HARUS OBJEKTIF MENILAI
PEMIMPIN
Anies Gak Tegas?
Tony Rosyid
Pengamat Politik dan
Pemerhati Bangsa
Beberapa hari lalu,
ada keributan di Thamrin City.
Antara pedagang
pemilik kios dengan pengelola (PPPSRS).
Dalam konteks ini,
pengelola mewakili pengembang.
Karena Thamrin City
masih dikelola oleh orang-orang utusan pengembang.
Keributan dipicu
oleh masalah pengambilan barang.
Pemilik kios, karena
aturan PSBB, tidak boleh dagang di kios. It's right.
Karena itu, mereka
mau ambil barang dan jualan online dari rumah.
Tapi, dilarang oleh
pengelola.
Alasannya?
Karena belum bayar
iuran listrik dan air.
Bagaimana bisa bayar
listrik dan air, untuk makan saja susah, kata mereka.
Justru dengan jualan
online, agar ada pemasukan.
Dengan pemasukan
itu, nanti baru bisa bayar listrik dan air, kata para pedagang itu. Pengelola
gak mau tahu.
Tutup telinga dan
gak peduli.
Security dipasang di
depan kios untuk hadang mereka.
Ribut? Pasti.
Para pedagang gak
kuasa melawan.
Diantara pedagang
itu, ada yang lapor ke Gubernur DKI, Anies Baswedan.
Tepat tanggal 28
April, ba'da sahur, Gubernur dapat japrian.
Di infokan terkait
peristiwa itu kepada Gubernur.
Dikirim juga video
penghadangan pedagang oleh security.
Apa jawab gubernur?
TL. Apa artinya? Tindak Lanjuti
Paginya, gubernur
kirim petugas dari dinas perumahan.
Dikawal beberapa
mobil satpol PP.
Meminta kepada
pengelola Thamrin City:
Pertama, agar
memberikan kelonggaran waktu bagi para pedagang terkait iuran listrik dan air.
Kedua, memberi ijin
kepada para pedagang untuk ambil barang di kiosnya, supaya mereka bisa jualan
online. Clear!
Pengelola pun gak
bisa berkutik.
Apalagi, posisi
pengelola sangat lemah.
Sebab, sesuai dengan
pergub No 33 Tahun 2019, pengembang tak lagi berhak untuk menjadi pengelola
Thamrin City.
Harus diserahkan
kepada pemilik apartemen dan kios.
Posisi saat ini,
PPPSRS Thamrin City sudah dibekukan oleh Pemprov DKI.
Hanya tunggu waktu
untuk diganti oleh warga Thamrin City.
Kasus ini
mengingatkan peristiwa di salah satu apartemen di Kemayoran.
Hampir mirip.
Saat itu, gubernur
dapat laporan bahwa listrik dan air di apartemen tersebut dimatikan oleh
pengelola.
Lagi-lagi, alasannya
gak jauh-jauh dari iuran.
Dapat laporan itu,
Anies telpon CEO apartemen.
Anies bilang:
"air dan listrik bagi warga apartemen ibarat nyawa. Kalau anda matikan,
sama saja anda bunuh mereka.
Sekarang, anda
hidupkan air dan listrik itu, atau semua ijin Usaha anda di Jakarta saya
matikan (alias dicabut)."
Hari itu juga air
dan listrik di apartemen itu hidup.
Begitulah seharusnya
seorang pemimpin bersikap.
Pro wong cilik.
Mengayomi warganya
yang lemah.
Berani ambil risiko
dengan menghadapi siapapun, termasuk para kapitalis kakap.
Mafia pengembang!
Soal ketegasan tidak
diukur dari tingginya volume suara dan atraksi di depan media.
Tapi, dengan sikap dan keputusan.
Jika ini yang jadi
ukuran, maka siapa yang masih bisa mengatakan Anies tidak tegas?
Penyegelan reklamasi
itu fakta, bukan sandiwara.
Hingga hari ini, 13
pulau yang rencananya akan menghasilkan ratusan triliun itu gak bisa dibangun.
Sogokan oleh oknum
tertentu kepada Anies, mulai 50 miliar hingga 10 triliun, rupanya tak berhasil
menjebol semangat nasionalisme dan idealisme Anies.
Jika informasi ini
benar, sikap Anies ini layak diapresiasi.
Ketegasan itu bukan
hanya diukur dari keberanian mengambil keputusan berisiko.
Tapi juga harus
berani menolak kompromi dan suap terhadap setiap keputusan yang berisiko itu.
Saatnya bangsa ini
obyektif di setiap memberi penilaian terhadap para pemimpinnya.
Katakan salah jika
ada data untuk menyatakan salah.
Kritik dan beri
masukan yang konstruktif kepada mereka.
Dan berani untuk
mengakui kebenaran.
Kalau faktanya
memang benar.
Jakarta, 1 Mei 2020
TONY RASYID.
0 comments:
Post a Comment