Organisasi Profesi Guru

Presiden Jokowi memberi hormat kepada Guru-Guru se Indonesia.

Tema Gambar Slide 2

Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.

Tema Gambar Slide 3

Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.

Sunday, January 7, 2018

620. BIDAH

MEMAHAMI BID’AH
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M


      Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang masalah bid’ah menurut para ulama?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
     Jabir bin Abdillah berkata, “Ketika Rasulullah menyampaikan khutbah, kedua mata beliau memerah, suaranya keras, marahnya kuat, seakan-akan sedang memberikan  peringatan kepada pasukan perang, Rasulullah bersabda, ‘Dia yang telah menjadikan kamu hidup di waktu pagi dan petang’. Kemudian Rasulullah bersabda lagi, ‘Aku diutus, hari kiamat seperti ini’ . Rasulullah mendekatkan dua jarinya, yaitu jari telunjuk dan jari tengah. Kemudian Rasulullah bersabda, ‘Sesungguhnya sebaik-baik cerita  adalah  kitab  Allah  (Al-Quran).  Sebaik-baik  petunjuk  adalah  petunjuk  Muhammad. Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang dibuat-buat. Dan tiap-tiap perkara yang dibuat-buat itu adalah “dhalalah” (sesat )’.” (HR. Muslim).
      Irbadh bin Sariyah berkata, “Rasulullah suatu hari memberikan nasihat kepada kami setelah salat Subuh, nasihat yang sangat menyentuh, membuat air mata menetes dan hati bergetar. Seorang laki-laki berkata, ‘Sesungguhnya ini nasihat orang yang akan pergi jauh, apa yang engkau pesankan kepada kami wahai Rasulullah’. Rasulullah bersabda, ‘Aku wasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah. Tetap mendengar dan patuh, meskipun kamu dipimpin seorang hamba sahaya berkulit hitam. Sesungguhnya orang yang hidup darimu akan melihat banyak pertikaian. Jauhi perkara yang dibuat-buat, sesungguhnya perkara yang dibuat-buat adalah dhalalah (sesat). Siapa yang mendapati itu dari kalian, maka hendaklah ia berpegang pada sunahku dan sunah Khulafaur Rasyidin yang mendapatkan hidayah. Gigitlah dengan gigi geraham’.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
    Imam Syathibi berpendapat bahwa bid’ah adalah suatu cara/kebiasaan dalam agama  Islam, cara  yang dibuat-buat untuk menandingi syariat  Islam, tujuan melakukannya adalah sikap berlebihan dalam beribadah kepada Allah.
      Imam Izz bin Abdissalam berpendapat bahwa bid’ah adalah semua hal dan perkara yang tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah.
      Imam Nawawi berpendapat bahwa para ahli bahasa berkata, bid’ah adalah semua  perbuatan yang dilakukan dengan tidak pernah ada contoh sebelumnya.
      Hafizh Ibnu Hajar Asqalani berpendapat bahwa bid’ah adalah segala sesuatu yang dibuat-buat tanpa ada contoh sebelumnya, tanpa melihat sesuatu yang dibuat-buat itu terpuji atau tercela.
     Semua ulama sepakat bahwa bid’ah adalah sesuatu yang dibuat-buat, tanpa ada contoh sebelumnya, tidak diucapkan dan tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, sehingga mobil dan pesawat terbang adalah bid’ah, maka kita mestinya naik onta seperti Nabi.
    Yang tidak setuju berkata,”Mobil dan pesawat terbang  bukan masalah ibadah, yang dimaksud bid’ah adalah dalam masalah ibadah”, artinya terdapat bid’ah dalam urusan dunia yang dibolehkan dan bid’ah dalam urusan agama yang dilarang.
     Imam Syafi’i (150 – 204 Hijriah) membagi bid’ah menjadi dua bagian, yaitu bid’ah “mahmudah’ (terpuji) dan bid’ah “madzmumah” (tercela). Bid’ah mahmudah (terpuji) adalah bid’ah yang sesuai dengan sunah Nabi, sedangkan bid’ah “madzmumah” (tercela) adalah bid’ah yang bertentangan dengan sunah Nabi.
     Imam Baihaqi berkata bahwa Imam Syafii membagi bid’ah menjadi dua bagian, yaitu bid’ah “dalalah” (sesat) adalah hal yang dibuat-buat dan bertentangan dengan Al-Quran, sunah, atsar, atau Ijma.
     Sedangkan bid’ah “ghair madzmudah” (tidak sesat) adalah hal yang dibuat-buat dalam kebaikan yang tidak bertentangan dengan Al-Quran, sunah, atsar, atau ijma’.

Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

620. BIDAH

MEMAHAMI BID’AH
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M


      Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang masalah bid’ah menurut para ulama?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
     Jabir bin Abdillah berkata, “Ketika Rasulullah menyampaikan khutbah, kedua mata beliau memerah, suaranya keras, marahnya kuat, seakan-akan sedang memberikan  peringatan kepada pasukan perang, Rasulullah bersabda, ‘Dia yang telah menjadikan kamu hidup di waktu pagi dan petang’. Kemudian Rasulullah bersabda lagi, ‘Aku diutus, hari kiamat seperti ini’ . Rasulullah mendekatkan dua jarinya, yaitu jari telunjuk dan jari tengah. Kemudian Rasulullah bersabda, ‘Sesungguhnya sebaik-baik cerita  adalah  kitab  Allah  (Al-Quran).  Sebaik-baik  petunjuk  adalah  petunjuk  Muhammad. Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang dibuat-buat. Dan tiap-tiap perkara yang dibuat-buat itu adalah “dhalalah” (sesat )’.” (HR. Muslim).
      Irbadh bin Sariyah berkata, “Rasulullah suatu hari memberikan nasihat kepada kami setelah salat Subuh, nasihat yang sangat menyentuh, membuat air mata menetes dan hati bergetar. Seorang laki-laki berkata, ‘Sesungguhnya ini nasihat orang yang akan pergi jauh, apa yang engkau pesankan kepada kami wahai Rasulullah’. Rasulullah bersabda, ‘Aku wasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah. Tetap mendengar dan patuh, meskipun kamu dipimpin seorang hamba sahaya berkulit hitam. Sesungguhnya orang yang hidup darimu akan melihat banyak pertikaian. Jauhi perkara yang dibuat-buat, sesungguhnya perkara yang dibuat-buat adalah dhalalah (sesat). Siapa yang mendapati itu dari kalian, maka hendaklah ia berpegang pada sunahku dan sunah Khulafaur Rasyidin yang mendapatkan hidayah. Gigitlah dengan gigi geraham’.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
    Imam Syathibi berpendapat bahwa bid’ah adalah suatu cara/kebiasaan dalam agama  Islam, cara  yang dibuat-buat untuk menandingi syariat  Islam, tujuan melakukannya adalah sikap berlebihan dalam beribadah kepada Allah.
      Imam Izz bin Abdissalam berpendapat bahwa bid’ah adalah semua hal dan perkara yang tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah.
      Imam Nawawi berpendapat bahwa para ahli bahasa berkata, bid’ah adalah semua  perbuatan yang dilakukan dengan tidak pernah ada contoh sebelumnya.
      Hafizh Ibnu Hajar Asqalani berpendapat bahwa bid’ah adalah segala sesuatu yang dibuat-buat tanpa ada contoh sebelumnya, tanpa melihat sesuatu yang dibuat-buat itu terpuji atau tercela.
     Semua ulama sepakat bahwa bid’ah adalah sesuatu yang dibuat-buat, tanpa ada contoh sebelumnya, tidak diucapkan dan tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, sehingga mobil dan pesawat terbang adalah bid’ah, maka kita mestinya naik onta seperti Nabi.
    Yang tidak setuju berkata,”Mobil dan pesawat terbang  bukan masalah ibadah, yang dimaksud bid’ah adalah dalam masalah ibadah”, artinya terdapat bid’ah dalam urusan dunia yang dibolehkan dan bid’ah dalam urusan agama yang dilarang.
     Imam Syafi’i (150 – 204 Hijriah) membagi bid’ah menjadi dua bagian, yaitu bid’ah “mahmudah’ (terpuji) dan bid’ah “madzmumah” (tercela). Bid’ah mahmudah (terpuji) adalah bid’ah yang sesuai dengan sunah Nabi, sedangkan bid’ah “madzmumah” (tercela) adalah bid’ah yang bertentangan dengan sunah Nabi.
     Imam Baihaqi berkata bahwa Imam Syafii membagi bid’ah menjadi dua bagian, yaitu bid’ah “dalalah” (sesat) adalah hal yang dibuat-buat dan bertentangan dengan Al-Quran, sunah, atsar, atau Ijma.
     Sedangkan bid’ah “ghair madzmudah” (tidak sesat) adalah hal yang dibuat-buat dalam kebaikan yang tidak bertentangan dengan Al-Quran, sunah, atsar, atau ijma’.

Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

620. BIDAH

MEMAHAMI BID’AH
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M


      Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang masalah bid’ah menurut para ulama?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
     Jabir bin Abdillah berkata, “Ketika Rasulullah menyampaikan khutbah, kedua mata beliau memerah, suaranya keras, marahnya kuat, seakan-akan sedang memberikan  peringatan kepada pasukan perang, Rasulullah bersabda, ‘Dia yang telah menjadikan kamu hidup di waktu pagi dan petang’. Kemudian Rasulullah bersabda lagi, ‘Aku diutus, hari kiamat seperti ini’ . Rasulullah mendekatkan dua jarinya, yaitu jari telunjuk dan jari tengah. Kemudian Rasulullah bersabda, ‘Sesungguhnya sebaik-baik cerita  adalah  kitab  Allah  (Al-Quran).  Sebaik-baik  petunjuk  adalah  petunjuk  Muhammad. Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang dibuat-buat. Dan tiap-tiap perkara yang dibuat-buat itu adalah “dhalalah” (sesat )’.” (HR. Muslim).
      Irbadh bin Sariyah berkata, “Rasulullah suatu hari memberikan nasihat kepada kami setelah salat Subuh, nasihat yang sangat menyentuh, membuat air mata menetes dan hati bergetar. Seorang laki-laki berkata, ‘Sesungguhnya ini nasihat orang yang akan pergi jauh, apa yang engkau pesankan kepada kami wahai Rasulullah’. Rasulullah bersabda, ‘Aku wasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah. Tetap mendengar dan patuh, meskipun kamu dipimpin seorang hamba sahaya berkulit hitam. Sesungguhnya orang yang hidup darimu akan melihat banyak pertikaian. Jauhi perkara yang dibuat-buat, sesungguhnya perkara yang dibuat-buat adalah dhalalah (sesat). Siapa yang mendapati itu dari kalian, maka hendaklah ia berpegang pada sunahku dan sunah Khulafaur Rasyidin yang mendapatkan hidayah. Gigitlah dengan gigi geraham’.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
    Imam Syathibi berpendapat bahwa bid’ah adalah suatu cara/kebiasaan dalam agama  Islam, cara  yang dibuat-buat untuk menandingi syariat  Islam, tujuan melakukannya adalah sikap berlebihan dalam beribadah kepada Allah.
      Imam Izz bin Abdissalam berpendapat bahwa bid’ah adalah semua hal dan perkara yang tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah.
      Imam Nawawi berpendapat bahwa para ahli bahasa berkata, bid’ah adalah semua  perbuatan yang dilakukan dengan tidak pernah ada contoh sebelumnya.
      Hafizh Ibnu Hajar Asqalani berpendapat bahwa bid’ah adalah segala sesuatu yang dibuat-buat tanpa ada contoh sebelumnya, tanpa melihat sesuatu yang dibuat-buat itu terpuji atau tercela.
     Semua ulama sepakat bahwa bid’ah adalah sesuatu yang dibuat-buat, tanpa ada contoh sebelumnya, tidak diucapkan dan tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, sehingga mobil dan pesawat terbang adalah bid’ah, maka kita mestinya naik onta seperti Nabi.
    Yang tidak setuju berkata,”Mobil dan pesawat terbang  bukan masalah ibadah, yang dimaksud bid’ah adalah dalam masalah ibadah”, artinya terdapat bid’ah dalam urusan dunia yang dibolehkan dan bid’ah dalam urusan agama yang dilarang.
     Imam Syafi’i (150 – 204 Hijriah) membagi bid’ah menjadi dua bagian, yaitu bid’ah “mahmudah’ (terpuji) dan bid’ah “madzmumah” (tercela). Bid’ah mahmudah (terpuji) adalah bid’ah yang sesuai dengan sunah Nabi, sedangkan bid’ah “madzmumah” (tercela) adalah bid’ah yang bertentangan dengan sunah Nabi.
     Imam Baihaqi berkata bahwa Imam Syafii membagi bid’ah menjadi dua bagian, yaitu bid’ah “dalalah” (sesat) adalah hal yang dibuat-buat dan bertentangan dengan Al-Quran, sunah, atsar, atau Ijma.
     Sedangkan bid’ah “ghair madzmudah” (tidak sesat) adalah hal yang dibuat-buat dalam kebaikan yang tidak bertentangan dengan Al-Quran, sunah, atsar, atau ijma’.

Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

620. BIDAH

MEMAHAMI BID’AH
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M


      Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang masalah bid’ah menurut para ulama?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
     Jabir bin Abdillah berkata, “Ketika Rasulullah menyampaikan khutbah, kedua mata beliau memerah, suaranya keras, marahnya kuat, seakan-akan sedang memberikan  peringatan kepada pasukan perang, Rasulullah bersabda, ‘Dia yang telah menjadikan kamu hidup di waktu pagi dan petang’. Kemudian Rasulullah bersabda lagi, ‘Aku diutus, hari kiamat seperti ini’ . Rasulullah mendekatkan dua jarinya, yaitu jari telunjuk dan jari tengah. Kemudian Rasulullah bersabda, ‘Sesungguhnya sebaik-baik cerita  adalah  kitab  Allah  (Al-Quran).  Sebaik-baik  petunjuk  adalah  petunjuk  Muhammad. Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang dibuat-buat. Dan tiap-tiap perkara yang dibuat-buat itu adalah “dhalalah” (sesat )’.” (HR. Muslim).
      Irbadh bin Sariyah berkata, “Rasulullah suatu hari memberikan nasihat kepada kami setelah salat Subuh, nasihat yang sangat menyentuh, membuat air mata menetes dan hati bergetar. Seorang laki-laki berkata, ‘Sesungguhnya ini nasihat orang yang akan pergi jauh, apa yang engkau pesankan kepada kami wahai Rasulullah’. Rasulullah bersabda, ‘Aku wasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah. Tetap mendengar dan patuh, meskipun kamu dipimpin seorang hamba sahaya berkulit hitam. Sesungguhnya orang yang hidup darimu akan melihat banyak pertikaian. Jauhi perkara yang dibuat-buat, sesungguhnya perkara yang dibuat-buat adalah dhalalah (sesat). Siapa yang mendapati itu dari kalian, maka hendaklah ia berpegang pada sunahku dan sunah Khulafaur Rasyidin yang mendapatkan hidayah. Gigitlah dengan gigi geraham’.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
    Imam Syathibi berpendapat bahwa bid’ah adalah suatu cara/kebiasaan dalam agama  Islam, cara  yang dibuat-buat untuk menandingi syariat  Islam, tujuan melakukannya adalah sikap berlebihan dalam beribadah kepada Allah.
      Imam Izz bin Abdissalam berpendapat bahwa bid’ah adalah semua hal dan perkara yang tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah.
      Imam Nawawi berpendapat bahwa para ahli bahasa berkata, bid’ah adalah semua  perbuatan yang dilakukan dengan tidak pernah ada contoh sebelumnya.
      Hafizh Ibnu Hajar Asqalani berpendapat bahwa bid’ah adalah segala sesuatu yang dibuat-buat tanpa ada contoh sebelumnya, tanpa melihat sesuatu yang dibuat-buat itu terpuji atau tercela.
     Semua ulama sepakat bahwa bid’ah adalah sesuatu yang dibuat-buat, tanpa ada contoh sebelumnya, tidak diucapkan dan tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, sehingga mobil dan pesawat terbang adalah bid’ah, maka kita mestinya naik onta seperti Nabi.
    Yang tidak setuju berkata,”Mobil dan pesawat terbang  bukan masalah ibadah, yang dimaksud bid’ah adalah dalam masalah ibadah”, artinya terdapat bid’ah dalam urusan dunia yang dibolehkan dan bid’ah dalam urusan agama yang dilarang.
     Imam Syafi’i (150 – 204 Hijriah) membagi bid’ah menjadi dua bagian, yaitu bid’ah “mahmudah’ (terpuji) dan bid’ah “madzmumah” (tercela). Bid’ah mahmudah (terpuji) adalah bid’ah yang sesuai dengan sunah Nabi, sedangkan bid’ah “madzmumah” (tercela) adalah bid’ah yang bertentangan dengan sunah Nabi.
     Imam Baihaqi berkata bahwa Imam Syafii membagi bid’ah menjadi dua bagian, yaitu bid’ah “dalalah” (sesat) adalah hal yang dibuat-buat dan bertentangan dengan Al-Quran, sunah, atsar, atau Ijma.
     Sedangkan bid’ah “ghair madzmudah” (tidak sesat) adalah hal yang dibuat-buat dalam kebaikan yang tidak bertentangan dengan Al-Quran, sunah, atsar, atau ijma’.

Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

620. BIDAH

MEMAHAMI BID’AH
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M


      Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang masalah bid’ah menurut para ulama?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
     Jabir bin Abdillah berkata, “Ketika Rasulullah menyampaikan khutbah, kedua mata beliau memerah, suaranya keras, marahnya kuat, seakan-akan sedang memberikan  peringatan kepada pasukan perang, Rasulullah bersabda, ‘Dia yang telah menjadikan kamu hidup di waktu pagi dan petang’. Kemudian Rasulullah bersabda lagi, ‘Aku diutus, hari kiamat seperti ini’ . Rasulullah mendekatkan dua jarinya, yaitu jari telunjuk dan jari tengah. Kemudian Rasulullah bersabda, ‘Sesungguhnya sebaik-baik cerita  adalah  kitab  Allah  (Al-Quran).  Sebaik-baik  petunjuk  adalah  petunjuk  Muhammad. Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang dibuat-buat. Dan tiap-tiap perkara yang dibuat-buat itu adalah “dhalalah” (sesat )’.” (HR. Muslim).
      Irbadh bin Sariyah berkata, “Rasulullah suatu hari memberikan nasihat kepada kami setelah salat Subuh, nasihat yang sangat menyentuh, membuat air mata menetes dan hati bergetar. Seorang laki-laki berkata, ‘Sesungguhnya ini nasihat orang yang akan pergi jauh, apa yang engkau pesankan kepada kami wahai Rasulullah’. Rasulullah bersabda, ‘Aku wasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah. Tetap mendengar dan patuh, meskipun kamu dipimpin seorang hamba sahaya berkulit hitam. Sesungguhnya orang yang hidup darimu akan melihat banyak pertikaian. Jauhi perkara yang dibuat-buat, sesungguhnya perkara yang dibuat-buat adalah dhalalah (sesat). Siapa yang mendapati itu dari kalian, maka hendaklah ia berpegang pada sunahku dan sunah Khulafaur Rasyidin yang mendapatkan hidayah. Gigitlah dengan gigi geraham’.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
    Imam Syathibi berpendapat bahwa bid’ah adalah suatu cara/kebiasaan dalam agama  Islam, cara  yang dibuat-buat untuk menandingi syariat  Islam, tujuan melakukannya adalah sikap berlebihan dalam beribadah kepada Allah.
      Imam Izz bin Abdissalam berpendapat bahwa bid’ah adalah semua hal dan perkara yang tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah.
      Imam Nawawi berpendapat bahwa para ahli bahasa berkata, bid’ah adalah semua  perbuatan yang dilakukan dengan tidak pernah ada contoh sebelumnya.
      Hafizh Ibnu Hajar Asqalani berpendapat bahwa bid’ah adalah segala sesuatu yang dibuat-buat tanpa ada contoh sebelumnya, tanpa melihat sesuatu yang dibuat-buat itu terpuji atau tercela.
     Semua ulama sepakat bahwa bid’ah adalah sesuatu yang dibuat-buat, tanpa ada contoh sebelumnya, tidak diucapkan dan tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, sehingga mobil dan pesawat terbang adalah bid’ah, maka kita mestinya naik onta seperti Nabi.
    Yang tidak setuju berkata,”Mobil dan pesawat terbang  bukan masalah ibadah, yang dimaksud bid’ah adalah dalam masalah ibadah”, artinya terdapat bid’ah dalam urusan dunia yang dibolehkan dan bid’ah dalam urusan agama yang dilarang.
     Imam Syafi’i (150 – 204 Hijriah) membagi bid’ah menjadi dua bagian, yaitu bid’ah “mahmudah’ (terpuji) dan bid’ah “madzmumah” (tercela). Bid’ah mahmudah (terpuji) adalah bid’ah yang sesuai dengan sunah Nabi, sedangkan bid’ah “madzmumah” (tercela) adalah bid’ah yang bertentangan dengan sunah Nabi.
     Imam Baihaqi berkata bahwa Imam Syafii membagi bid’ah menjadi dua bagian, yaitu bid’ah “dalalah” (sesat) adalah hal yang dibuat-buat dan bertentangan dengan Al-Quran, sunah, atsar, atau Ijma.
     Sedangkan bid’ah “ghair madzmudah” (tidak sesat) adalah hal yang dibuat-buat dalam kebaikan yang tidak bertentangan dengan Al-Quran, sunah, atsar, atau ijma’.

Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

620. BIDAH

MEMAHAMI BID’AH
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M


      Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang masalah bid’ah menurut para ulama?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
     Jabir bin Abdillah berkata, “Ketika Rasulullah menyampaikan khutbah, kedua mata beliau memerah, suaranya keras, marahnya kuat, seakan-akan sedang memberikan  peringatan kepada pasukan perang, Rasulullah bersabda, ‘Dia yang telah menjadikan kamu hidup di waktu pagi dan petang’. Kemudian Rasulullah bersabda lagi, ‘Aku diutus, hari kiamat seperti ini’ . Rasulullah mendekatkan dua jarinya, yaitu jari telunjuk dan jari tengah. Kemudian Rasulullah bersabda, ‘Sesungguhnya sebaik-baik cerita  adalah  kitab  Allah  (Al-Quran).  Sebaik-baik  petunjuk  adalah  petunjuk  Muhammad. Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang dibuat-buat. Dan tiap-tiap perkara yang dibuat-buat itu adalah “dhalalah” (sesat )’.” (HR. Muslim).
      Irbadh bin Sariyah berkata, “Rasulullah suatu hari memberikan nasihat kepada kami setelah salat Subuh, nasihat yang sangat menyentuh, membuat air mata menetes dan hati bergetar. Seorang laki-laki berkata, ‘Sesungguhnya ini nasihat orang yang akan pergi jauh, apa yang engkau pesankan kepada kami wahai Rasulullah’. Rasulullah bersabda, ‘Aku wasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah. Tetap mendengar dan patuh, meskipun kamu dipimpin seorang hamba sahaya berkulit hitam. Sesungguhnya orang yang hidup darimu akan melihat banyak pertikaian. Jauhi perkara yang dibuat-buat, sesungguhnya perkara yang dibuat-buat adalah dhalalah (sesat). Siapa yang mendapati itu dari kalian, maka hendaklah ia berpegang pada sunahku dan sunah Khulafaur Rasyidin yang mendapatkan hidayah. Gigitlah dengan gigi geraham’.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
    Imam Syathibi berpendapat bahwa bid’ah adalah suatu cara/kebiasaan dalam agama  Islam, cara  yang dibuat-buat untuk menandingi syariat  Islam, tujuan melakukannya adalah sikap berlebihan dalam beribadah kepada Allah.
      Imam Izz bin Abdissalam berpendapat bahwa bid’ah adalah semua hal dan perkara yang tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah.
      Imam Nawawi berpendapat bahwa para ahli bahasa berkata, bid’ah adalah semua  perbuatan yang dilakukan dengan tidak pernah ada contoh sebelumnya.
      Hafizh Ibnu Hajar Asqalani berpendapat bahwa bid’ah adalah segala sesuatu yang dibuat-buat tanpa ada contoh sebelumnya, tanpa melihat sesuatu yang dibuat-buat itu terpuji atau tercela.
     Semua ulama sepakat bahwa bid’ah adalah sesuatu yang dibuat-buat, tanpa ada contoh sebelumnya, tidak diucapkan dan tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, sehingga mobil dan pesawat terbang adalah bid’ah, maka kita mestinya naik onta seperti Nabi.
    Yang tidak setuju berkata,”Mobil dan pesawat terbang  bukan masalah ibadah, yang dimaksud bid’ah adalah dalam masalah ibadah”, artinya terdapat bid’ah dalam urusan dunia yang dibolehkan dan bid’ah dalam urusan agama yang dilarang.
     Imam Syafi’i (150 – 204 Hijriah) membagi bid’ah menjadi dua bagian, yaitu bid’ah “mahmudah’ (terpuji) dan bid’ah “madzmumah” (tercela). Bid’ah mahmudah (terpuji) adalah bid’ah yang sesuai dengan sunah Nabi, sedangkan bid’ah “madzmumah” (tercela) adalah bid’ah yang bertentangan dengan sunah Nabi.
     Imam Baihaqi berkata bahwa Imam Syafii membagi bid’ah menjadi dua bagian, yaitu bid’ah “dalalah” (sesat) adalah hal yang dibuat-buat dan bertentangan dengan Al-Quran, sunah, atsar, atau Ijma.
     Sedangkan bid’ah “ghair madzmudah” (tidak sesat) adalah hal yang dibuat-buat dalam kebaikan yang tidak bertentangan dengan Al-Quran, sunah, atsar, atau ijma’.

Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

620. BIDAH

MEMAHAMI BID’AH
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M


      Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang masalah bid’ah menurut para ulama?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
     Jabir bin Abdillah berkata, “Ketika Rasulullah menyampaikan khutbah, kedua mata beliau memerah, suaranya keras, marahnya kuat, seakan-akan sedang memberikan  peringatan kepada pasukan perang, Rasulullah bersabda, ‘Dia yang telah menjadikan kamu hidup di waktu pagi dan petang’. Kemudian Rasulullah bersabda lagi, ‘Aku diutus, hari kiamat seperti ini’ . Rasulullah mendekatkan dua jarinya, yaitu jari telunjuk dan jari tengah. Kemudian Rasulullah bersabda, ‘Sesungguhnya sebaik-baik cerita  adalah  kitab  Allah  (Al-Quran).  Sebaik-baik  petunjuk  adalah  petunjuk  Muhammad. Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang dibuat-buat. Dan tiap-tiap perkara yang dibuat-buat itu adalah “dhalalah” (sesat )’.” (HR. Muslim).
      Irbadh bin Sariyah berkata, “Rasulullah suatu hari memberikan nasihat kepada kami setelah salat Subuh, nasihat yang sangat menyentuh, membuat air mata menetes dan hati bergetar. Seorang laki-laki berkata, ‘Sesungguhnya ini nasihat orang yang akan pergi jauh, apa yang engkau pesankan kepada kami wahai Rasulullah’. Rasulullah bersabda, ‘Aku wasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah. Tetap mendengar dan patuh, meskipun kamu dipimpin seorang hamba sahaya berkulit hitam. Sesungguhnya orang yang hidup darimu akan melihat banyak pertikaian. Jauhi perkara yang dibuat-buat, sesungguhnya perkara yang dibuat-buat adalah dhalalah (sesat). Siapa yang mendapati itu dari kalian, maka hendaklah ia berpegang pada sunahku dan sunah Khulafaur Rasyidin yang mendapatkan hidayah. Gigitlah dengan gigi geraham’.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
    Imam Syathibi berpendapat bahwa bid’ah adalah suatu cara/kebiasaan dalam agama  Islam, cara  yang dibuat-buat untuk menandingi syariat  Islam, tujuan melakukannya adalah sikap berlebihan dalam beribadah kepada Allah.
      Imam Izz bin Abdissalam berpendapat bahwa bid’ah adalah semua hal dan perkara yang tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah.
      Imam Nawawi berpendapat bahwa para ahli bahasa berkata, bid’ah adalah semua  perbuatan yang dilakukan dengan tidak pernah ada contoh sebelumnya.
      Hafizh Ibnu Hajar Asqalani berpendapat bahwa bid’ah adalah segala sesuatu yang dibuat-buat tanpa ada contoh sebelumnya, tanpa melihat sesuatu yang dibuat-buat itu terpuji atau tercela.
     Semua ulama sepakat bahwa bid’ah adalah sesuatu yang dibuat-buat, tanpa ada contoh sebelumnya, tidak diucapkan dan tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, sehingga mobil dan pesawat terbang adalah bid’ah, maka kita mestinya naik onta seperti Nabi.
    Yang tidak setuju berkata,”Mobil dan pesawat terbang  bukan masalah ibadah, yang dimaksud bid’ah adalah dalam masalah ibadah”, artinya terdapat bid’ah dalam urusan dunia yang dibolehkan dan bid’ah dalam urusan agama yang dilarang.
     Imam Syafi’i (150 – 204 Hijriah) membagi bid’ah menjadi dua bagian, yaitu bid’ah “mahmudah’ (terpuji) dan bid’ah “madzmumah” (tercela). Bid’ah mahmudah (terpuji) adalah bid’ah yang sesuai dengan sunah Nabi, sedangkan bid’ah “madzmumah” (tercela) adalah bid’ah yang bertentangan dengan sunah Nabi.
     Imam Baihaqi berkata bahwa Imam Syafii membagi bid’ah menjadi dua bagian, yaitu bid’ah “dalalah” (sesat) adalah hal yang dibuat-buat dan bertentangan dengan Al-Quran, sunah, atsar, atau Ijma.
     Sedangkan bid’ah “ghair madzmudah” (tidak sesat) adalah hal yang dibuat-buat dalam kebaikan yang tidak bertentangan dengan Al-Quran, sunah, atsar, atau ijma’.

Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

620. BIDAH

MEMAHAMI BID’AH
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M


      Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang masalah bid’ah menurut para ulama?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
     Jabir bin Abdillah berkata, “Ketika Rasulullah menyampaikan khutbah, kedua mata beliau memerah, suaranya keras, marahnya kuat, seakan-akan sedang memberikan  peringatan kepada pasukan perang, Rasulullah bersabda, ‘Dia yang telah menjadikan kamu hidup di waktu pagi dan petang’. Kemudian Rasulullah bersabda lagi, ‘Aku diutus, hari kiamat seperti ini’ . Rasulullah mendekatkan dua jarinya, yaitu jari telunjuk dan jari tengah. Kemudian Rasulullah bersabda, ‘Sesungguhnya sebaik-baik cerita  adalah  kitab  Allah  (Al-Quran).  Sebaik-baik  petunjuk  adalah  petunjuk  Muhammad. Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang dibuat-buat. Dan tiap-tiap perkara yang dibuat-buat itu adalah “dhalalah” (sesat )’.” (HR. Muslim).
      Irbadh bin Sariyah berkata, “Rasulullah suatu hari memberikan nasihat kepada kami setelah salat Subuh, nasihat yang sangat menyentuh, membuat air mata menetes dan hati bergetar. Seorang laki-laki berkata, ‘Sesungguhnya ini nasihat orang yang akan pergi jauh, apa yang engkau pesankan kepada kami wahai Rasulullah’. Rasulullah bersabda, ‘Aku wasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah. Tetap mendengar dan patuh, meskipun kamu dipimpin seorang hamba sahaya berkulit hitam. Sesungguhnya orang yang hidup darimu akan melihat banyak pertikaian. Jauhi perkara yang dibuat-buat, sesungguhnya perkara yang dibuat-buat adalah dhalalah (sesat). Siapa yang mendapati itu dari kalian, maka hendaklah ia berpegang pada sunahku dan sunah Khulafaur Rasyidin yang mendapatkan hidayah. Gigitlah dengan gigi geraham’.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
    Imam Syathibi berpendapat bahwa bid’ah adalah suatu cara/kebiasaan dalam agama  Islam, cara  yang dibuat-buat untuk menandingi syariat  Islam, tujuan melakukannya adalah sikap berlebihan dalam beribadah kepada Allah.
      Imam Izz bin Abdissalam berpendapat bahwa bid’ah adalah semua hal dan perkara yang tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah.
      Imam Nawawi berpendapat bahwa para ahli bahasa berkata, bid’ah adalah semua  perbuatan yang dilakukan dengan tidak pernah ada contoh sebelumnya.
      Hafizh Ibnu Hajar Asqalani berpendapat bahwa bid’ah adalah segala sesuatu yang dibuat-buat tanpa ada contoh sebelumnya, tanpa melihat sesuatu yang dibuat-buat itu terpuji atau tercela.
     Semua ulama sepakat bahwa bid’ah adalah sesuatu yang dibuat-buat, tanpa ada contoh sebelumnya, tidak diucapkan dan tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, sehingga mobil dan pesawat terbang adalah bid’ah, maka kita mestinya naik onta seperti Nabi.
    Yang tidak setuju berkata,”Mobil dan pesawat terbang  bukan masalah ibadah, yang dimaksud bid’ah adalah dalam masalah ibadah”, artinya terdapat bid’ah dalam urusan dunia yang dibolehkan dan bid’ah dalam urusan agama yang dilarang.
     Imam Syafi’i (150 – 204 Hijriah) membagi bid’ah menjadi dua bagian, yaitu bid’ah “mahmudah’ (terpuji) dan bid’ah “madzmumah” (tercela). Bid’ah mahmudah (terpuji) adalah bid’ah yang sesuai dengan sunah Nabi, sedangkan bid’ah “madzmumah” (tercela) adalah bid’ah yang bertentangan dengan sunah Nabi.
     Imam Baihaqi berkata bahwa Imam Syafii membagi bid’ah menjadi dua bagian, yaitu bid’ah “dalalah” (sesat) adalah hal yang dibuat-buat dan bertentangan dengan Al-Quran, sunah, atsar, atau Ijma.
     Sedangkan bid’ah “ghair madzmudah” (tidak sesat) adalah hal yang dibuat-buat dalam kebaikan yang tidak bertentangan dengan Al-Quran, sunah, atsar, atau ijma’.

Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

620. BIDAH

MEMAHAMI BID’AH
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M


      Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang masalah bid’ah menurut para ulama?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
     Jabir bin Abdillah berkata, “Ketika Rasulullah menyampaikan khutbah, kedua mata beliau memerah, suaranya keras, marahnya kuat, seakan-akan sedang memberikan  peringatan kepada pasukan perang, Rasulullah bersabda, ‘Dia yang telah menjadikan kamu hidup di waktu pagi dan petang’. Kemudian Rasulullah bersabda lagi, ‘Aku diutus, hari kiamat seperti ini’ . Rasulullah mendekatkan dua jarinya, yaitu jari telunjuk dan jari tengah. Kemudian Rasulullah bersabda, ‘Sesungguhnya sebaik-baik cerita  adalah  kitab  Allah  (Al-Quran).  Sebaik-baik  petunjuk  adalah  petunjuk  Muhammad. Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang dibuat-buat. Dan tiap-tiap perkara yang dibuat-buat itu adalah “dhalalah” (sesat )’.” (HR. Muslim).
      Irbadh bin Sariyah berkata, “Rasulullah suatu hari memberikan nasihat kepada kami setelah salat Subuh, nasihat yang sangat menyentuh, membuat air mata menetes dan hati bergetar. Seorang laki-laki berkata, ‘Sesungguhnya ini nasihat orang yang akan pergi jauh, apa yang engkau pesankan kepada kami wahai Rasulullah’. Rasulullah bersabda, ‘Aku wasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah. Tetap mendengar dan patuh, meskipun kamu dipimpin seorang hamba sahaya berkulit hitam. Sesungguhnya orang yang hidup darimu akan melihat banyak pertikaian. Jauhi perkara yang dibuat-buat, sesungguhnya perkara yang dibuat-buat adalah dhalalah (sesat). Siapa yang mendapati itu dari kalian, maka hendaklah ia berpegang pada sunahku dan sunah Khulafaur Rasyidin yang mendapatkan hidayah. Gigitlah dengan gigi geraham’.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
    Imam Syathibi berpendapat bahwa bid’ah adalah suatu cara/kebiasaan dalam agama  Islam, cara  yang dibuat-buat untuk menandingi syariat  Islam, tujuan melakukannya adalah sikap berlebihan dalam beribadah kepada Allah.
      Imam Izz bin Abdissalam berpendapat bahwa bid’ah adalah semua hal dan perkara yang tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah.
      Imam Nawawi berpendapat bahwa para ahli bahasa berkata, bid’ah adalah semua  perbuatan yang dilakukan dengan tidak pernah ada contoh sebelumnya.
      Hafizh Ibnu Hajar Asqalani berpendapat bahwa bid’ah adalah segala sesuatu yang dibuat-buat tanpa ada contoh sebelumnya, tanpa melihat sesuatu yang dibuat-buat itu terpuji atau tercela.
     Semua ulama sepakat bahwa bid’ah adalah sesuatu yang dibuat-buat, tanpa ada contoh sebelumnya, tidak diucapkan dan tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, sehingga mobil dan pesawat terbang adalah bid’ah, maka kita mestinya naik onta seperti Nabi.
    Yang tidak setuju berkata,”Mobil dan pesawat terbang  bukan masalah ibadah, yang dimaksud bid’ah adalah dalam masalah ibadah”, artinya terdapat bid’ah dalam urusan dunia yang dibolehkan dan bid’ah dalam urusan agama yang dilarang.
     Imam Syafi’i (150 – 204 Hijriah) membagi bid’ah menjadi dua bagian, yaitu bid’ah “mahmudah’ (terpuji) dan bid’ah “madzmumah” (tercela). Bid’ah mahmudah (terpuji) adalah bid’ah yang sesuai dengan sunah Nabi, sedangkan bid’ah “madzmumah” (tercela) adalah bid’ah yang bertentangan dengan sunah Nabi.
     Imam Baihaqi berkata bahwa Imam Syafii membagi bid’ah menjadi dua bagian, yaitu bid’ah “dalalah” (sesat) adalah hal yang dibuat-buat dan bertentangan dengan Al-Quran, sunah, atsar, atau Ijma.
     Sedangkan bid’ah “ghair madzmudah” (tidak sesat) adalah hal yang dibuat-buat dalam kebaikan yang tidak bertentangan dengan Al-Quran, sunah, atsar, atau ijma’.

Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

620. BIDAH

MEMAHAMI BID’AH
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M


      Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang masalah bid’ah menurut para ulama?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
     Jabir bin Abdillah berkata, “Ketika Rasulullah menyampaikan khutbah, kedua mata beliau memerah, suaranya keras, marahnya kuat, seakan-akan sedang memberikan  peringatan kepada pasukan perang, Rasulullah bersabda, ‘Dia yang telah menjadikan kamu hidup di waktu pagi dan petang’. Kemudian Rasulullah bersabda lagi, ‘Aku diutus, hari kiamat seperti ini’ . Rasulullah mendekatkan dua jarinya, yaitu jari telunjuk dan jari tengah. Kemudian Rasulullah bersabda, ‘Sesungguhnya sebaik-baik cerita  adalah  kitab  Allah  (Al-Quran).  Sebaik-baik  petunjuk  adalah  petunjuk  Muhammad. Seburuk-buruk perkara adalah perkara yang dibuat-buat. Dan tiap-tiap perkara yang dibuat-buat itu adalah “dhalalah” (sesat )’.” (HR. Muslim).
      Irbadh bin Sariyah berkata, “Rasulullah suatu hari memberikan nasihat kepada kami setelah salat Subuh, nasihat yang sangat menyentuh, membuat air mata menetes dan hati bergetar. Seorang laki-laki berkata, ‘Sesungguhnya ini nasihat orang yang akan pergi jauh, apa yang engkau pesankan kepada kami wahai Rasulullah’. Rasulullah bersabda, ‘Aku wasiatkan kepada kalian agar bertakwa kepada Allah. Tetap mendengar dan patuh, meskipun kamu dipimpin seorang hamba sahaya berkulit hitam. Sesungguhnya orang yang hidup darimu akan melihat banyak pertikaian. Jauhi perkara yang dibuat-buat, sesungguhnya perkara yang dibuat-buat adalah dhalalah (sesat). Siapa yang mendapati itu dari kalian, maka hendaklah ia berpegang pada sunahku dan sunah Khulafaur Rasyidin yang mendapatkan hidayah. Gigitlah dengan gigi geraham’.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah).
    Imam Syathibi berpendapat bahwa bid’ah adalah suatu cara/kebiasaan dalam agama  Islam, cara  yang dibuat-buat untuk menandingi syariat  Islam, tujuan melakukannya adalah sikap berlebihan dalam beribadah kepada Allah.
      Imam Izz bin Abdissalam berpendapat bahwa bid’ah adalah semua hal dan perkara yang tidak pernah dilakukan pada masa Rasulullah.
      Imam Nawawi berpendapat bahwa para ahli bahasa berkata, bid’ah adalah semua  perbuatan yang dilakukan dengan tidak pernah ada contoh sebelumnya.
      Hafizh Ibnu Hajar Asqalani berpendapat bahwa bid’ah adalah segala sesuatu yang dibuat-buat tanpa ada contoh sebelumnya, tanpa melihat sesuatu yang dibuat-buat itu terpuji atau tercela.
     Semua ulama sepakat bahwa bid’ah adalah sesuatu yang dibuat-buat, tanpa ada contoh sebelumnya, tidak diucapkan dan tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah, sehingga mobil dan pesawat terbang adalah bid’ah, maka kita mestinya naik onta seperti Nabi.
    Yang tidak setuju berkata,”Mobil dan pesawat terbang  bukan masalah ibadah, yang dimaksud bid’ah adalah dalam masalah ibadah”, artinya terdapat bid’ah dalam urusan dunia yang dibolehkan dan bid’ah dalam urusan agama yang dilarang.
     Imam Syafi’i (150 – 204 Hijriah) membagi bid’ah menjadi dua bagian, yaitu bid’ah “mahmudah’ (terpuji) dan bid’ah “madzmumah” (tercela). Bid’ah mahmudah (terpuji) adalah bid’ah yang sesuai dengan sunah Nabi, sedangkan bid’ah “madzmumah” (tercela) adalah bid’ah yang bertentangan dengan sunah Nabi.
     Imam Baihaqi berkata bahwa Imam Syafii membagi bid’ah menjadi dua bagian, yaitu bid’ah “dalalah” (sesat) adalah hal yang dibuat-buat dan bertentangan dengan Al-Quran, sunah, atsar, atau Ijma.
     Sedangkan bid’ah “ghair madzmudah” (tidak sesat) adalah hal yang dibuat-buat dalam kebaikan yang tidak bertentangan dengan Al-Quran, sunah, atsar, atau ijma’.

Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

Saturday, January 6, 2018

619. NOW

IKHTILAF ULAMA KONTEMPORER
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M


      Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang ikhtilaf (perbedaan pendapat) ulama kontemporer?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
    Pada ulama kontemporer (zaman sekarang) juga mengalami “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) di antara mereka, artinya ulama zaman sekarang pun berijtihad dalam masalah tertentu yang tidak ada “nash” (dalil Al-Quran dan hadis Nabi)  yang menjelaskannya, atau terdapat “nash”, tetapi mereka “ikhtilaf” (berbeda pendapat)  dalam memahaminya.
      Ketika para ulama kontemporer berijtihad, maka tentu saja terjadi “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) seperti yang terjadi pada zaman sebelum mereka.
     Berikut ini beberapa contoh “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) di antara para ulama kontemporer.
     Kasus pertama, Cara turun ke lantai dari posisi iktidal ketika akan sujud dalam salat.
      Menurut Syekh Albani yang diturunkan ke lantai terlebih dahulu adalah kedua tangan, kemudian diikuti kedua lutut yang diturunkan ke lantai.
     Menurut Syekh Ibnu Baz yang diturunkan terlebih dahulu adalah kedua lutut, barulah diikuti kedua tangan yang diturunkan ke lantai.
    Kasus kedua, Takbir pada sujud tilawah dalam salat.
      Menurut Syekh Albani disyariatkan bagi orang yang melaksanakan salat, jika ia sebagai imam atau salat sendirian, ketika melewati ayat “sajdah” agar ia bertakbir dan sujud “tilawah”, kemudian bertakbir ketika bangun dari sujud, karena takbir itu pada setiap turun dan bangun dalam gerakan salat.   
      Menurut Syekh Ibnu Baz bahwa beberapa sahabat telah meriwayatkan tentang sujud tilawahnya Rasulullah dalam banyak ayat dan banyak kesempatan yang berbeda-beda, tidak seorang pun dari mereka menyebutkan bahwa Rasulullah bertakbir ketika akan sujud, sehingga tidak disyariatkannya untuk bertakbir ketika sujud tilawah.
  Kasus ketiga, Salat sunat tahiatul-masjid di tempat salat Idul Fitri dan Idul Adha.
      Menurut Syekh Ibnu Utsaimin bahwa di tempat salat Idul Fitri dan Idul Adha ada salat sunat tahiatul-masjid, sedangkan menurut Syekh Ibnu Baz tidak ada salat tahiatul-masjid di tempat salat Idul Fitri dan Idul Adha.
      Kasus keempat, Hukum foto. Menurut Syekh Ibnu Baz hukum foto sama dengan hukum lukisan atau patung, sedangkan menurut Syekh Ibnu Utsaimin hukum foto tidak sama dengan hokum lukisan atau patung.
      Kasus kelima, hukum mengerjakan umrah berkali-kali dalam satu perjalanan.
      Menurut Syakh Ibnu Baz hukumnya boleh mengerjakan umrah berjkali-kali dalam satu perjalanan, sedangkan menurut Syekh Ibnu Utsaimin mengerjakan umrah berkali-kali dalam satu perjalanan, hukumnya adalah bid’ah.
      Kasus keenam, salat tarawih 23 rakaat dalam bulan Ramadan.
      Menurut Syekh Ibnu Baz boleh melaksanakan salat tarawih 23 rakaat dalam bulan Ramadan, sedangkan menurut Syekh Albani dalam bulan Ramadan tidak boleh salat tarawih lebih dari 23 rakaat.
      Kasus ketujuh, membaca doa khatam Al-Quran dalam bulan Ramadan.
      Menurut Syekh Ibnu Baz hukumnya boleh membaca doa khatam Al-Quran dalam bulan Ramadan, sedangkan menurut Syekh Albani hukumnya bid’ah membaca doa khatam Al-Quran dalam bulan Ramadan.
      Kasus kedelapan, Zikir menggunakan tasbih.
      Menurut Syekh Utsaimin boleh menggunakan tasbih dalam berzikir, karena menggunakan tasbih tidak dianggap berbuat bid’ah dalam agama, karena maksud bid’ah adalah sesuatu yang tidak ada pada zaman Rasulullah dan dibuat-buat setelah masa Rasulullah yang dilarang adalah bid’ah dalam agama.
     Sedangkan menggunakan tasbih adalah cara untuk menghitung jumlah bilangan (zikir), tasbih adalah sarana yang “marjuhah” (lawan rajih/kuat) dan “mafdhulah” (lawan afdhal), dalam berzikir afdhalnya menghitung tasbih dengan jari tangan.
      Menurut Syekh Albani berzikir dengan tasbih adalah bid’ah yaitu yang tidak ada pada zaman Rasulullah dan dibuat-buat setelah masa Rasulullah.
    Beberapa pelajaran dari uraian di atas. Pertama, bahwa “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) dalam memahami nash (teks) bukan hal baru, karena sudah terjadi ketika Rasulullah masih hidup dan berlanjut pada zaman sahabat, sampai sekarang ini.
     Yang perlu dilakukan bukan menghilangkan “ikhtilaf’ (perbedaan pendapat), tetapi memahami “ikhtilaf” adalah dinamika dan kekayaan khazanah keilmuan Islam, asalkan ikhtilaf dalam masalah “furu” (cabang) dan bukan masalah “ushul” (prinsip/pokok) dalam ajaran Islam.
     Kedua, berbeda dalam masalah “furu” (cabang) tidak menyebabkan umat Islam saling membid’ahkan, karena Imam Hambali tidak membid’ahkan Imam Syafii dan para pengikutnya yang membaca doa qunut pada salat Subuh.
      Sebaiknya umat Islam beramal dengan sesuatu yang diyakininya dan bersikap lapang dada serta saling menghormati dalam menghadapi “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) dalam masalah “furu” agama Islam.
Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

619. NOW

IKHTILAF ULAMA KONTEMPORER
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M


      Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang ikhtilaf (perbedaan pendapat) ulama kontemporer?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
    Pada ulama kontemporer (zaman sekarang) juga mengalami “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) di antara mereka, artinya ulama zaman sekarang pun berijtihad dalam masalah tertentu yang tidak ada “nash” (dalil Al-Quran dan hadis Nabi)  yang menjelaskannya, atau terdapat “nash”, tetapi mereka “ikhtilaf” (berbeda pendapat)  dalam memahaminya.
      Ketika para ulama kontemporer berijtihad, maka tentu saja terjadi “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) seperti yang terjadi pada zaman sebelum mereka.
     Berikut ini beberapa contoh “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) di antara para ulama kontemporer.
     Kasus pertama, Cara turun ke lantai dari posisi iktidal ketika akan sujud dalam salat.
      Menurut Syekh Albani yang diturunkan ke lantai terlebih dahulu adalah kedua tangan, kemudian diikuti kedua lutut yang diturunkan ke lantai.
     Menurut Syekh Ibnu Baz yang diturunkan terlebih dahulu adalah kedua lutut, barulah diikuti kedua tangan yang diturunkan ke lantai.
    Kasus kedua, Takbir pada sujud tilawah dalam salat.
      Menurut Syekh Albani disyariatkan bagi orang yang melaksanakan salat, jika ia sebagai imam atau salat sendirian, ketika melewati ayat “sajdah” agar ia bertakbir dan sujud “tilawah”, kemudian bertakbir ketika bangun dari sujud, karena takbir itu pada setiap turun dan bangun dalam gerakan salat.   
      Menurut Syekh Ibnu Baz bahwa beberapa sahabat telah meriwayatkan tentang sujud tilawahnya Rasulullah dalam banyak ayat dan banyak kesempatan yang berbeda-beda, tidak seorang pun dari mereka menyebutkan bahwa Rasulullah bertakbir ketika akan sujud, sehingga tidak disyariatkannya untuk bertakbir ketika sujud tilawah.
  Kasus ketiga, Salat sunat tahiatul-masjid di tempat salat Idul Fitri dan Idul Adha.
      Menurut Syekh Ibnu Utsaimin bahwa di tempat salat Idul Fitri dan Idul Adha ada salat sunat tahiatul-masjid, sedangkan menurut Syekh Ibnu Baz tidak ada salat tahiatul-masjid di tempat salat Idul Fitri dan Idul Adha.
      Kasus keempat, Hukum foto. Menurut Syekh Ibnu Baz hukum foto sama dengan hukum lukisan atau patung, sedangkan menurut Syekh Ibnu Utsaimin hukum foto tidak sama dengan hokum lukisan atau patung.
      Kasus kelima, hukum mengerjakan umrah berkali-kali dalam satu perjalanan.
      Menurut Syakh Ibnu Baz hukumnya boleh mengerjakan umrah berjkali-kali dalam satu perjalanan, sedangkan menurut Syekh Ibnu Utsaimin mengerjakan umrah berkali-kali dalam satu perjalanan, hukumnya adalah bid’ah.
      Kasus keenam, salat tarawih 23 rakaat dalam bulan Ramadan.
      Menurut Syekh Ibnu Baz boleh melaksanakan salat tarawih 23 rakaat dalam bulan Ramadan, sedangkan menurut Syekh Albani dalam bulan Ramadan tidak boleh salat tarawih lebih dari 23 rakaat.
      Kasus ketujuh, membaca doa khatam Al-Quran dalam bulan Ramadan.
      Menurut Syekh Ibnu Baz hukumnya boleh membaca doa khatam Al-Quran dalam bulan Ramadan, sedangkan menurut Syekh Albani hukumnya bid’ah membaca doa khatam Al-Quran dalam bulan Ramadan.
      Kasus kedelapan, Zikir menggunakan tasbih.
      Menurut Syekh Utsaimin boleh menggunakan tasbih dalam berzikir, karena menggunakan tasbih tidak dianggap berbuat bid’ah dalam agama, karena maksud bid’ah adalah sesuatu yang tidak ada pada zaman Rasulullah dan dibuat-buat setelah masa Rasulullah yang dilarang adalah bid’ah dalam agama.
     Sedangkan menggunakan tasbih adalah cara untuk menghitung jumlah bilangan (zikir), tasbih adalah sarana yang “marjuhah” (lawan rajih/kuat) dan “mafdhulah” (lawan afdhal), dalam berzikir afdhalnya menghitung tasbih dengan jari tangan.
      Menurut Syekh Albani berzikir dengan tasbih adalah bid’ah yaitu yang tidak ada pada zaman Rasulullah dan dibuat-buat setelah masa Rasulullah.
    Beberapa pelajaran dari uraian di atas. Pertama, bahwa “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) dalam memahami nash (teks) bukan hal baru, karena sudah terjadi ketika Rasulullah masih hidup dan berlanjut pada zaman sahabat, sampai sekarang ini.
     Yang perlu dilakukan bukan menghilangkan “ikhtilaf’ (perbedaan pendapat), tetapi memahami “ikhtilaf” adalah dinamika dan kekayaan khazanah keilmuan Islam, asalkan ikhtilaf dalam masalah “furu” (cabang) dan bukan masalah “ushul” (prinsip/pokok) dalam ajaran Islam.
     Kedua, berbeda dalam masalah “furu” (cabang) tidak menyebabkan umat Islam saling membid’ahkan, karena Imam Hambali tidak membid’ahkan Imam Syafii dan para pengikutnya yang membaca doa qunut pada salat Subuh.
      Sebaiknya umat Islam beramal dengan sesuatu yang diyakininya dan bersikap lapang dada serta saling menghormati dalam menghadapi “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) dalam masalah “furu” agama Islam.
Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online

619. NOW

IKHTILAF ULAMA KONTEMPORER
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M


      Beberapa orang bertanya,”Mohon dijelaskan tentang ikhtilaf (perbedaan pendapat) ulama kontemporer?” Ustad Abdul Somad menjelaskannya.
    Pada ulama kontemporer (zaman sekarang) juga mengalami “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) di antara mereka, artinya ulama zaman sekarang pun berijtihad dalam masalah tertentu yang tidak ada “nash” (dalil Al-Quran dan hadis Nabi)  yang menjelaskannya, atau terdapat “nash”, tetapi mereka “ikhtilaf” (berbeda pendapat)  dalam memahaminya.
      Ketika para ulama kontemporer berijtihad, maka tentu saja terjadi “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) seperti yang terjadi pada zaman sebelum mereka.
     Berikut ini beberapa contoh “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) di antara para ulama kontemporer.
     Kasus pertama, Cara turun ke lantai dari posisi iktidal ketika akan sujud dalam salat.
      Menurut Syekh Albani yang diturunkan ke lantai terlebih dahulu adalah kedua tangan, kemudian diikuti kedua lutut yang diturunkan ke lantai.
     Menurut Syekh Ibnu Baz yang diturunkan terlebih dahulu adalah kedua lutut, barulah diikuti kedua tangan yang diturunkan ke lantai.
    Kasus kedua, Takbir pada sujud tilawah dalam salat.
      Menurut Syekh Albani disyariatkan bagi orang yang melaksanakan salat, jika ia sebagai imam atau salat sendirian, ketika melewati ayat “sajdah” agar ia bertakbir dan sujud “tilawah”, kemudian bertakbir ketika bangun dari sujud, karena takbir itu pada setiap turun dan bangun dalam gerakan salat.   
      Menurut Syekh Ibnu Baz bahwa beberapa sahabat telah meriwayatkan tentang sujud tilawahnya Rasulullah dalam banyak ayat dan banyak kesempatan yang berbeda-beda, tidak seorang pun dari mereka menyebutkan bahwa Rasulullah bertakbir ketika akan sujud, sehingga tidak disyariatkannya untuk bertakbir ketika sujud tilawah.
  Kasus ketiga, Salat sunat tahiatul-masjid di tempat salat Idul Fitri dan Idul Adha.
      Menurut Syekh Ibnu Utsaimin bahwa di tempat salat Idul Fitri dan Idul Adha ada salat sunat tahiatul-masjid, sedangkan menurut Syekh Ibnu Baz tidak ada salat tahiatul-masjid di tempat salat Idul Fitri dan Idul Adha.
      Kasus keempat, Hukum foto. Menurut Syekh Ibnu Baz hukum foto sama dengan hukum lukisan atau patung, sedangkan menurut Syekh Ibnu Utsaimin hukum foto tidak sama dengan hokum lukisan atau patung.
      Kasus kelima, hukum mengerjakan umrah berkali-kali dalam satu perjalanan.
      Menurut Syakh Ibnu Baz hukumnya boleh mengerjakan umrah berjkali-kali dalam satu perjalanan, sedangkan menurut Syekh Ibnu Utsaimin mengerjakan umrah berkali-kali dalam satu perjalanan, hukumnya adalah bid’ah.
      Kasus keenam, salat tarawih 23 rakaat dalam bulan Ramadan.
      Menurut Syekh Ibnu Baz boleh melaksanakan salat tarawih 23 rakaat dalam bulan Ramadan, sedangkan menurut Syekh Albani dalam bulan Ramadan tidak boleh salat tarawih lebih dari 23 rakaat.
      Kasus ketujuh, membaca doa khatam Al-Quran dalam bulan Ramadan.
      Menurut Syekh Ibnu Baz hukumnya boleh membaca doa khatam Al-Quran dalam bulan Ramadan, sedangkan menurut Syekh Albani hukumnya bid’ah membaca doa khatam Al-Quran dalam bulan Ramadan.
      Kasus kedelapan, Zikir menggunakan tasbih.
      Menurut Syekh Utsaimin boleh menggunakan tasbih dalam berzikir, karena menggunakan tasbih tidak dianggap berbuat bid’ah dalam agama, karena maksud bid’ah adalah sesuatu yang tidak ada pada zaman Rasulullah dan dibuat-buat setelah masa Rasulullah yang dilarang adalah bid’ah dalam agama.
     Sedangkan menggunakan tasbih adalah cara untuk menghitung jumlah bilangan (zikir), tasbih adalah sarana yang “marjuhah” (lawan rajih/kuat) dan “mafdhulah” (lawan afdhal), dalam berzikir afdhalnya menghitung tasbih dengan jari tangan.
      Menurut Syekh Albani berzikir dengan tasbih adalah bid’ah yaitu yang tidak ada pada zaman Rasulullah dan dibuat-buat setelah masa Rasulullah.
    Beberapa pelajaran dari uraian di atas. Pertama, bahwa “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) dalam memahami nash (teks) bukan hal baru, karena sudah terjadi ketika Rasulullah masih hidup dan berlanjut pada zaman sahabat, sampai sekarang ini.
     Yang perlu dilakukan bukan menghilangkan “ikhtilaf’ (perbedaan pendapat), tetapi memahami “ikhtilaf” adalah dinamika dan kekayaan khazanah keilmuan Islam, asalkan ikhtilaf dalam masalah “furu” (cabang) dan bukan masalah “ushul” (prinsip/pokok) dalam ajaran Islam.
     Kedua, berbeda dalam masalah “furu” (cabang) tidak menyebabkan umat Islam saling membid’ahkan, karena Imam Hambali tidak membid’ahkan Imam Syafii dan para pengikutnya yang membaca doa qunut pada salat Subuh.
      Sebaiknya umat Islam beramal dengan sesuatu yang diyakininya dan bersikap lapang dada serta saling menghormati dalam menghadapi “ikhtilaf” (perbedaan pendapat) dalam masalah “furu” agama Islam.
Daftar Pustaka
1. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 77 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
2. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 99 Tanya-Jawab Seputar Salat, 2017.
3. Somad, Abdul. E-book Tafaqquh 37 Tanya-Jawab Masalah Populer, 2017.
4. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
5. Tafsirq.com online