NEGARA DEMOKRASI DIBUNUH OLEH
PEMIMPINNYA SENDIRI
Oleh:
Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.
How Democracies Die
Buku
yang dibaca Gubernur Jakarta Anies Baswedan tiba-tiba viral.
Buku
yang berjudul How Democracies Die (Bagaimana Demokrasi Mati) ditulis Steven
Levitsky dan Daniel Ziblatt terbitan Crown Pablishing, New York, 2018.
Buku
itu menarasikan demokrasi akan mati di tangan para pemimpin yang dipilih secara
demokratis.
Di
bab pendahuluan diceritakan bagaimana demokrasi bisa mati.
Dan
pembunuhnya bukan para tiran, diktator, apalagi khilafah dan sosialis.
Pembunuhnya
adalah penguasa yang terpilih dalam sistem demokrasi itu sendiri.
It
is less dramatic but equally destructive
(Ini
tidak terlalu dramatis, tetapi sama-sama merusak), kata penulisnya.
Mereka
membeberkan banyak contoh.
Mulai
dari pemimpin terpilih di Georgia, Hungaria, Nicaragua, Peru, Filipina,
Polandia, Russia, Sri Lanka, Turki, Ukraina, dan tentu saja AS sendiri.
Semua
pemimpin tadi membunuh demokrasi secara perlahan.
Steven
dan Daniel mengatakan tidak semua pemimpin terpilih memiliki track record
represif dan otoriter.
Memang
ada yang sejak awal tampak otoriter.
Tapi
banyak juga yang awalnya berwajah polos dan lugu.
Kemudian
menjadi represif dan Otoriter setelah memimpin.
Steven
dan Daniel memberikan semacam litmus test yang bisa dipakai agar tidak tertipu
para pemimpin Serigala berbulu domba. ini.
Mereka
menyebutnya: Four Key Indicators of Authoritarian Behavior
Ada 4
Indikator Kunci Perilaku Otoriter, yaitu:
1.
Menolak sendi-sendi demokrasi.
2.
Menolak adanya oposisi.
3.
Mendorong adanya aksi kekerasan.
4.
Membungkam kebebasan sipil.
Penjelasannya
1.
Penolakan (atau lemah komitmen) terhadap sendi-sendi demokrasi.
Di
antara Parameternya:
Apakah
mereka suka mengubah-ubah UU ?
Apakah
mereka melarang organisasi tertentu ?
Apakah
mereka membatasi hak-hak politik warga negara ?
Do
they banning certain organizations, or restricting basic civil or political
rights ?
2.
Penolakan terhadap legitimasi oposisi.
Di
antara Parameternya:
Apakah
mereka menyematkan lawan politik mereka dengan sebutan subversif ?
Mengancam
asas dan ideologi negara ?
Apakah
mereka mengkriminalisasi lawan politik dengan berbagai tuduhan yang mengada-ada
?
3.
Mendorong adanya aksi kekerasan.
Di
antara parameternya:
Apakah
mereka memiliki hubungan dengan semacam organisasi paramiliter yang cenderung
menggunakan kekerasan dan main hakim sendiri ?
4.
Kesiagaan untuk membungkam kebebasan sipil.
Di
antara parameternya:
Apakah
mereka mendukung (atau membuat) UU membatasi kebebasan sipil, terutama hak-hak
politik dan menyampaikan pendapat ?
Apakah
mereka melarang tema-tema tertentu ?
Jika
jawaban dari semua test litmus di atas adalah ya, maka rezim itu termasuk otoriter
dan represif.
Lalu
apa dampaknya ?
Menurut
Steven dan Daniel, tindakan represif mereka akan :
1.
Membunuh demokrasi.
2.
Mengakibatkan polarisasi dalam masyarakat.
3.
Kemungkinan terburuknya bisa terjadi perang sipil.
Steven
dan Daniel lalu mengungkapkan kegelisahannya.
Meskipun
dulu negara-negara demokrasi khususnya AS terbukti bisa bertahan menghadapi
Perang Sipil, The Great Depression, Perang Dingin, dan Watergate.
Mereka
ragu kali ini AS masih bisa bertahan menghadapi ancaman polarisasi yang
sedemikian ekstrim dalam masyarakat.
How Democracies Die
Penasaran
dengan isi buku yang dibaca Pak Anies hari ini.
Saya
membaca beberapa tulisan resensinya.
Buku
itu isinya tentang bagaimana demokrasi mati secara perlahan.
Salah
satunya karena terpilihnya pemimpin otoriter serta penindasan total terhadap
oposisi.
Buku
karya Steve Levitsky dan Daniel Ziblatt menyoroti 3 pemimpin yang dikenal
otoriter:
1.
Adolf
Hitler.
2.
Hugo
Chavez.
3.
Benito
Mussolini.
Gaya
kepemimpinan mereka dinilai sama yaitu menolak aturan main demokrasi baik
dalam kata maupun perbuatan.
Tipe
pemimpin ini juga menyangkal legitimasi lawan dan menggunakan kekerasan dalam
memimpin serta membatasi kebebasan.
Tipe
pemimpin semacam ini mudah saja membredel pers, menahan para kritikus, hingga
mendeligitimasi panitia pemilu.
(Sumber
internet)
0 comments:
Post a Comment