Monday, July 24, 2023

19246. BANGSA MAJU BERANI KRITIK IKHLAS TAK PAMRIH

 

BANGSA MAJU BUTUH BERANI KRITIK IKHLAS TAK PAMRIH

Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 PEMISALAN 1

 

Suatu hari.

Seorang kiai dan pejabat.

Hendak salat bersama.

 

 

Mereka wudu bersisian.

 

 

 

Kiai membuka keran airnya.

Besar-besar.

  

Mengucur deraslah air itu.

Kemana-mana.

  

"Astagfirullah, Kiai," kata pejabat.

 

"Tidakkah keran airnya.

Terlalu besar dibuka?

  

Itu boros sekali.

  

Padahal Nabi.

Menyuruh kita hemat air.

Saat wudu."

  

Kiai menoleh kepada pejabat,

 

 

 

"Itu benar sekali, Pejabat.

  

Tapi jika engkau.

Melihat keran air.

Tahu itu dilarang.

  

Lantas bagaimana.

Dengan uang negara.

Yang kalian hambur2kan.

  

Boros.

Dikorupsi.

Dan sebagainya.

  

Bukankah Nabi.

Jelas lebih melarang soal itu?"

  

Kisah ini ada.

Di buku2 lama.

  Kitab2 lama.

 

 

 

Saat seorang ulama.

Mencoba mengingatkan penguasa Beruntung sekali negeri itu.

  

Punya seseorang.

Yang berani mengingatkan.

 

Dan lebih beruntung lagi.

 Saat penguasanya.

Juga mau diingatkan.

  

Malu.

Kemudian berubah.

 Jadi lebih baik.

 

Karena sindiran ulama itu telak.

  

Negara maju.

Selalu punya orang.

Model ini.

  

Tokoh, entah itu ulama, pendeta, akademisi.

Atau apa pun.

 

Yang memang tulus.

Mau kritis pada negerinya.

  

Dia tak berharap imbalan.

 Apalagi berharap dikasih jabatan.

  

Wah, repot kalau tokoh.

Diam2 pingin jabatan.

  

Sekali dikasih.

Dia mingkem.

Negara maju.

Juga selalu punya pejabat.

Yang mau dikritisi.

  

Bukan bilang silakan kritik.

 

Tapi membiarkan yang mengkritisi.

Dituntut di sana-sini.

 

Bahkan jangan2 dalam hatinya.

Dia bersorak,

 

'Syukur, masuk penjara yg rese2 ini.'

 

Sungguh beruntung.

Negara yang punya kombinasi baik itu.

 

 

Ada yang berdiri tegak mengkritisi.

 Ada pejabat yang mau dikritisi, diingatkan.

  

PEMISALAN 2

 

Kisah lain terkait.

Kiai dan pejabat ini.

  

Di sebuah tempat.

Ada masjid baru megah.

 

Saat pemilihan DKM masjid.

 

Yang akan mengurusi.

Keuangan, kegiatan, dll,

 

 

Kiai mencalonkan anaknya.

Yang masih belia.

 

Karena itu anak kiai.

 Semua orang setuju.

Memilihnya jadi ketua DKM.

         

Pejabat dating.

Meresmikan masjid megah.

 

Dan bingung.

Melihat ketua DKM.

Semua serba masih belajar.

 

Padahal di sana.

Banyak yang lebih luas ilmunya.

 

Banyak yang lebih berpengalaman.

 

"Kiai, kenapa anaknya.

Yang dijadikan ketua DKM?

 

Dia bahkan ngaji saja belum lurus.

Sy tahu dia dipilih jamaah.

  

Tapi kenapa dia yang dicalonkan?"

 "Itu benar sekali, Pejabat.

 

Tapi jika kau heran melihatnya.

Bukankah anak-anakmu.

Juga enyingkirkan orang lain.

  

 

Dicalonkan juga oleh kelompokmu.

 Lantas dipilih jadi pejabat.

 

Jika kau heran melihat anakku.

 Maka tidakkah kau heran.

 

Melihat anakmu.

Bisa jadi pejabat?"

 

Ini perumpamaan.

Terang sekali.

  

Jika kalian masih punya Nurani.

Dan bersedia memikirkannya.

 

Tabik.

 

(Sumber Tere Liye)

0 comments:

Post a Comment