IKHTILAF PARA SAHABAT NABI
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M
Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang ikhtilaf para sahabat ketika Nabi masih hidup?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
Mazhab (menurut KBBI V) dapat diartikan “haluan atau aliran mengenai hukum fikih yang menjadi ikutan umat Islam (dikenal empat mazhab yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali)”, dan “golongan pemikir yang sepaham dalam teori, ajaran, atau aliran tertentu di bidang ilmu, cabang kesenian, dan sebagainya yang berusaha memajukan hal itu.”
Orang-orang yang bermazhab artinya orang-orang yang mempunyai mazhab tertentu dan mengikuti mazhab tertentu.
Kata “khilaf” dan “ikhtilaf” dapat diartikan “adanya perbedaan” atau “terdapat perbedaan”. Sebagian ulama berpendapat bahwa kata “khilaf” dan “ikhtilaf” mengandung makna yang sama, tetapi sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa “khilaf” adalah “perbedaan tanpa dalil”, sedangkan “ikhtilaf” adalah “perbedaan dengan dalil”.
Terdapat ungkapan, “Dalam masalah ini terdapat khilafiah.” Artinya para ulama tidak satu pendapat dalam masalah tersebut atau pendapat para ulama berbeda-beda dalam masalah tersebut.
Ibnu Umar berkata, “Rasulullah bersabda kepada kami ketika beliau kembali dari Perang Ahzab, ‘Janganlah kalian salat Asar kecuali di Bani Quraizhah’. Dalam perjalanan ke Bani Quraizhah, waktu Asar telah masuk, sebagian pasukan Islam berkata, ‘Kami tidak akan melaksanakan salat Asar hingga kami sampai di Bani Quraizhah’. Sebagian pasukan Islam yang lain berkata, ‘Kami melaksanakan salat Asar sebelum sampai di Bani Quraizhah’. Peristiwa itu diceritakan kepada Rasulullah, ternyata beliau tidak menyalahkan satu pun dari mereka.” (HR. Bukhari).
Hal itu membuktikan bahwa para sahabat pada zaman Nabi masih hidup juga mengalami “ikhtilaf” (perbedaan pendapat), sebagian sahabat berpendapat bahwa salat Asar mesti dilaksanakan di Bani Quraizhah, sedangkan sebagian sahabat yang lain berpendapat salat Asar dilaksanakan ketika waktunya telah tiba, meskipun belum sampai di Bani Quraizhah.
Satu kelompok berpegang pada teks perintah Nabi, sedangkan kelompok yang lain berpegang pada makna teks.
Inilah cikal bakal “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) dan Rasulullah ternyata membenarkan keduanya dan tidak menyalahkan satu pihak pun, karena pendapat mereka tidak keluar dari tuntunan sunah.
Setelah Rasulullah wafat pun para sahabat mengalami “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) dalam masalah-masalah tertentu.
Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online
Organisasi Profesi Guru
Presiden Jokowi memberi hormat kepada Guru-Guru se Indonesia.
Tema Gambar Slide 2
Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.
Tema Gambar Slide 3
Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.
Friday, January 5, 2018
615. IKHTILAF
615. IKHTILAF
IKHTILAF PARA SAHABAT NABI
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M
Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang ikhtilaf para sahabat ketika Nabi masih hidup?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
Mazhab (menurut KBBI V) dapat diartikan “haluan atau aliran mengenai hukum fikih yang menjadi ikutan umat Islam (dikenal empat mazhab yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali)”, dan “golongan pemikir yang sepaham dalam teori, ajaran, atau aliran tertentu di bidang ilmu, cabang kesenian, dan sebagainya yang berusaha memajukan hal itu.”
Orang-orang yang bermazhab artinya orang-orang yang mempunyai mazhab tertentu dan mengikuti mazhab tertentu.
Kata “khilaf” dan “ikhtilaf” dapat diartikan “adanya perbedaan” atau “terdapat perbedaan”. Sebagian ulama berpendapat bahwa kata “khilaf” dan “ikhtilaf” mengandung makna yang sama, tetapi sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa “khilaf” adalah “perbedaan tanpa dalil”, sedangkan “ikhtilaf” adalah “perbedaan dengan dalil”.
Terdapat ungkapan, “Dalam masalah ini terdapat khilafiah.” Artinya para ulama tidak satu pendapat dalam masalah tersebut atau pendapat para ulama berbeda-beda dalam masalah tersebut.
Ibnu Umar berkata, “Rasulullah bersabda kepada kami ketika beliau kembali dari Perang Ahzab, ‘Janganlah kalian salat Asar kecuali di Bani Quraizhah’. Dalam perjalanan ke Bani Quraizhah, waktu Asar telah masuk, sebagian pasukan Islam berkata, ‘Kami tidak akan melaksanakan salat Asar hingga kami sampai di Bani Quraizhah’. Sebagian pasukan Islam yang lain berkata, ‘Kami melaksanakan salat Asar sebelum sampai di Bani Quraizhah’. Peristiwa itu diceritakan kepada Rasulullah, ternyata beliau tidak menyalahkan satu pun dari mereka.” (HR. Bukhari).
Hal itu membuktikan bahwa para sahabat pada zaman Nabi masih hidup juga mengalami “ikhtilaf” (perbedaan pendapat), sebagian sahabat berpendapat bahwa salat Asar mesti dilaksanakan di Bani Quraizhah, sedangkan sebagian sahabat yang lain berpendapat salat Asar dilaksanakan ketika waktunya telah tiba, meskipun belum sampai di Bani Quraizhah.
Satu kelompok berpegang pada teks perintah Nabi, sedangkan kelompok yang lain berpegang pada makna teks.
Inilah cikal bakal “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) dan Rasulullah ternyata membenarkan keduanya dan tidak menyalahkan satu pihak pun, karena pendapat mereka tidak keluar dari tuntunan sunah.
Setelah Rasulullah wafat pun para sahabat mengalami “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) dalam masalah-masalah tertentu.
Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online
615. IKHTILAF
IKHTILAF PARA SAHABAT NABI
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M
Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang ikhtilaf para sahabat ketika Nabi masih hidup?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
Mazhab (menurut KBBI V) dapat diartikan “haluan atau aliran mengenai hukum fikih yang menjadi ikutan umat Islam (dikenal empat mazhab yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali)”, dan “golongan pemikir yang sepaham dalam teori, ajaran, atau aliran tertentu di bidang ilmu, cabang kesenian, dan sebagainya yang berusaha memajukan hal itu.”
Orang-orang yang bermazhab artinya orang-orang yang mempunyai mazhab tertentu dan mengikuti mazhab tertentu.
Kata “khilaf” dan “ikhtilaf” dapat diartikan “adanya perbedaan” atau “terdapat perbedaan”. Sebagian ulama berpendapat bahwa kata “khilaf” dan “ikhtilaf” mengandung makna yang sama, tetapi sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa “khilaf” adalah “perbedaan tanpa dalil”, sedangkan “ikhtilaf” adalah “perbedaan dengan dalil”.
Terdapat ungkapan, “Dalam masalah ini terdapat khilafiah.” Artinya para ulama tidak satu pendapat dalam masalah tersebut atau pendapat para ulama berbeda-beda dalam masalah tersebut.
Ibnu Umar berkata, “Rasulullah bersabda kepada kami ketika beliau kembali dari Perang Ahzab, ‘Janganlah kalian salat Asar kecuali di Bani Quraizhah’. Dalam perjalanan ke Bani Quraizhah, waktu Asar telah masuk, sebagian pasukan Islam berkata, ‘Kami tidak akan melaksanakan salat Asar hingga kami sampai di Bani Quraizhah’. Sebagian pasukan Islam yang lain berkata, ‘Kami melaksanakan salat Asar sebelum sampai di Bani Quraizhah’. Peristiwa itu diceritakan kepada Rasulullah, ternyata beliau tidak menyalahkan satu pun dari mereka.” (HR. Bukhari).
Hal itu membuktikan bahwa para sahabat pada zaman Nabi masih hidup juga mengalami “ikhtilaf” (perbedaan pendapat), sebagian sahabat berpendapat bahwa salat Asar mesti dilaksanakan di Bani Quraizhah, sedangkan sebagian sahabat yang lain berpendapat salat Asar dilaksanakan ketika waktunya telah tiba, meskipun belum sampai di Bani Quraizhah.
Satu kelompok berpegang pada teks perintah Nabi, sedangkan kelompok yang lain berpegang pada makna teks.
Inilah cikal bakal “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) dan Rasulullah ternyata membenarkan keduanya dan tidak menyalahkan satu pihak pun, karena pendapat mereka tidak keluar dari tuntunan sunah.
Setelah Rasulullah wafat pun para sahabat mengalami “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) dalam masalah-masalah tertentu.
Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online
615. IKHTILAF
IKHTILAF PARA SAHABAT NABI
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M
Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang ikhtilaf para sahabat ketika Nabi masih hidup?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
Mazhab (menurut KBBI V) dapat diartikan “haluan atau aliran mengenai hukum fikih yang menjadi ikutan umat Islam (dikenal empat mazhab yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali)”, dan “golongan pemikir yang sepaham dalam teori, ajaran, atau aliran tertentu di bidang ilmu, cabang kesenian, dan sebagainya yang berusaha memajukan hal itu.”
Orang-orang yang bermazhab artinya orang-orang yang mempunyai mazhab tertentu dan mengikuti mazhab tertentu.
Kata “khilaf” dan “ikhtilaf” dapat diartikan “adanya perbedaan” atau “terdapat perbedaan”. Sebagian ulama berpendapat bahwa kata “khilaf” dan “ikhtilaf” mengandung makna yang sama, tetapi sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa “khilaf” adalah “perbedaan tanpa dalil”, sedangkan “ikhtilaf” adalah “perbedaan dengan dalil”.
Terdapat ungkapan, “Dalam masalah ini terdapat khilafiah.” Artinya para ulama tidak satu pendapat dalam masalah tersebut atau pendapat para ulama berbeda-beda dalam masalah tersebut.
Ibnu Umar berkata, “Rasulullah bersabda kepada kami ketika beliau kembali dari Perang Ahzab, ‘Janganlah kalian salat Asar kecuali di Bani Quraizhah’. Dalam perjalanan ke Bani Quraizhah, waktu Asar telah masuk, sebagian pasukan Islam berkata, ‘Kami tidak akan melaksanakan salat Asar hingga kami sampai di Bani Quraizhah’. Sebagian pasukan Islam yang lain berkata, ‘Kami melaksanakan salat Asar sebelum sampai di Bani Quraizhah’. Peristiwa itu diceritakan kepada Rasulullah, ternyata beliau tidak menyalahkan satu pun dari mereka.” (HR. Bukhari).
Hal itu membuktikan bahwa para sahabat pada zaman Nabi masih hidup juga mengalami “ikhtilaf” (perbedaan pendapat), sebagian sahabat berpendapat bahwa salat Asar mesti dilaksanakan di Bani Quraizhah, sedangkan sebagian sahabat yang lain berpendapat salat Asar dilaksanakan ketika waktunya telah tiba, meskipun belum sampai di Bani Quraizhah.
Satu kelompok berpegang pada teks perintah Nabi, sedangkan kelompok yang lain berpegang pada makna teks.
Inilah cikal bakal “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) dan Rasulullah ternyata membenarkan keduanya dan tidak menyalahkan satu pihak pun, karena pendapat mereka tidak keluar dari tuntunan sunah.
Setelah Rasulullah wafat pun para sahabat mengalami “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) dalam masalah-masalah tertentu.
Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online
615. IKHTILAF
IKHTILAF PARA SAHABAT NABI
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M
Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang ikhtilaf para sahabat ketika Nabi masih hidup?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
Mazhab (menurut KBBI V) dapat diartikan “haluan atau aliran mengenai hukum fikih yang menjadi ikutan umat Islam (dikenal empat mazhab yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali)”, dan “golongan pemikir yang sepaham dalam teori, ajaran, atau aliran tertentu di bidang ilmu, cabang kesenian, dan sebagainya yang berusaha memajukan hal itu.”
Orang-orang yang bermazhab artinya orang-orang yang mempunyai mazhab tertentu dan mengikuti mazhab tertentu.
Kata “khilaf” dan “ikhtilaf” dapat diartikan “adanya perbedaan” atau “terdapat perbedaan”. Sebagian ulama berpendapat bahwa kata “khilaf” dan “ikhtilaf” mengandung makna yang sama, tetapi sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa “khilaf” adalah “perbedaan tanpa dalil”, sedangkan “ikhtilaf” adalah “perbedaan dengan dalil”.
Terdapat ungkapan, “Dalam masalah ini terdapat khilafiah.” Artinya para ulama tidak satu pendapat dalam masalah tersebut atau pendapat para ulama berbeda-beda dalam masalah tersebut.
Ibnu Umar berkata, “Rasulullah bersabda kepada kami ketika beliau kembali dari Perang Ahzab, ‘Janganlah kalian salat Asar kecuali di Bani Quraizhah’. Dalam perjalanan ke Bani Quraizhah, waktu Asar telah masuk, sebagian pasukan Islam berkata, ‘Kami tidak akan melaksanakan salat Asar hingga kami sampai di Bani Quraizhah’. Sebagian pasukan Islam yang lain berkata, ‘Kami melaksanakan salat Asar sebelum sampai di Bani Quraizhah’. Peristiwa itu diceritakan kepada Rasulullah, ternyata beliau tidak menyalahkan satu pun dari mereka.” (HR. Bukhari).
Hal itu membuktikan bahwa para sahabat pada zaman Nabi masih hidup juga mengalami “ikhtilaf” (perbedaan pendapat), sebagian sahabat berpendapat bahwa salat Asar mesti dilaksanakan di Bani Quraizhah, sedangkan sebagian sahabat yang lain berpendapat salat Asar dilaksanakan ketika waktunya telah tiba, meskipun belum sampai di Bani Quraizhah.
Satu kelompok berpegang pada teks perintah Nabi, sedangkan kelompok yang lain berpegang pada makna teks.
Inilah cikal bakal “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) dan Rasulullah ternyata membenarkan keduanya dan tidak menyalahkan satu pihak pun, karena pendapat mereka tidak keluar dari tuntunan sunah.
Setelah Rasulullah wafat pun para sahabat mengalami “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) dalam masalah-masalah tertentu.
Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online
615. IKHTILAF
IKHTILAF PARA SAHABAT NABI
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M
Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang ikhtilaf para sahabat ketika Nabi masih hidup?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
Mazhab (menurut KBBI V) dapat diartikan “haluan atau aliran mengenai hukum fikih yang menjadi ikutan umat Islam (dikenal empat mazhab yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali)”, dan “golongan pemikir yang sepaham dalam teori, ajaran, atau aliran tertentu di bidang ilmu, cabang kesenian, dan sebagainya yang berusaha memajukan hal itu.”
Orang-orang yang bermazhab artinya orang-orang yang mempunyai mazhab tertentu dan mengikuti mazhab tertentu.
Kata “khilaf” dan “ikhtilaf” dapat diartikan “adanya perbedaan” atau “terdapat perbedaan”. Sebagian ulama berpendapat bahwa kata “khilaf” dan “ikhtilaf” mengandung makna yang sama, tetapi sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa “khilaf” adalah “perbedaan tanpa dalil”, sedangkan “ikhtilaf” adalah “perbedaan dengan dalil”.
Terdapat ungkapan, “Dalam masalah ini terdapat khilafiah.” Artinya para ulama tidak satu pendapat dalam masalah tersebut atau pendapat para ulama berbeda-beda dalam masalah tersebut.
Ibnu Umar berkata, “Rasulullah bersabda kepada kami ketika beliau kembali dari Perang Ahzab, ‘Janganlah kalian salat Asar kecuali di Bani Quraizhah’. Dalam perjalanan ke Bani Quraizhah, waktu Asar telah masuk, sebagian pasukan Islam berkata, ‘Kami tidak akan melaksanakan salat Asar hingga kami sampai di Bani Quraizhah’. Sebagian pasukan Islam yang lain berkata, ‘Kami melaksanakan salat Asar sebelum sampai di Bani Quraizhah’. Peristiwa itu diceritakan kepada Rasulullah, ternyata beliau tidak menyalahkan satu pun dari mereka.” (HR. Bukhari).
Hal itu membuktikan bahwa para sahabat pada zaman Nabi masih hidup juga mengalami “ikhtilaf” (perbedaan pendapat), sebagian sahabat berpendapat bahwa salat Asar mesti dilaksanakan di Bani Quraizhah, sedangkan sebagian sahabat yang lain berpendapat salat Asar dilaksanakan ketika waktunya telah tiba, meskipun belum sampai di Bani Quraizhah.
Satu kelompok berpegang pada teks perintah Nabi, sedangkan kelompok yang lain berpegang pada makna teks.
Inilah cikal bakal “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) dan Rasulullah ternyata membenarkan keduanya dan tidak menyalahkan satu pihak pun, karena pendapat mereka tidak keluar dari tuntunan sunah.
Setelah Rasulullah wafat pun para sahabat mengalami “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) dalam masalah-masalah tertentu.
Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online
615. IKHTILAF
IKHTILAF PARA SAHABAT NABI
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M
Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang ikhtilaf para sahabat ketika Nabi masih hidup?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
Mazhab (menurut KBBI V) dapat diartikan “haluan atau aliran mengenai hukum fikih yang menjadi ikutan umat Islam (dikenal empat mazhab yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali)”, dan “golongan pemikir yang sepaham dalam teori, ajaran, atau aliran tertentu di bidang ilmu, cabang kesenian, dan sebagainya yang berusaha memajukan hal itu.”
Orang-orang yang bermazhab artinya orang-orang yang mempunyai mazhab tertentu dan mengikuti mazhab tertentu.
Kata “khilaf” dan “ikhtilaf” dapat diartikan “adanya perbedaan” atau “terdapat perbedaan”. Sebagian ulama berpendapat bahwa kata “khilaf” dan “ikhtilaf” mengandung makna yang sama, tetapi sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa “khilaf” adalah “perbedaan tanpa dalil”, sedangkan “ikhtilaf” adalah “perbedaan dengan dalil”.
Terdapat ungkapan, “Dalam masalah ini terdapat khilafiah.” Artinya para ulama tidak satu pendapat dalam masalah tersebut atau pendapat para ulama berbeda-beda dalam masalah tersebut.
Ibnu Umar berkata, “Rasulullah bersabda kepada kami ketika beliau kembali dari Perang Ahzab, ‘Janganlah kalian salat Asar kecuali di Bani Quraizhah’. Dalam perjalanan ke Bani Quraizhah, waktu Asar telah masuk, sebagian pasukan Islam berkata, ‘Kami tidak akan melaksanakan salat Asar hingga kami sampai di Bani Quraizhah’. Sebagian pasukan Islam yang lain berkata, ‘Kami melaksanakan salat Asar sebelum sampai di Bani Quraizhah’. Peristiwa itu diceritakan kepada Rasulullah, ternyata beliau tidak menyalahkan satu pun dari mereka.” (HR. Bukhari).
Hal itu membuktikan bahwa para sahabat pada zaman Nabi masih hidup juga mengalami “ikhtilaf” (perbedaan pendapat), sebagian sahabat berpendapat bahwa salat Asar mesti dilaksanakan di Bani Quraizhah, sedangkan sebagian sahabat yang lain berpendapat salat Asar dilaksanakan ketika waktunya telah tiba, meskipun belum sampai di Bani Quraizhah.
Satu kelompok berpegang pada teks perintah Nabi, sedangkan kelompok yang lain berpegang pada makna teks.
Inilah cikal bakal “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) dan Rasulullah ternyata membenarkan keduanya dan tidak menyalahkan satu pihak pun, karena pendapat mereka tidak keluar dari tuntunan sunah.
Setelah Rasulullah wafat pun para sahabat mengalami “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) dalam masalah-masalah tertentu.
Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online
615. IKHTILAF
IKHTILAF PARA SAHABAT NABI
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M
Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang ikhtilaf para sahabat ketika Nabi masih hidup?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
Mazhab (menurut KBBI V) dapat diartikan “haluan atau aliran mengenai hukum fikih yang menjadi ikutan umat Islam (dikenal empat mazhab yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali)”, dan “golongan pemikir yang sepaham dalam teori, ajaran, atau aliran tertentu di bidang ilmu, cabang kesenian, dan sebagainya yang berusaha memajukan hal itu.”
Orang-orang yang bermazhab artinya orang-orang yang mempunyai mazhab tertentu dan mengikuti mazhab tertentu.
Kata “khilaf” dan “ikhtilaf” dapat diartikan “adanya perbedaan” atau “terdapat perbedaan”. Sebagian ulama berpendapat bahwa kata “khilaf” dan “ikhtilaf” mengandung makna yang sama, tetapi sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa “khilaf” adalah “perbedaan tanpa dalil”, sedangkan “ikhtilaf” adalah “perbedaan dengan dalil”.
Terdapat ungkapan, “Dalam masalah ini terdapat khilafiah.” Artinya para ulama tidak satu pendapat dalam masalah tersebut atau pendapat para ulama berbeda-beda dalam masalah tersebut.
Ibnu Umar berkata, “Rasulullah bersabda kepada kami ketika beliau kembali dari Perang Ahzab, ‘Janganlah kalian salat Asar kecuali di Bani Quraizhah’. Dalam perjalanan ke Bani Quraizhah, waktu Asar telah masuk, sebagian pasukan Islam berkata, ‘Kami tidak akan melaksanakan salat Asar hingga kami sampai di Bani Quraizhah’. Sebagian pasukan Islam yang lain berkata, ‘Kami melaksanakan salat Asar sebelum sampai di Bani Quraizhah’. Peristiwa itu diceritakan kepada Rasulullah, ternyata beliau tidak menyalahkan satu pun dari mereka.” (HR. Bukhari).
Hal itu membuktikan bahwa para sahabat pada zaman Nabi masih hidup juga mengalami “ikhtilaf” (perbedaan pendapat), sebagian sahabat berpendapat bahwa salat Asar mesti dilaksanakan di Bani Quraizhah, sedangkan sebagian sahabat yang lain berpendapat salat Asar dilaksanakan ketika waktunya telah tiba, meskipun belum sampai di Bani Quraizhah.
Satu kelompok berpegang pada teks perintah Nabi, sedangkan kelompok yang lain berpegang pada makna teks.
Inilah cikal bakal “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) dan Rasulullah ternyata membenarkan keduanya dan tidak menyalahkan satu pihak pun, karena pendapat mereka tidak keluar dari tuntunan sunah.
Setelah Rasulullah wafat pun para sahabat mengalami “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) dalam masalah-masalah tertentu.
Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online
615. IKHTILAF
IKHTILAF PARA SAHABAT NABI
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M
Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang ikhtilaf para sahabat ketika Nabi masih hidup?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
Mazhab (menurut KBBI V) dapat diartikan “haluan atau aliran mengenai hukum fikih yang menjadi ikutan umat Islam (dikenal empat mazhab yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali)”, dan “golongan pemikir yang sepaham dalam teori, ajaran, atau aliran tertentu di bidang ilmu, cabang kesenian, dan sebagainya yang berusaha memajukan hal itu.”
Orang-orang yang bermazhab artinya orang-orang yang mempunyai mazhab tertentu dan mengikuti mazhab tertentu.
Kata “khilaf” dan “ikhtilaf” dapat diartikan “adanya perbedaan” atau “terdapat perbedaan”. Sebagian ulama berpendapat bahwa kata “khilaf” dan “ikhtilaf” mengandung makna yang sama, tetapi sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa “khilaf” adalah “perbedaan tanpa dalil”, sedangkan “ikhtilaf” adalah “perbedaan dengan dalil”.
Terdapat ungkapan, “Dalam masalah ini terdapat khilafiah.” Artinya para ulama tidak satu pendapat dalam masalah tersebut atau pendapat para ulama berbeda-beda dalam masalah tersebut.
Ibnu Umar berkata, “Rasulullah bersabda kepada kami ketika beliau kembali dari Perang Ahzab, ‘Janganlah kalian salat Asar kecuali di Bani Quraizhah’. Dalam perjalanan ke Bani Quraizhah, waktu Asar telah masuk, sebagian pasukan Islam berkata, ‘Kami tidak akan melaksanakan salat Asar hingga kami sampai di Bani Quraizhah’. Sebagian pasukan Islam yang lain berkata, ‘Kami melaksanakan salat Asar sebelum sampai di Bani Quraizhah’. Peristiwa itu diceritakan kepada Rasulullah, ternyata beliau tidak menyalahkan satu pun dari mereka.” (HR. Bukhari).
Hal itu membuktikan bahwa para sahabat pada zaman Nabi masih hidup juga mengalami “ikhtilaf” (perbedaan pendapat), sebagian sahabat berpendapat bahwa salat Asar mesti dilaksanakan di Bani Quraizhah, sedangkan sebagian sahabat yang lain berpendapat salat Asar dilaksanakan ketika waktunya telah tiba, meskipun belum sampai di Bani Quraizhah.
Satu kelompok berpegang pada teks perintah Nabi, sedangkan kelompok yang lain berpegang pada makna teks.
Inilah cikal bakal “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) dan Rasulullah ternyata membenarkan keduanya dan tidak menyalahkan satu pihak pun, karena pendapat mereka tidak keluar dari tuntunan sunah.
Setelah Rasulullah wafat pun para sahabat mengalami “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) dalam masalah-masalah tertentu.
Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online
615. IKHTILAF
IKHTILAF PARA SAHABAT NABI
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M
Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang ikhtilaf para sahabat ketika Nabi masih hidup?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
Mazhab (menurut KBBI V) dapat diartikan “haluan atau aliran mengenai hukum fikih yang menjadi ikutan umat Islam (dikenal empat mazhab yaitu mazhab Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hambali)”, dan “golongan pemikir yang sepaham dalam teori, ajaran, atau aliran tertentu di bidang ilmu, cabang kesenian, dan sebagainya yang berusaha memajukan hal itu.”
Orang-orang yang bermazhab artinya orang-orang yang mempunyai mazhab tertentu dan mengikuti mazhab tertentu.
Kata “khilaf” dan “ikhtilaf” dapat diartikan “adanya perbedaan” atau “terdapat perbedaan”. Sebagian ulama berpendapat bahwa kata “khilaf” dan “ikhtilaf” mengandung makna yang sama, tetapi sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa “khilaf” adalah “perbedaan tanpa dalil”, sedangkan “ikhtilaf” adalah “perbedaan dengan dalil”.
Terdapat ungkapan, “Dalam masalah ini terdapat khilafiah.” Artinya para ulama tidak satu pendapat dalam masalah tersebut atau pendapat para ulama berbeda-beda dalam masalah tersebut.
Ibnu Umar berkata, “Rasulullah bersabda kepada kami ketika beliau kembali dari Perang Ahzab, ‘Janganlah kalian salat Asar kecuali di Bani Quraizhah’. Dalam perjalanan ke Bani Quraizhah, waktu Asar telah masuk, sebagian pasukan Islam berkata, ‘Kami tidak akan melaksanakan salat Asar hingga kami sampai di Bani Quraizhah’. Sebagian pasukan Islam yang lain berkata, ‘Kami melaksanakan salat Asar sebelum sampai di Bani Quraizhah’. Peristiwa itu diceritakan kepada Rasulullah, ternyata beliau tidak menyalahkan satu pun dari mereka.” (HR. Bukhari).
Hal itu membuktikan bahwa para sahabat pada zaman Nabi masih hidup juga mengalami “ikhtilaf” (perbedaan pendapat), sebagian sahabat berpendapat bahwa salat Asar mesti dilaksanakan di Bani Quraizhah, sedangkan sebagian sahabat yang lain berpendapat salat Asar dilaksanakan ketika waktunya telah tiba, meskipun belum sampai di Bani Quraizhah.
Satu kelompok berpegang pada teks perintah Nabi, sedangkan kelompok yang lain berpegang pada makna teks.
Inilah cikal bakal “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) dan Rasulullah ternyata membenarkan keduanya dan tidak menyalahkan satu pihak pun, karena pendapat mereka tidak keluar dari tuntunan sunah.
Setelah Rasulullah wafat pun para sahabat mengalami “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) dalam masalah-masalah tertentu.
Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online
614. WUDU
IKHTILAF WUDU MENGUSAP KEPALA
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M
Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang ikhtilaf wudu mengusap kepala?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
Al-Quran surah Al-Maidah, surah ke-5 ayat 6.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ ۚ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَٰكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan SAPULAH KEPALAMU dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”
Contoh ikhtilaf para ulama dalam memahani ayat Al-Quran.
َوامْسَحُوا ِبُرُءوسِكُمْ
“Dan usaplah kepalamu ”. (Qs. Al-Maidah [5]: 6).
Ibnu Mughirah berkata, “Sesungguhnya Rasulullah berwudu, beliau mengusap ubun-ubun, mengusap bagian atas sorban dan bagian atas kedua sepatu khufnya.” (HR. Muslim).
Anas bin Malik berkata,“Saya melihat Rasulullah berwudu, di atas kepala ada sorban buatan Qatar, Rasulullah memasukkan tangan dari bawah sorban, beliau mengusap bagian depan kepala, beliau tidak melepas sorbannya”. (HR. Abu Daud).
Hadis Bukhari dan Muslim,”Kemudian Rasulullah mengusap kepala, menjalankan kedua telapak tangan ke depan dan ke belakang, beliau awali dari bagian depan kepalanya, hingga kedua telapak tangannya ke tengkuk, kemudian ia kembalikan lagi ke tempat semula.”
Muncul ikhtilaf,”Bagaimana cara mengusap kepala ketika berwudu’? Apakah cukup menempelkan telapak tangan yang basah ke bagian atas rambut? Atau telapak tangan mesti dijalankan di atas kepala? Apakah cukup mengusap ubun-ubun saja? Atau mesti mengusap seluruh kepala?
Para ulama berijtihad tentang berwudu mengusap kepala.
Menurut mazhab Hanafi, “Wajib mengusap seperempat kepala, sebanyak satu kali, seukuran ubun-ubun, di atas dua daun telinga, bukan mengusap ujung rambut yang dikepang/diikat. Meskipun hanya terkena air hujan, atau basah bekas sisa air mandi, tetapi tidak boleh diambil dari air bekas basuhan pada anggota wudu’ yang lain, misalnya air yang menetes dari pipi diusapkan ke kepala, ini tidak sah.”
Menurut mazhab Maliki,”Wajib mengusap seluruh kepala. Orang yang mengusap kepala tidak mesti melepas ikatan rambutnya dan tidak mesti mengusap rambut yang terurai dari kepala. Tidak sah jika hanya mengusap rambut yang terurai dari kepala. Sah jika mengusap rambut yang tidak turun dari tempat yang diwajibkan untuk diusap. Jika rambut tidak ada, maka yang diusap adalah kulit kepala, karena kulit kepala itulah bagian permukaan kepala bagi orang yang tidak memiliki rambut. Cukup diusap satu kali. Tidak dianjurkan mengusap kepala dan telinga beberapa kali usapan.”
Menurut mazhab Hambali, seperti mazhab Maliki, dengan sedikit perbedaan,”Wajib mengusap seluruh kepala hanya bagi laki-laki saja. Sedangkan bagi perempuan cukup mengusap kepala bagian depan saja, karena Aisyah mengusap bagian depan kepalanya. Wajib mengusap dua daun telinga, bagian luar dan bagian dalam daun telinga.
Menurut mazhab Syafii,”Wajib mengusap sebagian kepala. Boleh membasuh kepala, karena membasuh berarti usapan dan lebih dari sekedar usapan. Boleh hanya sekedar meletakkan tangan di atas kepala, tanpa menjalankan tangan tersebut di atas kepala, karena tujuan mengusap kepala telah tercapai dengan sampainya air membasahi kepala.”
Sehingga mazhab bukan agama, tetapi pemahaman para ulama terhadap ayat-ayat Al-Quran dan hadis Nabi dengan ilmu yang mereka miliki.
Perbedaan pendapat atau ikhtilaf di antara para ulama adalah terhadap masalah “furu” (masalah cabang), bukan pada “ushul” (dasar/prinsip).
Para ulama tidak “ikhtilaf” (berbeda pendapat) tentang hukum wudu, tetapi yang diperselisihkan adalah masalah cabang, yaitu mengusap seluruh kepala atau sebagian kepala saja.
Tentang ikhtilaf dalam tata cara salat, semua ulama sepakat bahwa salat adalah wajib, para ulama hanya “ikhtilaf” (berbeda pendapat) tentang cabang dalam salat, misalnya tentang membaca basmalah dengan “sirr” (pelan) atau “jahr” (keras), mengangkat tangan takbiratul ihram sampai bahu atau telinga, dan lainnya.
Jangan “membid’ahkan”, “mengharamkan”, dan “mengafirkan” umat Islam yang lain hanya karena berbeda tata cara melakukannya, misalnya yang berwudu dengan mengusap seluruh kepala tidak membid’ahkan yang mengusap sebagian kepala, dan sebaliknya.
Perbedaan pendapat “ikhtilaf” tidak hanya terjadi pada zaman generasi “khalaf” (belakangan), tetapi juga terjadi pada generasi “salaf” (generasi tiga abad pertama Hijriah) dalam masalah tertentu.
Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online
614. WUDU
IKHTILAF WUDU MENGUSAP KEPALA
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M
Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang ikhtilaf wudu mengusap kepala?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
Al-Quran surah Al-Maidah, surah ke-5 ayat 6.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ ۚ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَٰكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan SAPULAH KEPALAMU dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”
Contoh ikhtilaf para ulama dalam memahani ayat Al-Quran.
َوامْسَحُوا ِبُرُءوسِكُمْ
“Dan usaplah kepalamu ”. (Qs. Al-Maidah [5]: 6).
Ibnu Mughirah berkata, “Sesungguhnya Rasulullah berwudu, beliau mengusap ubun-ubun, mengusap bagian atas sorban dan bagian atas kedua sepatu khufnya.” (HR. Muslim).
Anas bin Malik berkata,“Saya melihat Rasulullah berwudu, di atas kepala ada sorban buatan Qatar, Rasulullah memasukkan tangan dari bawah sorban, beliau mengusap bagian depan kepala, beliau tidak melepas sorbannya”. (HR. Abu Daud).
Hadis Bukhari dan Muslim,”Kemudian Rasulullah mengusap kepala, menjalankan kedua telapak tangan ke depan dan ke belakang, beliau awali dari bagian depan kepalanya, hingga kedua telapak tangannya ke tengkuk, kemudian ia kembalikan lagi ke tempat semula.”
Muncul ikhtilaf,”Bagaimana cara mengusap kepala ketika berwudu’? Apakah cukup menempelkan telapak tangan yang basah ke bagian atas rambut? Atau telapak tangan mesti dijalankan di atas kepala? Apakah cukup mengusap ubun-ubun saja? Atau mesti mengusap seluruh kepala?
Para ulama berijtihad tentang berwudu mengusap kepala.
Menurut mazhab Hanafi, “Wajib mengusap seperempat kepala, sebanyak satu kali, seukuran ubun-ubun, di atas dua daun telinga, bukan mengusap ujung rambut yang dikepang/diikat. Meskipun hanya terkena air hujan, atau basah bekas sisa air mandi, tetapi tidak boleh diambil dari air bekas basuhan pada anggota wudu’ yang lain, misalnya air yang menetes dari pipi diusapkan ke kepala, ini tidak sah.”
Menurut mazhab Maliki,”Wajib mengusap seluruh kepala. Orang yang mengusap kepala tidak mesti melepas ikatan rambutnya dan tidak mesti mengusap rambut yang terurai dari kepala. Tidak sah jika hanya mengusap rambut yang terurai dari kepala. Sah jika mengusap rambut yang tidak turun dari tempat yang diwajibkan untuk diusap. Jika rambut tidak ada, maka yang diusap adalah kulit kepala, karena kulit kepala itulah bagian permukaan kepala bagi orang yang tidak memiliki rambut. Cukup diusap satu kali. Tidak dianjurkan mengusap kepala dan telinga beberapa kali usapan.”
Menurut mazhab Hambali, seperti mazhab Maliki, dengan sedikit perbedaan,”Wajib mengusap seluruh kepala hanya bagi laki-laki saja. Sedangkan bagi perempuan cukup mengusap kepala bagian depan saja, karena Aisyah mengusap bagian depan kepalanya. Wajib mengusap dua daun telinga, bagian luar dan bagian dalam daun telinga.
Menurut mazhab Syafii,”Wajib mengusap sebagian kepala. Boleh membasuh kepala, karena membasuh berarti usapan dan lebih dari sekedar usapan. Boleh hanya sekedar meletakkan tangan di atas kepala, tanpa menjalankan tangan tersebut di atas kepala, karena tujuan mengusap kepala telah tercapai dengan sampainya air membasahi kepala.”
Sehingga mazhab bukan agama, tetapi pemahaman para ulama terhadap ayat-ayat Al-Quran dan hadis Nabi dengan ilmu yang mereka miliki.
Perbedaan pendapat atau ikhtilaf di antara para ulama adalah terhadap masalah “furu” (masalah cabang), bukan pada “ushul” (dasar/prinsip).
Para ulama tidak “ikhtilaf” (berbeda pendapat) tentang hukum wudu, tetapi yang diperselisihkan adalah masalah cabang, yaitu mengusap seluruh kepala atau sebagian kepala saja.
Tentang ikhtilaf dalam tata cara salat, semua ulama sepakat bahwa salat adalah wajib, para ulama hanya “ikhtilaf” (berbeda pendapat) tentang cabang dalam salat, misalnya tentang membaca basmalah dengan “sirr” (pelan) atau “jahr” (keras), mengangkat tangan takbiratul ihram sampai bahu atau telinga, dan lainnya.
Jangan “membid’ahkan”, “mengharamkan”, dan “mengafirkan” umat Islam yang lain hanya karena berbeda tata cara melakukannya, misalnya yang berwudu dengan mengusap seluruh kepala tidak membid’ahkan yang mengusap sebagian kepala, dan sebaliknya.
Perbedaan pendapat “ikhtilaf” tidak hanya terjadi pada zaman generasi “khalaf” (belakangan), tetapi juga terjadi pada generasi “salaf” (generasi tiga abad pertama Hijriah) dalam masalah tertentu.
Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online
614. WUDU
IKHTILAF WUDU MENGUSAP KEPALA
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M
Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang ikhtilaf wudu mengusap kepala?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
Al-Quran surah Al-Maidah, surah ke-5 ayat 6.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا ۚ وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَىٰ أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ ۚ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَٰكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan salat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan SAPULAH KEPALAMU dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”
Contoh ikhtilaf para ulama dalam memahani ayat Al-Quran.
َوامْسَحُوا ِبُرُءوسِكُمْ
“Dan usaplah kepalamu ”. (Qs. Al-Maidah [5]: 6).
Ibnu Mughirah berkata, “Sesungguhnya Rasulullah berwudu, beliau mengusap ubun-ubun, mengusap bagian atas sorban dan bagian atas kedua sepatu khufnya.” (HR. Muslim).
Anas bin Malik berkata,“Saya melihat Rasulullah berwudu, di atas kepala ada sorban buatan Qatar, Rasulullah memasukkan tangan dari bawah sorban, beliau mengusap bagian depan kepala, beliau tidak melepas sorbannya”. (HR. Abu Daud).
Hadis Bukhari dan Muslim,”Kemudian Rasulullah mengusap kepala, menjalankan kedua telapak tangan ke depan dan ke belakang, beliau awali dari bagian depan kepalanya, hingga kedua telapak tangannya ke tengkuk, kemudian ia kembalikan lagi ke tempat semula.”
Muncul ikhtilaf,”Bagaimana cara mengusap kepala ketika berwudu’? Apakah cukup menempelkan telapak tangan yang basah ke bagian atas rambut? Atau telapak tangan mesti dijalankan di atas kepala? Apakah cukup mengusap ubun-ubun saja? Atau mesti mengusap seluruh kepala?
Para ulama berijtihad tentang berwudu mengusap kepala.
Menurut mazhab Hanafi, “Wajib mengusap seperempat kepala, sebanyak satu kali, seukuran ubun-ubun, di atas dua daun telinga, bukan mengusap ujung rambut yang dikepang/diikat. Meskipun hanya terkena air hujan, atau basah bekas sisa air mandi, tetapi tidak boleh diambil dari air bekas basuhan pada anggota wudu’ yang lain, misalnya air yang menetes dari pipi diusapkan ke kepala, ini tidak sah.”
Menurut mazhab Maliki,”Wajib mengusap seluruh kepala. Orang yang mengusap kepala tidak mesti melepas ikatan rambutnya dan tidak mesti mengusap rambut yang terurai dari kepala. Tidak sah jika hanya mengusap rambut yang terurai dari kepala. Sah jika mengusap rambut yang tidak turun dari tempat yang diwajibkan untuk diusap. Jika rambut tidak ada, maka yang diusap adalah kulit kepala, karena kulit kepala itulah bagian permukaan kepala bagi orang yang tidak memiliki rambut. Cukup diusap satu kali. Tidak dianjurkan mengusap kepala dan telinga beberapa kali usapan.”
Menurut mazhab Hambali, seperti mazhab Maliki, dengan sedikit perbedaan,”Wajib mengusap seluruh kepala hanya bagi laki-laki saja. Sedangkan bagi perempuan cukup mengusap kepala bagian depan saja, karena Aisyah mengusap bagian depan kepalanya. Wajib mengusap dua daun telinga, bagian luar dan bagian dalam daun telinga.
Menurut mazhab Syafii,”Wajib mengusap sebagian kepala. Boleh membasuh kepala, karena membasuh berarti usapan dan lebih dari sekedar usapan. Boleh hanya sekedar meletakkan tangan di atas kepala, tanpa menjalankan tangan tersebut di atas kepala, karena tujuan mengusap kepala telah tercapai dengan sampainya air membasahi kepala.”
Sehingga mazhab bukan agama, tetapi pemahaman para ulama terhadap ayat-ayat Al-Quran dan hadis Nabi dengan ilmu yang mereka miliki.
Perbedaan pendapat atau ikhtilaf di antara para ulama adalah terhadap masalah “furu” (masalah cabang), bukan pada “ushul” (dasar/prinsip).
Para ulama tidak “ikhtilaf” (berbeda pendapat) tentang hukum wudu, tetapi yang diperselisihkan adalah masalah cabang, yaitu mengusap seluruh kepala atau sebagian kepala saja.
Tentang ikhtilaf dalam tata cara salat, semua ulama sepakat bahwa salat adalah wajib, para ulama hanya “ikhtilaf” (berbeda pendapat) tentang cabang dalam salat, misalnya tentang membaca basmalah dengan “sirr” (pelan) atau “jahr” (keras), mengangkat tangan takbiratul ihram sampai bahu atau telinga, dan lainnya.
Jangan “membid’ahkan”, “mengharamkan”, dan “mengafirkan” umat Islam yang lain hanya karena berbeda tata cara melakukannya, misalnya yang berwudu dengan mengusap seluruh kepala tidak membid’ahkan yang mengusap sebagian kepala, dan sebaliknya.
Perbedaan pendapat “ikhtilaf” tidak hanya terjadi pada zaman generasi “khalaf” (belakangan), tetapi juga terjadi pada generasi “salaf” (generasi tiga abad pertama Hijriah) dalam masalah tertentu.
Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online


