GRACE KRISTEN PSI MENUDUH RELAWAN
ANIES BASWEDAN
Kasus Ade Armando.
Harus menjadi pelajaran bersama
ke depan.
Agar tidak ada lagi kekerasan:
baik verbal, apalagi fisik.
Kekerasan verbal berpotensi
menciptakan kekerasan fisik.
Yang bisa menimbulkan konflik
social.
Ketika melibatkan kelompok.
PERTAMA kita harus mengucapkan
bela sungkawa, sedih, dan prihatin terhadap kejadian yang menimpa Ade Armando.
Peristiwa yang tidak pantas, dan seharusnya tidak boleh terjadi di negeri
beradab seperti Indonesia. Cukup sekali ini saja, jangan lagi terulang.
Percaya Dokter
Kedua, kita serahkan kasus ini
kepada pihak kepolisian. Bahwa negara kita negara hukum, semua kasus harus
diselesaikan melalui jalur hukum. Kita percayakan kepada pihak kepolisian untuk
mengusut dan menyelesaikan dengan tuntas, tegas, adil, dan transparan. Dan
polisi saat ini sedang bekerja.
Mari kita dukung dan kita
support. Jangan justru ada pihak-pihak yang mengganggu kinerja polisi ini
dengan membuat pernyataan-pernyataan kontroversial yang justru akan menambah
kegaduhan dan ketegangan.
Ketiga, peristiwa ini jangan pula
dipolitisir, dibawa kemana-mana, dikait-kaitkan dengan hal-hal yang
sesungguhnya tidak terkait. Jangan menunggangi kasus Ade Armando ini sebagai
obyek politik.
Keempat, kasus Ade Armando ini
harus menjadi pelajaran bersama untuk ke depan agar tidak ada lagi kekerasan:
baik verbal, apalagi fisik. Kekerasan verbal berpotensi menciptakan kekerasan
fisik yang bisa menimbulkan konflik sosial ketika melibatkan kelompok.
Mengaitkan peristiwa Ade Armando
dengan Anies Baswedan, tanpa berniat membuktikan secara hukum dengan melaporkan
ke polisi, ini tentu tidak gentle dan tidak fair. Sikap pengecut seperti ini
tak lebih dari upaya “Black Campaign” yang selama ini dijadikan sebagai
strategi politik murahan dengan mengabaikan aspek nilai dan etika yang
seharusnya dijaga dan dijunjung tinggi di negeri bermartabat ini. Ada kesan
pemaksaan untuk menghubung-hubungkan sesuatu yang sesungguhnya tidak ada
hubungannya. Dalam ilmu logika ini disebut dengan istilah “causal fallacy”.
Pernyataan yang menuduh Anies
(via relawan) secara serampangan terkait pengeroyokan terhadap Ade Armando
sangat disayangkan. Pernyataan tersebut tidak berkelas, dan ini untuk yang
kesekian kalinya.
Diungkapkan: “Jika benar itu
relawan Anies, maka ini ada hubungannya dengan provokasi Pengeroyokan terhadap
Ade Armando”.
Pernyataan ini pertama, si
penuduh “bermain kata” dengan pernyataan “jika betul itu relawan Anies”. Ini
tentu jauh dari bijak. Apalagi, yang mengungkap adalah seorang public figure.
Perlu juga dicek, siapa yang nge-chat seperti itu. Kapan WAG itu dibuat. Polisi
mesti menelusuri dan mengungkap siapa orang ini, dan kapan WAG ini dibuat, agar
dunia maya tidak dipenuhi dengan prasangka, praduga, dan bermacam stigma.
Kedua, dari pernyataan itu, jelas
ada premis yang keliru. Kalau kita bedah dengan kaidah silogisme, kira-kira
pernyataan itu begini:
Premis mayornya:
“Relawan Anies itu provokator”.
Premis minornya:.
“Si A itu melakukan provokasi”.
Kesimpulan:
Maka “Si A itu relawan Anies”.
Seolah ada kesimpulan bahwa
relawan Anies adalah provokator. Siapa pun yang melakukan provokasi, itu pasti
relawan Anies. Ini kan logika menyesatkan.
Ini akar dari kesalahan fatal
dari pernyataan itu. Dan banyak pernyataan-pernyataan sebelumnya berpangkal
dari kesalahan premis sesat ini.
Tidakkah di hampir semua WAG ada
nada-nada provokatif. Apalagi group yang anggotanya umum dan awam. Group yang
anggotanya terdidik saja kadang ada nada-nada provokatif. Ini berlaku umum,
kepada siapa saja. Ya kepada Ade Armando, ya kepada Anies, ya kepada Presiden
Jokowi, atau tokoh yang lain.
Kenapa yang di-capture hanya
salah satu group “yang dituduh” sebagai relawan Anies, yang nama group dan
identitas relawannya juga gak dikenal. Relawan Anies yang dikenal itu ada
ANIES, Sobat Anies, Kawan Anies, Mileanis, Jabar Manis, Satria, ABC, dll. Group
yang di-capture itu masih asing dan tidak pernah didengar namanya. Apa betul
itu group relawan Anies? Kapan dibuatnya? Di sinilah perlunya polisi
membongkarnya. Gak boleh dibiarkan sebagai instrumen politik.
Kalau memang group itu riil,
bukan buatan dadakan, apakah para pengeroyok Ade Armando itu ada di group itu?
Atau setidaknya membaca group itu? Apakah salah satu atau sejumlah orang
pengeroyok itu terprovokasi oleh ucapan di group itu? Ini harus dicari benang
merahnya. Kalau tidak bisa membuktikan ini, mesti ada konsekuensi hukum.
Sebagai contoh misalnya: ketika
di satu group ada yang caci maki Anies. Lalu besok ada demo di Balai Kota yang
caci maki Anies. Apakah ini otomatis ada hubungan? Ya belum tentu. Kebetulan
saja mereka gak suka Anies.
Ini berlaku juga untuk kasus
lain, termasuk kasus Ade Armando. Kecuali kalau, sekali lagi, kecuali kalau
memang ada yang mau ambil kesempatan untuk menari di kasus ini. Dan publik saya
pikir cerdas. Tahu standar obyektifitas, standar etik, dan norma politik.
Publik tahu bagaimana menyikapi setiap manuver partai yang tidak punya kursi di
DPR RI ini.
Dalam konteks ini, yang rugi
bukan Anies. Tapi yang rugi, pertama, partai yang gak punya kursi di DPR RI itu
sendiri yang rugi. Rakyat makin gak simpatik jika partai itu terus menggunakan
diksi, apalagi strategi menyerang tanpa data dan membabi buta semacam ini. Di
mata publik muncul stigma adanya “Black Campaign” yang secara konsisten
menyasar Anies. Ini akan sangat merugikan partai itu sendiri.
Kedua, selain partai tersebut,
rakyat juga dirugikan. Rakyat terus disuguhi atraksi dan akrobat politik yang
sungguh tidak berkualitas dan tidak berkelas.
Sudah saatnya partai gurem
tersebut evaluasi terhadap strategi agresifnya menyerang Anies yang selama ini
dijalankan.
Kita harapkan semua elite
politik, baik yang ada di dalam partai atau di luar partai melakukan kompetisi
yang berkualitas, yang dalam kompetisi itu rakyat bisa merasakan efek
manfaatnya. Setidaknya ada pelajaran yang layak jadi rujukan atau referensi
buat rakyat.
Jakarta, 16 April 2022
Tony Rosyid, Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa
Suka
Komentari
Bagikan
0 comments:
Post a Comment