MEMORI
PAK SUBRON SETIADI
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M.
Aneh bin ajaib. Waktu berjalan begitu
cepat.
Tidak terasa, lebih 38 tahun saya menjadi seorang guru.
Sebagai seorang pendidik sekaligus “ambtenar”.
Rasanya, baru kemarin lulus STM (Sekolah
Teknik Menengah) Negeri 3 Surabaya di Sidoarjo Jurusan Teknik Mesin.
Seangkatan dengan Joko Malis. Pemain sepak
bola terkenal di Surabaya. Ternyata,
tidak lama lagi saya akan lepas tugas.
Sesuai peraturan, maka “Umar Bakri” harus pensiun dari guru PNS
(Pegawai Negeri Sipil) pada umur 60 tahun.
BUKAN MANTAN GURU
Tentu saja, selama puluhan tahun menjadi
“betara guru”, banyak hal sudah terjadi. Sekarang ini, semua murid saya berpencar.
Menjadi apa saja, dan di mana saja.
Oleh karena itu, tidak heran ketika saya
berada di suatu tempat.
Sering berpapasan dengan “mantan” murid
saya.
“Pak Guru, bagaimana kabarnya?” kata
seseorang.
Atau, “Pak Yusron, kok kelihatan masih
muda. Padahal saya sebagai murid Bapak. Sudah tua dan rambut sudah beruban,” timpal
yang lain.
“Pak Yusron, terima kasih sudah memberi
inspirasi saya belajar elektronika waktu SMP. Alhamdulillah, saya sekarang
bekerja di suatu perusahaan yang besar,” tulis seseorang dalam akun facebook
saya.
Bahkan ada yang menuliskan lewat twitter,
“Pak Yusron, adalah guru matematika saya yang hebat.” Atau sapaan lainnya.
Ketika berjumpa tatap muka langsung atau
lewat media sosial marak terjadi.
Biasanya saya menjawab, “Terima kasih,
semoga kita tetap sehat lahir dan batin. Bermanfaat bagi keluarga dan
masyarakat sekitar.”
Saya menganggap beberapa ucapan dan
tulisan mereka hiperbol atau dibesar-besarkan.
Tetapi, itulah komunikasi yang kerap
terjadi antara murid dan “mantan” gurunya.
Ya benar, meskipun sekarang sudah
kelihatan hampir sama tuanya.
Tetapi guru adalah tetap guru selamanya,
bukan mantan guru!
Juga, bukan bekas guru! Guru saya pribadi
waktu SD, SMP, maupun SMA/STM adalah guru saya selamanya.
Guru saya sepanjang hayat.
Itu keyakinan saya pribadi, maka saya
selalu menghormati dan mendoakan kebaikan buat semua guru saya.
Selamanya.
Semua interaksi antara saya dengan
“mantan” murid, membuat saya merasa sebagai guru selebriti.
Mungkin saya berlebihan.
Tetapi, mohon dimaklumi, itulah yang saya
rasakan.
Sering terjadi pertemuan saya dengan
“mantan” murid di suatu tempat.
Atau ketika reuni alumni, memaksa untuk
mengingatkan suasana nostalgia yang menyenangkan dan menggemaskan.
Bagaimana tidak menggemaskan?
Kami bercerita “gedabrus” dan “ngalor
ngidul” tentang zaman tempo dulu yang masih imut, lucu, agak norak,
menyenangkan sekaligus menyebalkan.
Tetapi, semuanya terlalu indah untuk
dikenangkan, dan sayang untuk dilupakan. Adakah hal lain yang lebih indah dan
menggemaskan?
Selain mengenang peristiwa masa lalu yang
indah ketika masih remaja?
Selain kisah kasih waktu
lampau yang tidak akan terulang?
KECELAKAAN MEMBAWA NIKMAT
Bagaimana riwayat saya, yang lulusan STM
Teknik Mesin bisa menjadi seorang guru?
Kisahnya, dimulai ketika saya lulus STM
tahun 1976.
Saya mendaftar masuk ke ITS (Institut
Teknologi Sepuluh November Surabaya). Dengan sepeda motor.
Beberapa kali saya membonceng ayah dari
desa Panjunan, Sukodono, Sidoarjo mengunjungi tempat pendaftaran masuk ITS
Surabaya.
Untuk mencatat dan melengkapi syarat
pendaftaran.
Setelah sekian hari mengikuti bimbingan
masuk ke ITS oleh para tentor.
Tiba saatnya mengikuti tes masuk ITS.
Hasilnya?
Ternyata dalam pengumuman penerimaan
mahasiswa baru, nama saya tidak muncul. Kecewa?
Tentu saja, saya kecewa.
Saya batal menjadi “tukang” insinyur.
Saya gagal masuk ITS karena nilainya tidak
mencukupi.
Ataukah sebab ada aturan lulusan STM harus
mengabdi selama dua tahun di perusahaan lebih dulu.
Entahlah.
Yang pasti, itulah awal saya mengalami
“kecelakaan yang membawa nikmat” menjadi calon seorang guru.
Setelah gagal masuk ITS, saya menjadi
mahasiswa PGSLP YD (Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama Yang
Disempurnakan) yang diselenggarakan oleh IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu
Pendidikan) Negeri Surabaya di kampus Ketintang, Surabaya.
PGSLP YD adalah sebuah program darurat
untuk memenuhi kebutuhan guru di Indonesia. Bahkan dalam perjanjian tertulis
yang saya tanda tangani.
Setelah lulus kelak, harus bersedia
menjadi guru di seluruh Indonesia atau negara lain yang ditunjuk pemerintah.
GURU PEMULA
Pada 1 Februari 1978, Alhamdulillah saya
lulus dari PGSLP YD Jurusan Keterampilan Elektronika. Sejak 1 Maret 1978 saya
resmi menjadi calon guru PNS di SMP Negeri 1 Sidoarjo.
Saya amat bersyukur ditempatkan di daerah
asal, sedangkan banyak teman saya ditempatkan di luar Jawa. Misalnya, di Pulau
Kalimantan dan Madura.
Barangkali, salah satu kriteria menentukan
lokasi menempatan adalah hasil nilai selama kuliah.
Nilai saya termasuk bagus. Maka saya
ditugaskan di sekolah terbaik di Sidoarjo. Alhamdulillah.
Sebagai calon guru PNS golongan ruang II/a
dengan pangkat Pengatur Muda.
Nomor Induk Pegawai 130684046.
Saya menerima gaji Rp16.960,00 per bulan.
Yakni sebesar 80 persen dari gaji pokok
Rp21.200,00.
Saya menerima gaji pertama saya dengan
gembira.
Belum memiliki sepeda motor.
Setiap hari sekolah, berangkat dan pulang
sekolah naik kendaran umum.
Sering juga dibonceng sepeda motor bersama
orang yang searah dengan saya.
Masa ltu, hanya satu jenis kendaran umum
yang melayani rute dari Sidoarjo ke Sukodono, dan sebaliknya.
Yaitu mobil lin G warna merah. Yang terbuka bagian belakangnya.
Sehingga, penumpang naik dan turun lewat
pintu belakang.
Bukan lewat samping.
Penumpang duduk saling berhadapan, beradu
dengkul.
Menghadap ke samping.
Bukan ke depan atau ke belakang.
“Bemo” tersebut berpangkalan di Pasar
Dayu, Sidoarjo dan Pasar Sukodono.
Ketika berangkat, saya biasanya menunggu
kendaraan di depan rumah, lalu turun di Baba Layar, Sidoarjo.
Kemudian berjalan kaki ke SMP Negeri 1 Sidoarjo.
Melewati alun-alun Sidoarjo.
“DON’T JUDGE A BOOK BY ITS
COVER”.
Jangan menilai sebuah buku hanya dengan
melihat penampilan luarnya saja.
Jangan suka menilai seseorang cuma dari
penampilan “casing”nya, jangan hanya dari “bungkus”nya.
Pepatah tersebut cocok dengan pengalaman
saya.
Sewaktu pulang dari sekolah.
Biasanya, saya menunggu antrean “bemo” di
Pasar Dayu, Sidoarjo.
Kendaraan akan berangkat, jika penumpang
sudah penuh.
Selama menunggu, saya menonton para “kru”
dan calon penumpang bermain catur.
Bergantian.
Cak Mat, salah seorang pemain catur
jalanan.
Penampilannya sungguh tidak mengesankan.
Rambutnya awut-awutan.
Mengenakan pakaian “kebesaran”.
Karena memang berukuran amat besar dan “gelombyor”.
Tetapi, jangan tertipu penampilan.
Dia pemain catur ulung.
Dia menggerakkan buah catur “secepat kilat”,
sebelum musuhnya menempatkan buah catur dengan sempurna.
Tingkahnya sungguh “menghenyek” lawannya.
Seolah tanpa berpikir.
Dia memindahkan buah catur, tanpa
konsentrasi melihat papan catur.
Seolah dia bisa “membaca” pikiran
lawannya.
Awalnya, saya memandangnya dengan “sebelah
mata”.
Saya menganggapnya sebagai pemain
“ecek-ecek”.
Pemain catur pemula.
Tetapi dugaan saya keliru!
Ternyata, saya sulit mengalahkan dia dalam
bermain catur.
Yang sering hanya bermain seri.
Hanya seimbang, tidak ada yang kalah.
Bahkan, saya pernah kalah.
Tahun 2010. Cak Mat mengunjungi saya.
Di SMP Negeri 2 Buduran, Sidoarjo.
Setelah 30-an tahun tidak berjumpa.
Dengan penampilan yang rapi.
Dia menyapa saya, megingatkan zaman tempo
dulu.
Kami bernostalgia.
Dia mengingatkan, bahwa saya adalah lawan
tanding bermain catur yang seimbang.
Setelah beberapa saat, dia pamit dengan
membawa uang transpor sekadarnya.
MERASA KEHILANGAN
Sekarang, saya merasa kehilangan.
Pemuda berbadan kekar.
Dia, seorang sopir perusahaan.
Setiap pagi lewat di depan rumah.
Dia naik sepeda motor butut.
Tidak memakai jaket.
Juga, tanpa helm.
Menuju ke tempat kerjanya.
Setiap pagi berangkat kerja, dia acap kali
mengajak saya bersama.
Saya membonceng ke Sidoarjo.
Saya ikut “nebeng”.
Naik sepeda motor “gundul”.
Bisa pula disebut sepeda motor “miskin”.
Tidak memiliki apa-apa.
Hanya mampu “gelundung” saja.
Kasihan.
Namun, anehnya, meskipun “miskin”, tapi
sangat berjasa.
Terutama kepada saya.
Sayangnya, saya tidak tahu tempat
tinggalnya.
Sudah puluhan tahun, saya tidak pernah
berjumpa lagi dengannya.
Semoga Allah yang Mahakuasa membalas semua
kebaikannya.
Amin.
GURU PEMULA.
Dengan penampilan anak muda 21 tahun,
maaf, agak berambut gondrong. Rambut sedikit “gimbal”.
Banyak teman sekolah yang tidak menyangka,
saya telah menjadi seorang pendidik.
Memang, seorang guru seharusnya bisa
“digugu” dan “ditiru”.
Artinya, seorang guru sepatutnya mampu
menjadi panutan dan teladan.
Sebagai guru pemula, saya menjadi asisten
Pak Bin Anwar.
Beliau guru agama Islam yang pintar servis
elektronika.
Misalnya, servis radio dan televisi.
Beberapa teman guru menggoda saya, “Pak
Yusron adalah guru yang aneh, sebab menjadi guru yang berhubungan dengan
listrik, tetapi rumah Pak Guru sendiri belum ada listriknya,” kata mereka.
Saya tertawa, mendengarkan gurauan mereka.
Mungkin mereka menganggap saya belum cukup
ilmu untuk menjadi guru.
Guyonan teman guru ada benarnya.
Kegiatan perkuliahan PGSLP YD dilaksanakan
sekitar delapan bulan.
Dengan memperoleh beasiswa dari pemerintah
dihitung selama setahun.
Setelah lulus, langsung ditugaskan sebagai
guru SMP.
Padahal, dengan kuliah yang relatif
singkat.
Tentu saja, bekal ilmunya belum mumpuni.
Saya berusaha mengatasi kekurangan
tersebut.
Mulai saat itu, saya sering mengunjungi
Pasar Genteng, Surabaya untuk belajar lebih banyak dan mendalam tentang Teknik
Elektronika.
PENYANYI KAMAR MANDI
Kami, para guru muda.
Sering tidur di “Sanggar Sekolah”.
Ruangan tidak terpakai “disulap” menjadi
ruang tidur.
Saya dengan Pak Andi guru kesenian dan Pak
Putut guru bahasa Indonesia adalah penghuni tetap.
Sedangkan beberapa guru lain, biasanya
ikut menimbrung.
Melihat dan mendengarkan Pak Andi
memainkan gitar sambil bernyanyi.
Hampir setiap hari.
Saya terpengaruh kena “virus”nya.
Tidak terasa, saya dan Pak Putut tertular
ikut belajar bermain gitar.
Juga belajar alat musik lainnya.
Misalnya, piano dan drum.
Kami memperoleh julukan sebagai “Penyanyi
Kamar Mandi” dan “Artis Sanggar”.
“Pindah kripnya besok saja!” teriak Pak
Andi.
Ketika kami memainkan sebuah lagu,
tetapi tangan saya terlambat memindahkan
krip (accord) gitar dari posisi C ke Am misalnya.
Kami tertawa bersama mendengar “ejekan”
tersebut.
JAGO KANDANG BADMINTON
Pada kesempatan lain.
Saya berhasil “membalas dendam”.
Mempermalukan Pak Andi.
Pada sore hari yang cerah.
Kami bermain badminton.
Setelah saya mengalahkan Pak Putut.
Saya bertanding single dengan Pak Andi.
Yang amat mahir bermain gitar, tetapi
“kedodoran” ketika memegang raket badminton.
Pertandingan belum berakhir, Pak Andi
sudah menyerah kalah.
Pak Andi mengaku “keok”. “Gak badminton,
gak patheen,”kata Pak Andi.
Sambil meletakkan raket dan “ngeloyor”
meninggalkan lapangan.
Sungguh, kenangan yang lucu dan
menggemaskan.
KHATIB SALAT JUMAT PEMULA
“Pak Yusron bukan akar, tetapi rotan,”
kata Pak Subron, guru pelajaran agama Islam.
Memberikan semangat kepada saya, agar mau
belajar menjadi khatib salat Jumat.
Belajar menjadi juru khotbah.
Ketika itu, saya dipaksa menjadi khatib
salat Jumat di masjid sekolah.
Saya guru keterampilan.
Bukan guru pelajaran agama Islam.
Saya beralasan, “Tidak ada rotan, akar pun
jadi.”
Karena dipaksa, lalu terpaksa.
Akhirnya, sekarang terbiasa menjadi khatib
dan imam salat Jumat di masjid sekolah.
Alhamdulillah.
JUARA CATUR LOKAL
Ketika itu, dalam kurikulum, muncul mata
pelajaran Keterampilan Bebas.
Siswa boleh memilih sesuai bakat dan
minatnya.
Misalnya: memasak, seni tari, bola voli,
badminton, sepak bola, dan catur.
Juga, pilihan lainnya sesuai dengan
kondisi dan kemampuan sekolah.
Sebagai guru keterampilan, tentu saja,
saya mendapat giliran untuk mengampunya.
Saya mendapatkan tugas memberikan
pelajaran bermain catur kepada siswa.
Beberapa buku teori bermain catur dan buku
pertandingan antarmaster catur tingkat dunia, sudah saya miliki.
Beberapa guru senior, misalnya Pak Bin
Anwar, Pak Imam Muljono, dan Pak Soedarsono sering penasaran dengan saya.
Mengapa?
Mereka belum bisa mengalahkan saya dalam
bermain catur.
Di rumah, saya kerap bermain catur dengan
ayah dan tiga saudara laki saya.
Ayah saya, H.M.Tauchid Ismail, Ketua Takmir
Masjid Panjunan, Sukodono, Sidoarjo.
Zaman itu, pengurus masjid menyiapkan
beberapa papan catur dan papan lapangan tenis meja di teras masjid.
Agar para pemuda betah berada di masjid.
Terutama ketika bulan puasa.
Lingkungan tersebut memengaruhi saya.
Sejak kecil, saya sudah sering bermain
catur.
Saya pernah menyabet juara lomba catur
tingkat kecamatan Sukodono.
Jadi, mengajarkan teori bermain catur dan
praktik bertanding catur melawan murid merupakan hal yang sudah biasa.
SEKOLAH KERAJAAN
“Inilah bapak guru dari sekolah kerajaan,”
ujar rekan guru SMP Negeri 2 Sidoarjo.
Mereka menilai Kepala SMP Negeri 1
Sidoarjo, kala itu, Pak Tony Soebijanto, BA sebagai orang yang keras dan tegas
dalam menegakkan disiplin kepada siswa maupun guru dan pegawai.
Memang, masa itu, SMP Negeri 1 Sidoarjo
terkenal sebagai sekolah yang amat disiplin.
Sehingga dijuluki “Sekolah Kerajaan”. “Apakah
dia seorang guru?” tegur Pak Tony.
Sambil menuding dengan jempol jari tangan
kanan ke arah siswa di depan saya.
Ketika itu saya, seorang guru muda, sedang berbicara dengan siswa di luar kelas
pada jam istirahat.
Pak Tony menginginkan tetap ada “jarak”
antara guru dengan siswa.
Juga, harus terjaga semacam “kasta” antara
guru senior dan pemula.
GURU TERBANG
Setelah berjalan beberapa waktu.
Saya ditugaskan menjadi “guru terbang”.
Mengapa?
Karena saya harus bergerak dari satu
sekolah ke sekolah lain.
Misalnya, Senin bertugas di SMP Negeri 1
Sidoarjo.
Selasa mengajar di SMP Negeri Juanda
(sekarang SMP Negeri 1 Sedati).
Rabu berada di SMP Negeri 1 Candi.
Begitu selanjutnya, diatur sesuai dengan
jadwal jam mengajar.
Semua sekolah tersebut adalah filial atau
cabang dari SMP Negeri 1 Sidoarjo.
Khusus ke SMP Negeri Juanda, disediakan
bis dinas TNI AL (Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut).
Semboyan TNI AL “Jalesveva Jayamahe”.
Yang bermakna Di Lautan Kita Jaya.
Tiap hari kerja, pukul lima pagi, bis
sudah siap di depan gedung SMP Negeri 1 Sidoarjo.
Hanya kendaraan TNI AL yang boleh masuk kompleks Juanda.
Naik bis bersama tentara dan mengajar di
Kompleks SMP Negeri Juanda berpengaruh positif.
Sikap disiplin dan saling hormat dengan
mengangkat tangan kanan ketika bertemu, menjadi pemandangan harian.
PERTAMA KALI NAIK PESAWAT TERBANG
Anak desa naik pesawat udara, karena guru.
Benar! Saya pertama kali naik pesawat
terbang, karena berstatus guru di SMP Negeri
Juanda.
Waktu itu, sekitar tahun 1980-an ada murid
putera tentara menawarkan naik pesawat terbang gratis.
Saat itu, peringatan Hari Armada.
Ada pilot yang ingin menambah jam terbang.
Tentu saja, tawaran itu kami terima dengan
gembira.
Duduk di dalam pesawat terbang menghadap
ke samping.
Bukan ke depan atau ke belakang.
Terjadilah pengalaman luar biasa. Anak
desa terbang pertama kali.
Pesawat kecil berisi empat orang, termasuk pilot dan co-pilot.
Selama sekitar satu jam kami berputar di sekitar langit Juanda.
Pertama kali berada di udara.
Saya berusaha melihat pemandangan ke arah
bawah.
Lewat jendela kecil.
Saya mencari desa dan atap rumah saya dari
udara.
Menikmati pemandangan sekitar.
Pemandangan yang menakjubkan.
Selama di udara, bergejolak perasaan
gembira dan takut sekaligus.
Alhamdulillah, akhirnya pesawat dapat
mendarat dengan mulus.
Semua gembira.
Apalagi saya.
PEMBINA MAHIR PRAMUKA.
Saya guru muda di SMP Negeri Juanda.
Dikirim mengikuti penataran Pembina Pramuka
Mahir Dasar di Kwarcab Sidoarjo.
Letnan Kolonel (Laut) Kukuh Sutedjo
mengirim saya dan Bu Erlandin mewakili pembina Gudep Pramuka SMP Negeri Juanda.
Bersama dengan beberapa guru dari SD Hang
Tuah 10 Juanda dan utusan lainnya.
Kami mengikuti kursus Pembina Pramuka Jenggala
31 Sidoarjo.
Setelah beberapa bulan mengikuti kegiatan
kursus Pembina Pramuka di Sidoarjo, Pacet Mojokerto dan lainnya, kami menerima
sertifikat sebagai Pembina Mahir Pramuka.
Ka Kwarcab Pak Nurimin menyerahkan
sertifikat dan memasangkan pita dan selendang Pembina Mahir Pramuka di Pendopo
Kabupaten Sidoarjo.
Saya menerima pita dengan setrip merah
sebagai Pembina Mahir Penggalang.
Pita setrip hijau untuk Pembina Mahir
Siaga dan pita setrip kuning untuk Pembina Mahir Penegak.
Resmi punya pangkat BG.
Artinya Pembina Penggalang.
Sering diplesetkan BG artinya Bolo
Gendeng.
MENJADI KOMANDAN UPACARA KECAMATAN
Bertugas puluhan tahun.
Menghadapi aneka model dan gaya murid,
guru, dan pegawai.
Dengan karakter dan perilaku yang beragam.
Membuat saya memperoleh banyak pengalaman.
Suka dan duka.
Berpindah tempat tugas: pembagian guru ke
SMP Negeri Juanda, sejak 1 Desember 1981.
Mendekati tempat tinggal, mulai 1 Agustus
1986 mutasi ke SMP Negeri 1 Sukodono.
Suatu saat, saya bertanya bagaimana
cara seorang penari mampu diam.
Tidak bergerak selama beberapa menit.
“Gerak-gerakkan anggota tubuh
yang tertutup, misalnya jempol dan jari kaki, agar peredaran darah tetap
lancar,” jawab seorang guru seni tari.
Saya mencoba menerapkan ilmu tersebut,
ketika menjadi komandan upacara.
Waktu itu, SMP Negeri 1 Sukodono
mendapatkan giliran menjadi komandan upacara 17 Agustus, tingkat kecamatan.
Tidak ada guru yang bersedia, termasuk
guru olah raga.
Akhirnya, saya mengajukan diri.
Menjadi komandan upacara.
Di lapangan kecamatan Sukodono.
Pak Camat sebagai inspektur upacara.
Dengan pengalaman sebagai Pembina Mahir
Pramuka.
Saya berhasil melaksanakan tugas dengan
baik.
Alhamdulillah.
GURU SELEBRITI
Mendapatkan tugas baru.
Sebagai guru dengan tugas tambahan kepala
SMP Negeri 3 Porong, terhitung 5 Maret 2002.
Ditugaskan di SMP Negeri 1 Jabon, sejak 17
Februari 2004. Pindah tugas ke SMP Negeri 2 Buduran, sejak 3 April 2007.
Mulai 15 Januari 2014 mutasi ke SMP Negeri
1 Balongbendo, sampai sekarang.
Sungguh, cakupan wilayah tempat tugas yang
relatif luas.
Saya tetap masuk kelas.
Bertatap muka langsung dengan siswa.
Sesuai dengan kewajiban guru yang mendapat
tugas tambahan sebagai kepala sekolah.
Mengampu mata pelajaran matematika.
Di semua sekolah tempat bertugas.
Suasana berinteraksi dengan murid, tidak
tergantikan.
Sangat menggembirakan sekaligus
menggemaskan.
Kwangsan adalah nama sebuah desa di
Kecamatan Sedati, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.
Balai desa Kwangsan berhadapan dengan
gedung BPMTV (Balai Pengembangan Media Televisi Pendidikan) yang dikelola
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Hanya terpisah sebuah jalan desa.
Sirojudin, nama Kepala Desa
Kwangsan saat itu.
Perangkat desa dan beberapa ibu sedang berkumpul di balai desa.
Para ibu menunggu putra-putrinya yang belajar di TK (Taman Kanak-Kanak) Dharma
Wanita.
Gedung TK
berada di samping balai desa. Saya mampir ke balai desa, sewaktu
mengikuti Workshop Penulisan Kreatif di BPMTV.
“Pak Yusron ini adalah guru saya waktu
SMP,” kata Sirojudin.
“Apakah benar Pak, kok kelihatan lebih tua
muridnya dibandingkan dengan gurunya?” kata seorang perangkat desa.
Saya mengangguk.
Ibu-ibu tersenyum.
Saya juga.
Saat itu, saya merasa sebagai guru
selebriti.
(Tugas menulis kreatif di BPMTV Sedati,
Sidoarjo)
Drs.
H. Subron Setiadi, M Pd. wafat Selasa, 15 September 2020.
lnna
lillahi wa inna ilaihi rajiun.
Semoga
husnulkhatimah.



