DEBAT KUSIR SAMPAI PENSIUN
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo,
Sidoarjo
Sabtu, 29 Mei 2010. Kepala SMP Negeri Sidoarjo, sebanyak
44 orang, berkumpul di sebelah barat alun-alun Sidoarjo. Naik bis dari depan Masjid
Agung Sidoarjo, berangkat ke gunung
Bromo, Jawa Timur, mengikuti kegiatan Program MKKS BERMUTU.
MKKS kependekan
dari Musyawarah Kerja Kepala Sekolah. Program BERMUTU merupakan program yang
dilaksanakaan Pemerintah sejak tahun 2008. Implementasi Undang Undang Nomor 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Rencananya, program ini berakhir tahun 2013.
BERMUTU singkatan
dari Better Education through Reformed Management and Universal Teacher
Upgrading. Kerja sama Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Belanda dan Bank
Dunia.
Pak Sohib, si “ahli
hisab” berdiri di barisan depan, tangan kanan memegang mik, leher agak ditekuk
ke depan, bergaya Rhoma Irama, waktu menyanyikan lagu berjudul “Terlalu”. Berbalik
menghadap ke belakang, ke arah penumpang, menghalangi layar televisi.
Pak Sohib,
sebagai “menteri agama” MKKS memimpin doa perjalanan, agar rombongan selamat
dan tetap sehat. “Assalaamu alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh,” Pak Sohib
mengawali sambutan.
“Waalaikum salaam
warahmatullahi wabarakaatuh,” penumpang menjawab serentak. Pak Sohib
melanjutkan, “Marilah kita berdoa, memohon kepada Allah Subhanahu wataala, agar
kita selalu dalam lindungan-Nya. Semoga perjalanan kita lancar, selamat, dan
aman. Sejak berangkat, selama di perjalanan, dan tiba di tempat tujuan tetap
segar bugar.” Anggota MKKS serempak menjawab, “Amin Ya Rabbal Alamin.”
“Juga, agar
semua anggota MKKS dapat mengikuti kegiatan dengan baik, diberi kemampuan dan
kesehatan oleh Allah Yang Maha Kuasa sehingga sanggup menyelesaikan semua tugas
dengan baik.” “Amin,” jawab hadirin. Pak Sohib melanjutkan, “ Supaya kita semua
mampu merampungkan segala tugas dengan baik, termasuk menyetorkan tagihan! sebelum
ditagih Pak Lutfi.” “Amin,” teriak para penumpang bersahutan lebih keras.
Mengapa? Kata
“tagihan” adalah “momok” yang menakutkan, bagaikan hantu yang menyeramkan, siap menerkam siapa saja, termasuk
kepada kepala sekolah! Benar, Anda tidak keliru, kepala SMP Negeri di Sidoarjo,
sebagian takut diterkam “binatang buas”. “Makhluk” itu bernama tagihan. Termasuk
saya. Ya, kegiatan apa
pun. Termasuk penataran apa saja. Di mana saja, oleh siapa saja, tidak menjadi
masalah. Yang menjadi masalah tagihannya,
laporan hasil mengikuti kegiatan.
Sungguh aneh, mengherankan,
dan menakjubkan. Ternyata, kebahagiaan itu dapat muncul kapan saja. Kesenangan
dapat berasal dari mana pun. Misalnya, ketika selesai penataran. Atau kegiatan
apa pun. Pak Hartoyo dan Pak Lutfi lupa mengingatkan tagihan. Lupa menagih. Sungguh
menyenangkan. Sulit digambarkan dengan kata-kata.
Doa perjalanan
selesai. Pak Sohib menambahkan bonus doa. Doa ibadah haji dan umrah. Doa
talbiyah. “Labbaika Allahumma labbaika. Labbaika la syarikalaka labbaika.
Innalhamda. Wannikmata laka walmulku. Lasyarika laka.” Amin,” jawab penumpang dengan
keras. Doa talbiyah dilantunkan agar para penumpang selalu teringat ibadah haji
dan umrah di Mekah.
Tujuan Program BERMUTU amat bagus. Meningkatkan
mutu pendidikan melalui peningkatan kompetensi dan kinerja guru. Terutama guru SD
(sekolah dasar) dan SMP (sekolah menengah pertama). Di sekolah negeri maupun
swasta. Siapa yang diuntungkan? Tentu saja, para guru SD dan SMP. Sebagai
sarana meningkatkan diri. Sebagai pemicu
peningkatan kualifikasi dan kompetensi guru.
Program BERMUTU
berusaha fokus memantapkan struktur pengembangan mutu. Guru kelas, guru mata
pelajaran, kepala sekolah, dan pengawas sekolah. Salah satu kegiatannya memberdayakan berbagai
kelompok kerja. Misalnya, di SD dalam KKG (Kelompok Kerja Guru), KKKS (Kelompok
Kerja Kepala Sekolah), KKPS (Kelompok Kerja Pengawas Sekolah). Di SMP berupa MGMP
(Musyawarah Guru Mata Pelajaran), MKKS (Musyawarah kerja Kepala sekolah), dan MKPS (Musyawarah Kerja Pengawas Sekolah).
Program BERMUTU memilki
beberapa komponen. Mereformasi pendidikan calon guru. Memperbaiki sistem
akuntabilitas dan insentif untuk meningkatkan kinerja dan karier guru. Memperkuat
upaya peningkatan mutu guru berkelanjutan. Juga, meningkatkan monitoring dan
evaluasi mutu guru serta prestasi belajar siswa.
Bis berjalan
dengan santai. Kami mendengarkan musik dan lagu. Melihat ke arah depan, menyaksikan
pemandangan sekitar, sambil melihat layar televise. di tengah atas sebelah
sopir. Yang diputar kebanyakan lagu lama. Lagu nostalgia, lagu “jadul”, lagu
zaman dulu. Sepantaran dengan penumpangnya, seumuran dengan peserta. Kami
berkaraoke, bergiliran memegang mik, bernyanyi bergantian.
Dengan suara yang
“merdu”. Kadang kala dengan ragam suara berirama mendayu-dayu. Nada yang “baik”
dan “sedap” didengar, menurut penyanyinya sendiri. Tidak tahu jika menurut orang
yang mendengarkan. Tampaknya, yang bernyanyi tidak bermasalah. Mungkin, yang
bermasalah adalah orang yang mendengarkan. Mengapa? Karena mereka dipaksa
mendengarkan. Tidak ada pilihan lain, terkurung dalam bis, laksana buah tinggal
sebiji. Waktu perut keroncongan, terpaksa dimakan, tidak ada alternatif lain. Dengan
perasaan “geregeten”. Alias benci tapi rindu.
Bis terus
berjalan dengan lambat. Kami mulai mengobrol, membahas apa aja, acap kali
bicara “nggedabrus”, membahas “ngalor ngidul”. Juga, “ngomong seng”. Pak Baher
mulai melucu, “Suara Bu Retno enak dan merdu didengarkan, ketika sedang
menyanyi, tetapi akan lebih enak dan lebih merdu lagi, jika Bu Retno tidak
bernyanyi.“ Penumpang mulai tertawa. Pak Tri Widodo melanjutkan, “Sebaiknya
sebelum bernyanyi, para artis dadakan ini membayar kerugian kepada penonton, karena
menyakitkan telinga.“ tertawa penumpang tambah keras.
“Sekarang giliran Pak Yusron menyanyi lagu
Malam Minggu. Sekarang ‘kan bertepatan dengan malam Minggu,” kata Pak Wakhid. Saya
menjawab, “Wani piro?” “Yang benar Pak Yusron yang membayar pendengarnya. Bukan
malah minta dibayar, “teriak Pak Arie sambil bersungut. Hadirin tertawa
meledak. Memang Pak Arie dengan saya sering terlibat debat kusir. Debat yang
tidak perlu diperdebatkan. Debat tidak bermutu.
Beberapa jam berlalu. Rombongan masuk
wilayah gunung Bromo. Bromo berasal dari kata Brahma. Nama salah satu dewa
agama Hindu. Merupakan gunung berapi aktif di Jawa Timur, Indonesia. Gunung Bromo
memiliki ketinggian 2,329 meter di atas permukaan laut. Berada dalam empat
wilayah kabupaten. Yakni Kabupaten Probolinggo, Pasuruan, Lumajang, dan Malang.
Bentuk fisik gunung Bromo bertautan antara lembah dan ngarai. Dengan kaldera atau lautan pasir seluas
sekitar 10 kilometer persegi. Gunung Bromo mempunyai sebuah kawah dengan diameter
sekitar 800 meter arah utara ke selatan. Sekitar 600 meter arah timur ke barat.
Sedangkan daerah bahayanya berupa lingkaran dengan jari-jari sekitar 4 km dari
pusat kawah Bromo.
Suku Tengger. Penduduk
sekitar Gunung Bromo. Gunung Bromo dipercaya sebagai gunung suci. Setahun
sekali masyarakat Tengger mengadakan upacara Yadnya Kasada atau Kasodo. Bertempat
di sebuah pura. Yang berada di bawah kaki Gunung Bromo. Dilanjutkan ke puncak
Bromo. Upacara diadakan pada tengah malam hingga dini hari. Setiap bulan
purnama. Sekitar tanggal 14 atau 15. Bulan Kasodo. Bulan ke-10 menurut
penanggalan Jawa.
Gunung Bromo
terkenal sebagai objek wisata utama di Jawa Timur. Bromo menarik karena berstatus
gunung berapi aktif. Termasuk kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Masuk
wilayah gunung bromo bisa ditempuh melewati empat jalur.
Dari arah
Pasuruan. Berwisata ke Gunung Bromo lewat Pasuruan bisa ditempuh lewat dua
akses. Pertama, lewat Purwodadi. Lalu Nongkojajar. Kemudian Desa Tosari. Tiba
di lautan pasir gunung Bromo. Kedua, lewat Warungdowo. Lalu Ranggeh dan Pasrepan.
Kemudian Puspo dan Tosari. Menuju pusat objek wisata. Berupa
lautan pasir. Jalur ini amat berat. Tidak bisa dilewati dengan kendaraan roda
empat biasa. Karena jalanan mendaki dan menurun dengan amat curam. Harus
menggunakan kendaraan Jeep. Sudah disiapkan pengelola wisata. Pejalan kaki yang
tangguh. Bisa menempuh jalur ini.
Dari arah
Probolinggo. Melewati desa Tongas dan desa Sukapura. Menuju desa Cemoro Lawang.
Sebelum turun ke lautan pasir. Lerengnya tidak terlalu curam. Sepeda motor bisa
melewati jalur ini. Umumnya, para wisatawan melalui jalur ini.
Dari arah Malang.
Melewati desa Tumpang. Desa Gubugklakah dan desa Ngadas. Desa Jemplang. Desa Ranu Pane, bertemu dengan jalur dari arah
Lumajang. Desa Ranu Kombolo, dan desa Kalimati. Desa Arcopodo, dan Mahameru.
Dari arah
Lumajang. Melewati desa Senduro dan desa Bumo. Memasuki desa Ranu Pane. Bertemu
dengan jalur dari arah Malang. Desa Ranu, dan desa Kalimati. Desa Arcopodo, dan
Mahameru.
Bis memasuki
terminal. Penumpang turun. Berganti kendaraan kecil. Menuju hotel. Hotel Cemoro
Indah, Bromo. Pak Kholik membagi kunci kamar. Tiap kamar berisi dua atau tiga
tempat tidur. Diatur secara acak. Kecuali tiga orang. Pak Kholik, Pak Baher,
dan Pak Zainul Nuri. Harus selalu sekamar. Di mana saja. Kapan saja. Mirip Coca-cola.
Sampai pensiun.
Peserta berkumpul
di lapangan. Menuju kendaraan Jeep Hardtop. Kendaraan 4 WD alias 4 wheels drive
merupakan salah satu versi mobil. Mobil menggunakan penggerak pada keempat
rodanya. Agar mampu berjalan di medan yang berat. Mendapatkan tenaga dan dorongan sempurna.
Biasanya mobil ini berkasis besar. Misalnya, mobil jenis SUV dan Crossover.
Peserta diajak
berkeliling. Mengitari gunung Bromo. Melintasi lautan pasir. Kendaraan naik dan
turun dengan tajam. Uji nyali. Kami berhenti di beberapa lokasi. Berfoto
bergantian. Dengan gaya masing-masing. Gaya “bul-bul”. Bergaya anak muda.
Meskipun semuanya sudah tua. Sudah berumur 50-an tahun. Disebut “seket”. Dapat bermakna
“seneng kethuan”. Suka memakai kopiah.
Belum 60 tahun. Belum “sewidak”. Maaf, bisa bermakna “sekarate wis cedak”.
Sudah mendekati ajalnya.
Anggota MKKS
berkumpul. Di lokasi kumpulan kuda. Kami bersiap menunggang kuda. Menuju kawah
gunung Bromo. Pak Arie menaiki kuda. Saya juga. Tali kuda dikendalikan si pemilik.
Bisa disebut si kusir. Waktu kami datang. Si kusir yang bernama Kasir sedang
duduk di kasur yang kasar. Pak Arie duduk di atas kuda. Begitu pula saya.
Tiba-tiba
terdengar suara yang mengejutkan,”Tret..tret tuut.. tutut..ciuuuut.” Berasal dari
belakang kuda yang saya naiki. Terdengar suara “ciut”. Yang berarti “sempit”.
Meskipun lautan pasir amat luas. Si kusir yang bernama Kasir berkata, “Wah
kasihan, kudanya masuk angin.” “Bukan masuk angin, Pak. Tapi, keluar angin,”
teriak Pak Arie. Saya membela Pak Kasir, “ Benar Pak Arie, perut kuda masuk
angin. Sehingga terdengar suara kentut.” “Salah! Yang benar keluar angin. Bukan
masuk angin.” Jelas Pak Arie. Sejak saat itu, sampai sekarang, saya menganggap
kudanya “masuk angin”. Sedangkan Pak Arie tetap bersikukuh menganggap “keluar
angin”. Sing waras ngalah.
Debat kusir itu
terbawa sampai pensiun. Mulai 1 April 2017, Pak Arie memasuki usia purnatugas.
Pensiun dari guru PNS. Sekaligus dari “amtenar”. Mestinya, semua orang yang
pensiun tidak perlu debat kusir. Jangan tertipu urusan “tetek bengek”. Pensiun
bisa bermakna penuh konsentrasi urusan nanti. Termasuk saya. Semoga.
0 comments:
Post a Comment