DONALD TRUMP JADI BEKAS PRESIDEN MEDSOSNYA DIBLOKIR
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.
Tertimpa Tangga
ORANG lagi kalah bisa
bertubi-tubi ditimpa apa saja.
Anak sulung Donald
Trump misalnya.
Eric Trump mencoba
mengingatkan publik tentang kebaikan ayahnya: satu-satunya presiden, di era
modern, yang tidak mau perang.
Itu betul.
Saya juga memuji itu.
Sekeras-keras Trump
menggertak Tiongkok tidak sampai menembakkan senjata.
Padahal, kalau mau, ia
bisa terpilih lagi.
Tapi respons
masyarakat negatif.
Eric dikecam secara
luas.
“Memang tidak perang
dengan negara lain, tapi justru perang di dalam negeri,” tulis medsos.
Bahkan, tulis yang
lain, korbannya lebih besar dari perang dunia ke-2.
Maksudnya korban Covid-19.
Yang meninggal
400.000.
Habislah Eric Trump.
Misinya tidak
kesampaian.
Demikian juga Taylor
Greene.
Yang ingin membela
Trump.
Dengan cara
meluncurkan hastag #impeachbiden.
Hastag itu justru
diserbu dengan bintang-bintang K-Pop.
Video-video lagu Korea
memenuhi hastag itu.
Serbuan K-Pop itu
mengingatkan rencana kampanye Trump di Oklahoma.
Yang dihadiri 1 juta
orang –sesuai dengan yang sudah mendaftar secara online.
Ternyata yang datang
sedikit sekali: 6.000 orang.
Padahal semua
persiapan sudah disesuaikan dengan 1 juta itu.
Belakangan diketahui
itu ulah para pencinta K-Pop di Amerika.
Memanfaatkan TikTok.
Trump dikerjai dengan
cara anak muda.
Greene
sendiri tidak asbun.
Sehari
setelah Biden dilantik jadi presiden Greene benar-benar mendaftarkan dokumen:
meng-impeach Biden.
Tidak
ada yang menyambut.
Alasannya
terlalu mengada-ada.
Yang
penting bisa membela Trump.
Yang
dianggap akan mampu mengembalikan Amerika menjadi negara Kristen kulit putih.
Mereka
percaya Amerika itu didirikan sebagai negara Kristen-kulit-putih.
Yang
sekarang dianggap menyeleweng dari pendiriannya.
Gedung
Capitol misalnya, sudah banyak diisi orang yang macam-macam: kulit hitam,
imigran dari Karibia, wanita berjilbab dari Somalia, wanita Islam dari
Palestina.
Bagi
orang seperti Greene, berjuang mengembalikan Amerika ke tujuan aslinya adalah
perjuangan suci.
Yang
bila mati pun terhormat.
Patriotik.
Apalagi
dua hari lalu ada kejadian yang terang-terangan mereka anggap anti-Kristen di
Capitol.
Yakni
saat calon menteri perhubungan menjalani uji kelayakan di Senat.
Saat
memperkenalkan diri, Pete Buttigieg, calon menteri itu, bikin kejutan.
“Lebih
dulu saya memperkenalkan suami saya. Itu,” ujarnya sambil menoleh ke Chasten
Buttigieg.
Laki-laki
juga.
Sejak
menjadi wali kota South Bend, Indiana, Buttigieg memang sudah dikenal sebagai
gay.
Kedua
kawin di gereja di kota itu.
“Ia yang setia mendampingi saya dalam situasi
apa pun sampai saya bisa menjadi calon menteri ini,” ujar Buttigieg di forum
Senat itu.
Senat
ternyata menyetujui Buttigieg menjadi menhub di kabinet Biden-Harris.
Buttigieg
yang sempat ikut mencalonkan diri sebagai presiden AS.
Trump
sendiri tidak menjadi berita lagi.
Itu
karena senjata utamanya hilang: Twitter, YouTube, dan Facebook.
Trump
dibredel secara permanen dari medsos.
Kabarnya,
Trump lagi mencari pengacara.
Untuk
menghadapi impeachment kedua.
Yang
dimulai 8 Februari depan.
Rupanya Trump tidak mau lagi pakai pengacara
Rudi Giuliani –mantan wali kota New York itu.
Yang
pernah menagih honor USD 20.000/hari –tapi tidak dibayar oleh Trump.
Tanpa
medsos bisa dibayangkan betapa jengkelnya Trump.
Tidak
bisa membela diri.
Terutama,
tidak bisa menyerang ke sana kemari.
Kita
jadinya tidak bisa tahu apa reaksi Trump atas sampul depan majalah TIME edisi
terbaru.
Yang mestinya sangat menjengkelkannya.
Anda
sudah tahu wajah depan TIME itu: suasana ruang kerja presiden Amerika yang lagi
berantakan.
Biden,
di hari pertama masuk ke ruang kerja itu, digambarkan hanya bisa berdiri
termangu di dekat jendela.
Sambil
memandang keluar.
Tentu
itu bukan fakta.
Bukan
foto.
Itu
karya seni.
Luar
biasa bagusnya.
Kuat
sekali kesan yang ditimbulkannya.
Meja
kerja presiden sendiri memang sedikit berubah.
Ada
yang hilang dari meja kerja Trump itu.
Biden
telah membuang tombol merah di meja itu.
Itulah
tombol yang kalau dipijit segera muncul seseorang yang membawakan Coca Cola
diet untuk presiden.
Trump
sampai mengadakan tombol itu tentu karena pentingnya arti Coca Cola baginya.
Sehari
Trump bisa minta 12 kali.
Begitulah
laporan media utama di AS.
Tombol
Cola di meja Donald Trump.
Ia
memang dikenal sebagai peminum Coca-Cola.
Juga
pemakan fast food seperti McDonald, KFC, dan Pizza Hut.
Kini
status Trump memang tinggal bekas presiden.
Kembali
jadi sipil sepenuhnya.
Yang
akan terus dikejar masalah.
Sampai-sampai
anggota Senat seperti Lindsey Graham angkat bicara: kalau Biden terus
mencari-cari kesalahan Trump berarti Biden telah salah arah.
“Terbukti Biden tidak mengutamakan persatuan
dan kesatuan seperti yang sering ia janjikan,” ujarnya.
Di
sana memang tidak ada Pancasila –yang bisa membuat Trump jadi menteri
pertahanan, misalnya.
Maka
janganlah sekali-kali kalah. Akan banyak yang menyiapkan tangga.
Untuk
sekalian ditimpakan.
(Sumber Dahlan
Iskan)
0 comments:
Post a Comment