Organisasi Profesi Guru

Presiden Jokowi memberi hormat kepada Guru-Guru se Indonesia.

Tema Gambar Slide 2

Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.

Tema Gambar Slide 3

Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.

Wednesday, November 1, 2017

439. PRAKTIK

UKHUWAH DALAM PRAKTIK
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.


       Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang “Ukhuwah dalam kenyataan praktik sehari-hari menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
     Kata “ukhuwah” menurut KBBI V artinya “persaudaraan”, menurut bahasa Arab, kata “ukhuwah” terambil  dari  akar  kata  yang pada mulanya berarti “memperhatikan”, dan makna asal ini memberikan kesan bahwa “persaudaraan”  mengharuskan  adanya “perhatian” semua pihak yang merasa bersaudara.
      Faktor “perhatian” pada  mulanya  muncul karena  adanya persamaan orang yang  bersaudara, sehingga makna tersebut kemudian berkembang, dan pada akhirnya  “ukhuwah” diartikan  sebagai  “setiap  persamaan  dan  keserasian dengan pihak lain, baik persamaan keturunan, dari  segi  ibu,  bapak, atau keduanya, maupun dari segi persusuan”.
      Secara “majazi” kata “ukhuwah” (persaudaraan) mencakup  persamaan dalam salah  satu  unsurnya seperti  suku, agama, profesi, dan perasaan, dan dalam kamus bahasa Arab ditemukan bahwa kata “akh” yang membentuk kata “ukhuwah” digunakan juga dengan arti “teman akrab” atau “sahabat”.  
      Kata “praktik” menurut KBBI V bisa diartikan “pelaksanaan secara nyata apa yang disebut dalam teori”, “pelaksanaan pekerjaan (tentang dokter, pengacara, dan sebagainya)”,  serta “perbuatan menerapkan teori (keyakian dan sebagainya)”.
     Para ulama sering kali menunjukkan Al-Quran surah Al-Hujurat, surah ke-49 ayat  10 sebagai landasan konsep untuk menerapkan “ukhuwah” (persaudaraan) dalam praktik kehidupan sehari-hari.
      Al-Quran surah Al-Hujurat, surah ke-49 ayat 10.

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

      “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat”.
      Kata “ishlah” atau “shalah” yang banyak berulang dalam Al-Quran, pada umumnya tidak dikaitkan dengan “sikap kejiwaan”, tetapi justru dipakai dalam kaitannya dengan “perbuatan nyata”.
     Kata “ishlah” (berdamai) hendaknya tidak hanya dipahami dalam arti “mendamaikan’ antara dua orang (atau lebih) yang sedang berselisih, tetapi harus dipahami sesuai  makna  semantiknya dengan memperhatikan penggunaan Al-Quran terhadapnya.
     Banyak ayat Al-Quran yang berbicara tentang kewajiban melakukan “shalah” dan “ishlah”, dan dalam kamus bahasa Arab, kata  “shalah” diartikan sebagai “antonim” (lawan kata) dari kata “fasad” (kerusakan), dan kata “shalah” dapat diartikan “yang bermanfaat”.
      Sedangkan kata “islah” dipakai dalam Al-Quran dalam dua bentuk, yang pertama kata “ishlah” yang “selalu membutuhkan objek” dan yang kedua adalah kata “shalah”   yang digunakan sebagai “bentuk kata sifat’.
     Sehingga, kata “shalah” dapat diartikan “terhimpunnya sejumlah nilai tertentu pada  sesuatu agar bermanfaat dan berfungsi dengan baik sesuai dengan tujuan kehadirannya”.
      Apabila terdapat suatu nilai yang tidak menyertainya, sehingga tujuan yang dimaksudkan tidak tercapai, maka manusia dituntut untuk menghadirkan nilai tersebut,  dan hal yang dilakukannya itu dinamakan “ishlah”.
      Hadis Nabi yag terkenal dalam bidang “ukhuwah” (persaudaraan) adalah Nabi bersabda,”Seorang Muslim adalah saudara dengan Muslim lainnya, maka dia tidak menganiaya, tidak pula menyerahkannya kepada musuh”. “Barangsiapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi pula kebutuhannya”. 
          Nabi bersabda,”Barangsiapa yang melapangkan seorang Muslim dari suatu      kesulitan, maka Allah akan melapangkan baginya dalam menghadapi suatu yang      dihadapinya pada hari kiamat”. “Barangsiapa yang menutup aib seorang Muslim, maka Allah akan menutup aibnya pada hari kiamat”.  
          Para ulama menjelaskan bahwa “ukhuwah Islamiah” akan mengantarkan manusia mencapai hasil yang konkret dalam kehidupannya, dan untuk  memantapkan  “ukhuwah  Islamiah”, maka yang dibutuhkan bukan sekadar penjelasan tentang persamaan pandangan dalam agama, dan toleransi dalam perbedaan pendapat, tetapi yang lebih penting adalah kegiatan nyata yang dilaksanakan oleh semua umat,  sehingga seluruh umat merasakan nikmatnya.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online.

439. PRAKTIK

UKHUWAH DALAM PRAKTIK
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.


       Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang “Ukhuwah dalam kenyataan praktik sehari-hari menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
     Kata “ukhuwah” menurut KBBI V artinya “persaudaraan”, menurut bahasa Arab, kata “ukhuwah” terambil  dari  akar  kata  yang pada mulanya berarti “memperhatikan”, dan makna asal ini memberikan kesan bahwa “persaudaraan”  mengharuskan  adanya “perhatian” semua pihak yang merasa bersaudara.
      Faktor “perhatian” pada  mulanya  muncul karena  adanya persamaan orang yang  bersaudara, sehingga makna tersebut kemudian berkembang, dan pada akhirnya  “ukhuwah” diartikan  sebagai  “setiap  persamaan  dan  keserasian dengan pihak lain, baik persamaan keturunan, dari  segi  ibu,  bapak, atau keduanya, maupun dari segi persusuan”.
      Secara “majazi” kata “ukhuwah” (persaudaraan) mencakup  persamaan dalam salah  satu  unsurnya seperti  suku, agama, profesi, dan perasaan, dan dalam kamus bahasa Arab ditemukan bahwa kata “akh” yang membentuk kata “ukhuwah” digunakan juga dengan arti “teman akrab” atau “sahabat”.  
      Kata “praktik” menurut KBBI V bisa diartikan “pelaksanaan secara nyata apa yang disebut dalam teori”, “pelaksanaan pekerjaan (tentang dokter, pengacara, dan sebagainya)”,  serta “perbuatan menerapkan teori (keyakian dan sebagainya)”.
     Para ulama sering kali menunjukkan Al-Quran surah Al-Hujurat, surah ke-49 ayat  10 sebagai landasan konsep untuk menerapkan “ukhuwah” (persaudaraan) dalam praktik kehidupan sehari-hari.
      Al-Quran surah Al-Hujurat, surah ke-49 ayat 10.

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

      “Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat”.
      Kata “ishlah” atau “shalah” yang banyak berulang dalam Al-Quran, pada umumnya tidak dikaitkan dengan “sikap kejiwaan”, tetapi justru dipakai dalam kaitannya dengan “perbuatan nyata”.
     Kata “ishlah” (berdamai) hendaknya tidak hanya dipahami dalam arti “mendamaikan’ antara dua orang (atau lebih) yang sedang berselisih, tetapi harus dipahami sesuai  makna  semantiknya dengan memperhatikan penggunaan Al-Quran terhadapnya.
     Banyak ayat Al-Quran yang berbicara tentang kewajiban melakukan “shalah” dan “ishlah”, dan dalam kamus bahasa Arab, kata  “shalah” diartikan sebagai “antonim” (lawan kata) dari kata “fasad” (kerusakan), dan kata “shalah” dapat diartikan “yang bermanfaat”.
      Sedangkan kata “islah” dipakai dalam Al-Quran dalam dua bentuk, yang pertama kata “ishlah” yang “selalu membutuhkan objek” dan yang kedua adalah kata “shalah”   yang digunakan sebagai “bentuk kata sifat’.
     Sehingga, kata “shalah” dapat diartikan “terhimpunnya sejumlah nilai tertentu pada  sesuatu agar bermanfaat dan berfungsi dengan baik sesuai dengan tujuan kehadirannya”.
      Apabila terdapat suatu nilai yang tidak menyertainya, sehingga tujuan yang dimaksudkan tidak tercapai, maka manusia dituntut untuk menghadirkan nilai tersebut,  dan hal yang dilakukannya itu dinamakan “ishlah”.
      Hadis Nabi yag terkenal dalam bidang “ukhuwah” (persaudaraan) adalah Nabi bersabda,”Seorang Muslim adalah saudara dengan Muslim lainnya, maka dia tidak menganiaya, tidak pula menyerahkannya kepada musuh”. “Barangsiapa yang memenuhi kebutuhan saudaranya, maka Allah akan memenuhi pula kebutuhannya”. 
          Nabi bersabda,”Barangsiapa yang melapangkan seorang Muslim dari suatu      kesulitan, maka Allah akan melapangkan baginya dalam menghadapi suatu yang      dihadapinya pada hari kiamat”. “Barangsiapa yang menutup aib seorang Muslim, maka Allah akan menutup aibnya pada hari kiamat”.  
          Para ulama menjelaskan bahwa “ukhuwah Islamiah” akan mengantarkan manusia mencapai hasil yang konkret dalam kehidupannya, dan untuk  memantapkan  “ukhuwah  Islamiah”, maka yang dibutuhkan bukan sekadar penjelasan tentang persamaan pandangan dalam agama, dan toleransi dalam perbedaan pendapat, tetapi yang lebih penting adalah kegiatan nyata yang dilaksanakan oleh semua umat,  sehingga seluruh umat merasakan nikmatnya.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online.

438. MANTAP

KONSEP MEMANTAPKAN UKHUWAH
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.


       Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang “Konsep memantapkan ukhuwah menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
      Kata “konsep” menurut KBBI V bisa diartikan “rancangan atau buram surat dan sebagainya”, “ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret”, dan “gambaran mental dari objek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain”.
     Kata “ukhuwah” menurut KBBI V artinya “persaudaraan”, menurut bahasa Arab, kata “ukhuwah” terambil  dari  akar  kata  yang pada mulanya berarti “memperhatikan”, dan makna asal ini memberikan kesan bahwa “persaudaraan”  mengharuskan  adanya “perhatian” semua pihak yang merasa bersaudara.
   Faktor “perhatian” pada  mulanya  muncul karena  adanya persamaan orang yang  bersaudara, sehingga makna tersebut kemudian berkembang, dan pada akhirnya  “ukhuwah” diartikan  sebagai  “setiap  persamaan  dan  keserasian dengan pihak lain, baik persamaan keturunan, dari  segi  ibu,  bapak, atau keduanya, maupun dari segi persusuan”.
      Secara “majazi” kata “ukhuwah” (persaudaraan) mencakup  persamaan dalam salah  satu  unsurnya seperti  suku, agama, profesi, dan perasaan, dan dalam kamus bahasa Arab ditemukan bahwa kata “akh” yang membentuk kata “ukhuwah” digunakan juga dengan arti “teman akrab” atau “sahabat”.
      Setelah mempelajari teks keagamaan, maka para ulama mengenalkan tiga  konsep untuk memantapkan ukhuwah menyangkut perbedaan pemahaman dan pengamalan ajaran agama.
   Pertama, “Konsep tanawwu' al-'ibadah”, yaitu “mengakui adanya keragaman cara beribadah”, karena mengakui adanya keragaman  yang  dipraktikkan oleh Nabi dalam  bidang pengamalan agama, sehingga mengantarkan kepada pengakuan akan  kebenaran  semua  praktik  keagamaan,  asalkan semuanya merujuk kepada Nabi.
     Kedua,”Konsep al-mukhti'u fi al-ijtihad lahu ajr”, yaitu “mengakui bahwa pihak yang salah dalam berijtihad menetapkan hukum akan tetap mendapatkan ganjaran”.  Hal ini artinya selama seseorang mengikuti pendapat seorang ulama, maka dia tidak    berdosa, bahkan tetap diberikan pahala oleh Allah, meskipun hasil ijtthad yang  diamalkannya keliru.
      Untuk menentukan benar atau salah bukan wewenang makhluk, tetapi wewenang  Allah yang baru akan diketahui kelak pada hari kemudian, dan orang atau pihak yang mengeluarkan mengemukakan ijtihad adalah orang atau pihak yang memiliki  otoritas  keilmuan, yang disampaikannya setelah melakukan “ijtihad” (upaya bersungguh-sungguh untuk menetapkan hukum),  setelah mempelajari dengan saksama dalil Al-Quran dan hadis Nabi.
      Ketiga, “Konsep la hukma  lillah qabla ijtihad al-mujtahid”, yaitu “Allah belum menetapkan suatu hukum sebelum upaya ijtihad  dilakukan oleh seorang mujtahid”. Hal ini  artinya  bahwa hasil ijtihad adalah hukum Allah bagi masing-masing mujtahid, meskipun   hasil  ijtihadnya berbeda-beda. 
    Al-Quran dan hadis Nabi tidak selalu memberikan interpretasi yang pasti dan  mutlak tentang sesuatu, serta yang mutlak adalah Allah dan firman Allah, sedangkan interpretasi dari firman Allah, sangat sedikit yang bersifat pasti dan mutlak.
    Cara manusia memahami Al-Quran dan hadis Nabi berkaitan erat dengan banyak   faktor, misalnya lingkungan, kecenderungan pribadi, perkembangan masyarakat, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta tingkat  kecerdasan dan pemahaman para mujtahid. 
      Kesimpulannya, bahwa para ulama sering kali bersikap rendah hati dan menyadari kelemahan sebagai manusia dengan menyebutkan, “Pendapat kami benar, tetapi mungkin keliru, dan pendapat Anda menurut hemat kami keliru, tetapi mungkin  benar.”
      Ketika berhadapan dengan teks wahyu dari Allah, para ulama selalu menyadari bahwa sebagai manusia pasti mempunyai kelemahan dan keterbatasan, sehingga tidak mungkin seseorang akan mampu memastikan bahwa pendapatnya dan interpretasinya yang paling benar.  

Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online.

438. MANTAP

KONSEP MEMANTAPKAN UKHUWAH
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.


       Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang “Konsep memantapkan ukhuwah menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
      Kata “konsep” menurut KBBI V bisa diartikan “rancangan atau buram surat dan sebagainya”, “ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret”, dan “gambaran mental dari objek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain”.
     Kata “ukhuwah” menurut KBBI V artinya “persaudaraan”, menurut bahasa Arab, kata “ukhuwah” terambil  dari  akar  kata  yang pada mulanya berarti “memperhatikan”, dan makna asal ini memberikan kesan bahwa “persaudaraan”  mengharuskan  adanya “perhatian” semua pihak yang merasa bersaudara.
   Faktor “perhatian” pada  mulanya  muncul karena  adanya persamaan orang yang  bersaudara, sehingga makna tersebut kemudian berkembang, dan pada akhirnya  “ukhuwah” diartikan  sebagai  “setiap  persamaan  dan  keserasian dengan pihak lain, baik persamaan keturunan, dari  segi  ibu,  bapak, atau keduanya, maupun dari segi persusuan”.
      Secara “majazi” kata “ukhuwah” (persaudaraan) mencakup  persamaan dalam salah  satu  unsurnya seperti  suku, agama, profesi, dan perasaan, dan dalam kamus bahasa Arab ditemukan bahwa kata “akh” yang membentuk kata “ukhuwah” digunakan juga dengan arti “teman akrab” atau “sahabat”.
      Setelah mempelajari teks keagamaan, maka para ulama mengenalkan tiga  konsep untuk memantapkan ukhuwah menyangkut perbedaan pemahaman dan pengamalan ajaran agama.
   Pertama, “Konsep tanawwu' al-'ibadah”, yaitu “mengakui adanya keragaman cara beribadah”, karena mengakui adanya keragaman  yang  dipraktikkan oleh Nabi dalam  bidang pengamalan agama, sehingga mengantarkan kepada pengakuan akan  kebenaran  semua  praktik  keagamaan,  asalkan semuanya merujuk kepada Nabi.
     Kedua,”Konsep al-mukhti'u fi al-ijtihad lahu ajr”, yaitu “mengakui bahwa pihak yang salah dalam berijtihad menetapkan hukum akan tetap mendapatkan ganjaran”.  Hal ini artinya selama seseorang mengikuti pendapat seorang ulama, maka dia tidak    berdosa, bahkan tetap diberikan pahala oleh Allah, meskipun hasil ijtthad yang  diamalkannya keliru.
      Untuk menentukan benar atau salah bukan wewenang makhluk, tetapi wewenang  Allah yang baru akan diketahui kelak pada hari kemudian, dan orang atau pihak yang mengeluarkan mengemukakan ijtihad adalah orang atau pihak yang memiliki  otoritas  keilmuan, yang disampaikannya setelah melakukan “ijtihad” (upaya bersungguh-sungguh untuk menetapkan hukum),  setelah mempelajari dengan saksama dalil Al-Quran dan hadis Nabi.
      Ketiga, “Konsep la hukma  lillah qabla ijtihad al-mujtahid”, yaitu “Allah belum menetapkan suatu hukum sebelum upaya ijtihad  dilakukan oleh seorang mujtahid”. Hal ini  artinya  bahwa hasil ijtihad adalah hukum Allah bagi masing-masing mujtahid, meskipun   hasil  ijtihadnya berbeda-beda. 
    Al-Quran dan hadis Nabi tidak selalu memberikan interpretasi yang pasti dan  mutlak tentang sesuatu, serta yang mutlak adalah Allah dan firman Allah, sedangkan interpretasi dari firman Allah, sangat sedikit yang bersifat pasti dan mutlak.
    Cara manusia memahami Al-Quran dan hadis Nabi berkaitan erat dengan banyak   faktor, misalnya lingkungan, kecenderungan pribadi, perkembangan masyarakat, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta tingkat  kecerdasan dan pemahaman para mujtahid. 
      Kesimpulannya, bahwa para ulama sering kali bersikap rendah hati dan menyadari kelemahan sebagai manusia dengan menyebutkan, “Pendapat kami benar, tetapi mungkin keliru, dan pendapat Anda menurut hemat kami keliru, tetapi mungkin  benar.”
      Ketika berhadapan dengan teks wahyu dari Allah, para ulama selalu menyadari bahwa sebagai manusia pasti mempunyai kelemahan dan keterbatasan, sehingga tidak mungkin seseorang akan mampu memastikan bahwa pendapatnya dan interpretasinya yang paling benar.  

Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online.

438. MANTAP

KONSEP MEMANTAPKAN UKHUWAH
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.


       Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang “Konsep memantapkan ukhuwah menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
      Kata “konsep” menurut KBBI V bisa diartikan “rancangan atau buram surat dan sebagainya”, “ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret”, dan “gambaran mental dari objek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain”.
     Kata “ukhuwah” menurut KBBI V artinya “persaudaraan”, menurut bahasa Arab, kata “ukhuwah” terambil  dari  akar  kata  yang pada mulanya berarti “memperhatikan”, dan makna asal ini memberikan kesan bahwa “persaudaraan”  mengharuskan  adanya “perhatian” semua pihak yang merasa bersaudara.
   Faktor “perhatian” pada  mulanya  muncul karena  adanya persamaan orang yang  bersaudara, sehingga makna tersebut kemudian berkembang, dan pada akhirnya  “ukhuwah” diartikan  sebagai  “setiap  persamaan  dan  keserasian dengan pihak lain, baik persamaan keturunan, dari  segi  ibu,  bapak, atau keduanya, maupun dari segi persusuan”.
      Secara “majazi” kata “ukhuwah” (persaudaraan) mencakup  persamaan dalam salah  satu  unsurnya seperti  suku, agama, profesi, dan perasaan, dan dalam kamus bahasa Arab ditemukan bahwa kata “akh” yang membentuk kata “ukhuwah” digunakan juga dengan arti “teman akrab” atau “sahabat”.
      Setelah mempelajari teks keagamaan, maka para ulama mengenalkan tiga  konsep untuk memantapkan ukhuwah menyangkut perbedaan pemahaman dan pengamalan ajaran agama.
   Pertama, “Konsep tanawwu' al-'ibadah”, yaitu “mengakui adanya keragaman cara beribadah”, karena mengakui adanya keragaman  yang  dipraktikkan oleh Nabi dalam  bidang pengamalan agama, sehingga mengantarkan kepada pengakuan akan  kebenaran  semua  praktik  keagamaan,  asalkan semuanya merujuk kepada Nabi.
     Kedua,”Konsep al-mukhti'u fi al-ijtihad lahu ajr”, yaitu “mengakui bahwa pihak yang salah dalam berijtihad menetapkan hukum akan tetap mendapatkan ganjaran”.  Hal ini artinya selama seseorang mengikuti pendapat seorang ulama, maka dia tidak    berdosa, bahkan tetap diberikan pahala oleh Allah, meskipun hasil ijtthad yang  diamalkannya keliru.
      Untuk menentukan benar atau salah bukan wewenang makhluk, tetapi wewenang  Allah yang baru akan diketahui kelak pada hari kemudian, dan orang atau pihak yang mengeluarkan mengemukakan ijtihad adalah orang atau pihak yang memiliki  otoritas  keilmuan, yang disampaikannya setelah melakukan “ijtihad” (upaya bersungguh-sungguh untuk menetapkan hukum),  setelah mempelajari dengan saksama dalil Al-Quran dan hadis Nabi.
      Ketiga, “Konsep la hukma  lillah qabla ijtihad al-mujtahid”, yaitu “Allah belum menetapkan suatu hukum sebelum upaya ijtihad  dilakukan oleh seorang mujtahid”. Hal ini  artinya  bahwa hasil ijtihad adalah hukum Allah bagi masing-masing mujtahid, meskipun   hasil  ijtihadnya berbeda-beda. 
    Al-Quran dan hadis Nabi tidak selalu memberikan interpretasi yang pasti dan  mutlak tentang sesuatu, serta yang mutlak adalah Allah dan firman Allah, sedangkan interpretasi dari firman Allah, sangat sedikit yang bersifat pasti dan mutlak.
    Cara manusia memahami Al-Quran dan hadis Nabi berkaitan erat dengan banyak   faktor, misalnya lingkungan, kecenderungan pribadi, perkembangan masyarakat, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta tingkat  kecerdasan dan pemahaman para mujtahid. 
      Kesimpulannya, bahwa para ulama sering kali bersikap rendah hati dan menyadari kelemahan sebagai manusia dengan menyebutkan, “Pendapat kami benar, tetapi mungkin keliru, dan pendapat Anda menurut hemat kami keliru, tetapi mungkin  benar.”
      Ketika berhadapan dengan teks wahyu dari Allah, para ulama selalu menyadari bahwa sebagai manusia pasti mempunyai kelemahan dan keterbatasan, sehingga tidak mungkin seseorang akan mampu memastikan bahwa pendapatnya dan interpretasinya yang paling benar.  

Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online.

438. MANTAP

KONSEP MEMANTAPKAN UKHUWAH
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.


       Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang “Konsep memantapkan ukhuwah menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
      Kata “konsep” menurut KBBI V bisa diartikan “rancangan atau buram surat dan sebagainya”, “ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret”, dan “gambaran mental dari objek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain”.
     Kata “ukhuwah” menurut KBBI V artinya “persaudaraan”, menurut bahasa Arab, kata “ukhuwah” terambil  dari  akar  kata  yang pada mulanya berarti “memperhatikan”, dan makna asal ini memberikan kesan bahwa “persaudaraan”  mengharuskan  adanya “perhatian” semua pihak yang merasa bersaudara.
   Faktor “perhatian” pada  mulanya  muncul karena  adanya persamaan orang yang  bersaudara, sehingga makna tersebut kemudian berkembang, dan pada akhirnya  “ukhuwah” diartikan  sebagai  “setiap  persamaan  dan  keserasian dengan pihak lain, baik persamaan keturunan, dari  segi  ibu,  bapak, atau keduanya, maupun dari segi persusuan”.
      Secara “majazi” kata “ukhuwah” (persaudaraan) mencakup  persamaan dalam salah  satu  unsurnya seperti  suku, agama, profesi, dan perasaan, dan dalam kamus bahasa Arab ditemukan bahwa kata “akh” yang membentuk kata “ukhuwah” digunakan juga dengan arti “teman akrab” atau “sahabat”.
      Setelah mempelajari teks keagamaan, maka para ulama mengenalkan tiga  konsep untuk memantapkan ukhuwah menyangkut perbedaan pemahaman dan pengamalan ajaran agama.
   Pertama, “Konsep tanawwu' al-'ibadah”, yaitu “mengakui adanya keragaman cara beribadah”, karena mengakui adanya keragaman  yang  dipraktikkan oleh Nabi dalam  bidang pengamalan agama, sehingga mengantarkan kepada pengakuan akan  kebenaran  semua  praktik  keagamaan,  asalkan semuanya merujuk kepada Nabi.
     Kedua,”Konsep al-mukhti'u fi al-ijtihad lahu ajr”, yaitu “mengakui bahwa pihak yang salah dalam berijtihad menetapkan hukum akan tetap mendapatkan ganjaran”.  Hal ini artinya selama seseorang mengikuti pendapat seorang ulama, maka dia tidak    berdosa, bahkan tetap diberikan pahala oleh Allah, meskipun hasil ijtthad yang  diamalkannya keliru.
      Untuk menentukan benar atau salah bukan wewenang makhluk, tetapi wewenang  Allah yang baru akan diketahui kelak pada hari kemudian, dan orang atau pihak yang mengeluarkan mengemukakan ijtihad adalah orang atau pihak yang memiliki  otoritas  keilmuan, yang disampaikannya setelah melakukan “ijtihad” (upaya bersungguh-sungguh untuk menetapkan hukum),  setelah mempelajari dengan saksama dalil Al-Quran dan hadis Nabi.
      Ketiga, “Konsep la hukma  lillah qabla ijtihad al-mujtahid”, yaitu “Allah belum menetapkan suatu hukum sebelum upaya ijtihad  dilakukan oleh seorang mujtahid”. Hal ini  artinya  bahwa hasil ijtihad adalah hukum Allah bagi masing-masing mujtahid, meskipun   hasil  ijtihadnya berbeda-beda. 
    Al-Quran dan hadis Nabi tidak selalu memberikan interpretasi yang pasti dan  mutlak tentang sesuatu, serta yang mutlak adalah Allah dan firman Allah, sedangkan interpretasi dari firman Allah, sangat sedikit yang bersifat pasti dan mutlak.
    Cara manusia memahami Al-Quran dan hadis Nabi berkaitan erat dengan banyak   faktor, misalnya lingkungan, kecenderungan pribadi, perkembangan masyarakat, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta tingkat  kecerdasan dan pemahaman para mujtahid. 
      Kesimpulannya, bahwa para ulama sering kali bersikap rendah hati dan menyadari kelemahan sebagai manusia dengan menyebutkan, “Pendapat kami benar, tetapi mungkin keliru, dan pendapat Anda menurut hemat kami keliru, tetapi mungkin  benar.”
      Ketika berhadapan dengan teks wahyu dari Allah, para ulama selalu menyadari bahwa sebagai manusia pasti mempunyai kelemahan dan keterbatasan, sehingga tidak mungkin seseorang akan mampu memastikan bahwa pendapatnya dan interpretasinya yang paling benar.  

Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online.

438. MANTAP

KONSEP MEMANTAPKAN UKHUWAH
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.


       Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang “Konsep memantapkan ukhuwah menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
      Kata “konsep” menurut KBBI V bisa diartikan “rancangan atau buram surat dan sebagainya”, “ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret”, dan “gambaran mental dari objek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain”.
     Kata “ukhuwah” menurut KBBI V artinya “persaudaraan”, menurut bahasa Arab, kata “ukhuwah” terambil  dari  akar  kata  yang pada mulanya berarti “memperhatikan”, dan makna asal ini memberikan kesan bahwa “persaudaraan”  mengharuskan  adanya “perhatian” semua pihak yang merasa bersaudara.
   Faktor “perhatian” pada  mulanya  muncul karena  adanya persamaan orang yang  bersaudara, sehingga makna tersebut kemudian berkembang, dan pada akhirnya  “ukhuwah” diartikan  sebagai  “setiap  persamaan  dan  keserasian dengan pihak lain, baik persamaan keturunan, dari  segi  ibu,  bapak, atau keduanya, maupun dari segi persusuan”.
      Secara “majazi” kata “ukhuwah” (persaudaraan) mencakup  persamaan dalam salah  satu  unsurnya seperti  suku, agama, profesi, dan perasaan, dan dalam kamus bahasa Arab ditemukan bahwa kata “akh” yang membentuk kata “ukhuwah” digunakan juga dengan arti “teman akrab” atau “sahabat”.
      Setelah mempelajari teks keagamaan, maka para ulama mengenalkan tiga  konsep untuk memantapkan ukhuwah menyangkut perbedaan pemahaman dan pengamalan ajaran agama.
   Pertama, “Konsep tanawwu' al-'ibadah”, yaitu “mengakui adanya keragaman cara beribadah”, karena mengakui adanya keragaman  yang  dipraktikkan oleh Nabi dalam  bidang pengamalan agama, sehingga mengantarkan kepada pengakuan akan  kebenaran  semua  praktik  keagamaan,  asalkan semuanya merujuk kepada Nabi.
     Kedua,”Konsep al-mukhti'u fi al-ijtihad lahu ajr”, yaitu “mengakui bahwa pihak yang salah dalam berijtihad menetapkan hukum akan tetap mendapatkan ganjaran”.  Hal ini artinya selama seseorang mengikuti pendapat seorang ulama, maka dia tidak    berdosa, bahkan tetap diberikan pahala oleh Allah, meskipun hasil ijtthad yang  diamalkannya keliru.
      Untuk menentukan benar atau salah bukan wewenang makhluk, tetapi wewenang  Allah yang baru akan diketahui kelak pada hari kemudian, dan orang atau pihak yang mengeluarkan mengemukakan ijtihad adalah orang atau pihak yang memiliki  otoritas  keilmuan, yang disampaikannya setelah melakukan “ijtihad” (upaya bersungguh-sungguh untuk menetapkan hukum),  setelah mempelajari dengan saksama dalil Al-Quran dan hadis Nabi.
      Ketiga, “Konsep la hukma  lillah qabla ijtihad al-mujtahid”, yaitu “Allah belum menetapkan suatu hukum sebelum upaya ijtihad  dilakukan oleh seorang mujtahid”. Hal ini  artinya  bahwa hasil ijtihad adalah hukum Allah bagi masing-masing mujtahid, meskipun   hasil  ijtihadnya berbeda-beda. 
    Al-Quran dan hadis Nabi tidak selalu memberikan interpretasi yang pasti dan  mutlak tentang sesuatu, serta yang mutlak adalah Allah dan firman Allah, sedangkan interpretasi dari firman Allah, sangat sedikit yang bersifat pasti dan mutlak.
    Cara manusia memahami Al-Quran dan hadis Nabi berkaitan erat dengan banyak   faktor, misalnya lingkungan, kecenderungan pribadi, perkembangan masyarakat, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta tingkat  kecerdasan dan pemahaman para mujtahid. 
      Kesimpulannya, bahwa para ulama sering kali bersikap rendah hati dan menyadari kelemahan sebagai manusia dengan menyebutkan, “Pendapat kami benar, tetapi mungkin keliru, dan pendapat Anda menurut hemat kami keliru, tetapi mungkin  benar.”
      Ketika berhadapan dengan teks wahyu dari Allah, para ulama selalu menyadari bahwa sebagai manusia pasti mempunyai kelemahan dan keterbatasan, sehingga tidak mungkin seseorang akan mampu memastikan bahwa pendapatnya dan interpretasinya yang paling benar.  

Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online.

438. MANTAP

KONSEP MEMANTAPKAN UKHUWAH
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.


       Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang “Konsep memantapkan ukhuwah menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
      Kata “konsep” menurut KBBI V bisa diartikan “rancangan atau buram surat dan sebagainya”, “ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret”, dan “gambaran mental dari objek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain”.
     Kata “ukhuwah” menurut KBBI V artinya “persaudaraan”, menurut bahasa Arab, kata “ukhuwah” terambil  dari  akar  kata  yang pada mulanya berarti “memperhatikan”, dan makna asal ini memberikan kesan bahwa “persaudaraan”  mengharuskan  adanya “perhatian” semua pihak yang merasa bersaudara.
   Faktor “perhatian” pada  mulanya  muncul karena  adanya persamaan orang yang  bersaudara, sehingga makna tersebut kemudian berkembang, dan pada akhirnya  “ukhuwah” diartikan  sebagai  “setiap  persamaan  dan  keserasian dengan pihak lain, baik persamaan keturunan, dari  segi  ibu,  bapak, atau keduanya, maupun dari segi persusuan”.
      Secara “majazi” kata “ukhuwah” (persaudaraan) mencakup  persamaan dalam salah  satu  unsurnya seperti  suku, agama, profesi, dan perasaan, dan dalam kamus bahasa Arab ditemukan bahwa kata “akh” yang membentuk kata “ukhuwah” digunakan juga dengan arti “teman akrab” atau “sahabat”.
      Setelah mempelajari teks keagamaan, maka para ulama mengenalkan tiga  konsep untuk memantapkan ukhuwah menyangkut perbedaan pemahaman dan pengamalan ajaran agama.
   Pertama, “Konsep tanawwu' al-'ibadah”, yaitu “mengakui adanya keragaman cara beribadah”, karena mengakui adanya keragaman  yang  dipraktikkan oleh Nabi dalam  bidang pengamalan agama, sehingga mengantarkan kepada pengakuan akan  kebenaran  semua  praktik  keagamaan,  asalkan semuanya merujuk kepada Nabi.
     Kedua,”Konsep al-mukhti'u fi al-ijtihad lahu ajr”, yaitu “mengakui bahwa pihak yang salah dalam berijtihad menetapkan hukum akan tetap mendapatkan ganjaran”.  Hal ini artinya selama seseorang mengikuti pendapat seorang ulama, maka dia tidak    berdosa, bahkan tetap diberikan pahala oleh Allah, meskipun hasil ijtthad yang  diamalkannya keliru.
      Untuk menentukan benar atau salah bukan wewenang makhluk, tetapi wewenang  Allah yang baru akan diketahui kelak pada hari kemudian, dan orang atau pihak yang mengeluarkan mengemukakan ijtihad adalah orang atau pihak yang memiliki  otoritas  keilmuan, yang disampaikannya setelah melakukan “ijtihad” (upaya bersungguh-sungguh untuk menetapkan hukum),  setelah mempelajari dengan saksama dalil Al-Quran dan hadis Nabi.
      Ketiga, “Konsep la hukma  lillah qabla ijtihad al-mujtahid”, yaitu “Allah belum menetapkan suatu hukum sebelum upaya ijtihad  dilakukan oleh seorang mujtahid”. Hal ini  artinya  bahwa hasil ijtihad adalah hukum Allah bagi masing-masing mujtahid, meskipun   hasil  ijtihadnya berbeda-beda. 
    Al-Quran dan hadis Nabi tidak selalu memberikan interpretasi yang pasti dan  mutlak tentang sesuatu, serta yang mutlak adalah Allah dan firman Allah, sedangkan interpretasi dari firman Allah, sangat sedikit yang bersifat pasti dan mutlak.
    Cara manusia memahami Al-Quran dan hadis Nabi berkaitan erat dengan banyak   faktor, misalnya lingkungan, kecenderungan pribadi, perkembangan masyarakat, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta tingkat  kecerdasan dan pemahaman para mujtahid. 
      Kesimpulannya, bahwa para ulama sering kali bersikap rendah hati dan menyadari kelemahan sebagai manusia dengan menyebutkan, “Pendapat kami benar, tetapi mungkin keliru, dan pendapat Anda menurut hemat kami keliru, tetapi mungkin  benar.”
      Ketika berhadapan dengan teks wahyu dari Allah, para ulama selalu menyadari bahwa sebagai manusia pasti mempunyai kelemahan dan keterbatasan, sehingga tidak mungkin seseorang akan mampu memastikan bahwa pendapatnya dan interpretasinya yang paling benar.  

Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online.

438. MANTAP

KONSEP MEMANTAPKAN UKHUWAH
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.


       Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang “Konsep memantapkan ukhuwah menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
      Kata “konsep” menurut KBBI V bisa diartikan “rancangan atau buram surat dan sebagainya”, “ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret”, dan “gambaran mental dari objek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain”.
     Kata “ukhuwah” menurut KBBI V artinya “persaudaraan”, menurut bahasa Arab, kata “ukhuwah” terambil  dari  akar  kata  yang pada mulanya berarti “memperhatikan”, dan makna asal ini memberikan kesan bahwa “persaudaraan”  mengharuskan  adanya “perhatian” semua pihak yang merasa bersaudara.
   Faktor “perhatian” pada  mulanya  muncul karena  adanya persamaan orang yang  bersaudara, sehingga makna tersebut kemudian berkembang, dan pada akhirnya  “ukhuwah” diartikan  sebagai  “setiap  persamaan  dan  keserasian dengan pihak lain, baik persamaan keturunan, dari  segi  ibu,  bapak, atau keduanya, maupun dari segi persusuan”.
      Secara “majazi” kata “ukhuwah” (persaudaraan) mencakup  persamaan dalam salah  satu  unsurnya seperti  suku, agama, profesi, dan perasaan, dan dalam kamus bahasa Arab ditemukan bahwa kata “akh” yang membentuk kata “ukhuwah” digunakan juga dengan arti “teman akrab” atau “sahabat”.
      Setelah mempelajari teks keagamaan, maka para ulama mengenalkan tiga  konsep untuk memantapkan ukhuwah menyangkut perbedaan pemahaman dan pengamalan ajaran agama.
   Pertama, “Konsep tanawwu' al-'ibadah”, yaitu “mengakui adanya keragaman cara beribadah”, karena mengakui adanya keragaman  yang  dipraktikkan oleh Nabi dalam  bidang pengamalan agama, sehingga mengantarkan kepada pengakuan akan  kebenaran  semua  praktik  keagamaan,  asalkan semuanya merujuk kepada Nabi.
     Kedua,”Konsep al-mukhti'u fi al-ijtihad lahu ajr”, yaitu “mengakui bahwa pihak yang salah dalam berijtihad menetapkan hukum akan tetap mendapatkan ganjaran”.  Hal ini artinya selama seseorang mengikuti pendapat seorang ulama, maka dia tidak    berdosa, bahkan tetap diberikan pahala oleh Allah, meskipun hasil ijtthad yang  diamalkannya keliru.
      Untuk menentukan benar atau salah bukan wewenang makhluk, tetapi wewenang  Allah yang baru akan diketahui kelak pada hari kemudian, dan orang atau pihak yang mengeluarkan mengemukakan ijtihad adalah orang atau pihak yang memiliki  otoritas  keilmuan, yang disampaikannya setelah melakukan “ijtihad” (upaya bersungguh-sungguh untuk menetapkan hukum),  setelah mempelajari dengan saksama dalil Al-Quran dan hadis Nabi.
      Ketiga, “Konsep la hukma  lillah qabla ijtihad al-mujtahid”, yaitu “Allah belum menetapkan suatu hukum sebelum upaya ijtihad  dilakukan oleh seorang mujtahid”. Hal ini  artinya  bahwa hasil ijtihad adalah hukum Allah bagi masing-masing mujtahid, meskipun   hasil  ijtihadnya berbeda-beda. 
    Al-Quran dan hadis Nabi tidak selalu memberikan interpretasi yang pasti dan  mutlak tentang sesuatu, serta yang mutlak adalah Allah dan firman Allah, sedangkan interpretasi dari firman Allah, sangat sedikit yang bersifat pasti dan mutlak.
    Cara manusia memahami Al-Quran dan hadis Nabi berkaitan erat dengan banyak   faktor, misalnya lingkungan, kecenderungan pribadi, perkembangan masyarakat, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta tingkat  kecerdasan dan pemahaman para mujtahid. 
      Kesimpulannya, bahwa para ulama sering kali bersikap rendah hati dan menyadari kelemahan sebagai manusia dengan menyebutkan, “Pendapat kami benar, tetapi mungkin keliru, dan pendapat Anda menurut hemat kami keliru, tetapi mungkin  benar.”
      Ketika berhadapan dengan teks wahyu dari Allah, para ulama selalu menyadari bahwa sebagai manusia pasti mempunyai kelemahan dan keterbatasan, sehingga tidak mungkin seseorang akan mampu memastikan bahwa pendapatnya dan interpretasinya yang paling benar.  

Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online.

438. MANTAP

KONSEP MEMANTAPKAN UKHUWAH
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.


       Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang “Konsep memantapkan ukhuwah menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
      Kata “konsep” menurut KBBI V bisa diartikan “rancangan atau buram surat dan sebagainya”, “ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret”, dan “gambaran mental dari objek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain”.
     Kata “ukhuwah” menurut KBBI V artinya “persaudaraan”, menurut bahasa Arab, kata “ukhuwah” terambil  dari  akar  kata  yang pada mulanya berarti “memperhatikan”, dan makna asal ini memberikan kesan bahwa “persaudaraan”  mengharuskan  adanya “perhatian” semua pihak yang merasa bersaudara.
   Faktor “perhatian” pada  mulanya  muncul karena  adanya persamaan orang yang  bersaudara, sehingga makna tersebut kemudian berkembang, dan pada akhirnya  “ukhuwah” diartikan  sebagai  “setiap  persamaan  dan  keserasian dengan pihak lain, baik persamaan keturunan, dari  segi  ibu,  bapak, atau keduanya, maupun dari segi persusuan”.
      Secara “majazi” kata “ukhuwah” (persaudaraan) mencakup  persamaan dalam salah  satu  unsurnya seperti  suku, agama, profesi, dan perasaan, dan dalam kamus bahasa Arab ditemukan bahwa kata “akh” yang membentuk kata “ukhuwah” digunakan juga dengan arti “teman akrab” atau “sahabat”.
      Setelah mempelajari teks keagamaan, maka para ulama mengenalkan tiga  konsep untuk memantapkan ukhuwah menyangkut perbedaan pemahaman dan pengamalan ajaran agama.
   Pertama, “Konsep tanawwu' al-'ibadah”, yaitu “mengakui adanya keragaman cara beribadah”, karena mengakui adanya keragaman  yang  dipraktikkan oleh Nabi dalam  bidang pengamalan agama, sehingga mengantarkan kepada pengakuan akan  kebenaran  semua  praktik  keagamaan,  asalkan semuanya merujuk kepada Nabi.
     Kedua,”Konsep al-mukhti'u fi al-ijtihad lahu ajr”, yaitu “mengakui bahwa pihak yang salah dalam berijtihad menetapkan hukum akan tetap mendapatkan ganjaran”.  Hal ini artinya selama seseorang mengikuti pendapat seorang ulama, maka dia tidak    berdosa, bahkan tetap diberikan pahala oleh Allah, meskipun hasil ijtthad yang  diamalkannya keliru.
      Untuk menentukan benar atau salah bukan wewenang makhluk, tetapi wewenang  Allah yang baru akan diketahui kelak pada hari kemudian, dan orang atau pihak yang mengeluarkan mengemukakan ijtihad adalah orang atau pihak yang memiliki  otoritas  keilmuan, yang disampaikannya setelah melakukan “ijtihad” (upaya bersungguh-sungguh untuk menetapkan hukum),  setelah mempelajari dengan saksama dalil Al-Quran dan hadis Nabi.
      Ketiga, “Konsep la hukma  lillah qabla ijtihad al-mujtahid”, yaitu “Allah belum menetapkan suatu hukum sebelum upaya ijtihad  dilakukan oleh seorang mujtahid”. Hal ini  artinya  bahwa hasil ijtihad adalah hukum Allah bagi masing-masing mujtahid, meskipun   hasil  ijtihadnya berbeda-beda. 
    Al-Quran dan hadis Nabi tidak selalu memberikan interpretasi yang pasti dan  mutlak tentang sesuatu, serta yang mutlak adalah Allah dan firman Allah, sedangkan interpretasi dari firman Allah, sangat sedikit yang bersifat pasti dan mutlak.
    Cara manusia memahami Al-Quran dan hadis Nabi berkaitan erat dengan banyak   faktor, misalnya lingkungan, kecenderungan pribadi, perkembangan masyarakat, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta tingkat  kecerdasan dan pemahaman para mujtahid. 
      Kesimpulannya, bahwa para ulama sering kali bersikap rendah hati dan menyadari kelemahan sebagai manusia dengan menyebutkan, “Pendapat kami benar, tetapi mungkin keliru, dan pendapat Anda menurut hemat kami keliru, tetapi mungkin  benar.”
      Ketika berhadapan dengan teks wahyu dari Allah, para ulama selalu menyadari bahwa sebagai manusia pasti mempunyai kelemahan dan keterbatasan, sehingga tidak mungkin seseorang akan mampu memastikan bahwa pendapatnya dan interpretasinya yang paling benar.  

Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online.

438. MANTAP

KONSEP MEMANTAPKAN UKHUWAH
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.


       Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang “Konsep memantapkan ukhuwah menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
      Kata “konsep” menurut KBBI V bisa diartikan “rancangan atau buram surat dan sebagainya”, “ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret”, dan “gambaran mental dari objek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain”.
     Kata “ukhuwah” menurut KBBI V artinya “persaudaraan”, menurut bahasa Arab, kata “ukhuwah” terambil  dari  akar  kata  yang pada mulanya berarti “memperhatikan”, dan makna asal ini memberikan kesan bahwa “persaudaraan”  mengharuskan  adanya “perhatian” semua pihak yang merasa bersaudara.
   Faktor “perhatian” pada  mulanya  muncul karena  adanya persamaan orang yang  bersaudara, sehingga makna tersebut kemudian berkembang, dan pada akhirnya  “ukhuwah” diartikan  sebagai  “setiap  persamaan  dan  keserasian dengan pihak lain, baik persamaan keturunan, dari  segi  ibu,  bapak, atau keduanya, maupun dari segi persusuan”.
      Secara “majazi” kata “ukhuwah” (persaudaraan) mencakup  persamaan dalam salah  satu  unsurnya seperti  suku, agama, profesi, dan perasaan, dan dalam kamus bahasa Arab ditemukan bahwa kata “akh” yang membentuk kata “ukhuwah” digunakan juga dengan arti “teman akrab” atau “sahabat”.
      Setelah mempelajari teks keagamaan, maka para ulama mengenalkan tiga  konsep untuk memantapkan ukhuwah menyangkut perbedaan pemahaman dan pengamalan ajaran agama.
   Pertama, “Konsep tanawwu' al-'ibadah”, yaitu “mengakui adanya keragaman cara beribadah”, karena mengakui adanya keragaman  yang  dipraktikkan oleh Nabi dalam  bidang pengamalan agama, sehingga mengantarkan kepada pengakuan akan  kebenaran  semua  praktik  keagamaan,  asalkan semuanya merujuk kepada Nabi.
     Kedua,”Konsep al-mukhti'u fi al-ijtihad lahu ajr”, yaitu “mengakui bahwa pihak yang salah dalam berijtihad menetapkan hukum akan tetap mendapatkan ganjaran”.  Hal ini artinya selama seseorang mengikuti pendapat seorang ulama, maka dia tidak    berdosa, bahkan tetap diberikan pahala oleh Allah, meskipun hasil ijtthad yang  diamalkannya keliru.
      Untuk menentukan benar atau salah bukan wewenang makhluk, tetapi wewenang  Allah yang baru akan diketahui kelak pada hari kemudian, dan orang atau pihak yang mengeluarkan mengemukakan ijtihad adalah orang atau pihak yang memiliki  otoritas  keilmuan, yang disampaikannya setelah melakukan “ijtihad” (upaya bersungguh-sungguh untuk menetapkan hukum),  setelah mempelajari dengan saksama dalil Al-Quran dan hadis Nabi.
      Ketiga, “Konsep la hukma  lillah qabla ijtihad al-mujtahid”, yaitu “Allah belum menetapkan suatu hukum sebelum upaya ijtihad  dilakukan oleh seorang mujtahid”. Hal ini  artinya  bahwa hasil ijtihad adalah hukum Allah bagi masing-masing mujtahid, meskipun   hasil  ijtihadnya berbeda-beda. 
    Al-Quran dan hadis Nabi tidak selalu memberikan interpretasi yang pasti dan  mutlak tentang sesuatu, serta yang mutlak adalah Allah dan firman Allah, sedangkan interpretasi dari firman Allah, sangat sedikit yang bersifat pasti dan mutlak.
    Cara manusia memahami Al-Quran dan hadis Nabi berkaitan erat dengan banyak   faktor, misalnya lingkungan, kecenderungan pribadi, perkembangan masyarakat, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta tingkat  kecerdasan dan pemahaman para mujtahid. 
      Kesimpulannya, bahwa para ulama sering kali bersikap rendah hati dan menyadari kelemahan sebagai manusia dengan menyebutkan, “Pendapat kami benar, tetapi mungkin keliru, dan pendapat Anda menurut hemat kami keliru, tetapi mungkin  benar.”
      Ketika berhadapan dengan teks wahyu dari Allah, para ulama selalu menyadari bahwa sebagai manusia pasti mempunyai kelemahan dan keterbatasan, sehingga tidak mungkin seseorang akan mampu memastikan bahwa pendapatnya dan interpretasinya yang paling benar.  

Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online.

438. MANTAP

KONSEP MEMANTAPKAN UKHUWAH
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.


       Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang “Konsep memantapkan ukhuwah menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
      Kata “konsep” menurut KBBI V bisa diartikan “rancangan atau buram surat dan sebagainya”, “ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret”, dan “gambaran mental dari objek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain”.
     Kata “ukhuwah” menurut KBBI V artinya “persaudaraan”, menurut bahasa Arab, kata “ukhuwah” terambil  dari  akar  kata  yang pada mulanya berarti “memperhatikan”, dan makna asal ini memberikan kesan bahwa “persaudaraan”  mengharuskan  adanya “perhatian” semua pihak yang merasa bersaudara.
   Faktor “perhatian” pada  mulanya  muncul karena  adanya persamaan orang yang  bersaudara, sehingga makna tersebut kemudian berkembang, dan pada akhirnya  “ukhuwah” diartikan  sebagai  “setiap  persamaan  dan  keserasian dengan pihak lain, baik persamaan keturunan, dari  segi  ibu,  bapak, atau keduanya, maupun dari segi persusuan”.
      Secara “majazi” kata “ukhuwah” (persaudaraan) mencakup  persamaan dalam salah  satu  unsurnya seperti  suku, agama, profesi, dan perasaan, dan dalam kamus bahasa Arab ditemukan bahwa kata “akh” yang membentuk kata “ukhuwah” digunakan juga dengan arti “teman akrab” atau “sahabat”.
      Setelah mempelajari teks keagamaan, maka para ulama mengenalkan tiga  konsep untuk memantapkan ukhuwah menyangkut perbedaan pemahaman dan pengamalan ajaran agama.
   Pertama, “Konsep tanawwu' al-'ibadah”, yaitu “mengakui adanya keragaman cara beribadah”, karena mengakui adanya keragaman  yang  dipraktikkan oleh Nabi dalam  bidang pengamalan agama, sehingga mengantarkan kepada pengakuan akan  kebenaran  semua  praktik  keagamaan,  asalkan semuanya merujuk kepada Nabi.
     Kedua,”Konsep al-mukhti'u fi al-ijtihad lahu ajr”, yaitu “mengakui bahwa pihak yang salah dalam berijtihad menetapkan hukum akan tetap mendapatkan ganjaran”.  Hal ini artinya selama seseorang mengikuti pendapat seorang ulama, maka dia tidak    berdosa, bahkan tetap diberikan pahala oleh Allah, meskipun hasil ijtthad yang  diamalkannya keliru.
      Untuk menentukan benar atau salah bukan wewenang makhluk, tetapi wewenang  Allah yang baru akan diketahui kelak pada hari kemudian, dan orang atau pihak yang mengeluarkan mengemukakan ijtihad adalah orang atau pihak yang memiliki  otoritas  keilmuan, yang disampaikannya setelah melakukan “ijtihad” (upaya bersungguh-sungguh untuk menetapkan hukum),  setelah mempelajari dengan saksama dalil Al-Quran dan hadis Nabi.
      Ketiga, “Konsep la hukma  lillah qabla ijtihad al-mujtahid”, yaitu “Allah belum menetapkan suatu hukum sebelum upaya ijtihad  dilakukan oleh seorang mujtahid”. Hal ini  artinya  bahwa hasil ijtihad adalah hukum Allah bagi masing-masing mujtahid, meskipun   hasil  ijtihadnya berbeda-beda. 
    Al-Quran dan hadis Nabi tidak selalu memberikan interpretasi yang pasti dan  mutlak tentang sesuatu, serta yang mutlak adalah Allah dan firman Allah, sedangkan interpretasi dari firman Allah, sangat sedikit yang bersifat pasti dan mutlak.
    Cara manusia memahami Al-Quran dan hadis Nabi berkaitan erat dengan banyak   faktor, misalnya lingkungan, kecenderungan pribadi, perkembangan masyarakat, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta tingkat  kecerdasan dan pemahaman para mujtahid. 
      Kesimpulannya, bahwa para ulama sering kali bersikap rendah hati dan menyadari kelemahan sebagai manusia dengan menyebutkan, “Pendapat kami benar, tetapi mungkin keliru, dan pendapat Anda menurut hemat kami keliru, tetapi mungkin  benar.”
      Ketika berhadapan dengan teks wahyu dari Allah, para ulama selalu menyadari bahwa sebagai manusia pasti mempunyai kelemahan dan keterbatasan, sehingga tidak mungkin seseorang akan mampu memastikan bahwa pendapatnya dan interpretasinya yang paling benar.  

Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online.

437. SAMA

UKHUWAH SESAMA MUSLIM
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.


       Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang “Ukhuwah dengan orang-orang sesama pemeluk agama Islam menurut Al-Quran?” Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
     Kata “ukhuwah” menurut KBBI V artinya “persaudaraan”, menurut bahasa Arab, kata “ukhuwah” terambil  dari  akar  kata  yang pada mulanya berarti “memperhatikan”, dan makna asal ini memberikan kesan bahwa “persaudaraan”  mengharuskan  adanya “perhatian” semua pihak yang merasa bersaudara.
      Faktor “perhatian” pada  mulanya  muncul karena  adanya persamaan orang yang  bersaudara, sehingga makna tersebut kemudian berkembang, dan pada akhirnya  “ukhuwah” diartikan  sebagai  “setiap  persamaan  dan  keserasian dengan pihak lain, baik persamaan keturunan, dari  segi  ibu,  bapak, atau keduanya, maupun dari segi persusuan”.
      Secara “majazi” kata “ukhuwah” (persaudaraan) mencakup  persamaan dalam salah  satu  unsurnya seperti  suku, agama, profesi, dan perasaan, dan dalam kamus bahasa Arab ditemukan bahwa kata “akh” yang membentuk kata “ukhuwah” digunakan juga dengan arti “teman akrab” atau “sahabat”.  
      Untuk  memantapkan  persaudaraan  antara   sesama  Muslim, maka Al-Quran  pertama  kali  menggarisbawahi  perlunya menghindari segala macam sikap lahir  dan  batin yang dapat mengeruhkan hubungan sesama umat Islam.
      Al-Quran menyatakan bahwa orang-orang Mukmin adalah bersaudara, dan memerintahkan untuk melakukan “ishlah” (perbaikan hubungan) apabila terjadi  kesalahpahaman di antara umat Islam, dan Al-Quran memberikan  contoh penyebab keretakan hubungan dan melarang  setiap  umat Islam melakukannya.
      Al-Quran surah Al-Hujurat, surah ke-49 ayat 11.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ ۚ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

      “Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”.
      Al-Quran memerintahkan umat Islam untuk menghindari prasangka buruk, dan tidak  mencari-cari kesalahan orang lain, serta menggunjing yang diibaratkan oleh  Al-Quran seperti memakan daging saudaranya sendiri yang telah meninggal dunia.
      Al-Quran surah Al-Hujurat, surah ke-49 ayat 12.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ

      “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antaramu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang”.
      Al-Quran dan hadis Nabi tidak merumuskan definisi “ukhuwah” (persaudaraan), tetapi Al-Quran dan hadis Nabi memberikan contoh praktis dalam kehidupan sehari-hari seorang manusia .
      Pada umumnya contohnya berkaitan dengan sikap kejiwaan manusia, seperti jangan mengolok-olok, jangan memberikan julukan yang jelek, jangan berprasangka buruk, jangan mencari-cari kesalahan orang lain, jangan menggunjing, jangan iri, jangan membenci, dan jangan membelakangi, karena sikap batiniah akan memunculkan sikap lahiriah.
      Para ulama menjelaskan bahwa melakukan “at-takhliyah” (menyingkirkan kejelekan) harus  didahulukan daripada perbuatan “at-tahliyah” (menghiasi diri dengan kebaikan), karena “melarang kejelekan” artinya sama dengan “memerintahkan berbuat kebaikan”.  
     Semua  petunjuk dalam Al-Quran dan hadis Nabi yang berbicara tentang interaksi sesama manusia pada akhirnya bertujuan untuk memantapkan “ukhuwah” (persaudaraan).
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 188 melarang makan harta dengan batil.

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

      “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antaramu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”.
      Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 278 melarang riba.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
    
     “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman”.

      Al-Quran surah Al-Mutaffifin, surah ke-83 ayat 1-3 melarang berbuat curang.

وَيْلٌ لِلْمُطَفِّفِينَ الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ وَإِذَا كَالُوهُمْ أَوْ وَزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ

      “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi”.
     Dalam konteks pendapat dan pengamalan agama, Al-Quran secara tegas memerintahkan umat Islam untuk merujuk kepada Allah dan Nabi, tetapi apabila terjadi perbedaan pemahaman, maka harus dikembalikan kepada Al-Quran dan hadis Nabi.
      Al-Quran surah An-Nisa, surah ke-4 ayat 59.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ ۖ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
    
     “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antaramu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikan ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.   
2. Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran. Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online.