BEDANYA SUDUT PANDANG PAHLAWAN
DAN TERORIS
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M
*Merdeka
berpendapat
Jarak
antara teroris dan pahlawan itu bisa segaris benang saja.
Saking
susah membedakannya. Seseorang, bisa dianggap teroris, tapi dipihak lain, dia
dianggap pahlawan, syuhada.
Tenang,
saya tidak akan membahas tentang 6 orang yang mati ditembaki polisi.
Ada
contoh lebih menarik, yang kalau kalian mau memikirkannya, kalian bisa punya
pemahaman baru.
10
Maret 1965, beberapa bulan sebelum pemberontakan PKI, bom meledak di salah-satu
gedung jalan Orchard Singapura.
Kalian
pernah ke Singapura?
Pernah
ke jalan Orchard yang ramai dan jadi pusat turis itu?
Nah,
gedung yang di-bom itu berada di sana.
BOOOM!
Ledakan
itu kuat menggelegar, gedung-gedung bergetar, penduduk Singapura berlarian,
berteriak panik.
Dinding,
tangga koyak, pilar bangunan runtuh.
Saat
kejadian, ratusan karyawan sedang bekerja, maka tak pelak sudah, itu bom
mengenai mereka. 3 tewas, 33 terluka.
Aparat Singapura menangkap pelakunya, yang
adalah anggota tentara Indonesia.
Pengadilan
digelar, pelaku dihukum gantung 3 tahun kemudian.
Pelaku
pengeboman ini jelas 100% dianggap teroris oleh penduduk Singapura.
Tapi
bagi penduduk Indonesia saat itu, pelaku dianggap pahlawan.
Jenasahnya
saat tiba di Indonesia disambut besar-besaran.
Apa
salah rakyat Singapura hingga salah-satu gedungnya di bom?
Apa dosa mereka?
Apa
urusan kita jika negara lain mau ngapain kek?
Coba jawab.
Apa
salah tiga orang yang tewas saat kejadian? Elizabeth Choo (36), Juliet Goh (23)
dan Mohammed Yasin bin Kesit (45).
Apa
salah mereka sehingga mereka harus mati?
Coba
jawab. Mereka punya keluarga, orang tua, anak, dll.
Apa
salah keluarga mereka hingga harus di bom?
Kalian
tidak tahu sejarah ini? Silahkan cari sendiri.
Silahkan
baca berbagai versi. Banyak penjelasannya.
Buanyak
sekali argumen2nya.
Tapi
jangan lupa, bacalah dari versi penduduk Singapura saat itu.
Baca
dari sudut pandang mereka sebagai korban yang dibom.
Kalau
kalian hanya baca dari versi tertentu, wah, repot.
Sungguh,
menulis hal ini, bahkan setelah berpuluh tahun berlalu, tidak mudah.
Bisa
ada yang marah, ngamuk. Mereka salah paham, malah bilang Tere Liye anarkis,
provokator.
Tapi
intinya adalah: adik2 sekalian, sadarilah. Jangan pernah terlalu ekstrem
memahami sesuatu dalam hidup ini.
Kalian
ngikut kelompok atau organisasi agama misalnya, jangan ekstrem.
Nabi
tidak pernah bilang nama organisasi tertentu bakal masuk surga.
Juga
tdk bilang siapa ketua organisasinya yg bakal masuk surga itu.
Kalian
selalu bisa merdeka berpendapat, menentukan sikap.
Tidak
harus semua ngikut. Hanya karena dia cucu-cucunya Nabi, juga tidak otomatis
semua benar.
Apalagi
kalau kalian suka dgn seseorang, partai, pejabat, dsbgnya. Duuh, jangan
ekstrem. Dibela2in seolah seseorang itu suci, sempurna, maha sederhana, dll.
Sungguh,
kalian selalu bisa merdeka berpendapat.
Jangan
sampai kalian menjadi martir kebodohan.
Mengorbankan
hidup kalian yg spesial, hanya untuk jadi corong kehidupan orang lain.
Tiap
hari belain di medsos, iya kalau besok2 jadi komisaris BUMN, dll. Kalau nggak?
Jangankan
kelompok, dalam level mematikan, bahkan negara bisa jadi jahat sekali.
Lihatlah
penjajah Belanda dulu, mereka sih konon katanya niatnya baik. Jepang, saat
menjajah banyak tempat, mereka bilang 'saudara'. Rakyat Belanda dan Jepang
banyak yang bela2in soal ini, mereka merasa jadi patriot sejati.
Merasa
membela ibu pertiwi, padahal sejatinya mereka hanyalah budak-budak yang dikirim
kelompok elit.
Untuk
menjajah negara orang lain. Mereka mati. Elit yang menikmati semuanya.
Maka,
mulailah merdeka berpendapat.
Berhenti
dikit2 harus membela seseorang, atau kelompok.
Dikit2
harus tersinggung, marah, padahal yang sedang dibahas orang lain atau kelompok
lain.
Buat
apa? Kalian jangan2 cuma jadi korban tak berguna, dan tak dikenang.
Sementara
elit, orang2 yg kalian bela, elit kelompok2 yg kalian puja-puji, mereka
menikmati semuanya.
Ketahuilah,
hal ini relevan dalam setiap aspek kehidupan. Semoga kalian mau memikirkannya.
Selalu
lihat banyak hal dari banyak sisi. Biar lengkap.
Jangan
sampai pula, besok2 kalian 'mati' (baik mati hatinya, atau betulan mati
fisiknya), hanya membela sesuatu yang kalau dilihat dari sudut pandang lain,
'Oh iya ya, kenapa saya lebay sekali.'
Nah,
jika kalian mau benar2 mati membela sesuatu, bela-lah seperti: prinsip anti
korupsi, anti suap. Yang ini jelas sekali layak dibela sampai mati.
Bukan
bela orang atau kelompok. Mereka sih akan selalu berubah.
*Tere
Liye

0 comments:
Post a Comment