Organisasi Profesi Guru

Presiden Jokowi memberi hormat kepada Guru-Guru se Indonesia.

Tema Gambar Slide 2

Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.

Tema Gambar Slide 3

Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.

Saturday, January 6, 2018

619. NOW

IKHTILAF ULAMA KONTEMPORER
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M


      Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang ikhtilaf (perbedaan pendapat) ulama kontemporer?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
    Pada ulama kontemporer (zaman sekarang) juga mengalami “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) di antara mereka, artinya ulama zaman sekarang pun berijtihad dalam masalah tertentu yang tidak ada “nash” (dalil Al-Quran dan hadis Nabi)  yang menjelaskannya, atau terdapat “nash”, tetapi mereka “ikhtilaf” (berbeda pendapat)  dalam memahaminya.
      Ketika para ulama kontemporer berijtihad, maka tentu saja terjadi “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) seperti yang terjadi pada zaman sebelum mereka.
     Berikut ini beberapa contoh “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) di antara para ulama kontemporer.
     Kasus pertama, Cara turun ke lantai dari posisi iktidal ketika akan sujud dalam salat.
      Menurut Syekh Albani yang diturunkan ke lantai terlebih dahulu adalah kedua tangan, kemudian diikuti kedua lutut yang diturunkan ke lantai.
     Menurut Syekh Ibnu Baz yang diturunkan terlebih dahulu adalah kedua lutut, barulah diikuti kedua tangan yang diturunkan ke lantai.
    Kasus kedua, Takbir pada sujud tilawah dalam salat.
      Menurut Syekh Albani disyariatkan bagi orang yang melaksanakan salat, jika ia sebagai imam atau salat sendirian, ketika melewati ayat “sajdah” agar ia bertakbir dan sujud “tilawah”, kemudian bertakbir ketika bangun dari sujud, karena takbir itu pada setiap turun dan bangun dalam gerakan salat.   
      Menurut Syekh Ibnu Baz bahwa beberapa sahabat telah meriwayatkan tentang sujud tilawahnya Rasulullah dalam banyak ayat dan banyak kesempatan yang berbeda-beda, tidak seorang pun dari mereka menyebutkan bahwa Rasulullah bertakbir ketika akan sujud, sehingga tidak disyariatkannya untuk bertakbir ketika sujud tilawah.
  Kasus ketiga, Salat sunat tahiatul-masjid di tempat salat Idul Fitri dan Idul Adha.
      Menurut Syekh Ibnu Utsaimin bahwa di tempat salat Idul Fitri dan Idul Adha ada salat sunat tahiatul-masjid, sedangkan menurut Syekh Ibnu Baz tidak ada salat tahiatul-masjid di tempat salat Idul Fitri dan Idul Adha.
      Kasus keempat, Hukum foto. Menurut Syekh Ibnu Baz hukum foto sama dengan hukum lukisan atau patung, sedangkan menurut Syekh Ibnu Utsaimin hukum foto tidak sama dengan hokum lukisan atau patung.
      Kasus kelima, hukum mengerjakan umrah berkali-kali dalam satu perjalanan.
      Menurut Syakh Ibnu Baz hukumnya boleh mengerjakan umrah berjkali-kali dalam satu perjalanan, sedangkan menurut Syekh Ibnu Utsaimin mengerjakan umrah berkali-kali dalam satu perjalanan, hukumnya adalah bid’ah.
      Kasus keenam, salat tarawih 23 rakaat dalam bulan Ramadan.
      Menurut Syekh Ibnu Baz boleh melaksanakan salat tarawih 23 rakaat dalam bulan Ramadan, sedangkan menurut Syekh Albani dalam bulan Ramadan tidak boleh salat tarawih lebih dari 23 rakaat.
      Kasus ketujuh, membaca doa khatam Al-Quran dalam bulan Ramadan.
      Menurut Syekh Ibnu Baz hukumnya boleh membaca doa khatam Al-Quran dalam bulan Ramadan, sedangkan menurut Syekh Albani hukumnya bid’ah membaca doa khatam Al-Quran dalam bulan Ramadan.
      Kasus kedelapan, Zikir menggunakan tasbih.
      Menurut Syekh Utsaimin boleh menggunakan tasbih dalam berzikir, karena menggunakan tasbih tidak dianggap berbuat bid’ah dalam agama, karena maksud bid’ah adalah sesuatu yang tidak ada pada zaman Rasulullah dan dibuat-buat setelah masa Rasulullah yang dilarang adalah bid’ah dalam agama.
     Sedangkan menggunakan tasbih adalah cara untuk menghitung jumlah bilangan (zikir), tasbih adalah sarana yang “marjuhah” (lawan rajih/kuat) dan “mafdhulah” (lawan afdhal), dalam berzikir afdhalnya menghitung tasbih dengan jari tangan.
      Menurut Syekh Albani berzikir dengan tasbih adalah bid’ah yaitu yang tidak ada pada zaman Rasulullah dan dibuat-buat setelah masa Rasulullah.
    Beberapa pelajaran dari uraian di atas. Pertama, bahwa “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) dalam memahami nash (teks) bukan hal baru, karena sudah terjadi ketika Rasulullah masih hidup dan berlanjut pada zaman sahabat, sampai sekarang ini.
     Yang perlu dilakukan bukan menghilangkan “ikhtilaf’ (perbedaan pendapat), tetapi memahami “ikhtilaf” adalah dinamika dan kekayaan khazanah keilmuan Islam, asalkan ikhtilaf dalam masalah “furu” (cabang) dan bukan masalah “ushul” (prinsip/pokok) dalam ajaran Islam.
     Kedua, berbeda dalam masalah “furu” (cabang) tidak menyebabkan umat Islam saling membid’ahkan, karena Imam Hambali tidak membid’ahkan Imam Syafii dan para pengikutnya yang membaca doa qunut pada salat Subuh.
      Sebaiknya umat Islam beramal dengan sesuatu yang diyakininya dan bersikap lapang dada serta saling menghormati dalam menghadapi “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) dalam masalah “furu” agama Islam.
Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

619. NOW

IKHTILAF ULAMA KONTEMPORER
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M


      Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang ikhtilaf (perbedaan pendapat) ulama kontemporer?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
    Pada ulama kontemporer (zaman sekarang) juga mengalami “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) di antara mereka, artinya ulama zaman sekarang pun berijtihad dalam masalah tertentu yang tidak ada “nash” (dalil Al-Quran dan hadis Nabi)  yang menjelaskannya, atau terdapat “nash”, tetapi mereka “ikhtilaf” (berbeda pendapat)  dalam memahaminya.
      Ketika para ulama kontemporer berijtihad, maka tentu saja terjadi “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) seperti yang terjadi pada zaman sebelum mereka.
     Berikut ini beberapa contoh “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) di antara para ulama kontemporer.
     Kasus pertama, Cara turun ke lantai dari posisi iktidal ketika akan sujud dalam salat.
      Menurut Syekh Albani yang diturunkan ke lantai terlebih dahulu adalah kedua tangan, kemudian diikuti kedua lutut yang diturunkan ke lantai.
     Menurut Syekh Ibnu Baz yang diturunkan terlebih dahulu adalah kedua lutut, barulah diikuti kedua tangan yang diturunkan ke lantai.
    Kasus kedua, Takbir pada sujud tilawah dalam salat.
      Menurut Syekh Albani disyariatkan bagi orang yang melaksanakan salat, jika ia sebagai imam atau salat sendirian, ketika melewati ayat “sajdah” agar ia bertakbir dan sujud “tilawah”, kemudian bertakbir ketika bangun dari sujud, karena takbir itu pada setiap turun dan bangun dalam gerakan salat.   
      Menurut Syekh Ibnu Baz bahwa beberapa sahabat telah meriwayatkan tentang sujud tilawahnya Rasulullah dalam banyak ayat dan banyak kesempatan yang berbeda-beda, tidak seorang pun dari mereka menyebutkan bahwa Rasulullah bertakbir ketika akan sujud, sehingga tidak disyariatkannya untuk bertakbir ketika sujud tilawah.
  Kasus ketiga, Salat sunat tahiatul-masjid di tempat salat Idul Fitri dan Idul Adha.
      Menurut Syekh Ibnu Utsaimin bahwa di tempat salat Idul Fitri dan Idul Adha ada salat sunat tahiatul-masjid, sedangkan menurut Syekh Ibnu Baz tidak ada salat tahiatul-masjid di tempat salat Idul Fitri dan Idul Adha.
      Kasus keempat, Hukum foto. Menurut Syekh Ibnu Baz hukum foto sama dengan hukum lukisan atau patung, sedangkan menurut Syekh Ibnu Utsaimin hukum foto tidak sama dengan hokum lukisan atau patung.
      Kasus kelima, hukum mengerjakan umrah berkali-kali dalam satu perjalanan.
      Menurut Syakh Ibnu Baz hukumnya boleh mengerjakan umrah berjkali-kali dalam satu perjalanan, sedangkan menurut Syekh Ibnu Utsaimin mengerjakan umrah berkali-kali dalam satu perjalanan, hukumnya adalah bid’ah.
      Kasus keenam, salat tarawih 23 rakaat dalam bulan Ramadan.
      Menurut Syekh Ibnu Baz boleh melaksanakan salat tarawih 23 rakaat dalam bulan Ramadan, sedangkan menurut Syekh Albani dalam bulan Ramadan tidak boleh salat tarawih lebih dari 23 rakaat.
      Kasus ketujuh, membaca doa khatam Al-Quran dalam bulan Ramadan.
      Menurut Syekh Ibnu Baz hukumnya boleh membaca doa khatam Al-Quran dalam bulan Ramadan, sedangkan menurut Syekh Albani hukumnya bid’ah membaca doa khatam Al-Quran dalam bulan Ramadan.
      Kasus kedelapan, Zikir menggunakan tasbih.
      Menurut Syekh Utsaimin boleh menggunakan tasbih dalam berzikir, karena menggunakan tasbih tidak dianggap berbuat bid’ah dalam agama, karena maksud bid’ah adalah sesuatu yang tidak ada pada zaman Rasulullah dan dibuat-buat setelah masa Rasulullah yang dilarang adalah bid’ah dalam agama.
     Sedangkan menggunakan tasbih adalah cara untuk menghitung jumlah bilangan (zikir), tasbih adalah sarana yang “marjuhah” (lawan rajih/kuat) dan “mafdhulah” (lawan afdhal), dalam berzikir afdhalnya menghitung tasbih dengan jari tangan.
      Menurut Syekh Albani berzikir dengan tasbih adalah bid’ah yaitu yang tidak ada pada zaman Rasulullah dan dibuat-buat setelah masa Rasulullah.
    Beberapa pelajaran dari uraian di atas. Pertama, bahwa “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) dalam memahami nash (teks) bukan hal baru, karena sudah terjadi ketika Rasulullah masih hidup dan berlanjut pada zaman sahabat, sampai sekarang ini.
     Yang perlu dilakukan bukan menghilangkan “ikhtilaf’ (perbedaan pendapat), tetapi memahami “ikhtilaf” adalah dinamika dan kekayaan khazanah keilmuan Islam, asalkan ikhtilaf dalam masalah “furu” (cabang) dan bukan masalah “ushul” (prinsip/pokok) dalam ajaran Islam.
     Kedua, berbeda dalam masalah “furu” (cabang) tidak menyebabkan umat Islam saling membid’ahkan, karena Imam Hambali tidak membid’ahkan Imam Syafii dan para pengikutnya yang membaca doa qunut pada salat Subuh.
      Sebaiknya umat Islam beramal dengan sesuatu yang diyakininya dan bersikap lapang dada serta saling menghormati dalam menghadapi “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) dalam masalah “furu” agama Islam.
Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

619. NOW

IKHTILAF ULAMA KONTEMPORER
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M


      Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang ikhtilaf (perbedaan pendapat) ulama kontemporer?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
    Pada ulama kontemporer (zaman sekarang) juga mengalami “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) di antara mereka, artinya ulama zaman sekarang pun berijtihad dalam masalah tertentu yang tidak ada “nash” (dalil Al-Quran dan hadis Nabi)  yang menjelaskannya, atau terdapat “nash”, tetapi mereka “ikhtilaf” (berbeda pendapat)  dalam memahaminya.
      Ketika para ulama kontemporer berijtihad, maka tentu saja terjadi “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) seperti yang terjadi pada zaman sebelum mereka.
     Berikut ini beberapa contoh “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) di antara para ulama kontemporer.
     Kasus pertama, Cara turun ke lantai dari posisi iktidal ketika akan sujud dalam salat.
      Menurut Syekh Albani yang diturunkan ke lantai terlebih dahulu adalah kedua tangan, kemudian diikuti kedua lutut yang diturunkan ke lantai.
     Menurut Syekh Ibnu Baz yang diturunkan terlebih dahulu adalah kedua lutut, barulah diikuti kedua tangan yang diturunkan ke lantai.
    Kasus kedua, Takbir pada sujud tilawah dalam salat.
      Menurut Syekh Albani disyariatkan bagi orang yang melaksanakan salat, jika ia sebagai imam atau salat sendirian, ketika melewati ayat “sajdah” agar ia bertakbir dan sujud “tilawah”, kemudian bertakbir ketika bangun dari sujud, karena takbir itu pada setiap turun dan bangun dalam gerakan salat.   
      Menurut Syekh Ibnu Baz bahwa beberapa sahabat telah meriwayatkan tentang sujud tilawahnya Rasulullah dalam banyak ayat dan banyak kesempatan yang berbeda-beda, tidak seorang pun dari mereka menyebutkan bahwa Rasulullah bertakbir ketika akan sujud, sehingga tidak disyariatkannya untuk bertakbir ketika sujud tilawah.
  Kasus ketiga, Salat sunat tahiatul-masjid di tempat salat Idul Fitri dan Idul Adha.
      Menurut Syekh Ibnu Utsaimin bahwa di tempat salat Idul Fitri dan Idul Adha ada salat sunat tahiatul-masjid, sedangkan menurut Syekh Ibnu Baz tidak ada salat tahiatul-masjid di tempat salat Idul Fitri dan Idul Adha.
      Kasus keempat, Hukum foto. Menurut Syekh Ibnu Baz hukum foto sama dengan hukum lukisan atau patung, sedangkan menurut Syekh Ibnu Utsaimin hukum foto tidak sama dengan hokum lukisan atau patung.
      Kasus kelima, hukum mengerjakan umrah berkali-kali dalam satu perjalanan.
      Menurut Syakh Ibnu Baz hukumnya boleh mengerjakan umrah berjkali-kali dalam satu perjalanan, sedangkan menurut Syekh Ibnu Utsaimin mengerjakan umrah berkali-kali dalam satu perjalanan, hukumnya adalah bid’ah.
      Kasus keenam, salat tarawih 23 rakaat dalam bulan Ramadan.
      Menurut Syekh Ibnu Baz boleh melaksanakan salat tarawih 23 rakaat dalam bulan Ramadan, sedangkan menurut Syekh Albani dalam bulan Ramadan tidak boleh salat tarawih lebih dari 23 rakaat.
      Kasus ketujuh, membaca doa khatam Al-Quran dalam bulan Ramadan.
      Menurut Syekh Ibnu Baz hukumnya boleh membaca doa khatam Al-Quran dalam bulan Ramadan, sedangkan menurut Syekh Albani hukumnya bid’ah membaca doa khatam Al-Quran dalam bulan Ramadan.
      Kasus kedelapan, Zikir menggunakan tasbih.
      Menurut Syekh Utsaimin boleh menggunakan tasbih dalam berzikir, karena menggunakan tasbih tidak dianggap berbuat bid’ah dalam agama, karena maksud bid’ah adalah sesuatu yang tidak ada pada zaman Rasulullah dan dibuat-buat setelah masa Rasulullah yang dilarang adalah bid’ah dalam agama.
     Sedangkan menggunakan tasbih adalah cara untuk menghitung jumlah bilangan (zikir), tasbih adalah sarana yang “marjuhah” (lawan rajih/kuat) dan “mafdhulah” (lawan afdhal), dalam berzikir afdhalnya menghitung tasbih dengan jari tangan.
      Menurut Syekh Albani berzikir dengan tasbih adalah bid’ah yaitu yang tidak ada pada zaman Rasulullah dan dibuat-buat setelah masa Rasulullah.
    Beberapa pelajaran dari uraian di atas. Pertama, bahwa “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) dalam memahami nash (teks) bukan hal baru, karena sudah terjadi ketika Rasulullah masih hidup dan berlanjut pada zaman sahabat, sampai sekarang ini.
     Yang perlu dilakukan bukan menghilangkan “ikhtilaf’ (perbedaan pendapat), tetapi memahami “ikhtilaf” adalah dinamika dan kekayaan khazanah keilmuan Islam, asalkan ikhtilaf dalam masalah “furu” (cabang) dan bukan masalah “ushul” (prinsip/pokok) dalam ajaran Islam.
     Kedua, berbeda dalam masalah “furu” (cabang) tidak menyebabkan umat Islam saling membid’ahkan, karena Imam Hambali tidak membid’ahkan Imam Syafii dan para pengikutnya yang membaca doa qunut pada salat Subuh.
      Sebaiknya umat Islam beramal dengan sesuatu yang diyakininya dan bersikap lapang dada serta saling menghormati dalam menghadapi “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) dalam masalah “furu” agama Islam.
Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

619. NOW

IKHTILAF ULAMA KONTEMPORER
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M


      Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang ikhtilaf (perbedaan pendapat) ulama kontemporer?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
    Pada ulama kontemporer (zaman sekarang) juga mengalami “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) di antara mereka, artinya ulama zaman sekarang pun berijtihad dalam masalah tertentu yang tidak ada “nash” (dalil Al-Quran dan hadis Nabi)  yang menjelaskannya, atau terdapat “nash”, tetapi mereka “ikhtilaf” (berbeda pendapat)  dalam memahaminya.
      Ketika para ulama kontemporer berijtihad, maka tentu saja terjadi “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) seperti yang terjadi pada zaman sebelum mereka.
     Berikut ini beberapa contoh “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) di antara para ulama kontemporer.
     Kasus pertama, Cara turun ke lantai dari posisi iktidal ketika akan sujud dalam salat.
      Menurut Syekh Albani yang diturunkan ke lantai terlebih dahulu adalah kedua tangan, kemudian diikuti kedua lutut yang diturunkan ke lantai.
     Menurut Syekh Ibnu Baz yang diturunkan terlebih dahulu adalah kedua lutut, barulah diikuti kedua tangan yang diturunkan ke lantai.
    Kasus kedua, Takbir pada sujud tilawah dalam salat.
      Menurut Syekh Albani disyariatkan bagi orang yang melaksanakan salat, jika ia sebagai imam atau salat sendirian, ketika melewati ayat “sajdah” agar ia bertakbir dan sujud “tilawah”, kemudian bertakbir ketika bangun dari sujud, karena takbir itu pada setiap turun dan bangun dalam gerakan salat.   
      Menurut Syekh Ibnu Baz bahwa beberapa sahabat telah meriwayatkan tentang sujud tilawahnya Rasulullah dalam banyak ayat dan banyak kesempatan yang berbeda-beda, tidak seorang pun dari mereka menyebutkan bahwa Rasulullah bertakbir ketika akan sujud, sehingga tidak disyariatkannya untuk bertakbir ketika sujud tilawah.
  Kasus ketiga, Salat sunat tahiatul-masjid di tempat salat Idul Fitri dan Idul Adha.
      Menurut Syekh Ibnu Utsaimin bahwa di tempat salat Idul Fitri dan Idul Adha ada salat sunat tahiatul-masjid, sedangkan menurut Syekh Ibnu Baz tidak ada salat tahiatul-masjid di tempat salat Idul Fitri dan Idul Adha.
      Kasus keempat, Hukum foto. Menurut Syekh Ibnu Baz hukum foto sama dengan hukum lukisan atau patung, sedangkan menurut Syekh Ibnu Utsaimin hukum foto tidak sama dengan hokum lukisan atau patung.
      Kasus kelima, hukum mengerjakan umrah berkali-kali dalam satu perjalanan.
      Menurut Syakh Ibnu Baz hukumnya boleh mengerjakan umrah berjkali-kali dalam satu perjalanan, sedangkan menurut Syekh Ibnu Utsaimin mengerjakan umrah berkali-kali dalam satu perjalanan, hukumnya adalah bid’ah.
      Kasus keenam, salat tarawih 23 rakaat dalam bulan Ramadan.
      Menurut Syekh Ibnu Baz boleh melaksanakan salat tarawih 23 rakaat dalam bulan Ramadan, sedangkan menurut Syekh Albani dalam bulan Ramadan tidak boleh salat tarawih lebih dari 23 rakaat.
      Kasus ketujuh, membaca doa khatam Al-Quran dalam bulan Ramadan.
      Menurut Syekh Ibnu Baz hukumnya boleh membaca doa khatam Al-Quran dalam bulan Ramadan, sedangkan menurut Syekh Albani hukumnya bid’ah membaca doa khatam Al-Quran dalam bulan Ramadan.
      Kasus kedelapan, Zikir menggunakan tasbih.
      Menurut Syekh Utsaimin boleh menggunakan tasbih dalam berzikir, karena menggunakan tasbih tidak dianggap berbuat bid’ah dalam agama, karena maksud bid’ah adalah sesuatu yang tidak ada pada zaman Rasulullah dan dibuat-buat setelah masa Rasulullah yang dilarang adalah bid’ah dalam agama.
     Sedangkan menggunakan tasbih adalah cara untuk menghitung jumlah bilangan (zikir), tasbih adalah sarana yang “marjuhah” (lawan rajih/kuat) dan “mafdhulah” (lawan afdhal), dalam berzikir afdhalnya menghitung tasbih dengan jari tangan.
      Menurut Syekh Albani berzikir dengan tasbih adalah bid’ah yaitu yang tidak ada pada zaman Rasulullah dan dibuat-buat setelah masa Rasulullah.
    Beberapa pelajaran dari uraian di atas. Pertama, bahwa “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) dalam memahami nash (teks) bukan hal baru, karena sudah terjadi ketika Rasulullah masih hidup dan berlanjut pada zaman sahabat, sampai sekarang ini.
     Yang perlu dilakukan bukan menghilangkan “ikhtilaf’ (perbedaan pendapat), tetapi memahami “ikhtilaf” adalah dinamika dan kekayaan khazanah keilmuan Islam, asalkan ikhtilaf dalam masalah “furu” (cabang) dan bukan masalah “ushul” (prinsip/pokok) dalam ajaran Islam.
     Kedua, berbeda dalam masalah “furu” (cabang) tidak menyebabkan umat Islam saling membid’ahkan, karena Imam Hambali tidak membid’ahkan Imam Syafii dan para pengikutnya yang membaca doa qunut pada salat Subuh.
      Sebaiknya umat Islam beramal dengan sesuatu yang diyakininya dan bersikap lapang dada serta saling menghormati dalam menghadapi “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) dalam masalah “furu” agama Islam.
Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

619. NOW

IKHTILAF ULAMA KONTEMPORER
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M


      Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang ikhtilaf (perbedaan pendapat) ulama kontemporer?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
    Pada ulama kontemporer (zaman sekarang) juga mengalami “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) di antara mereka, artinya ulama zaman sekarang pun berijtihad dalam masalah tertentu yang tidak ada “nash” (dalil Al-Quran dan hadis Nabi)  yang menjelaskannya, atau terdapat “nash”, tetapi mereka “ikhtilaf” (berbeda pendapat)  dalam memahaminya.
      Ketika para ulama kontemporer berijtihad, maka tentu saja terjadi “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) seperti yang terjadi pada zaman sebelum mereka.
     Berikut ini beberapa contoh “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) di antara para ulama kontemporer.
     Kasus pertama, Cara turun ke lantai dari posisi iktidal ketika akan sujud dalam salat.
      Menurut Syekh Albani yang diturunkan ke lantai terlebih dahulu adalah kedua tangan, kemudian diikuti kedua lutut yang diturunkan ke lantai.
     Menurut Syekh Ibnu Baz yang diturunkan terlebih dahulu adalah kedua lutut, barulah diikuti kedua tangan yang diturunkan ke lantai.
    Kasus kedua, Takbir pada sujud tilawah dalam salat.
      Menurut Syekh Albani disyariatkan bagi orang yang melaksanakan salat, jika ia sebagai imam atau salat sendirian, ketika melewati ayat “sajdah” agar ia bertakbir dan sujud “tilawah”, kemudian bertakbir ketika bangun dari sujud, karena takbir itu pada setiap turun dan bangun dalam gerakan salat.   
      Menurut Syekh Ibnu Baz bahwa beberapa sahabat telah meriwayatkan tentang sujud tilawahnya Rasulullah dalam banyak ayat dan banyak kesempatan yang berbeda-beda, tidak seorang pun dari mereka menyebutkan bahwa Rasulullah bertakbir ketika akan sujud, sehingga tidak disyariatkannya untuk bertakbir ketika sujud tilawah.
  Kasus ketiga, Salat sunat tahiatul-masjid di tempat salat Idul Fitri dan Idul Adha.
      Menurut Syekh Ibnu Utsaimin bahwa di tempat salat Idul Fitri dan Idul Adha ada salat sunat tahiatul-masjid, sedangkan menurut Syekh Ibnu Baz tidak ada salat tahiatul-masjid di tempat salat Idul Fitri dan Idul Adha.
      Kasus keempat, Hukum foto. Menurut Syekh Ibnu Baz hukum foto sama dengan hukum lukisan atau patung, sedangkan menurut Syekh Ibnu Utsaimin hukum foto tidak sama dengan hokum lukisan atau patung.
      Kasus kelima, hukum mengerjakan umrah berkali-kali dalam satu perjalanan.
      Menurut Syakh Ibnu Baz hukumnya boleh mengerjakan umrah berjkali-kali dalam satu perjalanan, sedangkan menurut Syekh Ibnu Utsaimin mengerjakan umrah berkali-kali dalam satu perjalanan, hukumnya adalah bid’ah.
      Kasus keenam, salat tarawih 23 rakaat dalam bulan Ramadan.
      Menurut Syekh Ibnu Baz boleh melaksanakan salat tarawih 23 rakaat dalam bulan Ramadan, sedangkan menurut Syekh Albani dalam bulan Ramadan tidak boleh salat tarawih lebih dari 23 rakaat.
      Kasus ketujuh, membaca doa khatam Al-Quran dalam bulan Ramadan.
      Menurut Syekh Ibnu Baz hukumnya boleh membaca doa khatam Al-Quran dalam bulan Ramadan, sedangkan menurut Syekh Albani hukumnya bid’ah membaca doa khatam Al-Quran dalam bulan Ramadan.
      Kasus kedelapan, Zikir menggunakan tasbih.
      Menurut Syekh Utsaimin boleh menggunakan tasbih dalam berzikir, karena menggunakan tasbih tidak dianggap berbuat bid’ah dalam agama, karena maksud bid’ah adalah sesuatu yang tidak ada pada zaman Rasulullah dan dibuat-buat setelah masa Rasulullah yang dilarang adalah bid’ah dalam agama.
     Sedangkan menggunakan tasbih adalah cara untuk menghitung jumlah bilangan (zikir), tasbih adalah sarana yang “marjuhah” (lawan rajih/kuat) dan “mafdhulah” (lawan afdhal), dalam berzikir afdhalnya menghitung tasbih dengan jari tangan.
      Menurut Syekh Albani berzikir dengan tasbih adalah bid’ah yaitu yang tidak ada pada zaman Rasulullah dan dibuat-buat setelah masa Rasulullah.
    Beberapa pelajaran dari uraian di atas. Pertama, bahwa “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) dalam memahami nash (teks) bukan hal baru, karena sudah terjadi ketika Rasulullah masih hidup dan berlanjut pada zaman sahabat, sampai sekarang ini.
     Yang perlu dilakukan bukan menghilangkan “ikhtilaf’ (perbedaan pendapat), tetapi memahami “ikhtilaf” adalah dinamika dan kekayaan khazanah keilmuan Islam, asalkan ikhtilaf dalam masalah “furu” (cabang) dan bukan masalah “ushul” (prinsip/pokok) dalam ajaran Islam.
     Kedua, berbeda dalam masalah “furu” (cabang) tidak menyebabkan umat Islam saling membid’ahkan, karena Imam Hambali tidak membid’ahkan Imam Syafii dan para pengikutnya yang membaca doa qunut pada salat Subuh.
      Sebaiknya umat Islam beramal dengan sesuatu yang diyakininya dan bersikap lapang dada serta saling menghormati dalam menghadapi “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) dalam masalah “furu” agama Islam.
Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

619. NOW

IKHTILAF ULAMA KONTEMPORER
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M


      Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang ikhtilaf (perbedaan pendapat) ulama kontemporer?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
    Pada ulama kontemporer (zaman sekarang) juga mengalami “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) di antara mereka, artinya ulama zaman sekarang pun berijtihad dalam masalah tertentu yang tidak ada “nash” (dalil Al-Quran dan hadis Nabi)  yang menjelaskannya, atau terdapat “nash”, tetapi mereka “ikhtilaf” (berbeda pendapat)  dalam memahaminya.
      Ketika para ulama kontemporer berijtihad, maka tentu saja terjadi “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) seperti yang terjadi pada zaman sebelum mereka.
     Berikut ini beberapa contoh “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) di antara para ulama kontemporer.
     Kasus pertama, Cara turun ke lantai dari posisi iktidal ketika akan sujud dalam salat.
      Menurut Syekh Albani yang diturunkan ke lantai terlebih dahulu adalah kedua tangan, kemudian diikuti kedua lutut yang diturunkan ke lantai.
     Menurut Syekh Ibnu Baz yang diturunkan terlebih dahulu adalah kedua lutut, barulah diikuti kedua tangan yang diturunkan ke lantai.
    Kasus kedua, Takbir pada sujud tilawah dalam salat.
      Menurut Syekh Albani disyariatkan bagi orang yang melaksanakan salat, jika ia sebagai imam atau salat sendirian, ketika melewati ayat “sajdah” agar ia bertakbir dan sujud “tilawah”, kemudian bertakbir ketika bangun dari sujud, karena takbir itu pada setiap turun dan bangun dalam gerakan salat.   
      Menurut Syekh Ibnu Baz bahwa beberapa sahabat telah meriwayatkan tentang sujud tilawahnya Rasulullah dalam banyak ayat dan banyak kesempatan yang berbeda-beda, tidak seorang pun dari mereka menyebutkan bahwa Rasulullah bertakbir ketika akan sujud, sehingga tidak disyariatkannya untuk bertakbir ketika sujud tilawah.
  Kasus ketiga, Salat sunat tahiatul-masjid di tempat salat Idul Fitri dan Idul Adha.
      Menurut Syekh Ibnu Utsaimin bahwa di tempat salat Idul Fitri dan Idul Adha ada salat sunat tahiatul-masjid, sedangkan menurut Syekh Ibnu Baz tidak ada salat tahiatul-masjid di tempat salat Idul Fitri dan Idul Adha.
      Kasus keempat, Hukum foto. Menurut Syekh Ibnu Baz hukum foto sama dengan hukum lukisan atau patung, sedangkan menurut Syekh Ibnu Utsaimin hukum foto tidak sama dengan hokum lukisan atau patung.
      Kasus kelima, hukum mengerjakan umrah berkali-kali dalam satu perjalanan.
      Menurut Syakh Ibnu Baz hukumnya boleh mengerjakan umrah berjkali-kali dalam satu perjalanan, sedangkan menurut Syekh Ibnu Utsaimin mengerjakan umrah berkali-kali dalam satu perjalanan, hukumnya adalah bid’ah.
      Kasus keenam, salat tarawih 23 rakaat dalam bulan Ramadan.
      Menurut Syekh Ibnu Baz boleh melaksanakan salat tarawih 23 rakaat dalam bulan Ramadan, sedangkan menurut Syekh Albani dalam bulan Ramadan tidak boleh salat tarawih lebih dari 23 rakaat.
      Kasus ketujuh, membaca doa khatam Al-Quran dalam bulan Ramadan.
      Menurut Syekh Ibnu Baz hukumnya boleh membaca doa khatam Al-Quran dalam bulan Ramadan, sedangkan menurut Syekh Albani hukumnya bid’ah membaca doa khatam Al-Quran dalam bulan Ramadan.
      Kasus kedelapan, Zikir menggunakan tasbih.
      Menurut Syekh Utsaimin boleh menggunakan tasbih dalam berzikir, karena menggunakan tasbih tidak dianggap berbuat bid’ah dalam agama, karena maksud bid’ah adalah sesuatu yang tidak ada pada zaman Rasulullah dan dibuat-buat setelah masa Rasulullah yang dilarang adalah bid’ah dalam agama.
     Sedangkan menggunakan tasbih adalah cara untuk menghitung jumlah bilangan (zikir), tasbih adalah sarana yang “marjuhah” (lawan rajih/kuat) dan “mafdhulah” (lawan afdhal), dalam berzikir afdhalnya menghitung tasbih dengan jari tangan.
      Menurut Syekh Albani berzikir dengan tasbih adalah bid’ah yaitu yang tidak ada pada zaman Rasulullah dan dibuat-buat setelah masa Rasulullah.
    Beberapa pelajaran dari uraian di atas. Pertama, bahwa “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) dalam memahami nash (teks) bukan hal baru, karena sudah terjadi ketika Rasulullah masih hidup dan berlanjut pada zaman sahabat, sampai sekarang ini.
     Yang perlu dilakukan bukan menghilangkan “ikhtilaf’ (perbedaan pendapat), tetapi memahami “ikhtilaf” adalah dinamika dan kekayaan khazanah keilmuan Islam, asalkan ikhtilaf dalam masalah “furu” (cabang) dan bukan masalah “ushul” (prinsip/pokok) dalam ajaran Islam.
     Kedua, berbeda dalam masalah “furu” (cabang) tidak menyebabkan umat Islam saling membid’ahkan, karena Imam Hambali tidak membid’ahkan Imam Syafii dan para pengikutnya yang membaca doa qunut pada salat Subuh.
      Sebaiknya umat Islam beramal dengan sesuatu yang diyakininya dan bersikap lapang dada serta saling menghormati dalam menghadapi “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) dalam masalah “furu” agama Islam.
Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

619. NOW

IKHTILAF ULAMA KONTEMPORER
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M


      Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang ikhtilaf (perbedaan pendapat) ulama kontemporer?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
    Pada ulama kontemporer (zaman sekarang) juga mengalami “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) di antara mereka, artinya ulama zaman sekarang pun berijtihad dalam masalah tertentu yang tidak ada “nash” (dalil Al-Quran dan hadis Nabi)  yang menjelaskannya, atau terdapat “nash”, tetapi mereka “ikhtilaf” (berbeda pendapat)  dalam memahaminya.
      Ketika para ulama kontemporer berijtihad, maka tentu saja terjadi “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) seperti yang terjadi pada zaman sebelum mereka.
     Berikut ini beberapa contoh “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) di antara para ulama kontemporer.
     Kasus pertama, Cara turun ke lantai dari posisi iktidal ketika akan sujud dalam salat.
      Menurut Syekh Albani yang diturunkan ke lantai terlebih dahulu adalah kedua tangan, kemudian diikuti kedua lutut yang diturunkan ke lantai.
     Menurut Syekh Ibnu Baz yang diturunkan terlebih dahulu adalah kedua lutut, barulah diikuti kedua tangan yang diturunkan ke lantai.
    Kasus kedua, Takbir pada sujud tilawah dalam salat.
      Menurut Syekh Albani disyariatkan bagi orang yang melaksanakan salat, jika ia sebagai imam atau salat sendirian, ketika melewati ayat “sajdah” agar ia bertakbir dan sujud “tilawah”, kemudian bertakbir ketika bangun dari sujud, karena takbir itu pada setiap turun dan bangun dalam gerakan salat.   
      Menurut Syekh Ibnu Baz bahwa beberapa sahabat telah meriwayatkan tentang sujud tilawahnya Rasulullah dalam banyak ayat dan banyak kesempatan yang berbeda-beda, tidak seorang pun dari mereka menyebutkan bahwa Rasulullah bertakbir ketika akan sujud, sehingga tidak disyariatkannya untuk bertakbir ketika sujud tilawah.
  Kasus ketiga, Salat sunat tahiatul-masjid di tempat salat Idul Fitri dan Idul Adha.
      Menurut Syekh Ibnu Utsaimin bahwa di tempat salat Idul Fitri dan Idul Adha ada salat sunat tahiatul-masjid, sedangkan menurut Syekh Ibnu Baz tidak ada salat tahiatul-masjid di tempat salat Idul Fitri dan Idul Adha.
      Kasus keempat, Hukum foto. Menurut Syekh Ibnu Baz hukum foto sama dengan hukum lukisan atau patung, sedangkan menurut Syekh Ibnu Utsaimin hukum foto tidak sama dengan hokum lukisan atau patung.
      Kasus kelima, hukum mengerjakan umrah berkali-kali dalam satu perjalanan.
      Menurut Syakh Ibnu Baz hukumnya boleh mengerjakan umrah berjkali-kali dalam satu perjalanan, sedangkan menurut Syekh Ibnu Utsaimin mengerjakan umrah berkali-kali dalam satu perjalanan, hukumnya adalah bid’ah.
      Kasus keenam, salat tarawih 23 rakaat dalam bulan Ramadan.
      Menurut Syekh Ibnu Baz boleh melaksanakan salat tarawih 23 rakaat dalam bulan Ramadan, sedangkan menurut Syekh Albani dalam bulan Ramadan tidak boleh salat tarawih lebih dari 23 rakaat.
      Kasus ketujuh, membaca doa khatam Al-Quran dalam bulan Ramadan.
      Menurut Syekh Ibnu Baz hukumnya boleh membaca doa khatam Al-Quran dalam bulan Ramadan, sedangkan menurut Syekh Albani hukumnya bid’ah membaca doa khatam Al-Quran dalam bulan Ramadan.
      Kasus kedelapan, Zikir menggunakan tasbih.
      Menurut Syekh Utsaimin boleh menggunakan tasbih dalam berzikir, karena menggunakan tasbih tidak dianggap berbuat bid’ah dalam agama, karena maksud bid’ah adalah sesuatu yang tidak ada pada zaman Rasulullah dan dibuat-buat setelah masa Rasulullah yang dilarang adalah bid’ah dalam agama.
     Sedangkan menggunakan tasbih adalah cara untuk menghitung jumlah bilangan (zikir), tasbih adalah sarana yang “marjuhah” (lawan rajih/kuat) dan “mafdhulah” (lawan afdhal), dalam berzikir afdhalnya menghitung tasbih dengan jari tangan.
      Menurut Syekh Albani berzikir dengan tasbih adalah bid’ah yaitu yang tidak ada pada zaman Rasulullah dan dibuat-buat setelah masa Rasulullah.
    Beberapa pelajaran dari uraian di atas. Pertama, bahwa “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) dalam memahami nash (teks) bukan hal baru, karena sudah terjadi ketika Rasulullah masih hidup dan berlanjut pada zaman sahabat, sampai sekarang ini.
     Yang perlu dilakukan bukan menghilangkan “ikhtilaf’ (perbedaan pendapat), tetapi memahami “ikhtilaf” adalah dinamika dan kekayaan khazanah keilmuan Islam, asalkan ikhtilaf dalam masalah “furu” (cabang) dan bukan masalah “ushul” (prinsip/pokok) dalam ajaran Islam.
     Kedua, berbeda dalam masalah “furu” (cabang) tidak menyebabkan umat Islam saling membid’ahkan, karena Imam Hambali tidak membid’ahkan Imam Syafii dan para pengikutnya yang membaca doa qunut pada salat Subuh.
      Sebaiknya umat Islam beramal dengan sesuatu yang diyakininya dan bersikap lapang dada serta saling menghormati dalam menghadapi “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) dalam masalah “furu” agama Islam.
Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

618. IMAM

IMAM MAZHAB SALING MENGHORMATI
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M


      Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan bahwa imam mazhab saling menghormati dalam menghadapi perbedaan?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
      Para imam mazhab tetap saling menghormati dalam menyikapi perbedaan, dan mereka tetap salat berjamaah bersama, meskipun terdapat beberpa perbedaan dalam  hal-hal tertentu, misalnya ketika membaca “basmalah” pada Al-Fatihah, ada yang membaca “sirr” (pelan), ada yang membaca “jahr” (keras), ada pula yang tidak membaca basmalah sama sekali, tetapi perbedan tersebut tidak menghalangi mereka untuk salat berjamaah bersama.
    Imam Hanafi atau para ulama mazhab Hanafi, serta imam Syafii dan para ulama  lain ikut salat di belakang para imam di Madinah yang berasal dari kalangan mazhab Maliki, meskipun para imam di Madinah tidak membaca basmalah dengan “sir”  maupun  “jahr”, karena  menurut mazhab Maliki bahwa “basmalah” bukan bagian dari surat Al-Fatihah.
    Adab Imam Syafi’i kepada Imam Hanafi, ketika Imam Syafii melaksanakan salat Subuh di lokasi yang dekat dari makam Imam Hanafi, maka Imam Syafii tidak membaca doa qunut dalam salat Subuh karena beradab kepada Imam Hanafi.
    Khalifah Harun Rasyid yang mengajak Imam Malik bermusyawarah, khalifah ingin menggantungkan kitab Al-Muwaththa (karya Imam Malik) di Kakbah, karena Khalifah ingin menetapkan agar seluruh masyarakat memakai isi kitab Al-Muwaththa.
    Imam Malik berkata kepada Khalifah,”Tuan jangan melakukannya, sesungguhnya para sahabat Rasulullah telah berbeda pendapat dalam masalah “furu” (cabang dalam agama), mereka telah menyebar ke seluruh dunia dan semuanya benar dalam ijtihadnya.” Khalifah Harun Rasyid berkata, “Allah memberikan taufik kepadamu, wahai Abu Abdillah (Imam Malik).”
     Imam Malik dan Imam Hanafi saling menghormati. Imam Laits bin Sa’ad berkisah, “Saya bertemu dengan Imam Malik, saya katakan kepadanya,’Saya lihat engkau mengusap keringat dari alis matamu?’.
      Imam  Malik  menjawab, “Saya  merasa  tidak  mempunyai  apa-apa  ketika  bersama  Abu  Hanifah, sesungguhnya ia benar-benar ahli Fiqih, wahai orang Mesir (Imam Laits).”.
     Kemudian saya menemui Imam Hanafi, saya katakan kepadanya,“Bagus sekali ucapan Imam Malik terhadap dirimu”. Imam  Hanafi menjawab, “Demi Allah, saya  belum  pernah melihat  orang yang lebih cepat memberikan jawaban yang benar dan zuhud yang sempurna melebihi Imam Malik.”
     Komentar Imam Syafii terhadap Imam Malik,”Apabila ada hadis datang kepadamu, dari Imam Malik, maka kuatkan kedua tanganmu dengan hadis itu”. “Jika datang khabar kepadamu, maka Imam Malik adalah bintangnya”. “Jika disebutkan tentang ulama, maka Imam Malik adalah bintangnya. Tidak seorang pun yang lebih aman bagiku daripada Imam Malik bin Anas”. “Imam Malik bin Anas adalah guruku, darinya aku mengambil ilmu”. “Imam Malik bin Anas itu, jika ia ragu terhadap suatu hadis, maka ia membuang semuanya.”
      Komentar Imam Hambali terhadap Imam Syafi’i. Abdullah putra Imam Hambali berkata,“Saya katakan kepada Ayah saya, ‘Wahai Ayahanda, orang seperti apa Syafii itu, saya selalu mendengar engkau berdoa untuknya’. Imam Hambali menjawab, ‘Wahai Anakku, Imam Syafii seperti matahari bagi dunia. Seperti kesehatan bagi tubuh. Lihatlah, adakah pengganti bagi kedua ini?”
      Abu Ayub Humaid bin Ahmad Bashri berkata,“Saya bersama Imam Hambali berdiskusi tentang suatu masalah. Seorang laki-laki bertanya kepada Imam Hambali, “Wahai Abu Abdillah (Imam Hambali), apakah tidak ada hadis sahih tentang masalah itu’. Imam Hanbali menjawab,’Jika  tidak ada  hadis sahih, maka ada  pendapat  Imam Syafii dalam masalah itu. Hujah Imam Syafii terkuat dalam masalah itu’.”
Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

618. IMAM

IMAM MAZHAB SALING MENGHORMATI
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M


      Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan bahwa imam mazhab saling menghormati dalam menghadapi perbedaan?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
      Para imam mazhab tetap saling menghormati dalam menyikapi perbedaan, dan mereka tetap salat berjamaah bersama, meskipun terdapat beberpa perbedaan dalam  hal-hal tertentu, misalnya ketika membaca “basmalah” pada Al-Fatihah, ada yang membaca “sirr” (pelan), ada yang membaca “jahr” (keras), ada pula yang tidak membaca basmalah sama sekali, tetapi perbedan tersebut tidak menghalangi mereka untuk salat berjamaah bersama.
    Imam Hanafi atau para ulama mazhab Hanafi, serta imam Syafii dan para ulama  lain ikut salat di belakang para imam di Madinah yang berasal dari kalangan mazhab Maliki, meskipun para imam di Madinah tidak membaca basmalah dengan “sir”  maupun  “jahr”, karena  menurut mazhab Maliki bahwa “basmalah” bukan bagian dari surat Al-Fatihah.
    Adab Imam Syafi’i kepada Imam Hanafi, ketika Imam Syafii melaksanakan salat Subuh di lokasi yang dekat dari makam Imam Hanafi, maka Imam Syafii tidak membaca doa qunut dalam salat Subuh karena beradab kepada Imam Hanafi.
    Khalifah Harun Rasyid yang mengajak Imam Malik bermusyawarah, khalifah ingin menggantungkan kitab Al-Muwaththa (karya Imam Malik) di Kakbah, karena Khalifah ingin menetapkan agar seluruh masyarakat memakai isi kitab Al-Muwaththa.
    Imam Malik berkata kepada Khalifah,”Tuan jangan melakukannya, sesungguhnya para sahabat Rasulullah telah berbeda pendapat dalam masalah “furu” (cabang dalam agama), mereka telah menyebar ke seluruh dunia dan semuanya benar dalam ijtihadnya.” Khalifah Harun Rasyid berkata, “Allah memberikan taufik kepadamu, wahai Abu Abdillah (Imam Malik).”
     Imam Malik dan Imam Hanafi saling menghormati. Imam Laits bin Sa’ad berkisah, “Saya bertemu dengan Imam Malik, saya katakan kepadanya,’Saya lihat engkau mengusap keringat dari alis matamu?’.
      Imam  Malik  menjawab, “Saya  merasa  tidak  mempunyai  apa-apa  ketika  bersama  Abu  Hanifah, sesungguhnya ia benar-benar ahli Fiqih, wahai orang Mesir (Imam Laits).”.
     Kemudian saya menemui Imam Hanafi, saya katakan kepadanya,“Bagus sekali ucapan Imam Malik terhadap dirimu”. Imam  Hanafi menjawab, “Demi Allah, saya  belum  pernah melihat  orang yang lebih cepat memberikan jawaban yang benar dan zuhud yang sempurna melebihi Imam Malik.”
     Komentar Imam Syafii terhadap Imam Malik,”Apabila ada hadis datang kepadamu, dari Imam Malik, maka kuatkan kedua tanganmu dengan hadis itu”. “Jika datang khabar kepadamu, maka Imam Malik adalah bintangnya”. “Jika disebutkan tentang ulama, maka Imam Malik adalah bintangnya. Tidak seorang pun yang lebih aman bagiku daripada Imam Malik bin Anas”. “Imam Malik bin Anas adalah guruku, darinya aku mengambil ilmu”. “Imam Malik bin Anas itu, jika ia ragu terhadap suatu hadis, maka ia membuang semuanya.”
      Komentar Imam Hambali terhadap Imam Syafi’i. Abdullah putra Imam Hambali berkata,“Saya katakan kepada Ayah saya, ‘Wahai Ayahanda, orang seperti apa Syafii itu, saya selalu mendengar engkau berdoa untuknya’. Imam Hambali menjawab, ‘Wahai Anakku, Imam Syafii seperti matahari bagi dunia. Seperti kesehatan bagi tubuh. Lihatlah, adakah pengganti bagi kedua ini?”
      Abu Ayub Humaid bin Ahmad Bashri berkata,“Saya bersama Imam Hambali berdiskusi tentang suatu masalah. Seorang laki-laki bertanya kepada Imam Hambali, “Wahai Abu Abdillah (Imam Hambali), apakah tidak ada hadis sahih tentang masalah itu’. Imam Hanbali menjawab,’Jika  tidak ada  hadis sahih, maka ada  pendapat  Imam Syafii dalam masalah itu. Hujah Imam Syafii terkuat dalam masalah itu’.”
Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

618. IMAM

IMAM MAZHAB SALING MENGHORMATI
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M


      Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan bahwa imam mazhab saling menghormati dalam menghadapi perbedaan?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
      Para imam mazhab tetap saling menghormati dalam menyikapi perbedaan, dan mereka tetap salat berjamaah bersama, meskipun terdapat beberpa perbedaan dalam  hal-hal tertentu, misalnya ketika membaca “basmalah” pada Al-Fatihah, ada yang membaca “sirr” (pelan), ada yang membaca “jahr” (keras), ada pula yang tidak membaca basmalah sama sekali, tetapi perbedan tersebut tidak menghalangi mereka untuk salat berjamaah bersama.
    Imam Hanafi atau para ulama mazhab Hanafi, serta imam Syafii dan para ulama  lain ikut salat di belakang para imam di Madinah yang berasal dari kalangan mazhab Maliki, meskipun para imam di Madinah tidak membaca basmalah dengan “sir”  maupun  “jahr”, karena  menurut mazhab Maliki bahwa “basmalah” bukan bagian dari surat Al-Fatihah.
    Adab Imam Syafi’i kepada Imam Hanafi, ketika Imam Syafii melaksanakan salat Subuh di lokasi yang dekat dari makam Imam Hanafi, maka Imam Syafii tidak membaca doa qunut dalam salat Subuh karena beradab kepada Imam Hanafi.
    Khalifah Harun Rasyid yang mengajak Imam Malik bermusyawarah, khalifah ingin menggantungkan kitab Al-Muwaththa (karya Imam Malik) di Kakbah, karena Khalifah ingin menetapkan agar seluruh masyarakat memakai isi kitab Al-Muwaththa.
    Imam Malik berkata kepada Khalifah,”Tuan jangan melakukannya, sesungguhnya para sahabat Rasulullah telah berbeda pendapat dalam masalah “furu” (cabang dalam agama), mereka telah menyebar ke seluruh dunia dan semuanya benar dalam ijtihadnya.” Khalifah Harun Rasyid berkata, “Allah memberikan taufik kepadamu, wahai Abu Abdillah (Imam Malik).”
     Imam Malik dan Imam Hanafi saling menghormati. Imam Laits bin Sa’ad berkisah, “Saya bertemu dengan Imam Malik, saya katakan kepadanya,’Saya lihat engkau mengusap keringat dari alis matamu?’.
      Imam  Malik  menjawab, “Saya  merasa  tidak  mempunyai  apa-apa  ketika  bersama  Abu  Hanifah, sesungguhnya ia benar-benar ahli Fiqih, wahai orang Mesir (Imam Laits).”.
     Kemudian saya menemui Imam Hanafi, saya katakan kepadanya,“Bagus sekali ucapan Imam Malik terhadap dirimu”. Imam  Hanafi menjawab, “Demi Allah, saya  belum  pernah melihat  orang yang lebih cepat memberikan jawaban yang benar dan zuhud yang sempurna melebihi Imam Malik.”
     Komentar Imam Syafii terhadap Imam Malik,”Apabila ada hadis datang kepadamu, dari Imam Malik, maka kuatkan kedua tanganmu dengan hadis itu”. “Jika datang khabar kepadamu, maka Imam Malik adalah bintangnya”. “Jika disebutkan tentang ulama, maka Imam Malik adalah bintangnya. Tidak seorang pun yang lebih aman bagiku daripada Imam Malik bin Anas”. “Imam Malik bin Anas adalah guruku, darinya aku mengambil ilmu”. “Imam Malik bin Anas itu, jika ia ragu terhadap suatu hadis, maka ia membuang semuanya.”
      Komentar Imam Hambali terhadap Imam Syafi’i. Abdullah putra Imam Hambali berkata,“Saya katakan kepada Ayah saya, ‘Wahai Ayahanda, orang seperti apa Syafii itu, saya selalu mendengar engkau berdoa untuknya’. Imam Hambali menjawab, ‘Wahai Anakku, Imam Syafii seperti matahari bagi dunia. Seperti kesehatan bagi tubuh. Lihatlah, adakah pengganti bagi kedua ini?”
      Abu Ayub Humaid bin Ahmad Bashri berkata,“Saya bersama Imam Hambali berdiskusi tentang suatu masalah. Seorang laki-laki bertanya kepada Imam Hambali, “Wahai Abu Abdillah (Imam Hambali), apakah tidak ada hadis sahih tentang masalah itu’. Imam Hanbali menjawab,’Jika  tidak ada  hadis sahih, maka ada  pendapat  Imam Syafii dalam masalah itu. Hujah Imam Syafii terkuat dalam masalah itu’.”
Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

618. IMAM

IMAM MAZHAB SALING MENGHORMATI
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M


      Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan bahwa imam mazhab saling menghormati dalam menghadapi perbedaan?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
      Para imam mazhab tetap saling menghormati dalam menyikapi perbedaan, dan mereka tetap salat berjamaah bersama, meskipun terdapat beberpa perbedaan dalam  hal-hal tertentu, misalnya ketika membaca “basmalah” pada Al-Fatihah, ada yang membaca “sirr” (pelan), ada yang membaca “jahr” (keras), ada pula yang tidak membaca basmalah sama sekali, tetapi perbedan tersebut tidak menghalangi mereka untuk salat berjamaah bersama.
    Imam Hanafi atau para ulama mazhab Hanafi, serta imam Syafii dan para ulama  lain ikut salat di belakang para imam di Madinah yang berasal dari kalangan mazhab Maliki, meskipun para imam di Madinah tidak membaca basmalah dengan “sir”  maupun  “jahr”, karena  menurut mazhab Maliki bahwa “basmalah” bukan bagian dari surat Al-Fatihah.
    Adab Imam Syafi’i kepada Imam Hanafi, ketika Imam Syafii melaksanakan salat Subuh di lokasi yang dekat dari makam Imam Hanafi, maka Imam Syafii tidak membaca doa qunut dalam salat Subuh karena beradab kepada Imam Hanafi.
    Khalifah Harun Rasyid yang mengajak Imam Malik bermusyawarah, khalifah ingin menggantungkan kitab Al-Muwaththa (karya Imam Malik) di Kakbah, karena Khalifah ingin menetapkan agar seluruh masyarakat memakai isi kitab Al-Muwaththa.
    Imam Malik berkata kepada Khalifah,”Tuan jangan melakukannya, sesungguhnya para sahabat Rasulullah telah berbeda pendapat dalam masalah “furu” (cabang dalam agama), mereka telah menyebar ke seluruh dunia dan semuanya benar dalam ijtihadnya.” Khalifah Harun Rasyid berkata, “Allah memberikan taufik kepadamu, wahai Abu Abdillah (Imam Malik).”
     Imam Malik dan Imam Hanafi saling menghormati. Imam Laits bin Sa’ad berkisah, “Saya bertemu dengan Imam Malik, saya katakan kepadanya,’Saya lihat engkau mengusap keringat dari alis matamu?’.
      Imam  Malik  menjawab, “Saya  merasa  tidak  mempunyai  apa-apa  ketika  bersama  Abu  Hanifah, sesungguhnya ia benar-benar ahli Fiqih, wahai orang Mesir (Imam Laits).”.
     Kemudian saya menemui Imam Hanafi, saya katakan kepadanya,“Bagus sekali ucapan Imam Malik terhadap dirimu”. Imam  Hanafi menjawab, “Demi Allah, saya  belum  pernah melihat  orang yang lebih cepat memberikan jawaban yang benar dan zuhud yang sempurna melebihi Imam Malik.”
     Komentar Imam Syafii terhadap Imam Malik,”Apabila ada hadis datang kepadamu, dari Imam Malik, maka kuatkan kedua tanganmu dengan hadis itu”. “Jika datang khabar kepadamu, maka Imam Malik adalah bintangnya”. “Jika disebutkan tentang ulama, maka Imam Malik adalah bintangnya. Tidak seorang pun yang lebih aman bagiku daripada Imam Malik bin Anas”. “Imam Malik bin Anas adalah guruku, darinya aku mengambil ilmu”. “Imam Malik bin Anas itu, jika ia ragu terhadap suatu hadis, maka ia membuang semuanya.”
      Komentar Imam Hambali terhadap Imam Syafi’i. Abdullah putra Imam Hambali berkata,“Saya katakan kepada Ayah saya, ‘Wahai Ayahanda, orang seperti apa Syafii itu, saya selalu mendengar engkau berdoa untuknya’. Imam Hambali menjawab, ‘Wahai Anakku, Imam Syafii seperti matahari bagi dunia. Seperti kesehatan bagi tubuh. Lihatlah, adakah pengganti bagi kedua ini?”
      Abu Ayub Humaid bin Ahmad Bashri berkata,“Saya bersama Imam Hambali berdiskusi tentang suatu masalah. Seorang laki-laki bertanya kepada Imam Hambali, “Wahai Abu Abdillah (Imam Hambali), apakah tidak ada hadis sahih tentang masalah itu’. Imam Hanbali menjawab,’Jika  tidak ada  hadis sahih, maka ada  pendapat  Imam Syafii dalam masalah itu. Hujah Imam Syafii terkuat dalam masalah itu’.”
Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

618. IMAM

IMAM MAZHAB SALING MENGHORMATI
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M


      Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan bahwa imam mazhab saling menghormati dalam menghadapi perbedaan?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
      Para imam mazhab tetap saling menghormati dalam menyikapi perbedaan, dan mereka tetap salat berjamaah bersama, meskipun terdapat beberpa perbedaan dalam  hal-hal tertentu, misalnya ketika membaca “basmalah” pada Al-Fatihah, ada yang membaca “sirr” (pelan), ada yang membaca “jahr” (keras), ada pula yang tidak membaca basmalah sama sekali, tetapi perbedan tersebut tidak menghalangi mereka untuk salat berjamaah bersama.
    Imam Hanafi atau para ulama mazhab Hanafi, serta imam Syafii dan para ulama  lain ikut salat di belakang para imam di Madinah yang berasal dari kalangan mazhab Maliki, meskipun para imam di Madinah tidak membaca basmalah dengan “sir”  maupun  “jahr”, karena  menurut mazhab Maliki bahwa “basmalah” bukan bagian dari surat Al-Fatihah.
    Adab Imam Syafi’i kepada Imam Hanafi, ketika Imam Syafii melaksanakan salat Subuh di lokasi yang dekat dari makam Imam Hanafi, maka Imam Syafii tidak membaca doa qunut dalam salat Subuh karena beradab kepada Imam Hanafi.
    Khalifah Harun Rasyid yang mengajak Imam Malik bermusyawarah, khalifah ingin menggantungkan kitab Al-Muwaththa (karya Imam Malik) di Kakbah, karena Khalifah ingin menetapkan agar seluruh masyarakat memakai isi kitab Al-Muwaththa.
    Imam Malik berkata kepada Khalifah,”Tuan jangan melakukannya, sesungguhnya para sahabat Rasulullah telah berbeda pendapat dalam masalah “furu” (cabang dalam agama), mereka telah menyebar ke seluruh dunia dan semuanya benar dalam ijtihadnya.” Khalifah Harun Rasyid berkata, “Allah memberikan taufik kepadamu, wahai Abu Abdillah (Imam Malik).”
     Imam Malik dan Imam Hanafi saling menghormati. Imam Laits bin Sa’ad berkisah, “Saya bertemu dengan Imam Malik, saya katakan kepadanya,’Saya lihat engkau mengusap keringat dari alis matamu?’.
      Imam  Malik  menjawab, “Saya  merasa  tidak  mempunyai  apa-apa  ketika  bersama  Abu  Hanifah, sesungguhnya ia benar-benar ahli Fiqih, wahai orang Mesir (Imam Laits).”.
     Kemudian saya menemui Imam Hanafi, saya katakan kepadanya,“Bagus sekali ucapan Imam Malik terhadap dirimu”. Imam  Hanafi menjawab, “Demi Allah, saya  belum  pernah melihat  orang yang lebih cepat memberikan jawaban yang benar dan zuhud yang sempurna melebihi Imam Malik.”
     Komentar Imam Syafii terhadap Imam Malik,”Apabila ada hadis datang kepadamu, dari Imam Malik, maka kuatkan kedua tanganmu dengan hadis itu”. “Jika datang khabar kepadamu, maka Imam Malik adalah bintangnya”. “Jika disebutkan tentang ulama, maka Imam Malik adalah bintangnya. Tidak seorang pun yang lebih aman bagiku daripada Imam Malik bin Anas”. “Imam Malik bin Anas adalah guruku, darinya aku mengambil ilmu”. “Imam Malik bin Anas itu, jika ia ragu terhadap suatu hadis, maka ia membuang semuanya.”
      Komentar Imam Hambali terhadap Imam Syafi’i. Abdullah putra Imam Hambali berkata,“Saya katakan kepada Ayah saya, ‘Wahai Ayahanda, orang seperti apa Syafii itu, saya selalu mendengar engkau berdoa untuknya’. Imam Hambali menjawab, ‘Wahai Anakku, Imam Syafii seperti matahari bagi dunia. Seperti kesehatan bagi tubuh. Lihatlah, adakah pengganti bagi kedua ini?”
      Abu Ayub Humaid bin Ahmad Bashri berkata,“Saya bersama Imam Hambali berdiskusi tentang suatu masalah. Seorang laki-laki bertanya kepada Imam Hambali, “Wahai Abu Abdillah (Imam Hambali), apakah tidak ada hadis sahih tentang masalah itu’. Imam Hanbali menjawab,’Jika  tidak ada  hadis sahih, maka ada  pendapat  Imam Syafii dalam masalah itu. Hujah Imam Syafii terkuat dalam masalah itu’.”
Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

618. IMAM

IMAM MAZHAB SALING MENGHORMATI
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M


      Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan bahwa imam mazhab saling menghormati dalam menghadapi perbedaan?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
      Para imam mazhab tetap saling menghormati dalam menyikapi perbedaan, dan mereka tetap salat berjamaah bersama, meskipun terdapat beberpa perbedaan dalam  hal-hal tertentu, misalnya ketika membaca “basmalah” pada Al-Fatihah, ada yang membaca “sirr” (pelan), ada yang membaca “jahr” (keras), ada pula yang tidak membaca basmalah sama sekali, tetapi perbedan tersebut tidak menghalangi mereka untuk salat berjamaah bersama.
    Imam Hanafi atau para ulama mazhab Hanafi, serta imam Syafii dan para ulama  lain ikut salat di belakang para imam di Madinah yang berasal dari kalangan mazhab Maliki, meskipun para imam di Madinah tidak membaca basmalah dengan “sir”  maupun  “jahr”, karena  menurut mazhab Maliki bahwa “basmalah” bukan bagian dari surat Al-Fatihah.
    Adab Imam Syafi’i kepada Imam Hanafi, ketika Imam Syafii melaksanakan salat Subuh di lokasi yang dekat dari makam Imam Hanafi, maka Imam Syafii tidak membaca doa qunut dalam salat Subuh karena beradab kepada Imam Hanafi.
    Khalifah Harun Rasyid yang mengajak Imam Malik bermusyawarah, khalifah ingin menggantungkan kitab Al-Muwaththa (karya Imam Malik) di Kakbah, karena Khalifah ingin menetapkan agar seluruh masyarakat memakai isi kitab Al-Muwaththa.
    Imam Malik berkata kepada Khalifah,”Tuan jangan melakukannya, sesungguhnya para sahabat Rasulullah telah berbeda pendapat dalam masalah “furu” (cabang dalam agama), mereka telah menyebar ke seluruh dunia dan semuanya benar dalam ijtihadnya.” Khalifah Harun Rasyid berkata, “Allah memberikan taufik kepadamu, wahai Abu Abdillah (Imam Malik).”
     Imam Malik dan Imam Hanafi saling menghormati. Imam Laits bin Sa’ad berkisah, “Saya bertemu dengan Imam Malik, saya katakan kepadanya,’Saya lihat engkau mengusap keringat dari alis matamu?’.
      Imam  Malik  menjawab, “Saya  merasa  tidak  mempunyai  apa-apa  ketika  bersama  Abu  Hanifah, sesungguhnya ia benar-benar ahli Fiqih, wahai orang Mesir (Imam Laits).”.
     Kemudian saya menemui Imam Hanafi, saya katakan kepadanya,“Bagus sekali ucapan Imam Malik terhadap dirimu”. Imam  Hanafi menjawab, “Demi Allah, saya  belum  pernah melihat  orang yang lebih cepat memberikan jawaban yang benar dan zuhud yang sempurna melebihi Imam Malik.”
     Komentar Imam Syafii terhadap Imam Malik,”Apabila ada hadis datang kepadamu, dari Imam Malik, maka kuatkan kedua tanganmu dengan hadis itu”. “Jika datang khabar kepadamu, maka Imam Malik adalah bintangnya”. “Jika disebutkan tentang ulama, maka Imam Malik adalah bintangnya. Tidak seorang pun yang lebih aman bagiku daripada Imam Malik bin Anas”. “Imam Malik bin Anas adalah guruku, darinya aku mengambil ilmu”. “Imam Malik bin Anas itu, jika ia ragu terhadap suatu hadis, maka ia membuang semuanya.”
      Komentar Imam Hambali terhadap Imam Syafi’i. Abdullah putra Imam Hambali berkata,“Saya katakan kepada Ayah saya, ‘Wahai Ayahanda, orang seperti apa Syafii itu, saya selalu mendengar engkau berdoa untuknya’. Imam Hambali menjawab, ‘Wahai Anakku, Imam Syafii seperti matahari bagi dunia. Seperti kesehatan bagi tubuh. Lihatlah, adakah pengganti bagi kedua ini?”
      Abu Ayub Humaid bin Ahmad Bashri berkata,“Saya bersama Imam Hambali berdiskusi tentang suatu masalah. Seorang laki-laki bertanya kepada Imam Hambali, “Wahai Abu Abdillah (Imam Hambali), apakah tidak ada hadis sahih tentang masalah itu’. Imam Hanbali menjawab,’Jika  tidak ada  hadis sahih, maka ada  pendapat  Imam Syafii dalam masalah itu. Hujah Imam Syafii terkuat dalam masalah itu’.”
Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online