Organisasi Profesi Guru

Presiden Jokowi memberi hormat kepada Guru-Guru se Indonesia.

Tema Gambar Slide 2

Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.

Tema Gambar Slide 3

Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.

Showing posts with label ISLAM AGAMA YANG MENCERAHKAN. Show all posts
Showing posts with label ISLAM AGAMA YANG MENCERAHKAN. Show all posts

Monday, June 7, 2021

9809. ISLAM AGAMA YANG MENCERAHKAN

 


ISLAM AGAMA YANG MENCERAHKAN

Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

 

 

 

 

 

Islam agama yang mencerahkan kehidupan.

 

 

Islam sebagai “din al-tanwir”.

 

Artinya dengan Islam, tiap muslim menjadi cerah hati, pikiran, sikap, dan tindakannya.

 

Tiap muslim wajib berbuat baik, benar, cinta kasih, dan damai.

 

 

Yaitu ucapannya sejalan tindakannya.

 

 

Menebar kesalehan bagi diri, keluarga, masyarakat, bangsa, dan kemanusiaan universal

 

Islam mengajar bekerja sama dalam kebaikan dan ketakwaan.

 

 

Tapi, jangan bekerja sama dalam dosa dan keburukan.

 

 

Muslim yang tercerahkan ajaran Islam tidak mudah marah, buruk ujaran, iri, dengki.

 

 

Hasud, dendam, congkak, menebar permusuhan, dan segala perangai buruk lainnya.

 

Islam tidak hanya dijadikan pengetahuan, ujaran, dan kebanggaan simbol.

 

Tapi terlihat dalam perbuatan nyata.

 

 

Yang serba baik dan menjauhi yang serba buruk.

 

Muslim yang tercerahkan suka beramal saleh, amar makruf, dan nahi  munkar.

 

Dalam melakukan nahi munkar tidak memakai cara mungkar.

 

Tapi dengan cara makruf.

 

 

Islam yang mencerahkan dalam realitas kehidupan pemeluknya perlu konsisten.

 

 

Termasuk dalam berpolitik.

 

Dalam praktik berpolitik.

 

 

Islam sering tidak menjadi rujukan nilai moral.

 

 

Karena mengutamakan pragmatis dan oportunis politik.

 

 

Dalam ucapan, retorika, dan pidato sebagian tokoh politisi muslim.

 

Mereka sangat fasih atas nama Islam dan umat Islam.

 

 

Tetapi dalam sikap dan tindakannya.

 

 

Ternyata sangat jauh panggang dari api.

 

 

Islam dan umat sering hanya menjadi atas nama saja.

 

Bukan terbukti dalam perilaku nyata.

 

 

Umar bin Khattab sangat dikenal keras, tegas, dan perkasa.

 

 

Umar bin Khattab berkata,

 

“Janganlah kamu berprasangka terhadap perkataan saudaramu mukmin, kecuali dengan persangkaan yang baik.”

 

 

Umar bin Khattab gagah dan digdaya dalam karakter tokoh hebat.

 

 

Terbukti sosok moralis menjunjung tinggi kebajikan.

 

 

Dalam berpolitik Khalifah Umar bin Khattab  menjujung tinggi etika.

 

Anaknya memang hebat.

 

Yakni Abdullah bin Umar masuk dalam 6 anggota formatur pemilihan khalifah sesudahnya.

 

Umar bin Khattab mensyaratkan.

 

Abdullah bin Umar bin Khattab boleh punya hak pilih.

 

Tetapi dilarang dipilih.

 

Sehingga Abdullah bin Umar bin Khattab tidak punya peluang  menjadi khalifah.

 

 

Umar bin Khttab jauh dari politik dinasti.

 

Sebagai bukti sikap etik dan negarawan autentik.

 

Islam bukan hanya berhenti di lisan dan pengetahuan saja.

 

Tetapi benar-benar dipahami, dihayati, dan dipraktikkan dalam berpolitik.

 

Yang mencerdaskan dan mencerahkan.

 

 

Agama dan politik sesungguhnya bisa harmoni.

 

 

Dan bisa pula kontradiksi.

 

Seperti  hubungan antara “al-din wa al-dunya”.

 

 

Atau agama dan dunia.

 

 Agama dan dunia bisa harmoni, tapi bisa kontradiksi.

 

 

 

Agama berkaitan dengan nilai luhur dan suci.

 

Seperti nilai iman, ibadah, amanah, adil, amal saleh, ihsan.

 

 

Dan nilai utama lainnya.

 

Dari transenden (ilahi)  hingga imanen (insani-duniawi).

 

 

Politik juga punya nilai berharga.

 

Seperti keadilan,  kebajikan publik, menjujung tinggi hak asasi manusia.

 

 

Menjunjung tinggi hak rakyat, dan semacamnya.

 

 

Pada nilai luhur seperti itu.

 

 

Terjadi harmoni agama dan politik.

 

Tapi, sering nilai agama dan politik saling berbeda, menjauh, dan bertabrakan.

 

 

Agama mengajarkan jujur, amanah, menepati janji, adil dan ihsan.

 

Tapi politik dalam praktiknya tidak jarang menunjukkan dusta, khianat, dan ingkar janji.

 

 

Mementingkan kelompok sendiri sambil menegasikan pihak lain.

 

Dan hal yang tak terpuji lainnya.

 

Seperti politik uang, sogok, dan sejenisnya.

 

 

Agamanya mengajarkan mencari harta dan kedudukan secara halal dan baik.

 

 

Tapi, dalam politik menghalalkan segala cara.

 

 

Termasuk korupsi, gratifikasi, upeti, dan semacamnya.

 

 

Hal negatif dalam praktik politik seperti itu.

 

 

Meskipun sering dibantah oleh pihak yang berkiprah dalam politik.

 

 

Tetapi kenyataan dunia politik sering menunjukkan politik  pragmatis dan oportunistik.

 

Pragmatis dalam orientasi manfaatnya.

 

Dan oportunistik dalam orientasi kepentingannya.

 

 

Dalam kehidupan politik.

 

Selain harmoni antara keduanya.

 

Juga sering terjadi ketegangan nilai agama dan politik.

 

Misalnya, terjadinya Perang Jamal (Perang Unta) di Basra Irak.

 

Antara pasukan Siti Aisyah (istri Rasulullah) melawan pasukan Zubair bin Awwam dan sahabat Nabi lainnya.

 

 

Yang memihak Ali bin Abi Thalib atas wafatnya Khalifah Usman bin Affan.

 

Menunjukkan peliknya hubungan nilai agama dan politik.

 

 

Demikian pula dalam berbagai tragedi politik Islam lainnya.

 

Termasuk terkait wafatnya Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Hussein, dan lainnya.

 

 

Politik, ekonomi, dan aspek muamalah lainnya pada dasarnya baik.

 

 

Menurut Ibnu Qayyum.

 

 

Politik  ialah “aqrab ila al-shalah wa ab’ad ‘an al-fasad”.

 

 

Yakni mendekatkan kepada segala yang baik.

 

Dan menjauhkan dari segala yang merusak.

 

 

Tetapi dalam kenyataannya.

 

 

Ada praktik “fasad” dalam politik dan kehidupan dunia lainnya.

 

Seperti menipu, berbohong, dan memakai segala cara yang tak halal.

 

 

Dalam ketegangan nilai seperti itu.

 

Maka tergantung konsisten rujukan nilai tiap tindakan politik.

 

Sekaligus pelakunya dalam  berpolitik.

 

 

Faktor sistem dan kontrol publik juga menentukan aktualisasi nilai politik.

 

 

Politik sebagai bagian muamalah duniawi pada dasarnya boleh.

 

Selain hal yang dilarang.

 

Artinya, di satu pihak diberi keleluasaan.

 

Tetapi dilarang serba bebas tanpa dasar nilai ajaran Islam.

 

Nilai yang diperintahkan dan dianjurkan dalam Islam harus dijalankan dalam politik.

 

Dan sebaliknya, hal yang dilarang harus dihindarkan.

 

Tentu ada nilai politik ranah ijtihad.

 

Karena menyangkut urusan muamalah duniawi.

 

 

Jika ingin ajaran Islam mewujud dalam tindakan nyata.

 

 

Serta mencerahkan diri dan lingkungannya.

 

 

Maka penting adanya proses spiritualisasi ihsan dalam beragama.

 

Islam tidak digelorakan dalam semarak ritual ibadah serbaverbal.

 

 

Dan berhenti pada ranah syariat.

 

Tetapi mesti menghunjam dalam kesadaran imani.

 

 

Yang membuahkan kebajikan perilaku yang melampaui.

 

 Keislaman bukan berhenti dalam atribut pakaian serba putih.

 

 

Yang tampak disakralkan dari luar.

 

Ritual ibadah seremoni, fasih berdalil kitab suci, dan sederat formalitas syariat luar.

 

Islam justru harus dijadikan model perilaku aktual yang serba bajik.

 

 

Seperti rujukan akhlak Nabi dan para sahabat  mulia.

 

 

Yang membuktikan kata sejalan dengan tindakannya.

 

 

Itu akhlak uswah hasanah.

 

 

Rasulullah ditanya amalan paling banyak mengantarkan manusia masuk surga.

 

Rasulullah bersabda,

 

 

“Yaitu bertakwa kepada Allah dan berakhlak mulia.”

 

 

Rasulullah bersabda,’

 

“Orang paling dibenci Allah ialah yang saling bermusuhan dengan keji dan kejam.”

 

 

Betapa penting dan menentukan ajaran tentang akhlak mulia atau al-akhlaq al-karimah dalam Islam, yang berwujud budi luhur dalam ujaran, sikap, dan perbuatan.

 

 

Rasulullah bersabda, 

 

“Jika kamu tidak punya malu, maka berbuatlah sekehendakmu.”

 

 

Rasulullah bersabda,

 

 

“Sejatinya malu dan iman  berada dalam satu wadah.

 

Jika yang satu dicabut, maka yang lain ikut tercabut”. 

 

Al-Quran surah Al-A’raf (surah ke-7) ayat 179.

 

 

وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ ۖ لَهُمْ قُلُوبٌ لَا يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لَا يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا ۚ أُولَٰئِكَ كَالْأَنْعَامِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الْغَافِلُونَ

 

Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahanam) kebanyakan jin dan manusia, mereka punya hati, tetapi tidak digunakan untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka punya mata (tetapi) tidak digunakan untuk melihat (tanda kekuasaan Allah), dan mereka punya telinga (tetapi) tidak digunakan untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka orang yang lalai.

 

Jika orang beriman hilang rasa malunya dan berbuat sekehendaknya.

 

 

Maka dia buta tuli terhadap kebenaran dan kepatutan. 

 

 

Sebaliknya yang mekar dalam dirinya ialah dusta, pura-pura, dan omong besar.

 

 

Tapi tanpa tindakan nyata.

 

 

Dia merasa paling kuasa, dan sewenang-wenang.

 

 

(Sumber suara.muhammadiyah)