedekah / zakat, tetapi zakat juga harus ditinjau secara ekonomis-psikologis, yaitu dengan adanya ketenangan batin pemberi zakat.
      Dengan berzakat, maka seseorang dapat lebih mengkonsentrasikan usaha dan pemikirannya guna pengembangan hartanya, dan pemberian zakat mendorong terciptanya daya beli baru dan daya produksi dan para penerima tersebut.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online


Tuntunan bagi Si Pemberi dan Si Peminta
(LOST PAGE)
Imam Ahmad Ibn HanbaJ ditanya mengenai kapan seseorang diperbolehkan
meminta. "Ketika ia tidak memperoleh makan malam maupun
siang," demikian jawaban pakar hukum dan hadis ini. Dari sini diketahui
bahwa bagi orang yang meminta sesuatu yang bersifat materi - bila ia
Muslim yang baik lagi mengerti - benar-benar adalah dia yang sangat
membutuhkan. Dalam konteks inilah Al-Quran berpesan, jika ada orang yang
meminta maka janganlah dihardik (lihat QS 80: 8-10). Dan dalam konteks
ini pula yang berpunya diharapkan memberi sebelum diminta.
Ketika Umar r.a. diberi sesuatu oleh Nabi, ia menolak: "Berikanlah kepada
yang lebih miskin." 'Terimalah pemberian selama engkau tidak meminta. Itu
adalah rizki Tuhan, gunakan atau sedekahkan. Engkau boleh menerima
selama tidak menengadahkan kepala kepada yang berpunya untuk menanti
pemberiannya," demikian pesan Nabi.
"Demi Tuhan yang jiwaku ada di tangan-Nya, aku tidak pernah akan
meminta, tetapi tidak pula akan menolak selama diberi," demikian Umar
r.a. bersumpah (HR Muslim dan Nasai).
Inilah sebagian petunjuk agama yang perlu dihayati oleh setiap orang agar
tidak terlihat pamer kemiskinan di persada bumi ini.[]
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

534. ZAKAT

MEMAHAMI MAKNA ZAKAT
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

    Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang makna zakat menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya
      Bulan Ramadan adalah bulan ibadah dan “taqarrub” (pendekatan diri) kepada Allah, dan bulan Ramadan dijadikan pula oleh masyarakat sebagai bulan zakat dan sedekah, meskipun pada hakikatnya zakat harta dan sedekah tidak mutlak harus dikaitkan dengan bulan Ramadan.
     Karena banyaknya wajib zakat dan orang-orang yang tergugah hatinya untuk bersedekah pada bulan Ramadan, maka tidak heran apabila banyak terlihat kaum “mustadh'afin” (miskin dan lemah) yang hilir mudik dengan “membuang perasaan malu”, untuk mendapatkan haknya, sehingga terlihat semacam “pameran kemiskinan”,  yang tidak direstui oleh agama.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 43.

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

     “Dan dirikan salat, tunaikan zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk”.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 110.

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
    
    “Dan dirikan salat dan tunaikan zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan”.
      Ayat Al-Quran yang menyangkut kewajiban berzakat dalam redaksinya selalu digambarkan dengan kata “atu”, yang dari akarnya dapat dibentuk berbagai ragam kata dan mengandung berbagai makna.
     Kata “atu” bisa diartikan “istiqamah” (bersikap jujur dan konsekuen), “cepat”, “pelaksanaan dengan amat sempurna”, “memudahkan jalan”, “mengantar kepada”, “seorang yang agung lagi bijaksana”, dan lainnya.
     Jika semua makna yang dikandung oleh kata “atu” dihayati, maka kita akan memperoleh gambaran yang sangat jelas dan indah tentang cara menunaikan kewajiban zakat.
      Dalam bahasa Al-Quran ketika mengeluarkan zakat diusahakan memenuhi berikut.
      Pertama, zakat harus dikeluarkan dengan sikap “istikamah” (teguh pendirian dan selalu konsisten) sehingga tidak terjadi kecurangan  dalam perhitungan, pemilihan dan pembagiannya.
     Kedua, bergegas dan bercepat-cepat dalam pengeluaran zakat, artinya tidak senang menunda-nunda dan mengulur-ulur, sehingga waktunya berlalu.
     Ketiga, mempermudah pembagian dan penyaluran penerimaan zakat, dengan mengusahakan mengantarkannya kepada yang berhak, untuk menghindari “pameran kemiskinan” dan menumbuhkan perasaan malu untuk menjadi “pengemis”
     Keempat, para panitia petugas penerima dan penyalur zakat adalah orang-orang yang terpilih karena sikapnya  yang baik, santun, terpercaya, luwes, dan bijaksana.
     Apabila persyaratan di atas dipenuhi, maka dapat diyakini bahwa harta benda yang dikeluarkan benar-benar menjadi zakat dalam arti “menyucikan” dan “mengembangkan” jiwa dan harta benda milik para “muzaki” (orang yang wajib membayar zakat).
     Kesucian jiwa akan melahirkan ketenangan dan ketenteraan batin bagi si pemberi dan penerima zakat, karena zakat dapat menghilangkan benih kedengkian dan iri hati orang-orang yang miskin dan lemah ketika melihat orang-orang yang kaya, tetapi tidak mau dan enggan mengulurkan bantuan kepada orang yang membutuhkan.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 276.

يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
    
      “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa”.
     Pengembangan harta dengan berzakat, ditinjau dalam aspek spiritual keagamaan berdasarkan ayat Allah dengan cara memusnahkan riba dan mengembangkan sedekah / zakat, tetapi zakat juga harus ditinjau secara ekonomis-psikologis, yaitu dengan adanya ketenangan batin pemberi zakat.
      Dengan berzakat, maka seseorang dapat lebih mengkonsentrasikan usaha dan pemikirannya guna pengembangan hartanya, dan pemberian zakat mendorong terciptanya daya beli baru dan daya produksi dan para penerima tersebut.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online


Tuntunan bagi Si Pemberi dan Si Peminta
(LOST PAGE)
Imam Ahmad Ibn HanbaJ ditanya mengenai kapan seseorang diperbolehkan
meminta. "Ketika ia tidak memperoleh makan malam maupun
siang," demikian jawaban pakar hukum dan hadis ini. Dari sini diketahui
bahwa bagi orang yang meminta sesuatu yang bersifat materi - bila ia
Muslim yang baik lagi mengerti - benar-benar adalah dia yang sangat
membutuhkan. Dalam konteks inilah Al-Quran berpesan, jika ada orang yang
meminta maka janganlah dihardik (lihat QS 80: 8-10). Dan dalam konteks
ini pula yang berpunya diharapkan memberi sebelum diminta.
Ketika Umar r.a. diberi sesuatu oleh Nabi, ia menolak: "Berikanlah kepada
yang lebih miskin." 'Terimalah pemberian selama engkau tidak meminta. Itu
adalah rizki Tuhan, gunakan atau sedekahkan. Engkau boleh menerima
selama tidak menengadahkan kepala kepada yang berpunya untuk menanti
pemberiannya," demikian pesan Nabi.
"Demi Tuhan yang jiwaku ada di tangan-Nya, aku tidak pernah akan
meminta, tetapi tidak pula akan menolak selama diberi," demikian Umar
r.a. bersumpah (HR Muslim dan Nasai).
Inilah sebagian petunjuk agama yang perlu dihayati oleh setiap orang agar
tidak terlihat pamer kemiskinan di persada bumi ini.[]
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

534. ZAKAT

MEMAHAMI MAKNA ZAKAT
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

    Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang makna zakat menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya
      Bulan Ramadan adalah bulan ibadah dan “taqarrub” (pendekatan diri) kepada Allah, dan bulan Ramadan dijadikan pula oleh masyarakat sebagai bulan zakat dan sedekah, meskipun pada hakikatnya zakat harta dan sedekah tidak mutlak harus dikaitkan dengan bulan Ramadan.
     Karena banyaknya wajib zakat dan orang-orang yang tergugah hatinya untuk bersedekah pada bulan Ramadan, maka tidak heran apabila banyak terlihat kaum “mustadh'afin” (miskin dan lemah) yang hilir mudik dengan “membuang perasaan malu”, untuk mendapatkan haknya, sehingga terlihat semacam “pameran kemiskinan”,  yang tidak direstui oleh agama.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 43.

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

     “Dan dirikan salat, tunaikan zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk”.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 110.

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
    
    “Dan dirikan salat dan tunaikan zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan”.
      Ayat Al-Quran yang menyangkut kewajiban berzakat dalam redaksinya selalu digambarkan dengan kata “atu”, yang dari akarnya dapat dibentuk berbagai ragam kata dan mengandung berbagai makna.
     Kata “atu” bisa diartikan “istiqamah” (bersikap jujur dan konsekuen), “cepat”, “pelaksanaan dengan amat sempurna”, “memudahkan jalan”, “mengantar kepada”, “seorang yang agung lagi bijaksana”, dan lainnya.
     Jika semua makna yang dikandung oleh kata “atu” dihayati, maka kita akan memperoleh gambaran yang sangat jelas dan indah tentang cara menunaikan kewajiban zakat.
      Dalam bahasa Al-Quran ketika mengeluarkan zakat diusahakan memenuhi berikut.
      Pertama, zakat harus dikeluarkan dengan sikap “istikamah” (teguh pendirian dan selalu konsisten) sehingga tidak terjadi kecurangan  dalam perhitungan, pemilihan dan pembagiannya.
     Kedua, bergegas dan bercepat-cepat dalam pengeluaran zakat, artinya tidak senang menunda-nunda dan mengulur-ulur, sehingga waktunya berlalu.
     Ketiga, mempermudah pembagian dan penyaluran penerimaan zakat, dengan mengusahakan mengantarkannya kepada yang berhak, untuk menghindari “pameran kemiskinan” dan menumbuhkan perasaan malu untuk menjadi “pengemis”
     Keempat, para panitia petugas penerima dan penyalur zakat adalah orang-orang yang terpilih karena sikapnya  yang baik, santun, terpercaya, luwes, dan bijaksana.
     Apabila persyaratan di atas dipenuhi, maka dapat diyakini bahwa harta benda yang dikeluarkan benar-benar menjadi zakat dalam arti “menyucikan” dan “mengembangkan” jiwa dan harta benda milik para “muzaki” (orang yang wajib membayar zakat).
     Kesucian jiwa akan melahirkan ketenangan dan ketenteraan batin bagi si pemberi dan penerima zakat, karena zakat dapat menghilangkan benih kedengkian dan iri hati orang-orang yang miskin dan lemah ketika melihat orang-orang yang kaya, tetapi tidak mau dan enggan mengulurkan bantuan kepada orang yang membutuhkan.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 276.

يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
    
      “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa”.
     Pengembangan harta dengan berzakat, ditinjau dalam aspek spiritual keagamaan berdasarkan ayat Allah dengan cara memusnahkan riba dan mengembangkan sedekah / zakat, tetapi zakat juga harus ditinjau secara ekonomis-psikologis, yaitu dengan adanya ketenangan batin pemberi zakat.
      Dengan berzakat, maka seseorang dapat lebih mengkonsentrasikan usaha dan pemikirannya guna pengembangan hartanya, dan pemberian zakat mendorong terciptanya daya beli baru dan daya produksi dan para penerima tersebut.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online


Tuntunan bagi Si Pemberi dan Si Peminta
(LOST PAGE)
Imam Ahmad Ibn HanbaJ ditanya mengenai kapan seseorang diperbolehkan
meminta. "Ketika ia tidak memperoleh makan malam maupun
siang," demikian jawaban pakar hukum dan hadis ini. Dari sini diketahui
bahwa bagi orang yang meminta sesuatu yang bersifat materi - bila ia
Muslim yang baik lagi mengerti - benar-benar adalah dia yang sangat
membutuhkan. Dalam konteks inilah Al-Quran berpesan, jika ada orang yang
meminta maka janganlah dihardik (lihat QS 80: 8-10). Dan dalam konteks
ini pula yang berpunya diharapkan memberi sebelum diminta.
Ketika Umar r.a. diberi sesuatu oleh Nabi, ia menolak: "Berikanlah kepada
yang lebih miskin." 'Terimalah pemberian selama engkau tidak meminta. Itu
adalah rizki Tuhan, gunakan atau sedekahkan. Engkau boleh menerima
selama tidak menengadahkan kepala kepada yang berpunya untuk menanti
pemberiannya," demikian pesan Nabi.
"Demi Tuhan yang jiwaku ada di tangan-Nya, aku tidak pernah akan
meminta, tetapi tidak pula akan menolak selama diberi," demikian Umar
r.a. bersumpah (HR Muslim dan Nasai).
Inilah sebagian petunjuk agama yang perlu dihayati oleh setiap orang agar
tidak terlihat pamer kemiskinan di persada bumi ini.[]
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

534. ZAKAT

MEMAHAMI MAKNA ZAKAT
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

    Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang makna zakat menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya
      Bulan Ramadan adalah bulan ibadah dan “taqarrub” (pendekatan diri) kepada Allah, dan bulan Ramadan dijadikan pula oleh masyarakat sebagai bulan zakat dan sedekah, meskipun pada hakikatnya zakat harta dan sedekah tidak mutlak harus dikaitkan dengan bulan Ramadan.
     Karena banyaknya wajib zakat dan orang-orang yang tergugah hatinya untuk bersedekah pada bulan Ramadan, maka tidak heran apabila banyak terlihat kaum “mustadh'afin” (miskin dan lemah) yang hilir mudik dengan “membuang perasaan malu”, untuk mendapatkan haknya, sehingga terlihat semacam “pameran kemiskinan”,  yang tidak direstui oleh agama.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 43.

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

     “Dan dirikan salat, tunaikan zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk”.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 110.

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
    
    “Dan dirikan salat dan tunaikan zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan”.
      Ayat Al-Quran yang menyangkut kewajiban berzakat dalam redaksinya selalu digambarkan dengan kata “atu”, yang dari akarnya dapat dibentuk berbagai ragam kata dan mengandung berbagai makna.
     Kata “atu” bisa diartikan “istiqamah” (bersikap jujur dan konsekuen), “cepat”, “pelaksanaan dengan amat sempurna”, “memudahkan jalan”, “mengantar kepada”, “seorang yang agung lagi bijaksana”, dan lainnya.
     Jika semua makna yang dikandung oleh kata “atu” dihayati, maka kita akan memperoleh gambaran yang sangat jelas dan indah tentang cara menunaikan kewajiban zakat.
      Dalam bahasa Al-Quran ketika mengeluarkan zakat diusahakan memenuhi berikut.
      Pertama, zakat harus dikeluarkan dengan sikap “istikamah” (teguh pendirian dan selalu konsisten) sehingga tidak terjadi kecurangan  dalam perhitungan, pemilihan dan pembagiannya.
     Kedua, bergegas dan bercepat-cepat dalam pengeluaran zakat, artinya tidak senang menunda-nunda dan mengulur-ulur, sehingga waktunya berlalu.
     Ketiga, mempermudah pembagian dan penyaluran penerimaan zakat, dengan mengusahakan mengantarkannya kepada yang berhak, untuk menghindari “pameran kemiskinan” dan menumbuhkan perasaan malu untuk menjadi “pengemis”
     Keempat, para panitia petugas penerima dan penyalur zakat adalah orang-orang yang terpilih karena sikapnya  yang baik, santun, terpercaya, luwes, dan bijaksana.
     Apabila persyaratan di atas dipenuhi, maka dapat diyakini bahwa harta benda yang dikeluarkan benar-benar menjadi zakat dalam arti “menyucikan” dan “mengembangkan” jiwa dan harta benda milik para “muzaki” (orang yang wajib membayar zakat).
     Kesucian jiwa akan melahirkan ketenangan dan ketenteraan batin bagi si pemberi dan penerima zakat, karena zakat dapat menghilangkan benih kedengkian dan iri hati orang-orang yang miskin dan lemah ketika melihat orang-orang yang kaya, tetapi tidak mau dan enggan mengulurkan bantuan kepada orang yang membutuhkan.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 276.

يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
    
      “Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa”.
     Pengembangan harta dengan berzakat, ditinjau dalam aspek spiritual keagamaan berdasarkan ayat Allah dengan cara memusnahkan riba dan mengembangkan sedekah / zakat, tetapi zakat juga harus ditinjau secara ekonomis-psikologis, yaitu dengan adanya ketenangan batin pemberi zakat.
      Dengan berzakat, maka seseorang dapat lebih mengkonsentrasikan usaha dan pemikirannya guna pengembangan hartanya, dan pemberian zakat mendorong terciptanya daya beli baru dan daya produksi dan para penerima tersebut.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online


Tuntunan bagi Si Pemberi dan Si Peminta
(LOST PAGE)
Imam Ahmad Ibn HanbaJ ditanya mengenai kapan seseorang diperbolehkan
meminta. "Ketika ia tidak memperoleh makan malam maupun
siang," demikian jawaban pakar hukum dan hadis ini. Dari sini diketahui
bahwa bagi orang yang meminta sesuatu yang bersifat materi - bila ia
Muslim yang baik lagi mengerti - benar-benar adalah dia yang sangat
membutuhkan. Dalam konteks inilah Al-Quran berpesan, jika ada orang yang
meminta maka janganlah dihardik (lihat QS 80: 8-10). Dan dalam konteks
ini pula yang berpunya diharapkan memberi sebelum diminta.
Ketika Umar r.a. diberi sesuatu oleh Nabi, ia menolak: "Berikanlah kepada
yang lebih miskin." 'Terimalah pemberian selama engkau tidak meminta. Itu
adalah rizki Tuhan, gunakan atau sedekahkan. Engkau boleh menerima
selama tidak menengadahkan kepala kepada yang berpunya untuk menanti
pemberiannya," demikian pesan Nabi.
"Demi Tuhan yang jiwaku ada di tangan-Nya, aku tidak pernah akan
meminta, tetapi tidak pula akan menolak selama diberi," demikian Umar
r.a. bersumpah (HR Muslim dan Nasai).
Inilah sebagian petunjuk agama yang perlu dihayati oleh setiap orang agar
tidak terlihat pamer kemiskinan di persada bumi ini.[]
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online