Tuesday, August 1, 2017

161. MODERN

TAFSIR AL-QURAN DAN MODERNISASI
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

      Beberapa orang bertanya,”Tolong dijelaskan hubungan antara Tafsir Al-Quran dan Modernisasi? Profesor Quraish Shihab menjelaskan Hubungan Tafsir Al-Quran dengan Modernisasi.
     Al-Quran mengenalkan dirinya sebagai “petunjuk bagi manusia” dan sebagai Kitab Sci yang diturunkan agar manusia keluar dari kegelapan menuju terang benderang.
     Al-Quran surah Ibrahim, surah ke-14 ayat 1. “Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu agar kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji.”
      Ayat Al-Quran menjelaskan manusia tadinya merupakan satu kesatuan atau “ummatan wahidah”, tetapi akibat lajunya pertumbuhan penduduk dan pesatnya perkembangan masyarakat, maka timbul masalah yang memunculkan perbedaan pendapat.
      Allah mengutus para nabi dan menurunkan kitab suci, agar mereka dapat menyelesaikan perbedaan dan menemukan solusi untuk masalah mereka.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 213. “Manusia adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan. Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidak berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan yang nyata, karena dengki mereka sendiri. Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.”
      Agar Al-Quran berguna sesuai dengan fungsi di atas, Al-Quran memerintahkan umat manusia mempelajari dan memahaminya. Sehingga manusia dapat menemukan solusi yang mengantarkan menuju jalan terang benderang.
      Al-Quran surah Shad, surah ke-38 ayat 29. “Ini sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah, agar mereka memperhatikan ayatnya dan  mendapatkan pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.”
       Al-Quran menggambarkan masyarakat ideal seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, lalu tunas itu menjadikan tanaman menjadi kuat dan membesar berdiri tegak di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati.
      Al-Quan surah Al-Fath, surah ke-48 ayat 29. “Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersamanya keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya, tampak bekas sujud pada muka mereka. Demikian sifat mereka dalam Taurat dan Injil, seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu membuat tanaman kuat lalu menjadi besar dan tegak lurus di atas pokoknya. Tanaman itu menyenangkan hati penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang mukmin). Allah menjanjikan kepada orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh ampunan dan pahala yang besar.”  
      Ayat Al-Quran ini menggambarkan masyarakat ideal selalu berubah dan berkembang menuju kesempurnaan.
       Masyarakat modern bercirikan dinamika dan selalu berubah, sedangkan Al-Quran menganjurkan pembaruan atau “tajdid” atau “modernisasi” atau “reaktualisasi”.
     Semua ulama mengakui dan menyadari perlunya “tajdid” atau “modernisasi’, tetapi dalam pengertian dan pengalaman terjadi perbedaan.
      Sebagian ulama menafsirkan kata “tajdid” artinya “mengembalikan ajaran agama seperti pada masa salaf pertama”. Ulama yang lain menafsirkan “tajdid “ bermakna “menyebarluaskan ilmu”. Salaf ialah sesuatu atau orang yang terdahulu.
    Rumusan gabungan pengertian “tajdid” adalah “menyebarluaskan dan menghidupkan kembali ajaran agama seperti yang dipahami dan diterapkan pada masa awal”.
     Ulama yang lain memahami “tajdid“ artinya “usaha menyesuaikan ajaran agama dengan kehidupan masa kini menggunakan “takwil” atau menafsirkan sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kondisi sosial masyarakat”.
      Menafsirkan ayat Al-Quran seperti dipahami dan ditafsirkan seperti pada masa salaf pertama tidak sepenuhnya benar. Karena Al-Quran diyakini berdialog dengan setiap generasi dan memerintahkan manusia mempelajari dan memikirkannya.
      Hasil pemikiran seseorang dipengaruhi pengalaman, pengetahuan, kecenderungan, dan latar belakang pendidikan yang berbeda.
      Memaksa suatu generasi  mengikuti “keseluruhan” hasil pemikiran generasi masa lampau mengakibatkan kesulitan. Hakikat ciri dan masyarakat selalu berubah.
      Melakukan “tajdid” dengan menghapus atau membatalkan ajarannya, pada hakikatnya menghilangkan ciri ajaran Al-Quran yang “selalu sesuai dengan setiap zaman dan lokasi.”
      Menafsirkan ayat Al-Quran sejalan dengan perkembangan masyarakat atau penemuan ilmiah tanpa seleksi akan berbahaya. Perkembangan masyarakat dapat berupa  potensi positif atau sebaliknya, berupa potensi negatif.
      Penemuan ilmiah selalu bersifat objektif dan yang telah mapan, tetapi ada yang belum mapan. Karena itu, diperlukan beberapa catatan terhadap gagasan para pemikir dan ulama kontemporer atau masa kini.
      Para ulama yang berbicara “tajdid” atau modernisasi, berbeda pendapat mengenai batasnya. Sebagian ulama membatasinya sehingga tidak mencapai hasil yang diharapkan, sebagian ulama lain melampaui batas sehingga berbahaya.
      Sebagian ulama berpandangan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan berkembang pula pemahaman makna ayat Al-Quran. Sebagian ulama lain berpendapat syariat Islam harus dipahami seperti zaman para sahabat Nabi.
      Sebagian ulama memperluas penggunaan “takwil”, dengan menggunakan akal seluas-luasnya dalam memahami ajaran agama, dan mempersempit wilayah gaib. Apabila hal ini dilanjutkan tanpa batas, dapat mengakibatkan penolakan terhadap  hal-hal yang bersifat suprarasional.
      Menggunakan akal sebagai tolok ukur satu-satunya dalam memahami teks ayat Al-Quran, peristiwa alam, sejarah kemanusiaan dan hal yang gaib, berarti menggunakan akal yang terbatas untuk menafsirkan perbuatan Allah Yang Maha Mutlak dan Tidak Terbatas. 
      Apabila redaksi ayat Al-Quran cukup jelas dan tidak bertentangan dengan akal, walaupun belum dipahami hakikatnya, maka ayat Al-Quran tersebut tidak perlu ditakwilkan dengan memaksakan suatu makna yang dianggap logis.
      Perkembangan masyarakat yang positif dan hasil penemuan ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan, harus menjadi pegangan pokok dalam memahami dan menafsirkan ayat Al-Quran.
    Apabila teks ayat Al-Quran bertentangan dengan perkembangan dan penemuan ilmiah, maka harus ditakwilkan dalam batas yang dibenarkan.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.  
2. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.

0 comments:

Post a Comment