KEBEBASAN TAFSIR AL-QURAN
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.
Beberapa orang bertanya, “Mohon dijelaskan tentang kebebasan dan pembatasan tafsir Al-Quran? Profesor Quraish Shihab menjelaskannya.
Al-Quran adalah mukjizat sebagai bukti kebenaran Nabi Muhammad dan petunjuk untuk semua manusia kapan pun dan di mana pun yang memiliki berbagai macam keistimewaan.
Salah satu keistimewaan Al-Quran adalah susunan bahasanya yang unik dan mempesona serta mengandung makna yang dapat dipahami oleh siapa pun yang memahami bahasanya, meskipun berbeda tingkat pendidikannya.
Redaksi dalam ayat Al-Quran, seperti redaksi yang diucapkan atau ditulis, hanya dapat dijangkau maksudnya secara pasti oleh pemilik redaksi, sehingga muncul keanekaragaman penafsiran.
Para sahabat Nabi yang menyaksikan turunnya ayat Al-Quran dan mengetahui konteksnya, serta memahami secara alamiah struktur bahasa dan arti kosakatanya, kadang kala berbeda pendapat dalam memahami maksud ayat Al-Quran.
Para ulama berpendapat bahwa tafsir adalah penjelasan tentang arti atau maksud firman Allah sesuai dengan kemampuan musafir yang kepastian arti suatu kosa kata atau ayat tidak mungkin dicapai kalau pandangan hanya tertuju kepada kosa kata atau ayat secara berdiri sendiri.
Mufasir adalah orang yang menerangkan makna atau maksud ayat Al-Quran atau orang yang ahli dalam penafsiran, Nabi Muhammad bertugas menjelaskan maksud firman Allah dalam Al-Quran An-Nahal (surah ke-16) ayat 44.
Al-Quran adalah mukjizat sebagai bukti kebenaran Nabi Muhammad dan petunjuk untuk semua manusia kapan pun dan di mana pun yang memiliki berbagai macam keistimewaan.
Salah satu keistimewaan Al-Quran adalah susunan bahasanya yang unik dan mempesona serta mengandung makna yang dapat dipahami oleh siapa pun yang memahami bahasanya, meskipun berbeda tingkat pendidikannya.
Redaksi dalam ayat Al-Quran, seperti redaksi yang diucapkan atau ditulis, hanya dapat dijangkau maksudnya secara pasti oleh pemilik redaksi, sehingga muncul keanekaragaman penafsiran.
Para sahabat Nabi yang menyaksikan turunnya ayat Al-Quran dan mengetahui konteksnya, serta memahami secara alamiah struktur bahasa dan arti kosakatanya, kadang kala berbeda pendapat dalam memahami maksud ayat Al-Quran.
Para ulama berpendapat bahwa tafsir adalah penjelasan tentang arti atau maksud firman Allah sesuai dengan kemampuan musafir yang kepastian arti suatu kosa kata atau ayat tidak mungkin dicapai kalau pandangan hanya tertuju kepada kosa kata atau ayat secara berdiri sendiri.
Mufasir adalah orang yang menerangkan makna atau maksud ayat Al-Quran atau orang yang ahli dalam penafsiran, Nabi Muhammad bertugas menjelaskan maksud firman Allah dalam Al-Quran An-Nahal (surah ke-16) ayat 44.
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ ۗ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Kami tidak mengutus sebelummu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka. Bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui, keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.
Semua penjelasan Nabi pasti benar , hal ini dibuktikan dengan adanya teguran dari Allah dalam Al-Quran kepada Nabi Muhammad tentang sikap dan ucapan Nabi yang kurang tepat.
Al-Quran surah Ali Imran (surah ke-3) ayat 128.
Kami tidak mengutus sebelummu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka. Bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui, keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. Kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.
Semua penjelasan Nabi pasti benar , hal ini dibuktikan dengan adanya teguran dari Allah dalam Al-Quran kepada Nabi Muhammad tentang sikap dan ucapan Nabi yang kurang tepat.
Al-Quran surah Ali Imran (surah ke-3) ayat 128.
لَيْسَ لَكَ مِنَ الْأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ
Tidak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka atau Allah menerima tobat mereka, atau mengazab mereka. Sesungguhnya mereka orang-orang yang zalim.
Al-Quran surah Abasa (surah ke-80) ayat 1-4.
عَبَسَ وَتَوَلَّىٰ أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَىٰ وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّىٰ أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرَىٰ
Al-Quran surah Abasa (surah ke-80) ayat 1-4.
عَبَسَ وَتَوَلَّىٰ أَنْ جَاءَهُ الْأَعْمَىٰ وَمَا يُدْرِيكَ لَعَلَّهُ يَزَّكَّىٰ أَوْ يَذَّكَّرُ فَتَنْفَعَهُ الذِّكْرَىٰ
Muhammad bermuka masam dan berpaling, karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa) atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?
Nabi Muhammad adalah orang yang maksum (dijaga oleh Allah sehingga Nabi tidak akan berbuat kesalahan atau dosa), sehingga beliau terjaga dari kekeliruan, bebas dari dosa, dan kesalahan.
Penjelasan dan keterangan Nabi Muhammad dalam memahami dan menafsirkan firman Allah sebagai pedoman mutlak, sehingga tidak boleh terjadi penafsiran ayat Al-Quran yang bertentangan dengan penjelasan Nabi.
Para ulama berpendapat penafsiran Nabi Muhammad beraneka macam dalam segi cara, motif, dan hubungan antara penafsiran beliau dengan ayat Al-Quran yang ditafsirkan.
Misalnya, Nabi menafsirkan “salat wustha” dengan “salat Asar”, penafsiran ini disebut penafsiran “muthabiq” (maknanya “sama dan sepadan” dengan yang ditafsirkan).
Al-Quran surah Al-Baqarah (surah ke-2) ayat 238.
Nabi Muhammad adalah orang yang maksum (dijaga oleh Allah sehingga Nabi tidak akan berbuat kesalahan atau dosa), sehingga beliau terjaga dari kekeliruan, bebas dari dosa, dan kesalahan.
Penjelasan dan keterangan Nabi Muhammad dalam memahami dan menafsirkan firman Allah sebagai pedoman mutlak, sehingga tidak boleh terjadi penafsiran ayat Al-Quran yang bertentangan dengan penjelasan Nabi.
Para ulama berpendapat penafsiran Nabi Muhammad beraneka macam dalam segi cara, motif, dan hubungan antara penafsiran beliau dengan ayat Al-Quran yang ditafsirkan.
Misalnya, Nabi menafsirkan “salat wustha” dengan “salat Asar”, penafsiran ini disebut penafsiran “muthabiq” (maknanya “sama dan sepadan” dengan yang ditafsirkan).
Al-Quran surah Al-Baqarah (surah ke-2) ayat 238.
حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ
Jagalah segala salat (mu), dan (jagalah) salat wustha. Berdirilah karena Allah (dalam salatmu) dengan khusyuk.
Nabi Muhammad menafsirkan “perintah berdoa” dengan “beribadah”, penafsiran ini disebut penafsiran “talazum” (setiap doa pasti ibadah dan setiap ibadah mengandung doa).
Al-Quran surah al-Mukmin (surah ke-40) ayat 60.
Nabi Muhammad menafsirkan “perintah berdoa” dengan “beribadah”, penafsiran ini disebut penafsiran “talazum” (setiap doa pasti ibadah dan setiap ibadah mengandung doa).
Al-Quran surah al-Mukmin (surah ke-40) ayat 60.
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ ۚ إِنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
Tuhanmu berfirman,”Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Ku-kabulkan. Sesungguhnya orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahanam dalam keadaan hina dina.
Nabi Muhammad menafsirkan “akhirat” dengan “kubur”, penafsiran semacam ini dinamakan penafsiran “tadhamun” (kubur adalah sebagian dari akhirat).
Penjelasan Nabi Muhammad tentang arti dan maksud ayat Al-Quran tidak banyak yang kita ketahui, karena riwayat yang diterima generasi setelah Nabi tidak banyak, sebagian riwayat tidak dapat dipertanggungjawabkan keautentikannya, dan Nabi sendiri tidak menafsirkan semua ayat Al-Quran, sehingga para ulama terpaksa berusaha memahami ayat Al-Quran berdasarkan kaidah disiplin ilmu tafsir, kemampuan, dan persyaratan tertentu.
Allah memerintahkan untuk merenungkan ayat-ayat Al-Quran dan mengecam orang yang sekadar mengikuti pendapat atau tradisi lama tanpa suatu dasar.
Al-Quran diturunkan untuk semua manusia kapan pun dan di mana pun, sehingga semua manusia pada zaman kapan pun dituntut untuk memahami Al-Quran seperti tuntutan yang pernah ditujukan kepada masyarakat pada zaman Nabi.
Pemikiran seseorang dipengaruhi tingkat kecerdasannya, disiplin ilmu yang ditekuni, pengalaman, penemuan ilmiah, kondisi sosial, politik, dan faktor lainnya, sehingga hasil pemikiran setiap orang berbeda.
Setiap orang dianjurkan merenungkan, memahami, dan menafsirkan ayat Al-Quran sesuai dengan kemampuannya, karena itu adalah perintah Al-Quran sendiri, meskipun hasilnya berbeda dengan pendapat lain tetap harus ditampung.
Semuanya adalah konsekuensi logis dari perintah Al-Quran, selama pemahaman dan penafsirannya dilakukan dengan sadar dan penuh tanggung jawab.
Kebebasan yang bertanggung jawab adalah batasan dalam menafsirkan Al-Quran, layaknya batasan yang disyaratkan dalam setiap disiplin ilmu, sehingga mengabaikan pembatasan tersebut dapat menimbulkan polusi dalam pemikiran dan malapetaka dalam kehidupan.
Para sahabat Nabi Muhamad kadang kala berbeda pendapat dalam memahami maksud ayat-ayat Al-Quran, sehingga muncul pembatasan dalam penafsiran Al-Quran.
Ibnu Abbas (seorang sahabat Nabi) yang paling mengetahui maksud firman Allah berpendapat bahwa tafsir Al-Quran terbagi dalam empat bagian.
Ke-1, Tafsir yang dapat dipahami secara umum oleh orang Arab berdasarkan pengetahuan bahasa mereka. Ke-2, Tafsir yang dapat diketahui oleh semua orang. Ke-3, Tafsir yang hanya dipahami oleh para ulama. Ke-4, Tafsir yang hanya diketahui oleh Allah dan Rasul-Nya.
Terdapat dua pembatasan yang menyangkut materi ayat (bagian ke-4) dan menyangkut syarat penafsir (bagian ke-3) yang dalam segi materi terdapat ayat Al-Quran yang hanya diketahui Allah dan Rasul-Nya, jika Rasul menerima penjelasan dari Allah.
Hal ini mengandung kemungkinan terdapat ayat Al-Quran yang tidak dipahami oleh seseorang, misalnya tafsir Ya Sin, Alif Lam Mim, dan sejenisnya.
Allah membagi ayat-ayat Al-Quran ke dalam “muhkam” (jelas) dan “mutasyabih” (samar).
Al-Quran surah Ali Imran (surah ke-3) ayat 7.
Nabi Muhammad menafsirkan “akhirat” dengan “kubur”, penafsiran semacam ini dinamakan penafsiran “tadhamun” (kubur adalah sebagian dari akhirat).
Penjelasan Nabi Muhammad tentang arti dan maksud ayat Al-Quran tidak banyak yang kita ketahui, karena riwayat yang diterima generasi setelah Nabi tidak banyak, sebagian riwayat tidak dapat dipertanggungjawabkan keautentikannya, dan Nabi sendiri tidak menafsirkan semua ayat Al-Quran, sehingga para ulama terpaksa berusaha memahami ayat Al-Quran berdasarkan kaidah disiplin ilmu tafsir, kemampuan, dan persyaratan tertentu.
Allah memerintahkan untuk merenungkan ayat-ayat Al-Quran dan mengecam orang yang sekadar mengikuti pendapat atau tradisi lama tanpa suatu dasar.
Al-Quran diturunkan untuk semua manusia kapan pun dan di mana pun, sehingga semua manusia pada zaman kapan pun dituntut untuk memahami Al-Quran seperti tuntutan yang pernah ditujukan kepada masyarakat pada zaman Nabi.
Pemikiran seseorang dipengaruhi tingkat kecerdasannya, disiplin ilmu yang ditekuni, pengalaman, penemuan ilmiah, kondisi sosial, politik, dan faktor lainnya, sehingga hasil pemikiran setiap orang berbeda.
Setiap orang dianjurkan merenungkan, memahami, dan menafsirkan ayat Al-Quran sesuai dengan kemampuannya, karena itu adalah perintah Al-Quran sendiri, meskipun hasilnya berbeda dengan pendapat lain tetap harus ditampung.
Semuanya adalah konsekuensi logis dari perintah Al-Quran, selama pemahaman dan penafsirannya dilakukan dengan sadar dan penuh tanggung jawab.
Kebebasan yang bertanggung jawab adalah batasan dalam menafsirkan Al-Quran, layaknya batasan yang disyaratkan dalam setiap disiplin ilmu, sehingga mengabaikan pembatasan tersebut dapat menimbulkan polusi dalam pemikiran dan malapetaka dalam kehidupan.
Para sahabat Nabi Muhamad kadang kala berbeda pendapat dalam memahami maksud ayat-ayat Al-Quran, sehingga muncul pembatasan dalam penafsiran Al-Quran.
Ibnu Abbas (seorang sahabat Nabi) yang paling mengetahui maksud firman Allah berpendapat bahwa tafsir Al-Quran terbagi dalam empat bagian.
Ke-1, Tafsir yang dapat dipahami secara umum oleh orang Arab berdasarkan pengetahuan bahasa mereka. Ke-2, Tafsir yang dapat diketahui oleh semua orang. Ke-3, Tafsir yang hanya dipahami oleh para ulama. Ke-4, Tafsir yang hanya diketahui oleh Allah dan Rasul-Nya.
Terdapat dua pembatasan yang menyangkut materi ayat (bagian ke-4) dan menyangkut syarat penafsir (bagian ke-3) yang dalam segi materi terdapat ayat Al-Quran yang hanya diketahui Allah dan Rasul-Nya, jika Rasul menerima penjelasan dari Allah.
Hal ini mengandung kemungkinan terdapat ayat Al-Quran yang tidak dipahami oleh seseorang, misalnya tafsir Ya Sin, Alif Lam Mim, dan sejenisnya.
Allah membagi ayat-ayat Al-Quran ke dalam “muhkam” (jelas) dan “mutasyabih” (samar).
Al-Quran surah Ali Imran (surah ke-3) ayat 7.
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ آيَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ ۖ فَأَمَّا الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاءَ تَأْوِيلِهِ ۗ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيلَهُ إِلَّا اللَّهُ ۗ وَالرَّاسِخُونَ فِي الْعِلْمِ يَقُولُونَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
Allah yang menurunkan Al-Quran) kepadamu. Di antara (isi) nya ada ayat yang muhkamat itulah pokok isi Al-Quran dan yang lain mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya selain Allah. Orang yang mendalam ilmunya berkata, “Kami beriman kepada ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) selain orang-orang yang berakal.
Terdapat ayat Al-Quran yang diketahui secara umum sesuai bentuk redaksinya, tetapi tidak dipahami maksudnya, misalnya tentang metafisika, perincian ibadah an sich, dan semacamnya yang tidak termasuk dalam wilayah pemikiran dan jangkauan akal manusia.
Syarat penafsir Al-Quran adalah berikut ini
Ke-1, Penafsir harus menguasai bahasa Arab dalam berbagai bidangnya. Ke-2, Penafsir harus menguasai ilmu Al-Quran, sejarah turunnya, hadis Nabi, dan ushul fiqih. Ke-3, Penafsir harus menguasai prinsip pokok keagamaan. Ke-4, Penafsir wajib menguasai disiplin ilmu yang menjadi materi bahasan ayat.
Menafsirkan ayat Al-Quran berbeda dengan berdakwah dan berceramah yang berkaitan dengan tafsir ayat-ayat Al-Quran, sehingga seseorang yang tidak memenuhi syarat, boleh menyampaikan uraian tafsir Al-Quran, selama uraian yang ditampilkann berdasarkan pemahaman para ahli tafsir.
Misalnya, seorang mahasiswa yang membaca kitab Tafsir An-Nur karya Prof. Hasby As-Shiddiqie atau Tafsir Al-Azhar karya Prof Hamka, lalu menyampaikan kesimpulan yang dibacanya, hal itu bukan berfungsi menafsirkan ayat Al-Quran, tetapi berdakwah.
Faktor yang menyebabkan keliru dalam penafsiran ayat Al-Quran adalah berikut ini.
Ke-1, Subjektivitas mufasir. Ke-2, Penafsir keliru dalam menerapkan metode atau kaidah. Ke-3, Ilmu alat yang dimiliki oleh penafsir masih dangkal. Ke-4, Kedangkalan pengetahuan panafsir tentang materi uraian pembicaraan ayat.
Ke-5, Penafsir tidak memperhatikan konteks, asbabun nuzul (penyebab turunyan), hubungan antar ayat, dan kondisi sosial masyarakat. Ke-6, Penafsir tidak memperhatikan pembicara, lingkungan, dan jamaah yang mendengarkan.
Sekarang ini, ilmu pengetahuan, sains, dan teknologi modern makin meluas, maka dibutuhkan kerja sama para pakar dalam berbagai disiplin ilmu untuk bersama menafsirkan ayat-ayat Al-Quran.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.
2. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
3. Al-Mubarakfury, Syaikh Shafiyurrahman. Sirah Nabawiyah. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta. 2006.
4. Ghani, Muhammad Ilyas Abdul. Sejarah Masjid Nabawi. Madinah 2004.
5. Ghani, Muhammad Ilyas Abdul. Sejarah Mekah. Mekah 2004
6. Al-Kandahlawi, Maulana Muhammad Zakaria. Himpunan Fadhilah Amal. Penebit Ash-Shaff. Jogyakarta. 2000.
7. Hisyam, Ibnu. Sirah Nabawiyah. Sejarah Lengkap Kehidupan Rasulullah.
8. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.
9. Tafsirq.com online
Terdapat ayat Al-Quran yang diketahui secara umum sesuai bentuk redaksinya, tetapi tidak dipahami maksudnya, misalnya tentang metafisika, perincian ibadah an sich, dan semacamnya yang tidak termasuk dalam wilayah pemikiran dan jangkauan akal manusia.
Syarat penafsir Al-Quran adalah berikut ini
Ke-1, Penafsir harus menguasai bahasa Arab dalam berbagai bidangnya. Ke-2, Penafsir harus menguasai ilmu Al-Quran, sejarah turunnya, hadis Nabi, dan ushul fiqih. Ke-3, Penafsir harus menguasai prinsip pokok keagamaan. Ke-4, Penafsir wajib menguasai disiplin ilmu yang menjadi materi bahasan ayat.
Menafsirkan ayat Al-Quran berbeda dengan berdakwah dan berceramah yang berkaitan dengan tafsir ayat-ayat Al-Quran, sehingga seseorang yang tidak memenuhi syarat, boleh menyampaikan uraian tafsir Al-Quran, selama uraian yang ditampilkann berdasarkan pemahaman para ahli tafsir.
Misalnya, seorang mahasiswa yang membaca kitab Tafsir An-Nur karya Prof. Hasby As-Shiddiqie atau Tafsir Al-Azhar karya Prof Hamka, lalu menyampaikan kesimpulan yang dibacanya, hal itu bukan berfungsi menafsirkan ayat Al-Quran, tetapi berdakwah.
Faktor yang menyebabkan keliru dalam penafsiran ayat Al-Quran adalah berikut ini.
Ke-1, Subjektivitas mufasir. Ke-2, Penafsir keliru dalam menerapkan metode atau kaidah. Ke-3, Ilmu alat yang dimiliki oleh penafsir masih dangkal. Ke-4, Kedangkalan pengetahuan panafsir tentang materi uraian pembicaraan ayat.
Ke-5, Penafsir tidak memperhatikan konteks, asbabun nuzul (penyebab turunyan), hubungan antar ayat, dan kondisi sosial masyarakat. Ke-6, Penafsir tidak memperhatikan pembicara, lingkungan, dan jamaah yang mendengarkan.
Sekarang ini, ilmu pengetahuan, sains, dan teknologi modern makin meluas, maka dibutuhkan kerja sama para pakar dalam berbagai disiplin ilmu untuk bersama menafsirkan ayat-ayat Al-Quran.
Daftar Pustaka
1. Shihab, M.Quraish. Lentera Hati. Kisah dan Hikmah Kehidupan. Penerbit Mizan, 1994.
2. Shihab, M.Quraish. E-book Membumikan Al-Quran.
3. Al-Mubarakfury, Syaikh Shafiyurrahman. Sirah Nabawiyah. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta. 2006.
4. Ghani, Muhammad Ilyas Abdul. Sejarah Masjid Nabawi. Madinah 2004.
5. Ghani, Muhammad Ilyas Abdul. Sejarah Mekah. Mekah 2004
6. Al-Kandahlawi, Maulana Muhammad Zakaria. Himpunan Fadhilah Amal. Penebit Ash-Shaff. Jogyakarta. 2000.
7. Hisyam, Ibnu. Sirah Nabawiyah. Sejarah Lengkap Kehidupan Rasulullah.
8. Al-Quran Digital, Versi 3.2. Digital Qur’an Ver 3.
9. Tafsirq.com online
0 comments:
Post a Comment