Organisasi Profesi Guru

Presiden Jokowi memberi hormat kepada Guru-Guru se Indonesia.

Tema Gambar Slide 2

Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.

Tema Gambar Slide 3

Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.

Monday, June 26, 2017

114. JANGAN BERSEDIH, AYO TERTAWA YANG WAJAR

JANGAN BERSEDIH,
AYO TERTAWA YANG WAJAR
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo


JANGAN BERSEDIH
      Jangan bersedih. Sebab kesedihan akan membuat air yang segar terasa pahit. Sinar matahari pagi yang indah terasa suram. Suara burung-burung yang merdu  bagaikan suara hantu menyeramkan.
      Jangan bersedih. Karena kesedihan akan membuat rumah yang luas terasa sempit. Istri yang cantik tampak menyeramkan. Anak-anak yang lucu terasa membisingkan.
      Jangan bersedih. Sebab kesedihan akan membuat udara yang sejuk tampak menyesakkan. Pemandangan yang elok menjadi menakutkan. kebun yang indah tampak seonggok sampah menjengkelkan.
     Jangan bersedih. Karena kesedihan akan membuat suasana rumah terasa pengap laksana penjara. Hubungan harmonis dalam keluarga menjadi “berantakan” bagaikan kapal pecah. kendaraan yang bagus tidak bermanfaat sedikit pun.
      Jangan bersedih. Karena kita masih memiliki dua mata, dua telinga, dua tangan, dua kaki, dua bibir, pikiran , dan hati. Kita masih memiliki kesehatan, waktu luang, dan keamanan.
       Jangan bersedih. Sebab kita masih memiliki agama yang kita anut. Tempat tinggal  yang kita huni. Nasi yang kita makan. Air yang kita minum. Pakaian yang kita pakai. Keluarga tempat berbagi perasaan. Mengapa harus bersedih?
     Jangan bersedih. Ketika anak kita gagal dalam ujian, lalu kita bersedih. Apakah anak kita menjadi lulus? Saat keluarga kita ada yang meninggal dunia, apakah dia akan hidup kembali? Jika kita rugi dalam bisnis, apakah kita menjadi untung?
      Jangan bersedih. Ketika kita berada di pagi hari. Jangan menunggu datangnya sore hari. Hari ini yang kita jalani, bukan hari kemarin. Juga bukan hari esok yang belum pasti datangnya. Mari kita nikmati dan syukuri hari ini. Hari ini milik kita.
      Jangan bersedih. Mari kita jalani hari ini tanpa kesedihan, kegalauan, kemarahan, kedengkian, dan kebencian. Jika hari ini kita minum air jernih yang segar, mengapa kita harus bersedih dengan air asin yang kita minum kemarin. Atau mengkhawatirkan air pahit esok hari yang belum tentu terjadi?
       Hal itu akan membuat kita bertekad dalam hati. Hanya hari ini kesempatan saya. Cuma saat ini waktu saya. Saya manfaatkan dengan maksimal. Berbicara yang bermanfaat. Berkata yang baik-baik saja. Tidak berkata yang jelek dan kotor. Tidak akan mencela dan menghardik. Tidak membicarakan kejelekan orang lain. Tak berbuat yang sia-sia.
      Ya Allah. Kami berlindung kepada-Mu, dari kesedihan dan kecemasan. Dari kemalasan dan kebakhilan. Dari sifat pengecut, beban utang, dan tekanan orang jahat. Cukuplah Allah bagi kita. Dia sebaik-baik pelindung. Amin.
AYO TERTAWA YANG WAJAR
     Tertawa yang wajar itu bagaikan “obat” bagi kesedihan. Laksana “pil kuat” untuk kegalauan.  Pengaruh tertawa yang wajar amat kuat. Membuat hati bergembira. Hati menjadi berbahagia. Lingkungan menjadi menyenangkan.
      Sahabat Nabi berkata, ”Nabi Muhammad kadang kala tertawa, sehingga tampak gigi gerahamnya.” Tertawa merupakan puncak kegembiraan. Titik tertinggi keceriaan. Ujung perasaan kesenangan.
      Nabi bersabda, “Senyummu di depan saudaramu adalah sedekah.” Bahkan Nabi Sulaiman tertawa. Alquran surah Annaml ayat 19. ”Maka Sulaiman tertawa karena mendengarkan perkataan semut.”
      Salah satu nikmat Allah untuk penghuni surga ialah tertawa. Alquran surah Almutaffifin ayat 34. “Maka pada hari ini, orang-orang beriman menertawakan orang-orang kafir.”
      Namun, jangan tertawa berlebihan. Nabi bersabda,“Jangan engkau banyak tertawa, karena banyak tertawa akan mematikan hati.” Mari kita tertawa yang wajar saja.
      Jangan tertawa sinis dan penuh kesombongan. Sebagaimana dilakukan orang-orang kafir. Alquran surah Azzukruf ayat 47. “…tatkala dia datang kepada mereka dengan membawa mukjizat Kami. Dengan serta merta mereka menertawakannya.”
       Pada umumnya, semua orang senang wajah yang murah senyum. Suka dengan muka yang selalu tampak ceria. Hal itu merupakan cermin kemurahan hati. Kelapangan dada, dan kedermawanan.
      Pada dasarnya, Islam dibangun berdasarkan prinsip keseimbangan. Moderat dalam hal akidah, ibadah, budi pekerti, dan perilaku. Pertengahan dalam bersikap. Islam tidak mengenal kemuraman yang menakutkan, maupun tertawa lepas tak beraturan.
      Islam senantiasa mengajarkan kesungguhan penuh wibawa dan ringan langkah yang terarah.  Menganjurkan perbuatan yang bermanfaat untuk diri, keluarga dan masyarakat sekitarnya.
     Imam Gazali melontarkan humor, “Benda apakah yang paling tajam di dunia ini? Muridnya menjawab degan berbagai jawaban. Antara lain: pisau, silet, pedang dan semacamnya. Imam Gazali menjawab, “Betul, semua benda yang kalian sebutkan itu tajam. Tetapi ada yang lebih tajam dari itu semua, yaitu LIDAH”.
       Abu Hurairah bertanya, “Wahai Rasul, apakah engkau pernah bersenda gurau? Nabi menjawab,” Benar, hanya saya selalu berkata benar.”
      Nabi bergurau, “Naikkan barang-barangmu ke punggung anak unta di sebelah sana!” Sahabat bingung, “Ya Rasul, bagaimana anak unta mampu memikul beban berat? Nabi menjawab,”Saya tidak bilang anak unta itu kecil. Semua unta ‘kan lahir dari ibu unta.”
     Seorang wanita tua bertanya, “Ya Nabi, apakah wanita tua seperti saya layak masuk surga?” Nabi menjawab, “Maaf, Bu. Di surga tidak ada wanita tua”. Wanita itu menangis. Nabi menjelaskan,” Semua orang yang masuk surga, akan menjadi muda lagi.” Wanita tua itu tersenyum.
      Sungguh, manusia membutuhkan senyuman. Memerlukan humor yang menghibur. Tidak menghina siapa pun. Tak merendahkan apa pun. Semua orang senang dengan wajah yang selalu berseri-seri. Hati yang lapang dalam menerima perbedaan. Budi pekerti yang luhur. Perilaku yang lembut. Pembawaan yang tidak kasar.
     Jadi, janganlah kita bersedih. Lontarkan humor yang cedas. Humor yang tidak menyinggung siapa pun. Tak menghina apa pun. Mari kita tersenyum. Ayo tertawa yang wajar. Kehidupan akan terasa lebih indah, ceria, dan memesona. Semoga.
Daftar Pustaka
1. Al-Qarni, Aidh. La Tahzan. Jangan Bersedih. Penerbit Qisthi Press. Jakarta 2007.



114. JANGAN BERSEDIH, AYO TERTAWA YANG WAJAR

JANGAN BERSEDIH,
AYO TERTAWA YANG WAJAR
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo


JANGAN BERSEDIH
      Jangan bersedih. Sebab kesedihan akan membuat air yang segar terasa pahit. Sinar matahari pagi yang indah terasa suram. Suara burung-burung yang merdu  bagaikan suara hantu menyeramkan.
      Jangan bersedih. Karena kesedihan akan membuat rumah yang luas terasa sempit. Istri yang cantik tampak menyeramkan. Anak-anak yang lucu terasa membisingkan.
      Jangan bersedih. Sebab kesedihan akan membuat udara yang sejuk tampak menyesakkan. Pemandangan yang elok menjadi menakutkan. kebun yang indah tampak seonggok sampah menjengkelkan.
     Jangan bersedih. Karena kesedihan akan membuat suasana rumah terasa pengap laksana penjara. Hubungan harmonis dalam keluarga menjadi “berantakan” bagaikan kapal pecah. kendaraan yang bagus tidak bermanfaat sedikit pun.
      Jangan bersedih. Karena kita masih memiliki dua mata, dua telinga, dua tangan, dua kaki, dua bibir, pikiran , dan hati. Kita masih memiliki kesehatan, waktu luang, dan keamanan.
       Jangan bersedih. Sebab kita masih memiliki agama yang kita anut. Tempat tinggal  yang kita huni. Nasi yang kita makan. Air yang kita minum. Pakaian yang kita pakai. Keluarga tempat berbagi perasaan. Mengapa harus bersedih?
     Jangan bersedih. Ketika anak kita gagal dalam ujian, lalu kita bersedih. Apakah anak kita menjadi lulus? Saat keluarga kita ada yang meninggal dunia, apakah dia akan hidup kembali? Jika kita rugi dalam bisnis, apakah kita menjadi untung?
      Jangan bersedih. Ketika kita berada di pagi hari. Jangan menunggu datangnya sore hari. Hari ini yang kita jalani, bukan hari kemarin. Juga bukan hari esok yang belum pasti datangnya. Mari kita nikmati dan syukuri hari ini. Hari ini milik kita.
      Jangan bersedih. Mari kita jalani hari ini tanpa kesedihan, kegalauan, kemarahan, kedengkian, dan kebencian. Jika hari ini kita minum air jernih yang segar, mengapa kita harus bersedih dengan air asin yang kita minum kemarin. Atau mengkhawatirkan air pahit esok hari yang belum tentu terjadi?
       Hal itu akan membuat kita bertekad dalam hati. Hanya hari ini kesempatan saya. Cuma saat ini waktu saya. Saya manfaatkan dengan maksimal. Berbicara yang bermanfaat. Berkata yang baik-baik saja. Tidak berkata yang jelek dan kotor. Tidak akan mencela dan menghardik. Tidak membicarakan kejelekan orang lain. Tak berbuat yang sia-sia.
      Ya Allah. Kami berlindung kepada-Mu, dari kesedihan dan kecemasan. Dari kemalasan dan kebakhilan. Dari sifat pengecut, beban utang, dan tekanan orang jahat. Cukuplah Allah bagi kita. Dia sebaik-baik pelindung. Amin.
AYO TERTAWA YANG WAJAR
     Tertawa yang wajar itu bagaikan “obat” bagi kesedihan. Laksana “pil kuat” untuk kegalauan.  Pengaruh tertawa yang wajar amat kuat. Membuat hati bergembira. Hati menjadi berbahagia. Lingkungan menjadi menyenangkan.
      Sahabat Nabi berkata, ”Nabi Muhammad kadang kala tertawa, sehingga tampak gigi gerahamnya.” Tertawa merupakan puncak kegembiraan. Titik tertinggi keceriaan. Ujung perasaan kesenangan.
      Nabi bersabda, “Senyummu di depan saudaramu adalah sedekah.” Bahkan Nabi Sulaiman tertawa. Alquran surah Annaml ayat 19. ”Maka Sulaiman tertawa karena mendengarkan perkataan semut.”
      Salah satu nikmat Allah untuk penghuni surga ialah tertawa. Alquran surah Almutaffifin ayat 34. “Maka pada hari ini, orang-orang beriman menertawakan orang-orang kafir.”
      Namun, jangan tertawa berlebihan. Nabi bersabda,“Jangan engkau banyak tertawa, karena banyak tertawa akan mematikan hati.” Mari kita tertawa yang wajar saja.
      Jangan tertawa sinis dan penuh kesombongan. Sebagaimana dilakukan orang-orang kafir. Alquran surah Azzukruf ayat 47. “…tatkala dia datang kepada mereka dengan membawa mukjizat Kami. Dengan serta merta mereka menertawakannya.”
       Pada umumnya, semua orang senang wajah yang murah senyum. Suka dengan muka yang selalu tampak ceria. Hal itu merupakan cermin kemurahan hati. Kelapangan dada, dan kedermawanan.
      Pada dasarnya, Islam dibangun berdasarkan prinsip keseimbangan. Moderat dalam hal akidah, ibadah, budi pekerti, dan perilaku. Pertengahan dalam bersikap. Islam tidak mengenal kemuraman yang menakutkan, maupun tertawa lepas tak beraturan.
      Islam senantiasa mengajarkan kesungguhan penuh wibawa dan ringan langkah yang terarah.  Menganjurkan perbuatan yang bermanfaat untuk diri, keluarga dan masyarakat sekitarnya.
     Imam Gazali melontarkan humor, “Benda apakah yang paling tajam di dunia ini? Muridnya menjawab degan berbagai jawaban. Antara lain: pisau, silet, pedang dan semacamnya. Imam Gazali menjawab, “Betul, semua benda yang kalian sebutkan itu tajam. Tetapi ada yang lebih tajam dari itu semua, yaitu LIDAH”.
       Abu Hurairah bertanya, “Wahai Rasul, apakah engkau pernah bersenda gurau? Nabi menjawab,” Benar, hanya saya selalu berkata benar.”
      Nabi bergurau, “Naikkan barang-barangmu ke punggung anak unta di sebelah sana!” Sahabat bingung, “Ya Rasul, bagaimana anak unta mampu memikul beban berat? Nabi menjawab,”Saya tidak bilang anak unta itu kecil. Semua unta ‘kan lahir dari ibu unta.”
     Seorang wanita tua bertanya, “Ya Nabi, apakah wanita tua seperti saya layak masuk surga?” Nabi menjawab, “Maaf, Bu. Di surga tidak ada wanita tua”. Wanita itu menangis. Nabi menjelaskan,” Semua orang yang masuk surga, akan menjadi muda lagi.” Wanita tua itu tersenyum.
      Sungguh, manusia membutuhkan senyuman. Memerlukan humor yang menghibur. Tidak menghina siapa pun. Tak merendahkan apa pun. Semua orang senang dengan wajah yang selalu berseri-seri. Hati yang lapang dalam menerima perbedaan. Budi pekerti yang luhur. Perilaku yang lembut. Pembawaan yang tidak kasar.
     Jadi, janganlah kita bersedih. Lontarkan humor yang cedas. Humor yang tidak menyinggung siapa pun. Tak menghina apa pun. Mari kita tersenyum. Ayo tertawa yang wajar. Kehidupan akan terasa lebih indah, ceria, dan memesona. Semoga.
Daftar Pustaka
1. Al-Qarni, Aidh. La Tahzan. Jangan Bersedih. Penerbit Qisthi Press. Jakarta 2007.



114. JANGAN BERSEDIH, AYO TERTAWA YANG WAJAR

JANGAN BERSEDIH,
AYO TERTAWA YANG WAJAR
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo


JANGAN BERSEDIH
      Jangan bersedih. Sebab kesedihan akan membuat air yang segar terasa pahit. Sinar matahari pagi yang indah terasa suram. Suara burung-burung yang merdu  bagaikan suara hantu menyeramkan.
      Jangan bersedih. Karena kesedihan akan membuat rumah yang luas terasa sempit. Istri yang cantik tampak menyeramkan. Anak-anak yang lucu terasa membisingkan.
      Jangan bersedih. Sebab kesedihan akan membuat udara yang sejuk tampak menyesakkan. Pemandangan yang elok menjadi menakutkan. kebun yang indah tampak seonggok sampah menjengkelkan.
     Jangan bersedih. Karena kesedihan akan membuat suasana rumah terasa pengap laksana penjara. Hubungan harmonis dalam keluarga menjadi “berantakan” bagaikan kapal pecah. kendaraan yang bagus tidak bermanfaat sedikit pun.
      Jangan bersedih. Karena kita masih memiliki dua mata, dua telinga, dua tangan, dua kaki, dua bibir, pikiran , dan hati. Kita masih memiliki kesehatan, waktu luang, dan keamanan.
       Jangan bersedih. Sebab kita masih memiliki agama yang kita anut. Tempat tinggal  yang kita huni. Nasi yang kita makan. Air yang kita minum. Pakaian yang kita pakai. Keluarga tempat berbagi perasaan. Mengapa harus bersedih?
     Jangan bersedih. Ketika anak kita gagal dalam ujian, lalu kita bersedih. Apakah anak kita menjadi lulus? Saat keluarga kita ada yang meninggal dunia, apakah dia akan hidup kembali? Jika kita rugi dalam bisnis, apakah kita menjadi untung?
      Jangan bersedih. Ketika kita berada di pagi hari. Jangan menunggu datangnya sore hari. Hari ini yang kita jalani, bukan hari kemarin. Juga bukan hari esok yang belum pasti datangnya. Mari kita nikmati dan syukuri hari ini. Hari ini milik kita.
      Jangan bersedih. Mari kita jalani hari ini tanpa kesedihan, kegalauan, kemarahan, kedengkian, dan kebencian. Jika hari ini kita minum air jernih yang segar, mengapa kita harus bersedih dengan air asin yang kita minum kemarin. Atau mengkhawatirkan air pahit esok hari yang belum tentu terjadi?
       Hal itu akan membuat kita bertekad dalam hati. Hanya hari ini kesempatan saya. Cuma saat ini waktu saya. Saya manfaatkan dengan maksimal. Berbicara yang bermanfaat. Berkata yang baik-baik saja. Tidak berkata yang jelek dan kotor. Tidak akan mencela dan menghardik. Tidak membicarakan kejelekan orang lain. Tak berbuat yang sia-sia.
      Ya Allah. Kami berlindung kepada-Mu, dari kesedihan dan kecemasan. Dari kemalasan dan kebakhilan. Dari sifat pengecut, beban utang, dan tekanan orang jahat. Cukuplah Allah bagi kita. Dia sebaik-baik pelindung. Amin.
AYO TERTAWA YANG WAJAR
     Tertawa yang wajar itu bagaikan “obat” bagi kesedihan. Laksana “pil kuat” untuk kegalauan.  Pengaruh tertawa yang wajar amat kuat. Membuat hati bergembira. Hati menjadi berbahagia. Lingkungan menjadi menyenangkan.
      Sahabat Nabi berkata, ”Nabi Muhammad kadang kala tertawa, sehingga tampak gigi gerahamnya.” Tertawa merupakan puncak kegembiraan. Titik tertinggi keceriaan. Ujung perasaan kesenangan.
      Nabi bersabda, “Senyummu di depan saudaramu adalah sedekah.” Bahkan Nabi Sulaiman tertawa. Alquran surah Annaml ayat 19. ”Maka Sulaiman tertawa karena mendengarkan perkataan semut.”
      Salah satu nikmat Allah untuk penghuni surga ialah tertawa. Alquran surah Almutaffifin ayat 34. “Maka pada hari ini, orang-orang beriman menertawakan orang-orang kafir.”
      Namun, jangan tertawa berlebihan. Nabi bersabda,“Jangan engkau banyak tertawa, karena banyak tertawa akan mematikan hati.” Mari kita tertawa yang wajar saja.
      Jangan tertawa sinis dan penuh kesombongan. Sebagaimana dilakukan orang-orang kafir. Alquran surah Azzukruf ayat 47. “…tatkala dia datang kepada mereka dengan membawa mukjizat Kami. Dengan serta merta mereka menertawakannya.”
       Pada umumnya, semua orang senang wajah yang murah senyum. Suka dengan muka yang selalu tampak ceria. Hal itu merupakan cermin kemurahan hati. Kelapangan dada, dan kedermawanan.
      Pada dasarnya, Islam dibangun berdasarkan prinsip keseimbangan. Moderat dalam hal akidah, ibadah, budi pekerti, dan perilaku. Pertengahan dalam bersikap. Islam tidak mengenal kemuraman yang menakutkan, maupun tertawa lepas tak beraturan.
      Islam senantiasa mengajarkan kesungguhan penuh wibawa dan ringan langkah yang terarah.  Menganjurkan perbuatan yang bermanfaat untuk diri, keluarga dan masyarakat sekitarnya.
     Imam Gazali melontarkan humor, “Benda apakah yang paling tajam di dunia ini? Muridnya menjawab degan berbagai jawaban. Antara lain: pisau, silet, pedang dan semacamnya. Imam Gazali menjawab, “Betul, semua benda yang kalian sebutkan itu tajam. Tetapi ada yang lebih tajam dari itu semua, yaitu LIDAH”.
       Abu Hurairah bertanya, “Wahai Rasul, apakah engkau pernah bersenda gurau? Nabi menjawab,” Benar, hanya saya selalu berkata benar.”
      Nabi bergurau, “Naikkan barang-barangmu ke punggung anak unta di sebelah sana!” Sahabat bingung, “Ya Rasul, bagaimana anak unta mampu memikul beban berat? Nabi menjawab,”Saya tidak bilang anak unta itu kecil. Semua unta ‘kan lahir dari ibu unta.”
     Seorang wanita tua bertanya, “Ya Nabi, apakah wanita tua seperti saya layak masuk surga?” Nabi menjawab, “Maaf, Bu. Di surga tidak ada wanita tua”. Wanita itu menangis. Nabi menjelaskan,” Semua orang yang masuk surga, akan menjadi muda lagi.” Wanita tua itu tersenyum.
      Sungguh, manusia membutuhkan senyuman. Memerlukan humor yang menghibur. Tidak menghina siapa pun. Tak merendahkan apa pun. Semua orang senang dengan wajah yang selalu berseri-seri. Hati yang lapang dalam menerima perbedaan. Budi pekerti yang luhur. Perilaku yang lembut. Pembawaan yang tidak kasar.
     Jadi, janganlah kita bersedih. Lontarkan humor yang cedas. Humor yang tidak menyinggung siapa pun. Tak menghina apa pun. Mari kita tersenyum. Ayo tertawa yang wajar. Kehidupan akan terasa lebih indah, ceria, dan memesona. Semoga.
Daftar Pustaka
1. Al-Qarni, Aidh. La Tahzan. Jangan Bersedih. Penerbit Qisthi Press. Jakarta 2007.



Saturday, June 24, 2017

113. NABI IBRAHIM DAN NAMRUD

PERDEBATAN NABI IBRAHIM DENGAN RAJA NAMRUD
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

     Nabi Ibrahim merupakan Rasul urutan ke-6 dari 25 rasul. Setelah Nabi Adam, Idris, Nuh, Hud, dan Shalih. Nabi Ibrahim dilemparkan ke dalam api bergejolak. Tinggal di dalam api selama 40 hari. Nabi Ibrahim tetap segar bugar. Tak ada luka sedikitpun.
    Nabi Ibrahim  keluar dari lautan api. Nabi Ibrahim berdebat dengan Raja Namrud. Raja Namrud adalah keturunan generasi ke-7 dari Nabi Nuh. Raja Namrud berkuasa selama 400 tahun. Raja Namrud amat sombong dan mengaku sebagai tuhan.
      Al-Quran surah Al-Baqarah. Surah ke-2 ayat 358. “Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah). Karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan, "Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan." Orang itu berkata, “ "Saya dapat menghidupkan dan mematikan". Ibrahim berkata,"Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkan dia dari barat." Lalu heran terdiam orang kafir itu. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”
      Nabi Ibrahim mengajak Raja Namrud beriman. Hanya menyembah kepada Allah. Raja Namrud menolaknya. Bahkan, Raja Namrud mendebat Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim berkata,” Allah dapat menghidupkan dan mematikan.”
    Raja Namrud menjawab,”Saya dapat menghidupkan dan mematikan.” Raja Namrud memerintahkan para pengawalnya. Membawa dua orang ke dalam pertemuan. Satu orang dibunuh, satu orang lagi dilepaskan. Raja Namrud berkata,”Saya dapat menghidupkan, dan mematikan.”
     Nabi Ibrahim berkata,”Sesungguhnya, Tuhanku menerbitkan matahari dari timur. Maka terbitkan matahari dari barat.” Raja Namrud kaget dan terdiam. Tak menjawab sepatah kata pun.
      Raja Namrud mengundang seluruh rakyatnya. Untuk makan sepuasnya. Tetapi, Nabi Ibrahim tak diberikan makanan. Hanya sekali itu saja. Nabi Ibrahim bertemu dengan Raja Namrud. Lalu terjadi perdebatan.
     Nabi Ibrahim keluar dari pertemuan. Tanpa membawa makanan apa pun. Nabi Ibrahim kembali ke rumah. Mengambil sekumpulan pasir. Dimasukkan ke dalam kantongnya. Nabi Ibrahim berkata,”Aku akan menyibukkan kelurgaku, jika aku tiba di rumah.”
    Nabi Ibrahim tiba di rumah. Meletakkan barang bawaanya. Lalu berbaring dan tertidur. Sarah, istrinya melihat barang bawaan Nabi Ibrahim. Yang berisi bahan makanan. Sarah memasaknya. Menjadi makanan yang lezat dan nikmat.
     Nabi Ibrahim bertanya,”Bahan makanan tadi diperoleh dari mana?” istrinya menjawab,” Berasal dari kantong tadi.” Nabi Ibrahim berkata,” itu rezeki berasal dari Allah, untuk keluarganya.”
      Allah mengirimkan malaikat kepada Raja Namrud. Menyuruhnya agar beriman kepada Allah. Tetapi, Raja Namrud menolaknya. Malaikat turun sebanyak tiga kali. Raja Namrud tetap menolaknya.
     Malaikat berkata, “Kumpulkan semua pasukanmu. Aku pun akan mengumpulkan pasukanku.” Matahari sudah terbit. Pasukan Raja Namrud berkumpul. Allah mengirimkan pasukan lalat yang tak terlihat. Pasukan lalat itu memakan semuanya. Hanya tersisa tulang belulang.
       Seekor lalat masuk ke dalam hidung Raja Namrud. Lalat menetap di dalamnya. Selama 400 tahun. Raja Namrud memukuli kepalanya sendiri dengan besi. Hingga binasa. Allah mengazabnya. Itulah kesudahan orang yang sombong. Yang mengaku sebagai tuhan.
Daftar Pustaka.
1. Katsir, Ibnu. Kisah-kisah Nabi. penerbit Pustaka Azzam. Jakarta, 2013.
2. Bahjat, Ahmad. Nabi-Nabi Allah. Penerbit Qisthi Press. Jakarta, 2007.

113. NABI IBRAHIM DAN NAMRUD

PERDEBATAN NABI IBRAHIM DENGAN RAJA NAMRUD
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

     Nabi Ibrahim merupakan Rasul urutan ke-6 dari 25 rasul. Setelah Nabi Adam, Idris, Nuh, Hud, dan Shalih. Nabi Ibrahim dilemparkan ke dalam api bergejolak. Tinggal di dalam api selama 40 hari. Nabi Ibrahim tetap segar bugar. Tak ada luka sedikitpun.
    Nabi Ibrahim  keluar dari lautan api. Nabi Ibrahim berdebat dengan Raja Namrud. Raja Namrud adalah keturunan generasi ke-7 dari Nabi Nuh. Raja Namrud berkuasa selama 400 tahun. Raja Namrud amat sombong dan mengaku sebagai tuhan.
      Al-Quran surah Al-Baqarah. Surah ke-2 ayat 358. “Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah). Karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika Ibrahim mengatakan, "Tuhanku ialah Yang menghidupkan dan mematikan." Orang itu berkata, “ "Saya dapat menghidupkan dan mematikan". Ibrahim berkata,"Sesungguhnya Allah menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkan dia dari barat." Lalu heran terdiam orang kafir itu. Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”
      Nabi Ibrahim mengajak Raja Namrud beriman. Hanya menyembah kepada Allah. Raja Namrud menolaknya. Bahkan, Raja Namrud mendebat Nabi Ibrahim. Nabi Ibrahim berkata,” Allah dapat menghidupkan dan mematikan.”
    Raja Namrud menjawab,”Saya dapat menghidupkan dan mematikan.” Raja Namrud memerintahkan para pengawalnya. Membawa dua orang ke dalam pertemuan. Satu orang dibunuh, satu orang lagi dilepaskan. Raja Namrud berkata,”Saya dapat menghidupkan, dan mematikan.”
     Nabi Ibrahim berkata,”Sesungguhnya, Tuhanku menerbitkan matahari dari timur. Maka terbitkan matahari dari barat.” Raja Namrud kaget dan terdiam. Tak menjawab sepatah kata pun.
      Raja Namrud mengundang seluruh rakyatnya. Untuk makan sepuasnya. Tetapi, Nabi Ibrahim tak diberikan makanan. Hanya sekali itu saja. Nabi Ibrahim bertemu dengan Raja Namrud. Lalu terjadi perdebatan.
     Nabi Ibrahim keluar dari pertemuan. Tanpa membawa makanan apa pun. Nabi Ibrahim kembali ke rumah. Mengambil sekumpulan pasir. Dimasukkan ke dalam kantongnya. Nabi Ibrahim berkata,”Aku akan menyibukkan kelurgaku, jika aku tiba di rumah.”
    Nabi Ibrahim tiba di rumah. Meletakkan barang bawaanya. Lalu berbaring dan tertidur. Sarah, istrinya melihat barang bawaan Nabi Ibrahim. Yang berisi bahan makanan. Sarah memasaknya. Menjadi makanan yang lezat dan nikmat.
     Nabi Ibrahim bertanya,”Bahan makanan tadi diperoleh dari mana?” istrinya menjawab,” Berasal dari kantong tadi.” Nabi Ibrahim berkata,” itu rezeki berasal dari Allah, untuk keluarganya.”
      Allah mengirimkan malaikat kepada Raja Namrud. Menyuruhnya agar beriman kepada Allah. Tetapi, Raja Namrud menolaknya. Malaikat turun sebanyak tiga kali. Raja Namrud tetap menolaknya.
     Malaikat berkata, “Kumpulkan semua pasukanmu. Aku pun akan mengumpulkan pasukanku.” Matahari sudah terbit. Pasukan Raja Namrud berkumpul. Allah mengirimkan pasukan lalat yang tak terlihat. Pasukan lalat itu memakan semuanya. Hanya tersisa tulang belulang.
       Seekor lalat masuk ke dalam hidung Raja Namrud. Lalat menetap di dalamnya. Selama 400 tahun. Raja Namrud memukuli kepalanya sendiri dengan besi. Hingga binasa. Allah mengazabnya. Itulah kesudahan orang yang sombong. Yang mengaku sebagai tuhan.
Daftar Pustaka.
1. Katsir, Ibnu. Kisah-kisah Nabi. penerbit Pustaka Azzam. Jakarta, 2013.
2. Bahjat, Ahmad. Nabi-Nabi Allah. Penerbit Qisthi Press. Jakarta, 2007.

112. ZAID BIN TSABIT

ZAID BIN TSABIT, SAHABAT NABI.
PENULIS WAHYU DAN SURAT NABI.
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

      Zaid bin Tsabit, lahir tahun 612 Masehi di Madinah.  Termasuk kaum Ansar. Berasal dari Bani Khazraj. Meninggal tahun 637 Masehi di Madinah. Nabi hijrah dari Mekah ke Madinah. Nabi berumur 53 tahun.
       Zaid bin Tsabit berumur 11 tahun. Zaid bin Tsabit diajak keluarganya masuk Islam. Dia mampu menghafal 11 surah Al-Quran. Zaid bin Tsabit amat beruntung. Pernah didoakan khusus oleh Nabi.
      Tahun ke-2 Hijriah. Terjadi Perang Badar. Nabi berumur 55 tahun. Zaid bin Tsabit berumur 13 tahun. Zaid bin Tsabit dibawa ayahnya ikut berperang, tetapi ditolak Nabi. Karena masih kecil dan tubuhnya kecil.
      Tahun ke-3 Hijiriah. Terjadi Perang Uhud. Nabi berumur 56 tahun. Nabi melarang sekelompok anak muda berkuda. Yang akan ikut berperang. Termasuk Zaid bin Tsabit.
     Nabi mengizinkan dua anak muda. Yang berbadan kekar. Memiliki keahlian tertentu. Yaitu Rafi bin Kudaj dan Samurah bin Jundub. Mereka berusia 15 tahun.
      Tahun ke-5 Hirjiah. Terjadi Perang Khandaq atau Perang Parit. Nabi berumur 58 tahun. Zaid bin Tsabit berumur 16 tahun.  Zaid bin Tsabit mulai ikut berperang bersama Nabi. Sejak saat itu, dia selalu terlibat dalam perang lainnya.
      Tahun ke-9 Hijriah. Terjadi Perang Tabuk.  Nabi Muhammad berumur 62 tahun. Menyerahkan bendera Bani Najjar. Yang sebelumnya dibawa Umarah kepada Zaid bin Tsabit. Ketika Umarah bertanya. Nabi bersabda, “Al-Quran harus diutamakan. Zaid bin Tsabit lebih banyak menghafal Al-Quran daripada engkau."
      Ingatan dan kecerdasan Zaid bin Tsabit luar biasa. Zaid bin Tsabit bertugas sebagai  penulis wahyu. Juga, penulis surat-surat Nabi Muhammad, semasa hidupnya. Menjadikannya tokoh yang terkemuka. Di antara para sahabat lainnya.
      Nabi berkata kepada Zaid bin Tsabit, "Aku berkirim surat kepada seseorang. Aku khawatir, mereka akan menambah atau menguranginya. Oleh karena itu, kamu harus belajar bahasa lainnya.” Zaid bin Tsabit menguasai bahasa dengan amat cepat. Dia menguasai bahasa asing Suryani dalam 17 hari. Mahir berbahasa asing Ibrani dalam 15 hari.
       Zaman  Khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khattab.  Zaid bin Tsabit ditunjuk menjadi  ketua tim. Yang dipercaya mengumpulkan dan menuliskan Al-Quran. Disatukan  dalam satu “buku”.
      Dalam Perang Yamamah banyak penghafal Al-Quran yang mati syahid. Umar bin Khattab cemas. Mengusulkan kepada Abu Bakar untuk menghimpun Al-Quran. Sebelum para penghafal lainnya berguguran. Mereka memanggil Zaid bin Tsabit.  Abu Bakar berkata,”Anda seorang pemuda yang cerdas. Kami tidak meragukanmu".
      Abu Bakar menyuruh Zaid bin Tsabit untuk menghimpun Al-Quran. Meskipun pada awalnya dia menolak. Zaid bin Tsabit, sebagai ketua tim. Melaksanakan tugas menghimpun Al-Quran. Dibantu para sahabat lainnya.
       Zaid bin Tsabit telah meriwayatkan 92 hadis. Imam Bukhari dan Imam Muslim bersepakat 5 di antaranya. Imam Bukhari juga meriwayatkan 4 hadis lain. Bersumberkan Zaid bin Tsabit. Imam Muslim meriwayatkan 1 hadis lain. Yang bersumberkan Zaid bin Tsabit.
      Zaid bin Tsabit diakui sebagai ulama di Madinah yang mumpuni. Keahliannya meliputi bidang fiqih, fatwa dan “faraidh” atau bidang waris.
       Zaid bin Tsabit diangkat menjadi bendahara. Pada zaman Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Zaman Khalifah Usman bin Affan, Zaid bin Tsabit diangkat menjadi pengurus Baitul Mal.
      Zaman Umar bin Khattab dan Usman bin Affan. Zaid bin Tsabit sebagai “PLT”. Sebagai Pelaksana Tugas. Sebagai pemegang jabatan khalifah sementara. Ketika ditinggal menunaikan ibadah haji ke Mekah.
      Khalifah Usman bin Affan membentuk panitia. Bertugas “membukukan” Al-Quran. Zaid bin Tsabit sebagai ketua tim. Dengan anggota Abdullah bin Zubair dan Abdurrahman bin Haris.  
        Mereka bertugas membukukan lembaran-lembaran lepas. Dengan cara menyalin ulang ayat-ayat Al-Quran. Dimasukkan ke dalam sebuah buku. Yang disebut “Mushaf”.
       Khalifah Utsman bin Affan mengintruksikan agar penyalinan berpedoman kepada orang yang menghafalkan Al-Quran. Apabila terdapat perbedaan dalam pembacaan. Yang ditulis dipilih berdialek Quraisy.
       Al-Quran diturunkan dalam bahasa Quraisy. Bahasa  Quraisy merupakan bahasa yang paling mulia. Bahasa yang digunakan Nabi. Bahasa yang paling tinggi kedudukan tata bahasanya. Hasilnya berupa “Mushaf Usmany”.
       Zaid bin Tsabit meninggal tahun 15 Hijriah. Putranya, Kharijah bin Zaid, menjadi seorang tabiin besar. Salah satu di antara 7 ulama fiqih Madinah pada masanya.  
     Sahabat ialah orang yang pernah berinteraksi dengan Nabi. Orang Islam yang hidup sezaman dengan Nabi. Memeluk Islam dan meninggal dalam Islam. Tabiin merupakan penganut ajaran Islam. Generasi kedua sesudah Nabi Muhammad.
Daftar Pustaka
1. Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfury. Sirah Nabawiyah. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta. 2006.
2. Ghani, Muhammad Ilyas Abdul. Sejarah Masjid Nabawi. Madinah 2004.
3. Ghani, Muhammad Ilyas Abdul. Sejarah Mekah. Mekah 2004   
4. Kisah Para Sahabat.

112. ZAID BIN TSABIT

ZAID BIN TSABIT, SAHABAT NABI.
PENULIS WAHYU DAN SURAT NABI.
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

      Zaid bin Tsabit, lahir tahun 612 Masehi di Madinah.  Termasuk kaum Ansar. Berasal dari Bani Khazraj. Meninggal tahun 637 Masehi di Madinah. Nabi hijrah dari Mekah ke Madinah. Nabi berumur 53 tahun.
       Zaid bin Tsabit berumur 11 tahun. Zaid bin Tsabit diajak keluarganya masuk Islam. Dia mampu menghafal 11 surah Al-Quran. Zaid bin Tsabit amat beruntung. Pernah didoakan khusus oleh Nabi.
      Tahun ke-2 Hijriah. Terjadi Perang Badar. Nabi berumur 55 tahun. Zaid bin Tsabit berumur 13 tahun. Zaid bin Tsabit dibawa ayahnya ikut berperang, tetapi ditolak Nabi. Karena masih kecil dan tubuhnya kecil.
      Tahun ke-3 Hijiriah. Terjadi Perang Uhud. Nabi berumur 56 tahun. Nabi melarang sekelompok anak muda berkuda. Yang akan ikut berperang. Termasuk Zaid bin Tsabit.
     Nabi mengizinkan dua anak muda. Yang berbadan kekar. Memiliki keahlian tertentu. Yaitu Rafi bin Kudaj dan Samurah bin Jundub. Mereka berusia 15 tahun.
      Tahun ke-5 Hirjiah. Terjadi Perang Khandaq atau Perang Parit. Nabi berumur 58 tahun. Zaid bin Tsabit berumur 16 tahun.  Zaid bin Tsabit mulai ikut berperang bersama Nabi. Sejak saat itu, dia selalu terlibat dalam perang lainnya.
      Tahun ke-9 Hijriah. Terjadi Perang Tabuk.  Nabi Muhammad berumur 62 tahun. Menyerahkan bendera Bani Najjar. Yang sebelumnya dibawa Umarah kepada Zaid bin Tsabit. Ketika Umarah bertanya. Nabi bersabda, “Al-Quran harus diutamakan. Zaid bin Tsabit lebih banyak menghafal Al-Quran daripada engkau."
      Ingatan dan kecerdasan Zaid bin Tsabit luar biasa. Zaid bin Tsabit bertugas sebagai  penulis wahyu. Juga, penulis surat-surat Nabi Muhammad, semasa hidupnya. Menjadikannya tokoh yang terkemuka. Di antara para sahabat lainnya.
      Nabi berkata kepada Zaid bin Tsabit, "Aku berkirim surat kepada seseorang. Aku khawatir, mereka akan menambah atau menguranginya. Oleh karena itu, kamu harus belajar bahasa lainnya.” Zaid bin Tsabit menguasai bahasa dengan amat cepat. Dia menguasai bahasa asing Suryani dalam 17 hari. Mahir berbahasa asing Ibrani dalam 15 hari.
       Zaman  Khalifah Abu Bakar dan Umar bin Khattab.  Zaid bin Tsabit ditunjuk menjadi  ketua tim. Yang dipercaya mengumpulkan dan menuliskan Al-Quran. Disatukan  dalam satu “buku”.
      Dalam Perang Yamamah banyak penghafal Al-Quran yang mati syahid. Umar bin Khattab cemas. Mengusulkan kepada Abu Bakar untuk menghimpun Al-Quran. Sebelum para penghafal lainnya berguguran. Mereka memanggil Zaid bin Tsabit.  Abu Bakar berkata,”Anda seorang pemuda yang cerdas. Kami tidak meragukanmu".
      Abu Bakar menyuruh Zaid bin Tsabit untuk menghimpun Al-Quran. Meskipun pada awalnya dia menolak. Zaid bin Tsabit, sebagai ketua tim. Melaksanakan tugas menghimpun Al-Quran. Dibantu para sahabat lainnya.
       Zaid bin Tsabit telah meriwayatkan 92 hadis. Imam Bukhari dan Imam Muslim bersepakat 5 di antaranya. Imam Bukhari juga meriwayatkan 4 hadis lain. Bersumberkan Zaid bin Tsabit. Imam Muslim meriwayatkan 1 hadis lain. Yang bersumberkan Zaid bin Tsabit.
      Zaid bin Tsabit diakui sebagai ulama di Madinah yang mumpuni. Keahliannya meliputi bidang fiqih, fatwa dan “faraidh” atau bidang waris.
       Zaid bin Tsabit diangkat menjadi bendahara. Pada zaman Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Zaman Khalifah Usman bin Affan, Zaid bin Tsabit diangkat menjadi pengurus Baitul Mal.
      Zaman Umar bin Khattab dan Usman bin Affan. Zaid bin Tsabit sebagai “PLT”. Sebagai Pelaksana Tugas. Sebagai pemegang jabatan khalifah sementara. Ketika ditinggal menunaikan ibadah haji ke Mekah.
      Khalifah Usman bin Affan membentuk panitia. Bertugas “membukukan” Al-Quran. Zaid bin Tsabit sebagai ketua tim. Dengan anggota Abdullah bin Zubair dan Abdurrahman bin Haris.  
        Mereka bertugas membukukan lembaran-lembaran lepas. Dengan cara menyalin ulang ayat-ayat Al-Quran. Dimasukkan ke dalam sebuah buku. Yang disebut “Mushaf”.
       Khalifah Utsman bin Affan mengintruksikan agar penyalinan berpedoman kepada orang yang menghafalkan Al-Quran. Apabila terdapat perbedaan dalam pembacaan. Yang ditulis dipilih berdialek Quraisy.
       Al-Quran diturunkan dalam bahasa Quraisy. Bahasa  Quraisy merupakan bahasa yang paling mulia. Bahasa yang digunakan Nabi. Bahasa yang paling tinggi kedudukan tata bahasanya. Hasilnya berupa “Mushaf Usmany”.
       Zaid bin Tsabit meninggal tahun 15 Hijriah. Putranya, Kharijah bin Zaid, menjadi seorang tabiin besar. Salah satu di antara 7 ulama fiqih Madinah pada masanya.  
     Sahabat ialah orang yang pernah berinteraksi dengan Nabi. Orang Islam yang hidup sezaman dengan Nabi. Memeluk Islam dan meninggal dalam Islam. Tabiin merupakan penganut ajaran Islam. Generasi kedua sesudah Nabi Muhammad.
Daftar Pustaka
1. Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfury. Sirah Nabawiyah. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta. 2006.
2. Ghani, Muhammad Ilyas Abdul. Sejarah Masjid Nabawi. Madinah 2004.
3. Ghani, Muhammad Ilyas Abdul. Sejarah Mekah. Mekah 2004   
4. Kisah Para Sahabat.

111. MUDIK

MUDIK LEBARAN,
MENGHIMPUN YANG TERSERAK
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

     Mudik (menurut KBBI V) berarti pulang ke kampung halaman. Seminggu sebelum Hari Raya “Idul Fitri”. Setiap tahun. Mendekati Hari Raya “Idul Fitri”. Arus mudik amat besar. Banyak penduduk kota pulang ke desa. Kembali ke kampung halaman.
     Mereka bersilaturahmi. Menyambung tali persaudaraan. Berlibur dan bernostalgia. Sebagian orang berpendapat. Ada yang memamerkan keberhasilan. Menunjukkan hasil  kesuksesan yang diraih di kota.
     Mudik yang terkait dengan silaturahmi. Merupakan ajaran yang dianjurkan Islam. Kata “Silaturahmi” berasal dari kata “Shilat” dan “Rahim”.
       “Shilat” bermakna “Menyambung” dan “Menghimpun”. “Rahim” berarti “Kasih sayang” dan “Peranakan” atau “Kandungan”. Karena anak yang dikandung memperoleh curahan kasih sayang.
      Hubungan yang renggang, bahkan terputus. Antara orang yang berada di kota dengan orang di kampung halaman. Karena aneka faktor. Disebabkan berbagai alasan. Diharapkan akan tersambung dengan silaturahmi.
     Menyambung tali yang putus. Itulah hakikat silaturahmi. Nabi Bersabda, “Bukan silaturahmi namanya, orang yang membalas kunjungan atau pemberian. Tetapi, yang dinamakan silaturahmi adalah menyambung yang putus”.
     Minal Aizin Wal Faidzin. Apakah yang dimaksud ucapan ini? “Minal Aidzin” bermakna “Semoga kita termasuk orang yang kembali”. Yang dimaksud kembali adalah “Kembali kepada fitrah”. Yaitu “Asal kejadian”, atau “Kesucian”, atau “Agama yang benar”.
     “Al-Faizin” bermakna “Keberuntungan”. Kata “Fawz” bermakna “Pengampunan dan keridaan Tuhan serta kebahagiaan surga.”  “Wal Faidzin” berarti “Semoga kita termasuk orang yang memperoleh ampunan dan rida Allah. Sehingga kita semua mendapatkan kenikmatan surga.”
       Mudik lebaran. Berjumpa dengan keluarga. Bersalaman dengan handai taulan. Bertemu dengan teman dan kenalan lainnya. Biasanya disertai ucapan “Mohon maaf lahir batin”. Professor Quraish Shihab menjelaskan. Kata ”maaf” berasal dari kata “Afwu”. Bermakna “kelebihan”.
    “Kelebihan” atau “kekurangan” merupakan sesuatu yang tak normal. Orang yang berbuat kesalahan. Berarti mempunyai “kelebihan” yang tak wajar. Orang yang menyimpan kesalahan orang lain. Juga, mempunyai “kelebihan”  tak normal.
     Semua orang  yang “tak normal”. Sebaiknya bertemu. Untuk saling memaafkan. Agar hubungan menjadi normal kembali.  Saling memaafkan tak perlu menunggu Hari Raya “Idul Fitri”. Lebih cepat lebih baik. Karena kita tak tahu berapa panjang umur seseorang. Mudik lebaran merupakan kesempatan amat baik. Untuk menghimpun yang terserak.
     Ucapan “Taqabbalallahu minna waminkum”. Bermakna “Semoga Allah menerima amal ibadah kami dan kalian semua”. Saling mendoakan kebaikan merupakan ajaran Islam yang amat mulia.
      Al-Quran surah Ali Imran. Surah ke-3 ayat 133-134. “Bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu. Dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi. Yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. Yaitu orang-orang yang menafkahkan sebagian hartanya. Baik di waktu lapang maupun sempit. Dan orang-orang yang menahan amarahnya. Memaafkan kesalahan orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.

111. MUDIK

MUDIK LEBARAN,
MENGHIMPUN YANG TERSERAK
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

     Mudik (menurut KBBI V) berarti pulang ke kampung halaman. Seminggu sebelum Hari Raya “Idul Fitri”. Setiap tahun. Mendekati Hari Raya “Idul Fitri”. Arus mudik amat besar. Banyak penduduk kota pulang ke desa. Kembali ke kampung halaman.
     Mereka bersilaturahmi. Menyambung tali persaudaraan. Berlibur dan bernostalgia. Sebagian orang berpendapat. Ada yang memamerkan keberhasilan. Menunjukkan hasil  kesuksesan yang diraih di kota.
     Mudik yang terkait dengan silaturahmi. Merupakan ajaran yang dianjurkan Islam. Kata “Silaturahmi” berasal dari kata “Shilat” dan “Rahim”.
       “Shilat” bermakna “Menyambung” dan “Menghimpun”. “Rahim” berarti “Kasih sayang” dan “Peranakan” atau “Kandungan”. Karena anak yang dikandung memperoleh curahan kasih sayang.
      Hubungan yang renggang, bahkan terputus. Antara orang yang berada di kota dengan orang di kampung halaman. Karena aneka faktor. Disebabkan berbagai alasan. Diharapkan akan tersambung dengan silaturahmi.
     Menyambung tali yang putus. Itulah hakikat silaturahmi. Nabi Bersabda, “Bukan silaturahmi namanya, orang yang membalas kunjungan atau pemberian. Tetapi, yang dinamakan silaturahmi adalah menyambung yang putus”.
     Minal Aizin Wal Faidzin. Apakah yang dimaksud ucapan ini? “Minal Aidzin” bermakna “Semoga kita termasuk orang yang kembali”. Yang dimaksud kembali adalah “Kembali kepada fitrah”. Yaitu “Asal kejadian”, atau “Kesucian”, atau “Agama yang benar”.
     “Al-Faizin” bermakna “Keberuntungan”. Kata “Fawz” bermakna “Pengampunan dan keridaan Tuhan serta kebahagiaan surga.”  “Wal Faidzin” berarti “Semoga kita termasuk orang yang memperoleh ampunan dan rida Allah. Sehingga kita semua mendapatkan kenikmatan surga.”
       Mudik lebaran. Berjumpa dengan keluarga. Bersalaman dengan handai taulan. Bertemu dengan teman dan kenalan lainnya. Biasanya disertai ucapan “Mohon maaf lahir batin”. Professor Quraish Shihab menjelaskan. Kata ”maaf” berasal dari kata “Afwu”. Bermakna “kelebihan”.
    “Kelebihan” atau “kekurangan” merupakan sesuatu yang tak normal. Orang yang berbuat kesalahan. Berarti mempunyai “kelebihan” yang tak wajar. Orang yang menyimpan kesalahan orang lain. Juga, mempunyai “kelebihan”  tak normal.
     Semua orang  yang “tak normal”. Sebaiknya bertemu. Untuk saling memaafkan. Agar hubungan menjadi normal kembali.  Saling memaafkan tak perlu menunggu Hari Raya “Idul Fitri”. Lebih cepat lebih baik. Karena kita tak tahu berapa panjang umur seseorang. Mudik lebaran merupakan kesempatan amat baik. Untuk menghimpun yang terserak.
     Ucapan “Taqabbalallahu minna waminkum”. Bermakna “Semoga Allah menerima amal ibadah kami dan kalian semua”. Saling mendoakan kebaikan merupakan ajaran Islam yang amat mulia.
      Al-Quran surah Ali Imran. Surah ke-3 ayat 133-134. “Bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu. Dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi. Yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. Yaitu orang-orang yang menafkahkan sebagian hartanya. Baik di waktu lapang maupun sempit. Dan orang-orang yang menahan amarahnya. Memaafkan kesalahan orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.

Friday, June 23, 2017

110. ABU DZAR ALGHIFARI

ABU DZAR ALGHIFARI, SAHABAT NABI.
MANTAN PREMAN,
PENERIAK SYAHADAT PERTAMA KALI
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

      Abizar Al-Ghifari atau Abu Dzar AlGhifari. Lahir dengan nama Jundub bin Al-Ghifari. Ayahnya bernama Junadah Al-Ghifari. Ibunya bernama Ramla binti Alwaqik. Berasal dari suku Ghifari. Daerah yang jauh di luar Mekah, Arab Saudi.
       Abu Dzar Al-Ghifari termasuk “Assabiqunal Awwalun”. Orang-orang yang terdahulu dan pertama masuk Islam. Abu Dzar Al-Ghifari menentang pemujaan berhala.
      Ketika mendengar kabar. Ada Nabi yang mencela penyembahaan berhala. Dia mendatangi Nabi Muhammad langsung ke Mekah. Untuk menyatakan keislamannya. Abu Dzar Al-Ghifari orang dewasa keenam. Yang masuk Islam pertama kali.
     Abu Dzar Al-Ghifari bercerita kepada Nabi. Dia berasal dari suku Ghifari. Nabi tersenyum mendengarnya.  Bani Ghifari terkenal sebagai kelompok “preman”. Sering merampok kafilah dagang. Di belantara padang pasir.
     Bani Ghifari mahir berperang. Ahli berkuda. Piawai melakukan perjalanan malam hari. Mereka amat ditakuti para kafilah dagang. Nabi semakin kagum. Abu Dzar Al-Ghifari datang sendirian. Menyatakan masuk Islam.
     Nabi masih berdakwah secara rahasia. Nabi bersabda,”Sungguh, Allah memberikan hidayah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.” Nabi berpesan kepada Abu Dzar Al-Ghifari. Untuk sementara, agar menyembunyikan keislamannya. Supaya dia segera kembali kepada kaumnya.
     Abu Dzar Al-Ghifari seorang perantau. Dia bepergian sendirian. Sangat berbahaya, bila diketahui memeluk Islam. Dia amat menentang penyembahan berhala.  Abu Dzar Al-Ghifari memahami pesan Nabi.
     Tetapi, Abu Dzar Al-Ghifari mantan “preman”. Tak mempunyai perasaan takut. Berjiwa pemberontak. Dia berjanji,”Demi Tuhan, yang menguasai jiwaku. Aku tak akan pulang sebelum meneriakkan keislamanku.”
      Abu Dzar Al-Ghifari berjalan ke arah Masjidil-Haram. Dia berteriak dengan lantang. Dengan suara sekeras-kerasnya. ”Asyhadu anlailaha illallah. Waasyhadu anna Muhammadar Rasulullah.” Saya bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah. Saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad utusan Allah.
   Itulah kumandang suara ikrar “Syahadat”. Yang pertama kali dilantunkan dengan keras di Mekah.  Pertama kali di bumi. Diteriakkan di depan masyarakat umum. Kaum Quraisy langsung mengeroyoknya. Hingga Abu Dzar Al-Ghifari pingsan.
      Abbas bin Abdul Muththalib, paman Nabi. Belum menyatakan masuk Islam. Meskipun, sudah “mencintai” Islam. Berkata diplomatis,”Wahai kaum Quraisy, dia berasal dari Bani Ghifari. Kalian pedagang yang sering melewati daerah mereka. Bagaimana jika mereka tahu. Kalian telah menyiksanya?”
      Abu Dzar Al-Ghifari dilepaskan. Hari berikutnya. Dia melakukan hal sama. Melantunkan dengan keras ikrar “Dua Kalimat Syahadat”. Kaum Quraisy mengeroyoknya lagi. Nabi memerintahkan Abu Dzar Al-Ghifari kembali ke kaumnya.
       Abu Dzar Al-Ghifari berdakwah kepada kaumnya, Bani Ghifar. Juga, kepada tetangganya, Bani Aslam.  Beberapa tahun kemudian. Nabi berada di Madinah. Berdatangan rombongan besar manusia. Terdengar suara gemuruh. Mereka meneriakkan suara takbir.
     Rombongan Bani Ghifar dan Bani Aslam datang. Kedua rombongan besar menghadap Nabi. Dua kabilah “berkamuflase”. Gerombolan perampok menjadi pembela Islam. Nabi menyambut kedatangan mereka. Dengan perasaan terharu. Dengan mata berkaca-kaca.
     Nabi menyambut Bani Ghifar. Nabi bersabda,”Bani Ghifar telah diampuni Allah.”  Nabi berpaling menghadap Bani Aslam. Nabi bersabda,”Bani Aslam telah diterima dengan selamat oleh Allah.”
      Tahun ke-9 Hijriah. Nabi berumur 62 tahun. Terjadi Perang Tabuk. Perang yang terkenal dengan “Jaisyul Usrah” atau “Perang di masa sulit”. Beberapa orang tertinggal dari rombongan Nabi. Salah seorang yang tertinggal ialah Abu Dzar Al-Ghifari. 
     Pasukan Nabi beristirahat. Seorang sahabat melaporkan. Tampak dari kejauhan. Seorang berjalan sendirian. Nabi bersanda,” Semoga itu Abu Dzar Al-Ghifari.”Ternyata benar. Dia memanggul perbekalan di punggungnya. Wajahnya tampak kelelahan. Tetapi, dia sumringah, karena  bisa bertemu Nabi.
     Nabi menatapnya dengan kagum. Tersenyum penuh santun dan kasih. Nabi bersabda,”Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada Abu Dzar Al-Ghifari. Dia berjalan sendirian,  meninggal sendirian, dan akan dibangkitkan sendirian.”
     Nabi memahami watak Abu Dzar Al-Ghifari. Sebagai mantan “preman”. Dia hidup  dalam lingkungan yang “keras”. Nabi pernah bertanya, “Wahai Abu Dzar Al-Ghifari. Bagaimana pendapatmu apabila ada pemimpin yang mengambil upeti untuk keperluan pribadinya?”
     Abu Dzar Al-Ghifari menjawab dengan tegas,”Demi Allah, yang telah mengutus engkau dengan kebenaran. Aku akan meluruskan dengan pedangku.” Nabi tersenyum,“ Maukah kamu, saya beri jalan yang lebih baik?” Abu Dzar mengangguk. “Bersabarlah engkau, sampai menjumpai aku,” kata Nabi. 
      Abu Bakar dan Umar bin Khattab menjadi khalifah. Abu Dzar tak terusik. Usman bin Affan menjadi khalifah. Dia mulai terusik dengan gaya hidup mewah. Mengikuti gaya hidup Persia dan Romawi. Nabi melarangnya menggunakan pedang. Tetapi, Nabi tak melarang memakai lidah dan nasihat.
       Abu Dzar Al-Ghifari mulai “mengkritik” penguasa.  Dia melihat jurang perbedaan kaya dan miskin. Dia sering mengutip Al-Quran surah At-Taubah. Surah ke-9 ayat 34-35. “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar orang alim Yahudi dan rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil. Mereka menghalang-halangi manusia dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah. Beritahukan kepada mereka, mereka akan mendapat siksa yang pedih.”
      “Pada hari dipanaskan emas perak dalam neraka Jahanam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka,"Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri. Rasakan sekarang akibat yang kamu simpan itu".
        Abu Dzar Al-Ghifari “mengasingkan diri” ke pedalaman Rabadzah. Jauh di luar Madinah. Abu Dzar Al-Ghifari meninggal di Rabadzah.
Daftar Pustaka
1. Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfury. Sirah Nabawiyah. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta. 2006.
2. Ghani, Muhammad Ilyas Abdul. Sejarah Masjid Nabawi. Madinah 2004.
3. Ghani, Muhammad Ilyas Abdul. Sejarah Mekah. Mekah 2004   
4. Kisah Para Sahabat.

110. ABU DZAR ALGHIFARI

ABU DZAR ALGHIFARI, SAHABAT NABI.
MANTAN PREMAN,
PENERIAK SYAHADAT PERTAMA KALI
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

      Abizar Al-Ghifari atau Abu Dzar AlGhifari. Lahir dengan nama Jundub bin Al-Ghifari. Ayahnya bernama Junadah Al-Ghifari. Ibunya bernama Ramla binti Alwaqik. Berasal dari suku Ghifari. Daerah yang jauh di luar Mekah, Arab Saudi.
       Abu Dzar Al-Ghifari termasuk “Assabiqunal Awwalun”. Orang-orang yang terdahulu dan pertama masuk Islam. Abu Dzar Al-Ghifari menentang pemujaan berhala.
      Ketika mendengar kabar. Ada Nabi yang mencela penyembahaan berhala. Dia mendatangi Nabi Muhammad langsung ke Mekah. Untuk menyatakan keislamannya. Abu Dzar Al-Ghifari orang dewasa keenam. Yang masuk Islam pertama kali.
     Abu Dzar Al-Ghifari bercerita kepada Nabi. Dia berasal dari suku Ghifari. Nabi tersenyum mendengarnya.  Bani Ghifari terkenal sebagai kelompok “preman”. Sering merampok kafilah dagang. Di belantara padang pasir.
     Bani Ghifari mahir berperang. Ahli berkuda. Piawai melakukan perjalanan malam hari. Mereka amat ditakuti para kafilah dagang. Nabi semakin kagum. Abu Dzar Al-Ghifari datang sendirian. Menyatakan masuk Islam.
     Nabi masih berdakwah secara rahasia. Nabi bersabda,”Sungguh, Allah memberikan hidayah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya.” Nabi berpesan kepada Abu Dzar Al-Ghifari. Untuk sementara, agar menyembunyikan keislamannya. Supaya dia segera kembali kepada kaumnya.
     Abu Dzar Al-Ghifari seorang perantau. Dia bepergian sendirian. Sangat berbahaya, bila diketahui memeluk Islam. Dia amat menentang penyembahan berhala.  Abu Dzar Al-Ghifari memahami pesan Nabi.
     Tetapi, Abu Dzar Al-Ghifari mantan “preman”. Tak mempunyai perasaan takut. Berjiwa pemberontak. Dia berjanji,”Demi Tuhan, yang menguasai jiwaku. Aku tak akan pulang sebelum meneriakkan keislamanku.”
      Abu Dzar Al-Ghifari berjalan ke arah Masjidil-Haram. Dia berteriak dengan lantang. Dengan suara sekeras-kerasnya. ”Asyhadu anlailaha illallah. Waasyhadu anna Muhammadar Rasulullah.” Saya bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah. Saya bersaksi bahwa Nabi Muhammad utusan Allah.
   Itulah kumandang suara ikrar “Syahadat”. Yang pertama kali dilantunkan dengan keras di Mekah.  Pertama kali di bumi. Diteriakkan di depan masyarakat umum. Kaum Quraisy langsung mengeroyoknya. Hingga Abu Dzar Al-Ghifari pingsan.
      Abbas bin Abdul Muththalib, paman Nabi. Belum menyatakan masuk Islam. Meskipun, sudah “mencintai” Islam. Berkata diplomatis,”Wahai kaum Quraisy, dia berasal dari Bani Ghifari. Kalian pedagang yang sering melewati daerah mereka. Bagaimana jika mereka tahu. Kalian telah menyiksanya?”
      Abu Dzar Al-Ghifari dilepaskan. Hari berikutnya. Dia melakukan hal sama. Melantunkan dengan keras ikrar “Dua Kalimat Syahadat”. Kaum Quraisy mengeroyoknya lagi. Nabi memerintahkan Abu Dzar Al-Ghifari kembali ke kaumnya.
       Abu Dzar Al-Ghifari berdakwah kepada kaumnya, Bani Ghifar. Juga, kepada tetangganya, Bani Aslam.  Beberapa tahun kemudian. Nabi berada di Madinah. Berdatangan rombongan besar manusia. Terdengar suara gemuruh. Mereka meneriakkan suara takbir.
     Rombongan Bani Ghifar dan Bani Aslam datang. Kedua rombongan besar menghadap Nabi. Dua kabilah “berkamuflase”. Gerombolan perampok menjadi pembela Islam. Nabi menyambut kedatangan mereka. Dengan perasaan terharu. Dengan mata berkaca-kaca.
     Nabi menyambut Bani Ghifar. Nabi bersabda,”Bani Ghifar telah diampuni Allah.”  Nabi berpaling menghadap Bani Aslam. Nabi bersabda,”Bani Aslam telah diterima dengan selamat oleh Allah.”
      Tahun ke-9 Hijriah. Nabi berumur 62 tahun. Terjadi Perang Tabuk. Perang yang terkenal dengan “Jaisyul Usrah” atau “Perang di masa sulit”. Beberapa orang tertinggal dari rombongan Nabi. Salah seorang yang tertinggal ialah Abu Dzar Al-Ghifari. 
     Pasukan Nabi beristirahat. Seorang sahabat melaporkan. Tampak dari kejauhan. Seorang berjalan sendirian. Nabi bersanda,” Semoga itu Abu Dzar Al-Ghifari.”Ternyata benar. Dia memanggul perbekalan di punggungnya. Wajahnya tampak kelelahan. Tetapi, dia sumringah, karena  bisa bertemu Nabi.
     Nabi menatapnya dengan kagum. Tersenyum penuh santun dan kasih. Nabi bersabda,”Semoga Allah melimpahkan rahmat kepada Abu Dzar Al-Ghifari. Dia berjalan sendirian,  meninggal sendirian, dan akan dibangkitkan sendirian.”
     Nabi memahami watak Abu Dzar Al-Ghifari. Sebagai mantan “preman”. Dia hidup  dalam lingkungan yang “keras”. Nabi pernah bertanya, “Wahai Abu Dzar Al-Ghifari. Bagaimana pendapatmu apabila ada pemimpin yang mengambil upeti untuk keperluan pribadinya?”
     Abu Dzar Al-Ghifari menjawab dengan tegas,”Demi Allah, yang telah mengutus engkau dengan kebenaran. Aku akan meluruskan dengan pedangku.” Nabi tersenyum,“ Maukah kamu, saya beri jalan yang lebih baik?” Abu Dzar mengangguk. “Bersabarlah engkau, sampai menjumpai aku,” kata Nabi. 
      Abu Bakar dan Umar bin Khattab menjadi khalifah. Abu Dzar tak terusik. Usman bin Affan menjadi khalifah. Dia mulai terusik dengan gaya hidup mewah. Mengikuti gaya hidup Persia dan Romawi. Nabi melarangnya menggunakan pedang. Tetapi, Nabi tak melarang memakai lidah dan nasihat.
       Abu Dzar Al-Ghifari mulai “mengkritik” penguasa.  Dia melihat jurang perbedaan kaya dan miskin. Dia sering mengutip Al-Quran surah At-Taubah. Surah ke-9 ayat 34-35. “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar orang alim Yahudi dan rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil. Mereka menghalang-halangi manusia dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah. Beritahukan kepada mereka, mereka akan mendapat siksa yang pedih.”
      “Pada hari dipanaskan emas perak dalam neraka Jahanam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka,"Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri. Rasakan sekarang akibat yang kamu simpan itu".
        Abu Dzar Al-Ghifari “mengasingkan diri” ke pedalaman Rabadzah. Jauh di luar Madinah. Abu Dzar Al-Ghifari meninggal di Rabadzah.
Daftar Pustaka
1. Syaikh Shafiyurrahman Al-Mubarakfury. Sirah Nabawiyah. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta. 2006.
2. Ghani, Muhammad Ilyas Abdul. Sejarah Masjid Nabawi. Madinah 2004.
3. Ghani, Muhammad Ilyas Abdul. Sejarah Mekah. Mekah 2004   
4. Kisah Para Sahabat.

109. JELITA

Copy dari teman :Tulisan Peter F Gontha yang bagus:

"Dear JELITA (Jelang lewat Lima puluh Tahun) dan LOLITA (Lolos Lima puluh Tahun)"

1. Pada saat usia telah 50 tahun, hendaklah belajar mengasihi diri sendiri. Berusaha menikmati hidup.
Saat masih bisa menikmatinya jangan pelit terhadap diri sendiri.

2. Anak-anak telah dewasa, harus yakin mereka akan sukses, masing-masing mempunyai rejekinya sendiri.  Berhentilah mengkhawatirkan mereka.

3. Kita harus hidup berbahagia di dunia ini. Meski pun setiap rumah tangga memiliki masalahnya sendiri.
Tidak perlu membandingkan jabatan dan kekuasaan dengan orang lain.......ingat jabatan itu hanya sementara......persahabatan selamanya. Sampai usia 50 tahun kita harus hidup lebih bahagia, lebih sehat, dan panjang umur daripada orang lain.

4. Kemampuan setiap orang ada batasnya, meskipun kita bisa seperti superman. Terhadap hal-hal yang di luar kemampuan kita janganlah terlalu risau. Risau pun tidak ada gunanya, yang hanya akan mempengaruhi emosional, fisik dan kesehatan.

5. Saat pensiun masih mengandalkan diri sendiri, jangan terlalu mengharapkan anak. Harta warisan kita kasih sewajarnya saja untuk anak. Karena penghasilan anak juga bukanlah milik kita, dimintai pun sulit.

6. Berusaha sendiri mencari teman di hari tua, Berusaha mencari sahabat di hari tua, anak yang soleh mempunyai bakti, namun mereka akan disibukkan oleh pekerjaan. Tidak dapat setiap saat mendampingi kita.

7. Saat usia 50 tahun janganlah menukarkan kesehatan dengan Harta Duniawi. Uang yang dicari tak berujung, bahkan jika di paksa, hanyalah untuk membeli sejumlah obat, bukan untuk kesehatan kita.

8. Kebahagiaan hanya dapat diupayakan oleh diri sendiri.  Asalkan memiliki nurani yang baik maka setiap hari akan terjadi hal-hal yang baik, maka setiap hari akan bahagia.

9.  Semangat yang baik membuat tidak mudah sakit. Semangat yang baik dapat menyembuhkan dan mempercepat penyembuhan penyakit. Maka pertahankan semangat itu.

10.  Suasana hati yang baik, Olahraraga yg tepat, jiwa yg sehat. Makan makanan yg tepat dan hidup teratur. Maka dapat hidup sehat dan panjang umur.

11. Makna kehidupan dimulai dari usia 50 tahun.

Banyak yg tdk mengalami Lolita, karena melupakan Jelita.
Selamat berbahagia selalu...
Keep spirit..

109. JELITA

Copy dari teman :Tulisan Peter F Gontha yang bagus:

"Dear JELITA (Jelang lewat Lima puluh Tahun) dan LOLITA (Lolos Lima puluh Tahun)"

1. Pada saat usia telah 50 tahun, hendaklah belajar mengasihi diri sendiri. Berusaha menikmati hidup.
Saat masih bisa menikmatinya jangan pelit terhadap diri sendiri.

2. Anak-anak telah dewasa, harus yakin mereka akan sukses, masing-masing mempunyai rejekinya sendiri.  Berhentilah mengkhawatirkan mereka.

3. Kita harus hidup berbahagia di dunia ini. Meski pun setiap rumah tangga memiliki masalahnya sendiri.
Tidak perlu membandingkan jabatan dan kekuasaan dengan orang lain.......ingat jabatan itu hanya sementara......persahabatan selamanya. Sampai usia 50 tahun kita harus hidup lebih bahagia, lebih sehat, dan panjang umur daripada orang lain.

4. Kemampuan setiap orang ada batasnya, meskipun kita bisa seperti superman. Terhadap hal-hal yang di luar kemampuan kita janganlah terlalu risau. Risau pun tidak ada gunanya, yang hanya akan mempengaruhi emosional, fisik dan kesehatan.

5. Saat pensiun masih mengandalkan diri sendiri, jangan terlalu mengharapkan anak. Harta warisan kita kasih sewajarnya saja untuk anak. Karena penghasilan anak juga bukanlah milik kita, dimintai pun sulit.

6. Berusaha sendiri mencari teman di hari tua, Berusaha mencari sahabat di hari tua, anak yang soleh mempunyai bakti, namun mereka akan disibukkan oleh pekerjaan. Tidak dapat setiap saat mendampingi kita.

7. Saat usia 50 tahun janganlah menukarkan kesehatan dengan Harta Duniawi. Uang yang dicari tak berujung, bahkan jika di paksa, hanyalah untuk membeli sejumlah obat, bukan untuk kesehatan kita.

8. Kebahagiaan hanya dapat diupayakan oleh diri sendiri.  Asalkan memiliki nurani yang baik maka setiap hari akan terjadi hal-hal yang baik, maka setiap hari akan bahagia.

9.  Semangat yang baik membuat tidak mudah sakit. Semangat yang baik dapat menyembuhkan dan mempercepat penyembuhan penyakit. Maka pertahankan semangat itu.

10.  Suasana hati yang baik, Olahraraga yg tepat, jiwa yg sehat. Makan makanan yg tepat dan hidup teratur. Maka dapat hidup sehat dan panjang umur.

11. Makna kehidupan dimulai dari usia 50 tahun.

Banyak yg tdk mengalami Lolita, karena melupakan Jelita.
Selamat berbahagia selalu...
Keep spirit..