NABI
MUSA INGIN MENYAKSIKAN KEADILAN ALLAH
Oleh:
Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala
SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

Al-Quran surah At-Tin. Surah ke-95 ayat
1-5. “Demi buah Tin dan buah Zaitun. Demi bukit Sinai. Demi kota Mekah yang
aman.”
“Sungguh, Kami menciptakan manusia dalam
bentuk yang sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat
yang serendah-rendahnya (neraka). Kecuali orang-orang yang beriman dan
mengerjakan amal saleh. Bagi mereka pahala yang tidak terputus.”
Alkisah, Nabi Musa berada di bukit Sinai.
Yang lebih dikenal dengan nama bukit “Thursina”. Selama 40 hari. Menerima wahyu
dari Allah. Melalui Malaikat jibril. Berupa Kitab Taurat.
Bukit adalah tumpukan tanah. Yang lebih
tinggi daripada tempat sekelilingnya. Lebih rendah daripada gunung. Gunung merupakan
bukit yang amat besar dan tinggi. Biasanya lebih dari 600 meter.
Hari ke-30. Nabi Musa berdoa,”Ya Allah,
ampunilah dosa hamba. Karena hamba amat lancang. Hamba ingin menyaksikan
sendiri secara langsung. Ingin membuktikan sendiri bahwa Engkau Maha Adil.”
Malaikat Jibril turun,”Wahai Musa, Allah
mendengarkan doamu. Apakah kamu masih tidak yakin bahwa Allah Maha Adil?” Musa
Menjawab,”Ya Allah, ampunilah hamba. Hamba sudah yakin bahwa Allah Maha Adil.
Tetapi, hamba ingin lebih yakin dan mantap. Jika menyaksikannya sendiri.”
Malaikat Jibril turun lagi,“Wahai Musa.
Allah memberi salam kepadamu. Jika kamu ingin menyaksikan keadilan Allah.
Pergilah mendekati ke sumber air.” Nabi Musa pergi mendekati sebuah sumber air.
Nabi Musa bersembunyi. Menyaksikan apa yang akan terjadi.
Tak berapa lama kemudian. Muncul seorang
ksatria penunggang kuda. Membawa sebilah
pedang dengan sarungnya. Terselip di punggungnya. Sekantung uang menggantung di pinggang
kirinya.
Penunggang kuda turun ke sumber air.
Mencuci muka dan menikmati air sepuasnya. Beberapa saat kemudian. Dia
meninggalkan sumber air. Sekantung uang tertinggal. Berada di tepi sumber air.
Penunggang kuda berlalu. Muncul anak
kecil. Berumur sekitar 9 tahun. Menuju sumber air. Dia mengambil air. Menemukan
sekantung uang. Membawanya pergi.
Anak kecil berlalu. Datang seorang tua yang
buta. Dia mendengar gemericik sumber air. Dia mendatangi sumber air. Mencuci
muka dan “bersuci”. Si tua yang buta melaksanakan “salat”.
Ksatria berkuda kembali lagi. Turun
menuju ke sumber air. Dia mencari uangnya
yang hilang. Dia berkata, “Hai orang tua, apakah kamu mengambil uangku
yang tertinggal di sini?” Si orang tua menjawab,”Maaf Nak, saya buta. Saya tak mengetahui jika ada uang yang tertinggal.”
Penunggang kuda dan orang tua buta
bertengkar. Orang tua yang buta mati terbunuh. Penunggang kuda beranjak pergi.
Meninggalkan jenazah si orang tua buta. Nabi Musa menyaksikan semuanya.
Nabi Musa bergumam, “Sungguh, peristiwa
yang tidak adil. Yang salah anak kecil.
Karena dia yang mengambil uangnya. Seandainya, si anak kecil tak mengambil uang
itu. Si orang tua yang buta tak akan mati terbunuh.”
Malaikat Jibril turun, “Wahai Musa, kamu tak
bisa menilai keadilan Allah. Karena kamu hanya menyaksikan yang “sesaat” saja. Yang
kamu lihat hanya satu “episode” saja. Kamu tidak bisa melihat seluruh rangkaian
yang terjadi.”
Malaikat
Jibril melanjutkan, “Orang tua si anak kecil, pernah bekerja pada si penunggang
kuda. Dia belum menerima gaji. Si penunggang kuda belum membayar gajinya.”
Malaikat
Jibril melanjutkan, “Uang yang belum dibayarkan. Kepada orang tua si anak kecil.
Besarnya persis dengan jumlah uang yang ditemukan anak itu. Jumlah gaji yang belum
dibayarkan, tepat sama dengan jumlah uang dalam kantung penunggang kuda. Si penunggang
kuda tak pernah merencanakan membawa uang sebesar itu.”
“Orang tua
si anak sudah meninggal. Karena dibunuh seseorang.
Pembunuhnya adalah si orang tua yang buta itu.”
Musa berkata, “Allah Maha Adil. Ya Allah, ampunilah
hamba-Mu yang lemah ini. Yang gampang menilai
sesuatu hanya berdasarkan penglihatan yang sekilas saja.”
Daftar
Pustaka
1. Bahjat,
Ahmad. Nabi Nabi Allah. Penerbit Qisthi Press. Jakarta, 2015.
2. Katsir,
Ibnu. Kisah Para Nabi. Penerbit Pustaka Azzam. Jakarta, 2011
0 comments:
Post a Comment