UMMATAN WASATHA BISA MENAMPUNG
SEGALA PERBEDAAN
Oleh:
Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.
Para
ulama berbeda pendapat tentang jumlah anggota dalam satu umat.
Ada
yang berpendapat satu umat jumlahnya 100 orang.
Ada
yang mengatakan jumlah satu umat adalah 40 orang.
Al-Quran
dan hadis Nabi tidak membatasi pengertian umat hanya pada kelompok manusia,
tetapi binatang juga termasuk umat.
Nabi
bersabda, “Semut adalah umat dan umat-umat Allah”, dan “Seandainya
anjing-anjing bukan umat dan umat-umat Allah, niscaya saya perintahkan untuk
dibunuh”.
Kata
“umat” dipakai untuk manusia beriman kepada Allah dan Rasul-Nya serta untuk
manusia durhaka.
Dalam
Al-Quran kata “umat” dalam bentuk tunggal ditemukan 52 kali.
Kata
“umat” punya makna indah, luwes, dan lentur, sehingga dapat mencakup aneka
makna.
Serta
dapat menampung berbagai perbedaan dalam kebersamaan.
Al-Quran
memilih kata “umat” untuk menunjukkan “himpunan pengikut Nabi Muhammad atau
umat Islam”.
Sebagai
isyarat “umat Islam” dapat menampung segala perbedaan dalam kelompok.
Betapa pun kecilnya jumlah
mereka, selama masih dalam arah yang sama, yaitu beriman kepada Allah.
Dalam
kata “umat” terselip makna mendalam, yaitu mengandung arti gerak dinamis, arah,
waktu, jalan yang jelas, serta gaya dan cara hidupnya.
Kata
“umat” punya keistimewaan disbanding kata semacam “nation” atau “qabilah” yang
artinya “suku”.
Kata
“umat” dalam konteks sosiologis artinya “himpunan manusiawi yang seluruh
anggotanya bersama-sama menuju satu arah, bahu membahu, dan bergerak secara
dinamis di bawah kepemimpinan bersama.”
Al-Quran
surah Al-Baqarah (surah ke-2) ayat 143 menyatakan umat Islam adalah “ummatan
wasatha”.
وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَاكُمْ
أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ
عَلَيْكُمْ شَهِيدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا
لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَىٰ عَقِبَيْهِ ۚ
وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ ۗ وَمَا كَانَ
اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ
Dan
demikian (pula) Kami telah menjadikanmu (umat Islam), umat yang adil dan
pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul
(Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan
kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya
nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh
(pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah
diberikan petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya
Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.
Pada
awalnya, kata “wasath” artinya “semua yang baik sesuai dengan objeknya” dan
“sesuatu yang baik yang berada pada posisi di antara dua ekstrem”.
Keberanian
adalah “pertengahan sifat ceroboh dan takut”.
Kedermawanan
adalah “pertengahan antara sikap boros dan kikir”.
Kesucian
adalah “pertengahan antara kedurhakaan karena dorongan nafsu yang menggebu dan
impotensi”.
Kata
“wasath” berkembang maknanya menjadi “tengah”.
Orang
yang menghadapi dua pihak bermusuhan dituntut untuk menjadi “wasath” (wasit).
Wasit
berada pada posisi tengah agar berlaku
adil, lalu muncul makna “wasath” (adil).
Ummatan
wasatha adalah umat moderat, dan
posisinya berada di tengah-tengah, agar dapat dilihat oleh semua pihak dari
segenap penjuru.
Umat
Islam adalah “ummatan wasatha” artinya umat Islam menjadi “syuhada” (saksi),
serta menjadi teladan dan “patron” (pola) bagi yang lain.
Pada saat yang sama umat Islam menjadikan Nabi Muhammad
sebagai contoh teladan dan saksi pembenaran bagi semua aktivitasnya.
Keberadaan
umat Islam dalam “posisi pertengahan” menyebabkan umat Islam tidak seperti umat
yang hanyut oleh materialisme dan kebendaan semata, serta tidak mengantarnya
membumbung tinggi ke alam rohani saja yang tidak berpijak di bumi.
Posisi
pertengahan menjadikan umat Islam harus mampu memadukan aspek jasmani, rohani,
material, dan spiritual dalam segala sikap, perilaku, kegiatannya.
Posisi
umat Islam sebagai “ummat wasathiyat” (umat moderat dalam posisi pertengahan).
Mengundang
umat Islam untuk berinteraksi, berdialog, dan terbuka dengan semua pihak dalam
berbagai agama, budaya, dan peradaban.
Umat
Islam tidak dapat menjadi saksi yang baik dan berlaku adil, apabila umat Islam
bersikap tertutup atau menutup diri dari lingkungan dan perkembangan zaman.
Daftar
Pustaka
1.
Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan
Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.
2.
Shihab, M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran.
Tafsir Maudhui atas Perbagai Persoalan Umat. Penerbit Mizan, 2009.
3.
Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan
Al-Quran.
4.
Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an
Ver 3.2
5.
Tafsirq.com online.
0 comments:
Post a Comment