MEMORI
PAK SUBRON SETIADI
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.
1. Aneh
bin ajaib. Waktu berjalan begitu cepat.
2. Tidak
terasa, lebih 38 tahun saya menjadi
seorang guru.
3. Sebagai
seorang pendidik sekaligus “ambtenar”.
4. Rasanya,
baru kemarin lulus STM (Sekolah Teknik Menengah) Negeri 3 Surabaya di Sidoarjo
Jurusan Teknik Mesin.
5. Seangkatan
dengan Joko Malis. Pemain sepak bola terkenal di Surabaya. Ternyata, tidak lama lagi saya akan lepas tugas.
6. Sesuai
peraturan, maka “Umar Bakri” harus
pensiun dari guru PNS (Pegawai Negeri Sipil) pada umur 60 tahun.
BUKAN MANTAN GURU
1. Tentu
saja, selama puluhan tahun menjadi “betara guru”, banyak hal sudah terjadi.
Sekarang ini, semua murid saya
berpencar.
2. Menjadi
apa saja, dan di mana saja.
3. Oleh
karena itu, tidak heran ketika saya berada di suatu tempat.
4. Sering
berpapasan dengan “mantan” murid saya.
5. “Pak
Guru, bagaimana kabarnya?” kata seseorang.
6. Atau,
“Pak Yusron, kok kelihatan masih muda. Padahal saya sebagai murid Bapak. Sudah
tua dan rambut sudah beruban,” timpal yang lain.
7. “Pak
Yusron, terima kasih sudah memberi inspirasi saya belajar elektronika waktu
SMP. Alhamdulillah, saya sekarang bekerja di suatu perusahaan yang besar,”
tulis seseorang dalam akun facebook saya.
8. Bahkan
ada yang menuliskan lewat twitter, “Pak Yusron, adalah guru matematika saya
yang hebat.” Atau sapaan lainnya.
9. Ketika
berjumpa tatap muka langsung atau lewat media sosial marak terjadi.
10. Biasanya
saya menjawab, “Terima kasih, semoga kita tetap sehat lahir dan batin.
Bermanfaat bagi keluarga dan masyarakat sekitar.”
11. Saya
menganggap beberapa ucapan dan tulisan mereka hiperbol atau dibesar-besarkan.
12. Tetapi,
itulah komunikasi yang kerap terjadi antara murid dan “mantan” gurunya.
13. Ya
benar, meskipun sekarang sudah kelihatan hampir sama tuanya.
14. Tetapi
guru adalah tetap guru selamanya, bukan mantan guru!
15. Juga,
bukan bekas guru! Guru saya pribadi waktu SD, SMP, maupun SMA/STM adalah guru
saya selamanya.
16. Guru
saya sepanjang hayat.
17. Itu
keyakinan saya pribadi, maka saya selalu menghormati dan mendoakan kebaikan
buat semua guru saya.
18. Selamanya.
19. Semua
interaksi antara saya dengan “mantan” murid, membuat saya merasa sebagai guru
selebriti.
20. Mungkin
saya berlebihan.
21. Tetapi,
mohon dimaklumi, itulah yang saya rasakan.
22. Sering
terjadi pertemuan saya dengan “mantan” murid di suatu tempat.
23. Atau
ketika reuni alumni, memaksa untuk mengingatkan suasana nostalgia yang
menyenangkan dan menggemaskan.
24. Bagaimana
tidak menggemaskan?
25. Kami
bercerita “gedabrus” dan “ngalor ngidul” tentang zaman tempo dulu yang masih
imut, lucu, agak norak, menyenangkan sekaligus menyebalkan.
26. Tetapi,
semuanya terlalu indah untuk dikenangkan, dan sayang untuk dilupakan. Adakah
hal lain yang lebih indah dan menggemaskan?
27. Selain
mengenang peristiwa masa lalu yang indah ketika masih remaja?
28. Selain kisah kasih waktu lampau yang tidak
akan terulang?
KECELAKAAN MEMBAWA NIKMAT
1. Bagaimana
riwayat saya, yang lulusan STM Teknik Mesin bisa menjadi seorang guru?
2. Kisahnya,
dimulai ketika saya lulus STM tahun 1976.
3. Saya
mendaftar masuk ke ITS (Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya). Dengan
sepeda motor.
4. Beberapa
kali saya membonceng ayah dari desa Panjunan, Sukodono, Sidoarjo mengunjungi
tempat pendaftaran masuk ITS Surabaya.
5. Untuk
mencatat dan melengkapi syarat pendaftaran.
6. Setelah
sekian hari mengikuti bimbingan masuk ke ITS oleh para tentor.
7. Tiba
saatnya mengikuti tes masuk ITS. Hasilnya?
8. Ternyata
dalam pengumuman penerimaan mahasiswa baru, nama saya tidak muncul. Kecewa?
9. Tentu
saja, saya kecewa.
10. Saya
batal menjadi “tukang” insinyur.
11. Saya
gagal masuk ITS karena nilainya tidak mencukupi.
12. Ataukah
sebab ada aturan lulusan STM harus mengabdi selama dua tahun di perusahaan
lebih dulu.
13. Entahlah.
14. Yang
pasti, itulah awal saya mengalami “kecelakaan yang membawa nikmat” menjadi
calon seorang guru.
15. Setelah
gagal masuk ITS, saya menjadi mahasiswa PGSLP YD (Pendidikan Guru Sekolah
Lanjutan Pertama Yang Disempurnakan) yang diselenggarakan oleh IKIP (Institut
Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Negeri Surabaya di kampus Ketintang, Surabaya.
16. PGSLP
YD adalah sebuah program darurat untuk memenuhi kebutuhan guru di Indonesia.
Bahkan dalam perjanjian tertulis yang saya tanda tangani.
17. Setelah
lulus kelak, harus bersedia menjadi guru di seluruh Indonesia atau negara lain
yang ditunjuk pemerintah.
GURU PEMULA
1. Pada
1 Februari 1978, Alhamdulillah saya lulus dari PGSLP YD Jurusan Keterampilan
Elektronika. Sejak 1 Maret 1978 saya resmi menjadi calon guru PNS di SMP Negeri
1 Sidoarjo.
2. Saya
amat bersyukur ditempatkan di daerah asal, sedangkan banyak teman saya
ditempatkan di luar Jawa. Misalnya, di Pulau Kalimantan dan Madura.
3. Barangkali,
salah satu kriteria menentukan lokasi menempatan adalah hasil nilai selama
kuliah.
4. Nilai
saya termasuk bagus. Maka saya ditugaskan di sekolah terbaik di Sidoarjo.
Alhamdulillah.
5. Sebagai
calon guru PNS golongan ruang II/a dengan pangkat Pengatur Muda.
6. Nomor
Induk Pegawai 130684046.
7. Saya
menerima gaji Rp16.960,00 per bulan.
8. Yakni
sebesar 80 persen dari gaji pokok Rp21.200,00.
9. Saya
menerima gaji pertama saya dengan gembira.
10. Belum
memiliki sepeda motor.
11. Setiap
hari sekolah, berangkat dan pulang sekolah naik kendaran umum.
12. Sering
juga dibonceng sepeda motor bersama orang yang searah dengan saya.
13. Masa
ltu, hanya satu jenis kendaran umum yang melayani rute dari Sidoarjo ke
Sukodono, dan sebaliknya.
14. Yaitu
mobil lin G warna merah.
15. Yang
terbuka bagian belakangnya.
16. Sehingga,
penumpang naik dan turun lewat pintu belakang.
17. Bukan
lewat samping.
18. Penumpang
duduk saling berhadapan, beradu dengkul.
19. Menghadap
ke samping.
20. Bukan
ke depan atau ke belakang.
21. “Bemo”
tersebut berpangkalan di Pasar Dayu, Sidoarjo dan Pasar Sukodono.
22. Ketika
berangkat, saya biasanya menunggu kendaraan di depan rumah, lalu turun di Baba
Layar, Sidoarjo.
23. Kemudian
berjalan kaki ke SMP Negeri 1 Sidoarjo.
24. Melewati
alun-alun Sidoarjo.
“DON’T JUDGE A BOOK BY ITS
COVER”.
1. Jangan
menilai sebuah buku hanya dengan melihat penampilan luarnya saja.
2. Jangan
suka menilai seseorang cuma dari penampilan “casing”nya, jangan hanya dari
“bungkus”nya.
3. Pepatah
tersebut cocok dengan pengalaman saya.
4. Sewaktu
pulang dari sekolah.
5. Biasanya,
saya menunggu antrean “bemo” di Pasar Dayu, Sidoarjo.
6. Kendaraan
akan berangkat, jika penumpang sudah penuh.
7. Selama
menunggu, saya menonton para “kru” dan calon penumpang bermain catur.
8. Bergantian.
9. Cak
Mat, salah seorang pemain catur jalanan.
10. Penampilannya
sungguh tidak mengesankan.
11. Rambutnya
awut-awutan.
12. Mengenakan
pakaian “kebesaran”.
13. Karena
memang berukuran amat besar dan
“gelombyor”.
14. Tetapi,
jangan tertipu penampilan.
15. Dia
pemain catur ulung.
16. Dia
menggerakkan buah catur “secepat kilat”, sebelum musuhnya menempatkan buah
catur dengan sempurna.
17. Tingkahnya
sungguh “menghenyek” lawannya.
18. Seolah
tanpa berpikir.
19. Dia
memindahkan buah catur, tanpa konsentrasi melihat papan catur.
20. Seolah
dia bisa “membaca” pikiran lawannya.
21. Awalnya,
saya memandangnya dengan “sebelah mata”.
22. Saya
menganggapnya sebagai pemain “ecek-ecek”.
23. Pemain
catur pemula.
24. Tetapi
dugaan saya keliru!
25. Ternyata,
saya sulit mengalahkan dia dalam bermain catur.
26. Yang
sering hanya bermain seri.
27. Hanya
seimbang, tidak ada yang kalah.
28. Bahkan,
saya pernah kalah.
29. Tahun
2010. Cak Mat mengunjungi saya.
30. Di
SMP Negeri 2 Buduran, Sidoarjo.
31. Setelah
30-an tahun tidak berjumpa.
32. Dengan
penampilan yang rapi.
33. Dia
menyapa saya, megingatkan zaman tempo dulu.
34. Kami
bernostalgia.
35. Dia
mengingatkan, bahwa saya adalah lawan tanding bermain catur yang seimbang.
36. Setelah
beberapa saat, dia pamit dengan membawa uang transpor sekadarnya.
MERASA KEHILANGAN
1. Sekarang,
saya merasa kehilangan.
2. Pemuda
berbadan kekar.
3. Dia,
seorang sopir perusahaan.
4. Setiap
pagi lewat di depan rumah.
5. Dia
naik sepeda motor butut.
6. Tidak
memakai jaket.
7. Juga,
tanpa helm.
8. Menuju
ke tempat kerjanya.
9. Setiap
pagi berangkat kerja, dia acap kali mengajak saya bersama.
10. Saya
membonceng ke Sidoarjo.
11. Saya
ikut “nebeng”.
12. Naik
sepeda motor “gundul”.
13. Bisa
pula disebut sepeda motor “miskin”.
14. Tidak
memiliki apa-apa.
15. Hanya
mampu “gelundung” saja.
16. Kasihan.
17. Namun,
anehnya, meskipun “miskin”, tapi sangat berjasa.
18. Terutama
kepada saya.
19. Sayangnya,
saya tidak tahu tempat tinggalnya.
20. Sudah
puluhan tahun, saya tidak pernah berjumpa lagi dengannya.
21. Semoga
Allah yang Mahakuasa membalas semua kebaikannya.
22. Amin.
GURU PEMULA.
1. Dengan
penampilan anak muda 21 tahun, maaf, agak berambut gondrong. Rambut sedikit
“gimbal”.
2. Banyak
teman sekolah yang tidak menyangka, saya telah menjadi seorang pendidik.
3. Memang,
seorang guru seharusnya bisa “digugu” dan “ditiru”.
4. Artinya,
seorang guru sepatutnya mampu menjadi panutan dan teladan.
5. Sebagai
guru pemula, saya menjadi asisten Pak Bin Anwar.
6. Beliau
guru agama Islam yang pintar servis elektronika.
7. Misalnya,
servis radio dan televisi.
8. Beberapa
teman guru menggoda saya, “Pak Yusron adalah guru yang aneh, sebab menjadi guru
yang berhubungan dengan listrik, tetapi rumah Pak Guru sendiri belum ada
listriknya,” kata mereka.
9. Saya
tertawa, mendengarkan gurauan mereka.
10. Mungkin
mereka menganggap saya belum cukup ilmu untuk menjadi guru.
11. Guyonan
teman guru ada benarnya.
12. Kegiatan
perkuliahan PGSLP YD dilaksanakan sekitar delapan bulan.
13. Dengan
memperoleh beasiswa dari pemerintah dihitung selama setahun.
14. Setelah
lulus, langsung ditugaskan sebagai guru SMP.
15. Padahal,
dengan kuliah yang relatif singkat.
16. Tentu
saja, bekal ilmunya belum mumpuni.
17. Saya
berusaha mengatasi kekurangan tersebut.
18. Mulai
saat itu, saya sering mengunjungi Pasar Genteng, Surabaya untuk belajar lebih
banyak dan mendalam tentang Teknik Elektronika.
PENYANYI KAMAR MANDI
1. Kami,
para guru muda.
2. Sering
tidur di “Sanggar Sekolah”.
3. Ruangan
tidak terpakai “disulap” menjadi ruang tidur.
4. Saya
dengan Pak Andi guru kesenian dan Pak Putut guru bahasa Indonesia adalah
penghuni tetap.
5. Sedangkan
beberapa guru lain, biasanya ikut menimbrung.
6. Melihat
dan mendengarkan Pak Andi memainkan gitar sambil bernyanyi.
7. Hampir
setiap hari.
8. Saya
terpengaruh kena “virus”nya.
9. Tidak
terasa, saya dan Pak Putut tertular ikut belajar bermain gitar.
10. Juga belajar alat musik lainnya.
11. Misalnya,
piano dan drum.
12. Kami
memperoleh julukan sebagai “Penyanyi Kamar Mandi” dan “Artis Sanggar”.
13. “Pindah
kripnya besok saja!” teriak Pak Andi.
14. Ketika
kami memainkan sebuah lagu, tetapi
tangan saya terlambat memindahkan krip (accord) gitar dari posisi C ke
Am misalnya.
15. Kami
tertawa bersama mendengar “ejekan” tersebut.
JAGO KANDANG BADMINTON
1. Pada
kesempatan lain.
2. Saya
berhasil “membalas dendam”.
3. Mempermalukan
Pak Andi.
4. Pada
sore hari yang cerah.
5. Kami
bermain badminton.
6. Setelah
saya mengalahkan Pak Putut.
7. Saya
bertanding single dengan Pak Andi.
8. Yang
amat mahir bermain gitar, tetapi “kedodoran” ketika memegang raket badminton.
9. Pertandingan
belum berakhir, Pak Andi sudah menyerah kalah.
10. Pak
Andi mengaku “keok”. “Gak badminton, gak patheen,”kata Pak Andi.
11. Sambil
meletakkan raket dan “ngeloyor” meninggalkan lapangan.
12. Sungguh,
kenangan yang lucu dan menggemaskan.
KHATIB SALAT JUMAT PEMULA
1. “Pak
Yusron bukan akar, tetapi rotan,” kata Pak Subron, guru pelajaran agama
Islam.
2. Memberikan
semangat kepada saya, agar mau belajar menjadi khatib salat Jumat.
3. Belajar
menjadi juru khotbah.
4. Ketika
itu, saya dipaksa menjadi khatib salat Jumat di masjid sekolah.
5. Saya
guru keterampilan.
6. Bukan
guru pelajaran agama Islam.
7. Saya
beralasan, “Tidak ada rotan, akar pun jadi.”
8. Karena
dipaksa, lalu terpaksa.
9. Akhirnya,
sekarang terbiasa menjadi khatib dan imam salat Jumat di masjid sekolah.
10. Alhamdulillah.
JUARA CATUR LOKAL
1. Ketika
itu, dalam kurikulum, muncul mata pelajaran Keterampilan Bebas.
2. Siswa
boleh memilih sesuai bakat dan minatnya.
3. Misalnya:
memasak, seni tari, bola voli, badminton, sepak bola, dan catur.
4. Juga,
pilihan lainnya sesuai dengan kondisi dan kemampuan sekolah.
5. Sebagai
guru keterampilan, tentu saja, saya mendapat giliran untuk mengampunya.
6. Saya
mendapatkan tugas memberikan pelajaran bermain catur kepada siswa.
7. Beberapa
buku teori bermain catur dan buku pertandingan antarmaster catur tingkat dunia,
sudah saya miliki.
8. Beberapa
guru senior, misalnya Pak Bin Anwar, Pak Imam Muljono, dan Pak Soedarsono
sering penasaran dengan saya.
9. Mengapa?
10. Mereka
belum bisa mengalahkan saya dalam bermain catur.
11. Di
rumah, saya kerap bermain catur dengan ayah dan tiga saudara laki saya.
12. Ayah
saya, H.M.Tauchid Ismail, Ketua Takmir Masjid Panjunan, Sukodono, Sidoarjo.
13. Zaman
itu, pengurus masjid menyiapkan beberapa papan catur dan papan lapangan tenis
meja di teras masjid.
14. Agar
para pemuda betah berada di masjid.
15. Terutama
ketika bulan puasa.
16. Lingkungan
tersebut memengaruhi saya.
17. Sejak
kecil, saya sudah sering bermain catur.
18. Saya
pernah menyabet juara lomba catur tingkat kecamatan Sukodono.
19. Jadi,
mengajarkan teori bermain catur dan praktik bertanding catur melawan murid
merupakan hal yang sudah biasa.
SEKOLAH KERAJAAN
1. “Inilah
bapak guru dari sekolah kerajaan,” ujar rekan guru SMP Negeri 2 Sidoarjo.
2. Mereka menilai Kepala SMP Negeri 1 Sidoarjo,
kala itu, Pak Tony Soebijanto, BA sebagai orang yang keras dan tegas dalam
menegakkan disiplin kepada siswa maupun guru dan pegawai.
3. Memang,
masa itu, SMP Negeri 1 Sidoarjo terkenal sebagai sekolah yang amat disiplin.
4. Sehingga
dijuluki “Sekolah Kerajaan”.
5. “Apakah
dia seorang guru?” tegur Pak Tony.
6. Sambil
menuding dengan jempol jari tangan kanan ke arah siswa di depan saya.
7. Ketika
itu saya, seorang guru muda, sedang
berbicara dengan siswa di luar kelas pada jam istirahat.
8. Pak
Tony menginginkan tetap ada “jarak” antara guru dengan siswa.
9. Juga,
harus terjaga semacam “kasta” antara guru senior dan pemula.
GURU TERBANG
1. Setelah
berjalan beberapa waktu.
2. Saya
ditugaskan menjadi “guru terbang”.
3. Mengapa?
4. Karena
saya harus bergerak dari satu sekolah ke sekolah lain.
5. Misalnya,
Senin bertugas di SMP Negeri 1 Sidoarjo.
6. Selasa
mengajar di SMP Negeri Juanda (sekarang SMP Negeri 1 Sedati).
7. Rabu
berada di SMP Negeri 1 Candi.
8. Begitu
selanjutnya, diatur sesuai dengan jadwal jam mengajar.
9. Semua
sekolah tersebut adalah filial atau cabang dari SMP Negeri 1 Sidoarjo.
10. Khusus
ke SMP Negeri Juanda, disediakan bis dinas TNI AL (Tentara Nasional Indonesia
Angkatan Laut).
11. Semboyan
TNI AL “Jalesveva Jayamahe”.
12. Yang
bermakna Di Lautan Kita Jaya.
13. Tiap
hari kerja, pukul lima pagi, bis sudah siap di depan gedung SMP Negeri 1
Sidoarjo.
14. Hanya
kendaraan TNI AL yang boleh masuk
kompleks Juanda.
15. Naik
bis bersama tentara dan mengajar di Kompleks SMP Negeri Juanda berpengaruh
positif.
16. Sikap
disiplin dan saling hormat dengan mengangkat tangan kanan ketika bertemu,
menjadi pemandangan harian.
PERTAMA KALI NAIK PESAWAT TERBANG
1. Anak
desa naik pesawat udara, karena guru.
2. Benar!
Saya pertama kali naik pesawat terbang, karena berstatus guru di SMP
Negeri Juanda.
3. Waktu
itu, sekitar tahun 1980-an ada murid putera tentara menawarkan naik pesawat
terbang gratis.
4. Saat
itu, peringatan Hari Armada.
5. Ada
pilot yang ingin menambah jam terbang.
6. Tentu
saja, tawaran itu kami terima dengan gembira.
7. Duduk
di dalam pesawat terbang menghadap ke samping.
8. Bukan
ke depan atau ke belakang.
9. Terjadilah
pengalaman luar biasa. Anak desa terbang pertama kali.
10. Pesawat
kecil berisi empat orang, termasuk pilot
dan co-pilot.
11. Selama
sekitar satu jam kami berputar di
sekitar langit Juanda.
12. Pertama
kali berada di udara.
13. Saya
berusaha melihat pemandangan ke arah bawah.
14. Lewat
jendela kecil.
15. Saya
mencari desa dan atap rumah saya dari udara.
16. Menikmati
pemandangan sekitar.
17. Pemandangan
yang menakjubkan.
18. Selama
di udara, bergejolak perasaan gembira dan takut sekaligus.
19. Alhamdulillah,
akhirnya pesawat dapat mendarat dengan mulus.
20. Semua
gembira.
21. Apalagi
saya.
PEMBINA MAHIR PRAMUKA.
1. Saya
guru muda di SMP Negeri Juanda.
2. Dikirim
mengikuti penataran Pembina Pramuka Mahir Dasar di Kwarcab Sidoarjo.
3. Letnan
Kolonel (Laut) Kukuh Sutedjo mengirim saya dan Bu Erlandin mewakili pembina
Gudep Pramuka SMP Negeri Juanda.
4. Bersama
dengan beberapa guru dari SD Hang Tuah 10 Juanda dan utusan lainnya.
5. Kami
mengikuti kursus Pembina Pramuka Jenggala 31 Sidoarjo.
6. Setelah
beberapa bulan mengikuti kegiatan kursus Pembina Pramuka di Sidoarjo, Pacet
Mojokerto dan lainnya, kami menerima sertifikat sebagai Pembina Mahir Pramuka.
7. Ka
Kwarcab Pak Nurimin menyerahkan sertifikat dan memasangkan pita dan selendang
Pembina Mahir Pramuka di Pendopo Kabupaten Sidoarjo.
8. Saya
menerima pita dengan setrip merah sebagai Pembina Mahir Penggalang.
9. Pita
setrip hijau untuk Pembina Mahir Siaga dan pita setrip kuning untuk Pembina
Mahir Penegak.
10. Resmi
punya pangkat BG.
11. Artinya
Pembina Penggalang.
12. Sering
diplesetkan BG artinya Bolo Gendeng.
MENJADI KOMANDAN UPACARA
1. Bertugas
puluhan tahun.
2. Menghadapi
aneka model dan gaya murid, guru, dan pegawai.
3. Dengan
karakter dan perilaku yang beragam.
4. Membuat
saya memperoleh banyak pengalaman.
5. Suka
dan duka.
6. Berpindah
tempat tugas: pembagian guru ke SMP Negeri Juanda, sejak 1 Desember 1981.
7. Mendekati
tempat tinggal, mulai 1 Agustus 1986 mutasi ke SMP Negeri 1 Sukodono.
8. Suatu
saat, saya bertanya bagaimana cara
seorang penari mampu diam.
9. Tidak
bergerak selama beberapa menit.
10. “Gerak-gerakkan anggota tubuh yang tertutup,
misalnya jempol dan jari kaki, agar peredaran darah tetap lancar,” jawab
seorang guru seni tari.
11. Saya
mencoba menerapkan ilmu tersebut, ketika menjadi komandan upacara.
12. Waktu
itu, SMP Negeri 1 Sukodono mendapatkan giliran menjadi komandan upacara 17
Agustus, tingkat kecamatan.
13. Tidak
ada guru yang bersedia, termasuk guru olah raga.
14. Akhirnya,
saya mengajukan diri.
15. Menjadi
komandan upacara.
16. Di
lapangan kecamatan Sukodono.
17. Pak
Camat sebagai inspektur upacara.
18. Dengan
pengalaman sebagai Pembina Mahir Pramuka.
19. Saya
berhasil melaksanakan tugas dengan baik.
20. Alhamdulillah.
GURU SELEBRITI
1. Mendapatkan
tugas baru.
2. Sebagai
guru dengan tugas tambahan kepala SMP Negeri 3 Porong, terhitung 5 Maret 2002.
3. Ditugaskan
di SMP Negeri 1 Jabon, sejak 17 Februari 2004. Pindah tugas ke SMP Negeri 2
Buduran, sejak 3 April 2007.
4. Mulai
15 Januari 2014 mutasi ke SMP Negeri 1 Balongbendo, sampai sekarang.
5. Sungguh, cakupan wilayah tempat tugas yang
relatif luas.
6. Saya
tetap masuk kelas.
7. Bertatap
muka langsung dengan siswa.
8. Sesuai
dengan kewajiban guru yang mendapat tugas tambahan sebagai kepala sekolah.
9. Mengampu
mata pelajaran matematika.
10. Di
semua sekolah tempat bertugas.
11. Suasana
berinteraksi dengan murid, tidak tergantikan.
12. Sangat
menggembirakan sekaligus menggemaskan.
13. Kwangsan
adalah nama sebuah desa di Kecamatan Sedati, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.
14. Balai
desa Kwangsan berhadapan dengan gedung BPMTV (Balai Pengembangan Media Televisi
Pendidikan) yang dikelola Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
15. Hanya
terpisah sebuah jalan desa.
17. Perangkat
desa dan beberapa ibu sedang berkumpul
di balai desa.
18. Para
ibu menunggu putra-putrinya yang belajar
di TK (Taman Kanak-Kanak) Dharma Wanita.
19. Gedung
TK berada di samping balai desa. Saya
mampir ke balai desa, sewaktu mengikuti Workshop Penulisan Kreatif di BPMTV.
20. “Pak
Yusron ini adalah guru saya waktu SMP,” kata Sirojudin.
21. “Apakah
benar Pak, kok kelihatan lebih tua muridnya dibandingkan dengan gurunya?” kata
seorang perangkat desa.
22. Saya
mengangguk.
23. Ibu-ibu
tersenyum.
24. Saya
juga.
25. Saat
itu, saya merasa sebagai guru selebriti.
(Tugas menulis kreatif di BPMTV Sedati,
Sidoarjo)
Catatan.
- Drs.
H. Subron Setiadi, M Pd. wafat Selasa, 15 September 2020.
- lnna
lillahi wa inna ilaihi rajiun.
- Semoga
husnulkhatimah.
0 comments:
Post a Comment