MENGENAL
JAMAAH TABLIG
Oleh: Drs. H. Yusron
Hadi, M.M.
Ada yang unik saat masuk Masjid Kebon Jeruk di
Jalan Hayam Wuruk, Jakarta Kota.
Di masjid berusia lebih 200 tahun ini.
Kita menjumpai ratusan jamaah hampir
seluruhnya berjenggot.
Mereka juga pakai serban, pakaian
takwa, dan peci putih.
Yang biasa dipakai umat Islam di
Indonesia.
Tapi juga ada jamaah pakai surban
dengan baju panjang sampai lutut.
Untaian tasbih atau tongkat di
tangan, janggut berjenggot, dan dahi
hitam.
Aroma minyak cendana, khas jamaah Asia
Timur.
Di masjid ini, jamaah datang dari berbagai negara.
Setelah salat Magrib bersama.
Para jamaah yang disebut Jamaah
Tablig.
Tekun mendengarkan ceramah yang disampaikan
ustaz.
"Di sini tidak bicara politik.
Juga tidak bicara harta benda.
Dan tidak bicara masalah khilafiah".
Kata H Syaifuddin, anggota Jamaah
Tablig dari Bali.
Saat mengambil wudu di toilet.
Ada tulisan di samping masjid.
"Dilarang buang air kecil
dengan berdiri".
Mereka menjelaskan.
Bahwa cara berpakaian, bersikap,
bertutur kata, dan solidaritas antara umat Islam.
Benar-benar meniru sunah Rasulullah saw.
Meneladani persaudaraan.
Seperti dilakukan Rasulullah dengan
para sahabat.
Ramah tamah antara jamaah sangat
tampak.
Jamaah tablig punya pengikut di 215 negara.
Persaudaraan di antara mereka sangat
kuat.
Di sini, tidak dikenal strata
sosial.
Seorang jenderal, artis, dokter.
Bahkan konglomerat sekali pun.
Makan dalam satu nampan bersama.
Dengan 4 atau 5 orang lainnya.
Seorang jenderal purnawirawan.
Mantan menteri Presiden Soeharto belakangan
tergabung dengan jamaah masjid ini.
Tak canggung makan dalam satu
hidangan bersama ikhwan lainnya.
Termasuk dengan mantan preman yang bertobat.
Dan memilih mengabdi kepada agama
melalui Jamaah Tablig.
"Di sini tidak ada jamaah yang
diistimewakan," ujar Syarifudin.
Di ruang belakang masjid, sekitar 100
jamaah membahas rencana kegiatan dakwah.
Yang akan mereka lakukan di berbagai
tempat dan masjid di tanah air.
Bahkan ada yang menawarkan diri dakwah
keliling dunia.
Perjalanan semacam ini biasanya selama
40 hari.
Untuk di tanah air.
Dalam pertemuan itu.
Para jamaah spontan mengajukan diri berdakwah
di berbagai tempat.
Kemudian mereka dibagi ke beberapa lokasi
kegiatan.
Ada yang hanya di Jakarta.
Tapi ada juga yang ke Sumatera, Jawa.
Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Untuk tugas ini, para anggota rela tinggal
di masjid-masjid.
Makan dan minum semuanya dari kocek sendiri.
"Kita ikhlas melakukan ini semua karena dunia
ini hanya sementara.
Sedangkan akhirat selamanya.
Sayangnya banyak orang terkecoh gemerlapnya dunia.
Dia lupa akhirat dan lupa
berdakwah," kata salah seorang jamaah.
Yang juga karyawan perusahaan
multinasional.
Bagaimana dengan izin perusahaan.
Karena tugas dakwah ke daerah maupun
luar negeri itu?
Menurut Syarifuddin, sejauh ini tidak ada masalah.
"Kami umumnya minta izin cuti
di luar tanggungan kantor."
Umar, mahasiswa yang tinggal di kawasan Ciputat
mengatakan kepada Republika.co.id.
Tentang prinsip hidupnya.
"Segala perbuatan harus benar
ikhlas karena Allah.
Yang berbuat baik, tapi tidak
ikhlas, dia akan merugi.
Apalagi yang berbuat jahat.
Untuk ini, saya harus banyak
bersilaturahim pada ikhwan kita," katanya.
Banyaknya Jamaah Tabligh, pernah
dilaporkan Republika.co.id.
Saat menghadiri Ijtima para jamaah
di sisi sungai Tongi, Dakka, Bangladesh, 18-21 Januari 2002.
Ijtima yang menjadi tempat berkumpulnya para
jamaah Tabligh ini diadakan tiap tahun.
Dari Indonesia, yang datang berasal
dari berbagai profesi.
Antara lain pimpinan pondok
pesantren, pengusaha muda, eksekutif muda.
Artis, pedagang kaki lima, pegawai
negeri, dan bupati.
Almarhum Gito Rollies adalah salah
seorang di antaranya.
Ijtima itu dihadiri sekitar
4.000.000 orang.
Yang berasal lebih dari 100 negara.
Ajang di Bangladesh menjadi kegiatan
internasional.
Di Indonesia, acara serupa pernah
diadakan di Medan, Lampung, dan Jakarta.
(Sumber Alwi Shahab)
0 comments:
Post a Comment