MEMAHAMI MAKNA ZAKAT
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M
Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang makna zakat menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya
Bulan Ramadan adalah bulan ibadah dan “taqarrub” (pendekatan diri) kepada Allah, dan bulan Ramadan dijadikan pula oleh masyarakat sebagai bulan zakat dan sedekah, meskipun pada hakikatnya zakat harta dan sedekah tidak mutlak harus dikaitkan dengan bulan Ramadan.
Karena banyaknya wajib zakat dan orang-orang yang tergugah hatinya untuk bersedekah pada bulan Ramadan, maka tidak heran apabila banyak terlihat kaum “mustadh'afin” (miskin dan lemah) yang hilir mudik dengan “membuang perasaan malu”, untuk mendapatkan haknya, sehingga terlihat semacam “pameran kemiskinan”, yang tidak direstui oleh agama.
Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 43.
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ
“Dan dirikan salat, tunaikan zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk”.
Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 110.
وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ ۚ وَمَا تُقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ مِنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِنْدَ اللَّهِ ۗ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Dan dirikan salat dan tunaikan zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan”.
Ayat Al-Quran yang menyangkut kewajiban berzakat dalam redaksinya selalu digambarkan dengan kata “atu”, yang dari akarnya dapat dibentuk berbagai ragam kata dan mengandung berbagai makna.
Kata “atu” bisa diartikan “istiqamah” (bersikap jujur dan konsekuen), “cepat”, “pelaksanaan dengan amat sempurna”, “memudahkan jalan”, “mengantar kepada”, “seorang yang agung lagi bijaksana”, dan lainnya.
Jika semua makna yang dikandung oleh kata “atu” dihayati, maka kita akan memperoleh gambaran yang sangat jelas dan indah tentang cara menunaikan kewajiban zakat.
Dalam bahasa Al-Quran ketika mengeluarkan zakat diusahakan memenuhi berikut.
Pertama, zakat harus dikeluarkan dengan sikap “istikamah” (teguh pendirian dan selalu konsisten) sehingga tidak terjadi kecurangan dalam perhitungan, pemilihan dan pembagiannya.
Kedua, bergegas dan bercepat-cepat dalam pengeluaran zakat, artinya tidak senang menunda-nunda dan mengulur-ulur, sehingga waktunya berlalu.
Ketiga, mempermudah pembagian dan penyaluran penerimaan zakat, dengan mengusahakan mengantarkannya kepada yang berhak, untuk menghindari “pameran kemiskinan” dan menumbuhkan perasaan malu untuk menjadi “pengemis”
Keempat, para panitia petugas penerima dan penyalur zakat adalah orang-orang yang terpilih karena sikapnya yang baik, santun, terpercaya, luwes, dan bijaksana.
Apabila persyaratan di atas dipenuhi, maka dapat diyakini bahwa harta benda yang dikeluarkan benar-benar menjadi zakat dalam arti “menyucikan” dan “mengembangkan” jiwa dan harta benda milik para “muzaki” (orang yang wajib membayar zakat).
Kesucian jiwa akan melahirkan ketenangan dan ketenteraan batin bagi si pemberi dan penerima zakat, karena zakat dapat menghilangkan benih kedengkian dan iri hati orang-orang yang miskin dan lemah ketika melihat orang-orang yang kaya, tetapi tidak mau dan enggan mengulurkan bantuan kepada orang yang membutuhkan.
Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 276.
يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa”.
Pengembangan harta dengan berzakat, ditinjau dalam aspek spiritual keagamaan berdasarkan ayat Allah dengan cara memusnahkan riba dan mengembangkan sedekah / zakat, tetapi zakat juga harus ditinjau secara ekonomis-psikologis, yaitu dengan adanya ketenangan batin pemberi zakat.
Dengan berzakat, maka seseorang dapat lebih mengkonsentrasikan usaha dan pemikirannya guna pengembangan hartanya, dan pemberian zakat mendorong terciptanya daya beli baru dan daya produksi dan para penerima tersebut.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online
Tuntunan bagi Si Pemberi dan Si Peminta
(LOST PAGE)
Imam Ahmad Ibn HanbaJ ditanya mengenai kapan seseorang diperbolehkan
meminta. "Ketika ia tidak memperoleh makan malam maupun
siang," demikian jawaban pakar hukum dan hadis ini. Dari sini diketahui
bahwa bagi orang yang meminta sesuatu yang bersifat materi - bila ia
Muslim yang baik lagi mengerti - benar-benar adalah dia yang sangat
membutuhkan. Dalam konteks inilah Al-Quran berpesan, jika ada orang yang
meminta maka janganlah dihardik (lihat QS 80: 8-10). Dan dalam konteks
ini pula yang berpunya diharapkan memberi sebelum diminta.
Ketika Umar r.a. diberi sesuatu oleh Nabi, ia menolak: "Berikanlah kepada
yang lebih miskin." 'Terimalah pemberian selama engkau tidak meminta. Itu
adalah rizki Tuhan, gunakan atau sedekahkan. Engkau boleh menerima
selama tidak menengadahkan kepala kepada yang berpunya untuk menanti
pemberiannya," demikian pesan Nabi.
"Demi Tuhan yang jiwaku ada di tangan-Nya, aku tidak pernah akan
meminta, tetapi tidak pula akan menolak selama diberi," demikian Umar
r.a. bersumpah (HR Muslim dan Nasai).
Inilah sebagian petunjuk agama yang perlu dihayati oleh setiap orang agar
tidak terlihat pamer kemiskinan di persada bumi ini.[]
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online
0 comments:
Post a Comment