MEMAHAMI KEMISKINAN
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.
Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang “Kemiskinan menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
Kata miskin menurut KBBI V bisa diartikan “tidak berharta”, dan “serba kekurangan (berpenghasilan sangat rendah)”, sedangkan “kemiskinan” adalah “hal miskin”, dan “keadaan miskin”.
Al-Quran adalah kitab petunjuk dan pedoman yang bersifat global, sehingga Al-Quran tidak memerinci (menguraikan sampai ke bagian yang sekecil-kecilnya) masalah kemasyarakatan, dan masalah yang berkaitan dengan ibadah “mahdhah” (murni), yang memerincinya adalah hadis Nabi, seperti misalnya perincian tentang ibadah salat dan haji.
Sedangkan perincian petunjuk menyangkut segi kehidupan bermasyarakat, dalam hadis Nabi, lebih banyak berkaitan dengan kondisi masyarakat pada zaman Nabi, sehingga masyarakat sesudahnya perlu melakukan penyesuaian dengan kondisi dan situasi masing-masing dengan berpedoman ajaran Islam.
Kemiskinan dan cara mengatasinya adalah masalah kemasyarakatan, yang faktor penyebab dan tolok ukur kadarnya, bisa berbeda akibat perbedaan lokasi dan situasi, sehingga Al-Quran tidak menetapkan kadarnya dan tidak memberikan petunjuk operasional yang terperinci untuk pengentasannya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata "miskin" diartikan sebagai “tidak berharta benda”, dan “serba kekurangan (berpenghasilan rendah)”, sedangkan “fakir” diartikan sebagai “orang yang sangat berkekurangan dan sangat miskin”.
Dalam bahasa Arab, kata “miskin” terambil dari kata “sakana” yang artinya “diam” atau “tenang”, sedangkan kata “fakir” terambil dari kata “faqr” yang pada mulanya berarti “tulang punggung”, sehingga “faqir” adalah “orang yang patah tulang punggungnya”, artinya beban yang dipikulnya sangat berat sehingga “mematahkan” tulang punggungnya.
Para ulama berpendapat bahwa Al-Quran tidak memberikan definisi tentang “miskin” dan “fakir”, sehingga para ahli berbeda pendapat dalam menetapkan tolok ukur kemiskinan dan kefakiran.
Sebagian ulama berpendapat bahwa “fakir” adalah orang yang berpenghasilan kurang dari separuh kebutuhan pokoknya, sedangkan “miskin” adalah orang yang berpenghasilan di atas “fakir”, tetapi tidak cukup untuk menutupi kebutuhan pokoknya, tetapi ada yang mendefinisikan sebaliknya, sehingga keadaan si “fakir” relatif lebih baik daripada si “miskin”.
Al-Quran dan hadis Nabi tidak menetapkan angka tertentu yang pasti sebagai ukuran kemiskinan, sehingga yang dikemukakan di atas bisa berubah, tetapi yang jelas, Al-Quran menyatakan bahwa orang yang fakir dan miskin harus dibantu.
Para ulama berpendapat, “Menurut pandangan Islam, tidak dapat dibenarkan seseorang yang hidup di tengah masyarakat Islam, meskipun warga non-Muslim, terdapat warga yang kelaparan, tidak berpakaian, menggelandang (tidak bertempat tinggal), dan membujang”.
Para ulama berpendapat bahwa biaya pengobatan dan biaya pendidikan adalah kebutuhan primer yang harus ditanggung penuh oleh masyarakat, pemerintah, dan negara.
Akar kata "miskin" yang artinya “diam” dan “tidak bergerak” menimbulkan kesan bahwa faktor utama penyebab kemiskinan adalah sikap berdiam diri, enggan, tidak mau bergerak dan berusaha.
“Keengganan berusaha” adalah penganiayaan terhadap dirinya sendiri, sedangkan “ketidakmampuan berusaha” bisa disebabkan penganiyaan oleh manusia yang lain, yang diistilahkan dengan “kemiskinan struktural”.
Kesan ini lebih jelas lagi apabila diperhatikan bahwa jaminan rezeki dari Allah, ditujukan kepada makhluk yang dinamakan “dabbah” yang arti harfiahnya adalah “yang bergerak”.
Al-Quran surah Hud, surah ke-11 ayat 6.
۞ وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا ۚ كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah yang memberikan rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauhul mahfuz)”.
Ayat Al-Quran ini “memberikan jaminan” bahwa siapa pun yang aktif bergerak untuk mencari rezeki, pasti akan diberikan rezeki oleh Allah.
Al-Quran surah Ibrahim, surah ke-14 ayat 34.
وَآتَاكُمْ مِنْ كُلِّ مَا سَأَلْتُمُوهُ ۚ وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ إِنَّ الْإِنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ
“Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah)”.
Paran ulama menjelaskan bahwa pernyataan Al-Quran di atas dikemukakan setelah Allah menyebutkan berbagai nikmat dan karunia dari Allah, seperti langit, bumi, hujan, laut, bulan, matahari, dan sebagainya.
Sumber daya alam yang disiapkan Allah untuk umat manusia tidak terhingga dan tidak terbatas, seandainya sesuatu telah habis, maka ada alternatif lain yang disediakan Allah selama manusia berusaha.
Sehingga tidak ada alasan untuk berkata bahwa sumber daya alam terbatas, tetapi sikap manusia terhadap dirinya sendiri, pihak lain, dan kepada alam semesta yang menjadikan sebagian manusia tidak memperoleh sumber daya alam tersebut.
Kemiskinan dapat terjadi akibat adanya ketidakseimbangan dalam perolehan dan penggunaan sumber daya alam, yang diistilahkan oleh ayat Al-Quran dengan “perbuatan aniaya”, atau karena keengganan manusia menggali sumber daya alam untuk mencari alternatif pengganti, keduanya dinamakan sikap “kufur” artinya “tidak mensyukuri nikmat dari Allah”.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online.
0 comments:
Post a Comment