HUBUNGAN HADIS DENGAN AL-QURAN
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Kepala SMP Negeri 1 Balongbendo, Sidoarjo

Beberapa orang bertanya,”Bagaimana hubungan antara Hadis dengan
Al-Quran? Mohon dijelaskan hubngan antara Hadis dengan Al-Quran? Profesor Quraish
Shihab menjelaskan hubungan antara Hadis dengan Al-Quran.
Hadis (menurut KBBI V) adalah sabda, perbuatan, dan takrir (ketetapan)
Nabi Muhammad yang diriwayatkan atau diceritakan oleh para sahabat untuk
menjelaskan hukum Islam.
Hadis adalah segala sesuatu yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad
tentang ucapan, perilaku, perbuatan, dan
ketetapan yang bersifat fisik dan psikis sebelum menjadi Nabi dan sesudahnya.
Ulama “Ushul Fiqih” membatasi
pengertian “Hadis” adalah “perkataan Nabi Muhammad yang berkaitan dengan hukum
Islam”. Sedangkan “Sunah” adalah
“perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi
yang berkaitan dengan hukum Islam”.
Para ulama tafsir berpendapat bahwa perintah patuh dan taat kepada Allah
dan Rasul-Nya ditemukan dalam Al-Quran dengan dua redaksi berbeda.
Perintah pertama adalah “Athi’u Allah wa Rasul” dan perintah kedua
adalah “Athi’u Allah wa athi’u Rasul”. Artinya yang pertama, “Patuhi Allah dan
Rasul” dan yang kedua, “Patuhi Allah dan patuhi Rasul”.
Perintah pertama mencakup kewajiban patuh dan taat kepada Nabi dalam hal
yang sejalan dengan perintah Allah, karena redaksi yang digunakan mencukupkan
sekali saja penggunaan kata “Athi’u”, yang artinya “Taati” atau “Patuhi”.
Perintah kedua mencakup kewajiban patuh dan taat kepada Nabi, meskipun
dalam hal yang tidak disebutkan secara eksplisit oleh Allah dalam Al-Quran. Bahkan
kewajiban patuh dan taat kepada Nabi dilakukan terlebih dahulu, dalam kondisi
tertentu, meskipun seseorang sedang melaksanakan perintah Allah.
Misalnya, kasus Ubay bin Kaab. Ketika Ubay bin Kaab sedang mengerjakan salat,
lalu di tengah salat, Ubay bin Kaab dipanggil oleh Rasul, maka Ubay bin Kaab
menghentikan salatnya kemudian mendatangi Nabi, meskipun salatnya belum selesai.
Al-Quran surah An-Nisa, surah ke-4 ayat 59.
“Hai orang-orang yang beriman, taati Allah dan taati Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikan kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunah), jika kamu benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu)
dan lebih baik akibatnya.”
Al-Quran surah An-Nisa, surah ke-4 ayat 65.
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka
tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusan yang kamu berikan,
dan mereka menerima dengan sepenuhnya”.
Orang yang beriman akan menerima semua ketetapan Nabi dengan penuh
kesadaran dan kerelaan tanpa perasaan enggan dan tanpa pembangkangan sedikit pun. Itulah syarat keabsahan
keimanan seseorang.
Tetapi, di sisi lain, harus diakui bahwa terdapat perbedaan yang
menonjol antara hadis dan Al-Quran dari segi redaksi dan cara penyampaian atau
penerimaannya.
Pertama, tentang wahyu Allah. Dari segi redaksi, diyakini bahwa wahyu
Al-Quran disusun langsung oleh Allah. Malaikat Jibril hanya sekadar
menyampaikan kepada Nabi Muhammad. Nabi pun langsung menyampaikannya kepada
umatnya, demikian seterusnya dari satu ke generasi berikutnya.
Redaksi wahyu Al-Quran dipastikan tidak mengalami perubahan apa pun,
karena sejak diterima oleh Nabi, kemudian disampaikan kepada para sahabat, lalu
ditulis dan dihafal oleh banyak sahabat,
kemudian disampaikan secara mutawatir oleh banyak orang yang mustahil akan bersepakat
untuk berbohong.
Atas dasar ini, wahyu dalam Al-Quran adalah bersifat “Qath’iy Wurud”, artinya
sebuah “dalil yang meyakinkan” bahwa datangnya dari Allah berupa Al-Quran atau
berasal dari Nabi berupa hadis mutawatir.
Hadis mutawatir adalah sifat hadis yang memiliki banyak sanad, yang
diriwayatkan oleh banyak perawi pada tingkat sanadnya, sehingga para perawi
mustahil bersepakat untuk berdusta atau memalsukan hadis.
Kedua, tentang Hadis Nabi. Pada
umumnya hadis Nabi disampaikan secara orang per orang dan sering kali muncul dengan
redaksi yang agak berbeda dengan redaksi yang diucapkan oleh Nabi.
Para ulama hadis menjelaskan bahwa para sahabat sudah ada yang menuliskan
teks hadis, tetapi umumnya penyampaian atau penerimaan kebanyakan hadis yang
ada sekarang hanya berdasarkan hafalan para sahabat dan tabiin.
Sahabat adalah para pemeluk Islam yang hidup sezaman dengan Nabi Muhammad.
Sedangkan tabiin adalah para penganut ajaran Nabi Muhammad yang merupakan
generasi kedua setelah para sahabat.
Hali ini menjadikan kedudukan hadis dari segi autentiknya adalah bersifat
“Zhanniy Wurud”, artinya dalil yang hanya memberikan “kesan yang kuat” atau “perkiraan
yang kuat” bahwa datangnya dari Nabi.
Hali ini, tidak berarti terdapat keraguan terhadap keabsahan hadis
karena banyak faktor dalam diri Nabi dan para sahabat serta kondisi sosial masyarakat ketika itu
yang saling menopang, sehingga membuat generasi berikutnya merasa tenang dan
yakin bahwa hadis Nabi sangat terjaga keasliannya.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah
dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.
2. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan
Al-Quran
0 comments:
Post a Comment