MASALAH TAFSIR AL-QURAN
Oleh: Drs. H. Yusron Hadi, M.M.
Beberapa orang bertanya,”Bagaimanakah problematika tafsir ayat Al-Quran? Mohon dijelaskan tentang masalah tafsir ayat Al-Quran? Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
Al-Quran berfungsi sebagai “huda” atau petunjuk, dan “furqan” atau pembeda, serta Al-Quran pada hakikatnya menempati posisi sentral dalam studi keislaman, dan menjadi tolok ukur untuk membedakan kebenaran dan kebatilan, termasuk dalam penerimaan dan penolakan setiap berita yang disandarkan kepada Nabi Muhammad.
Keberadaan Al-Quran di tengah umat Islam, ditambah dengan keinginan mereka untuk memahami petunjuk dan mukjizatnya, telah melahirkan banyak disiplin ilmu keislaman dan metode penelitian.
Hal ini dimulai dengan disusunnya kaidah “ilmu nahwu”, dan “ushul fiqh” serta lahirnya berbagai metode penafsiran Al-Quran, yang terakhir adalah metode “maudhui” atau “tauhidi”.
Para ulama mempelajari berbagai disiplin ilmu yang didorong keinginan untuk memahami petunjuk, informasi, dan mukjizat Al-Quran.
Al-Quran berbicara tentang berbagai aspek kehidupan dan menampilkan beraneka ragam masalah, yang merupakan pokok bahasan berbagai disiplin ilmu, maka kandungannya tidak dapat dipahami secara baik dan benar tanpa mengetahui hasil penelitian dan studi pada bidang yang dipaparkan oleh Al-Quran.
Para ulama berpendapat, “Saya tidak mengetahui bagaimana seseorang dapat menafsirkan firman Allah yang berbunyi “Kana al-nas ummahwahidah” dalam Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 213, kalau dia tidak mengetahui keadaan umat manusia dan sejarahnya, yaitu sejarah dan sosiologi.”
Al-Quran surah Al-Baqarah, surah ke-2 ayat 213, “Manusia adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan dengan kehendak-Nya. Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus”.
Para ulama berpendapat bahwa hal ini berlaku pula dalam hubungannya dengan ayat yang berbicara tentang astronomi, embriologi, ekonomi, dan sebagainya.
Begitu juga dengan pembuktian tentang mukjizat Al-Quran, para ulama berpendapat, “Tidak ada umat Islam saat ini, apalagi yang bukan berasal dari negara berbahasa Arab, yang dapat memahami kemukjizatan Al-Quran dengan membandingkan satu ayat dengan sepenggal kalimat berbentuk prosa atau puisi pra-Islam”.
Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak ada seorang pun saat ini yang dapat merasakan secara sempurna keindahan bahasa Al-Quran, yang merupakan salah satu mukjizatnya, sejak lunturnya kemampuan dan rasa kebahasaan orang Arab sendiri. Oleh karena itu, para ulama menyarankan untuk mencari pembuktian lain yang sesuai, yaitu melalui pendekatan sejarah agama.
Semuanya membuktikan bahwa bahwa seluruh kelompok dan aliran yang berpredikat Islam, selalu merujuk kepada Al-Quran dan hadis, ketika memunculkan dan mempertahankannya pendapatnya. Artinya, Al-Quran menempati posisi sentral dalam studi keislaman.
Sekarang ini, semua ulama dan pakar sepakat bahwa metode “ma'tsur”, yaitu memahami dan menafsirkan ayat Al-Quran dengan ayat yang lain atau dengan hadis Nabi Muhammad, dan pendapat para sahabat sebagai metode tafsir terbaik.
Masalahnya, pendapat tersebut masih memiliki kelemahan dan memerlukan pemikiran yang serius.
Misalnya, siapakah yang berwenang menetapkan bahwa ayat A ditafsirkan oleh ayat B? Apakah hanya Nabi sendiri, atau para sahabat, atau para ulama ? Apakah kriterianya yang harus dikandung oleh masing-masing ayat untuk maksud tersebut? Dan banyak pertanyaan lain.
Semuanya masih memerlukan jawaban atau penjelasan yang konkret, karena mungkin saja terjadi penafsiran para ulama yang menggunakan ayat Al-Quran menempati posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan penafsiran Nabi.
Para ulama terdahulu menyatakan bahwa peringkat tertinggi dari penafsiran ayat Al-Quran adalah penafsiran ayat dengan ayat yang lain, kemudian penafsiran Nabi, dan terakhir adalah penafsiran para sahabat.
Al-Quran berfungsi memberikan jalan keluar bagi perselisihan dan masalah masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat menanti pedoman dan petunjuk pemecahannya, dan tugas para ulama untuk menjelaskannya.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.
2. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
3. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.2
Wednesday, August 23, 2017
Home »
» 222. TAFSIR
0 comments:
Post a Comment