Organisasi Profesi Guru

Presiden Jokowi memberi hormat kepada Guru-Guru se Indonesia.

Tema Gambar Slide 2

Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.

Tema Gambar Slide 3

Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.

Showing posts with label AWAS WAJAH DEMOKRASI TAPI ISINYA OTORITER. Show all posts
Showing posts with label AWAS WAJAH DEMOKRASI TAPI ISINYA OTORITER. Show all posts

Sunday, April 10, 2022

13121. AWAS WAJAH DEMOKRASI TAPI ISINYA OTORITER

 






 

AWAS WAJAH DEMOKRASI TAPI ISINYA OTORITER

Oleh: Drs. H.M. Yusron Hadi, MM

 

 

 

Bahaya Otoritarianisme Terselubung.

 

Bahaya otoritarianisme harus kita bincangkan.

Dan dilawan.

 

Sejak sekarang.

 

Upaya melanggengkan kekuasaan.

 

Lewat cara yang seakan demokratis.

Harus dicegah.

 

Pemuja penguasa.

Dan pengkritik penguasa.

 

Hal itu keniscayaan.

Dalam demokrasi.

 

Yang tak lazim.

Dan berbahaya dalam bernegara.

 

Yaitu ketika pengkritik.

Dibuat terdiam.

 

Dengan berbagai cara.

 

Mulai dari menjadikannya.

Sebagai bagian dari penguasa.

 

Sehingga tidak lagi kritis.

 

Bahkan berubah menjadi pendukung.

 

Sampai memberi tekanan.

Bagi pengkritik.

 

Yang tak ingin bergabung.

Menjadi bagian dari penguasa.

 

Dukungan mengalir.

Tidak hanya karena rekrutmen aktivis.

 

Dalam pemerintahan.

 

Tapi juga penundukan kaum intelektual.

Lewat otoritas kampus.

Dan proyek.

 

Dengan dukungan financial.

Guna memberi stempel.

 

Pada kebijakan.

Yang sering  tak bijak.

 

Sementara itu.

Tekanan diberikan dengan berbagai cara.

 

Misalnya.

1.      Saat demonstrasi.

Dilakukan tekanan fisik.

 

2.      Penggunaan teknologi.

Untuk membungkam suara kritis.

 

Seperti peretasan.

Dan pelanggaran data pribadi.

 

3.      Sistem hukum disalahgunakan untuk menekan pengkritik.

 

4.      Menggunakan UU Informasi dan Transaksi Elektronik.

Yang sangat bermasalah.

 

Mungkin kita jarang bicara  fenomena ini.

Secara terbuka.

Dan keseluruhan.

 

Karena pihak yang mencoba mengungkit soal ini.

 

Sering mendapat label negatif anti-pemerintah.

 

Yang makin dibuat meluas.

Sampai ke soal fanatic agama.

Tak sulit menciptakan label ini.

 

Apalagi dengan bantuan media social.

Yang hiruk pikuk.

 

Akibatnya.

Upaya kritik.

 

Yang penting bagi demokrasi dikerdilkan.

 

 Dicap pembuat kegaduhan.

Dan penolak pembangunan.

Gambaran di atas.

Sudah cukup memenuhi karakteristik.

 

Tentang otoritarianisme.

 

Yaitu suatu pemerintahan.

Yang dilaksanakan dengan tangan besi.

 

Oleh satu atau segelintir orang.

Yang berkuasa.

 

Tujuannya melanggengkan kekuasaannya.

Dan mengambil keuntungan.

Sebanyak mungkin.

 

Juan Linz (1964) menyebutkan.

 

Minimal ada 4 ciri otoriter, yaitu:

 

1.      Pluralisme politik dibatasi.

 

Dengan membatasi gerak:

1)             Legislatif.

2)             Partai politik.

3)             Kelompok kepentingan.

 

2.      Legitimasi politik penguasa.

Didapat dari dampak emosional belaka.

 

Dengan memosisikan penguasa.

Sebagai pemberi solusi.

 

Bagi masalah sosial  kasatmata.

 

3.      Mobilisasi politik minimal.

Dan tekanan terhadap aktivitas anti-penguasa.

 

4.      Penguatan kekuasaan eksekutif.

 

Tapi gambaran ini terasa kabur.

 

Tak terlihat jelas.

Oleh semua lapisan masyarakat.

 

Karena demokrasi dirobohkan dengan cara halus.

 

Dengan memakai institusi demokrasi.

 

Tak ada serangan dengan senjata.

Atau perampokan dramatis.

 

Yang kasatmata.

 

Politisi memakai kekuasaannya.

Untuk membuat kebijakan.

 

Yang hanya menguntungkan diri sendiri.

 

Sementara itu.

 

Rakyat disuguhi berbagai tontonan.

 

Seperti MotoGP.

Dan berbagai proyek mercu suar.

 

Saat harga kebutuhan pokok naik.

 

Anggaran negara segera diturunkan.

 

Untuk memberi subsidi.

Atau bantuan tunai.

 

Guna menjaga legitimasi pemerintahan.

 

Seorang penyair Romawi.

Juvenal.

Pada akhir abad ke-1.

 

Dan awal abad ke-2 CE (common era).

 

Menyebut fenomena ini.

Dengan istilah ”roti dan sirkus”.

 

Atau panem et circenses.

Dalam bahasa Latin.

 

Istilah ini menggambarkan.

 

Rakyat Romawi yang miskin.

Dan menderita.

 

Tapi tetap mendukung penguasa.

 

Karena penguasa menyediakan tontonan rutin.

 

Di koloseum.

Dan membagi roti gratis.

 

Ungkapan itu mengangkat fakta.

 

Tentang dukungan public.

Dan legitimasi yang didapat.

 

Bukan dari kebijakan.

 

Tapi menawarkan atraksi.

Dan rasa kenyang.

 

Juvenal mengilustrasikan.

Bahwa kesenangan pribadi.

 

Bisa mengalahkan kewajiban moral.

Yang lebih luas.

Tentang sikap kritis terhadap penguasa.

 

Yang sesungguhnya gagal.

 

Yang mengerikan dari situasi.

Di negara Romawi saat itu.

 

Yaitu pertunjukan makin lama makin berdarah.

 

Sementara rakyat malah bersorak sorai.

 

Makin kehilangan nalar.

Dan hilang kemanusiaannya.

 

Kita tak ingin.

Sampai seperti itu.

 

Bahaya otoriter.

Harus kita bincangkan.

 

Dan dilawan.

Sejak sekarang.

 

Upaya melanggengkan kekuasaan.

 

Lewat cara yang seakan demokratis.

 

Tapi otoriter.

Harus dicegah.

 

Bahaya Otoritarianisme Terselubung.

 

 

Bahaya otoritarianisme harus kita bincangkan dan lawan sejak sekarang.

 

Upaya untuk melanggengkan kekuasaan.

 

Melalui cara yang seakan demokratis harus dicegah.

 

 

(Sumber BIVITRI SUSANTI)