PAK KUSIR BERNAMA KASIR
SEDANG TIDUR DI KASUR YANG KASAR
Oleh: Drs. H. M. Yusron
Hadi, M.M.
Gunung Bromo terkenal
sebagai objek wisata utama di Jawa Timur.
Bromo menarik karena
berstatus gunung berapi aktif.
Termasuk kawasan Taman
Nasional Bromo Tengger Semeru.
Masuk wilayah gunung
bromo bisa ditempuh melewati 4 jalur.
Dari arah Pasuruan.
Berwisata ke Gunung
Bromo lewat Pasuruan bisa ditempuh lewat 2 akses.
Lewat Purwodadi,
Nongkojajar, Desa Tosari, tiba di lautan pasir gunung Bromo.
Lewat Warungdowo,
Ranggeh, Pasrepan, Puspo dan Tosari, menuju pusat objek wisata
berupa lautan pasir.
Jalur ini amat berat,
tidak bisa dilewati dengan kendaraan roda empat biasa, jalanan mendaki dan
menurun dengan curam.
Harus menggunakan
kendaraan Jeep, sudah disiapkan pengelola wisata.
Pejalan kaki yang
tangguh bisa menempuh jalur ini.
Dari arah Probolinggo.
Melewati desa Tongas,
Sukapura, Cemoro Lawang sebelum turun ke lautan pasir.
Lerengnya tidak terlalu
curam. Sepeda motor bisa melewati jalur ini.
Umumnya, para wisatawan
melalui jalur ini.
Dari arah Malang.
Melewati desa Tumpang,
Gubugklakah, Ngadas, Jemplang, Ranu Pane (bertemu dengan jalur dari arah
Lumajang), Ranu Kombolo, Kalimati, Arcopodo, dan Mahameru.
Dari arah Lumajang.
Melewati desa Senduro,
Bumo, Ranu Pane (bertemu dengan jalur dari arah Malang), Ranu, Kalimati,
Arcopodo, dan Mahameru.
Bis memasuki terminal,
penumpang turun berganti kendaraan kecil menuju hotel Cemoro Indah, Bromo.
Pak Kholik membagi kunci
kamar, tiap kamar berisi 2 atau 3 tempat tidur diatur secara acak.
Kecuali 3 orang, yaitu
Pak Kholik, Pak Baher, dan Pak Zainul Nuri.
Harus selalu sekamar di
mana saja, kapan saja, mirip Coca-cola.
Peserta berkumpul di
lapangan menuju kendaraan Jeep Hardtop, kendaraan 4 WD (4 wheels drive).
Salah satu versi mobil
menggunakan penggerak pada keempat rodanya agar mampu berjalan di medan yang
berat dengan tenaga dan dorongan sempurna.
Biasanya mobil ini
berkasis besar.
Misalnya, mobil jenis SUV dan Crossover.
Peserta diajak
berkeliling mengitari gunung Bromo.
Melintasi lautan pasir,
kendaraan naik dan turun dengan tajam, uji nyali.
Kami berhenti di
beberapa lokasi berfoto bergantian dengan gaya masing-masing, gaya “bul-bul”.
Bergaya anak muda,
meskipun semuanya sudah tua.
Sudah berumur 50-an
tahun, disebut “seket” (seneng kethuan), suka memakai kopiah.
Belum sewidak (60 tahun)
maaf, bisa bermakna “sekarate wis cedak”, sudah mendekati ajalnya.
Anggota MKKS berkumpul
di lokasi kumpulan kuda.
Kami bersiap menunggang
kuda menuju kawah gunung Bromo.
Pak Arie menaiki kuda,
saya juga.
Tali kuda dikendalikan
si pemilik, bisa disebut si kusir.
Waktu kami datang, kusir
yang bernama Kasir sedang duduk di kasur yang kasar.
Pak Arie duduk di atas
kuda, saya juga.
Tiba-tiba terdengar
suara yang mengejutkan,”Tret, tret, tuut…ciuuuut.”
Berasal dari belakang
kuda yang saya naiki.
Terdengar suara “ciut”
yang berarti “sempit”, meskipun lautan pasir amat luas.
Pak kusir yang bernama
Kasir berkata, “Wah kasihan, kudanya masuk angin.”
“Bukan masuk angin, Pak.
Tapi, keluar angin,” teriak Pak Arie.
Saya membela Pak Kasir,
“Benar Pak Arie, perut kuda masuk angina, sehingga terdengar suara kentut.”
“Salah! Yang benar
keluar angin, bukan masuk angina,” jelas Pak Arie.
Sejak saat itu, sampai
sekarang, saya menganggap kudanya “masuk angin”.
Tetapi Pak Arie
tetap bersikukuh menganggap “keluar angin”.
Debat kusir itu terbawa
sampai pensiun.
Mulai 1 April 2017, Pak
Arie memasuki usia purnatugas.
Pensiun dari guru PNS
sekaligus dari “ambtenar”.
Mestinya, semua orang
yang pensiun tidak perlu debat kusir.
Jangan tertipu urusan
“tetek bengek”.
Pensiun bisa bermakna
penuh konsentrasi urusan nanti, termasuk saya.

0 comments:
Post a Comment