KISAH GURU SELEBRITI PENSIUN
Oleh: Drs. HM. Yusron Hadi, M.M.
Aneh bin ajaib. Waktu
berjalan begitu cepat. Tidak terasa, lebih 38 tahun saya menjadi seorang
guru.
Sebagai seorang pendidik sekaligus “ambtenar”. Rasanya,
baru kemarin lulus STM (Sekolah Teknik Menengah) Negeri 3 Surabaya di Sidoarjo
Jurusan Teknik Mesin. Seangkatan dengan Joko Malis. Pemain sepak bola terkenal
di Surabaya.
Ternyata, tidak lama lagi saya akan lepas tugas.
Sesuai peraturan, maka “Umar Bakri” harus pensiun dari guru PNS (Pegawai
Negeri Sipil) pada umur 60 tahun.
BUKAN MANTAN GURU
Tentu saja, selama puluhan tahun menjadi “betara
guru”, banyak hal sudah terjadi.
Sekarang ini, semua murid saya berpencar. Menjadi apa
saja, dan di mana saja.
Oleh karena itu, tidak heran ketika saya berada di suatu
tempat.
Sering berpapasan dengan “mantan” murid saya. “Pak Guru,
bagaimana kabarnya?” kata seseorang.
Atau, “Pak Yusron, kok kelihatan masih muda. Padahal saya
sebagai murid Bapak. Sudah tua dan rambut sudah beruban,” timpal yang lain.
“Pak Yusron, terima kasih sudah memberi
inspirasi saya belajar elektronika waktu SMP. Alhamdulillah, saya sekarang
bekerja di suatu perusahaan yang besar,” tulis seseorang dalam akun facebook
saya.
Bahkan ada yang
menuliskan lewat twitter, “Pak Yusron, adalah guru matematika saya yang hebat.”
Atau sapaan lainnya.
Ketika berjumpa tatap muka langsung atau lewat media sosial
marak terjadi.
Biasanya saya menjawab, “Terima kasih, semoga kita tetap
sehat lahir dan batin. Bermanfaat bagi keluarga dan masyarakat sekitar.”
Saya menganggap beberapa ucapan dan tulisan mereka hiperbol
atau dibesar-besarkan.
Tetapi, itulah komunikasi yang kerap terjadi
antara murid dan “mantan” gurunya.
Ya benar, meskipun sekarang sudah kelihatan hampir sama
tuanya.
Tetapi guru adalah tetap guru selamanya, bukan mantan guru!
Juga, bukan bekas guru! Guru saya pribadi waktu SD, SMP, maupun SMA/STM adalah
guru saya selamanya.
Guru saya sepanjang hayat. Itu keyakinan saya pribadi, maka
saya selalu menghormati dan mendoakan kebaikan buat semua guru saya. Selamanya.
Semua interaksi antara saya dengan “mantan”
murid, membuat saya merasa sebagai guru selebriti.
Mungkin saya berlebihan. Tapi, mohon dimaklumi, itulah yang
saya rasakan.
Sering terjadi
pertemuan saya dengan “mantan” murid di suatu tempat. Atau ketika reuni alumni,
memaksa untuk mengingatkan suasana nostalgia yang menyenangkan dan
menggemaskan.
Bagaimana tidak menggemaskan? Kami bercerita “gedabrus” dan
“ngalor ngidul” tentang zaman tempo dulu yang masih imut, lucu, agak norak,
menyenangkan sekaligus menyebalkan.
Tetapi, semuanya terlalu indah untuk dikenangkan, dan
sayang untuk dilupakan.
Adakah hal lain yang lebih indah dan menggemaskan?
Selain mengenang peristiwa masa lalu yang indah ketika
masih remaja?
Selain kisah kasih waktu lampau yang tidak akan terulang?
KECELAKAAN YANG MEMBAWA NIKMAT
Bagaimana riwayat saya, yang lulusan STM Teknik
Mesin bisa menjadi seorang guru? Kisahnya, dimulai ketika saya lulus STM tahun
1976.
Saya mendaftar masuk ke ITS (Institut Teknologi Sepuluh
November Surabaya).
Dengan sepeda motor. Beberapa kali saya membonceng ayah
dari desa Panjunan, Sukodono, Sidoarjo mengunjungi tempat pendaftaran masuk ITS
Surabaya.
Untuk mencatat dan
melengkapi syarat pendaftaran.
Setelah sekian hari mengikuti bimbingan masuk ke
ITS oleh para tentor. Tiba saatnya mengikuti tes masuk ITS.
Hasilnya? Ternyata dalam pengumuman penerimaan mahasiswa
baru, nama saya tidak muncul.
Kecewa? Tentu saja, saya kecewa. Saya batal menjadi
“tukang” insinyur.
Saya gagal masuk ITS karena nilainya tidak mencukupi.
Ataukah sebab ada aturan lulusan STM harus mengabdi selama dua tahun di
perusahaan lebih dulu.
Entahlah. Yang pasti, itulah awal saya mengalami
“kecelakaan yang membawa nikmat” menjadi calon seorang guru.
Setelah gagal masuk ITS, saya menjadi mahasiswa
PGSLP YD (Pendidikan Guru Sekolah Lanjutan Pertama Yang Disempurnakan) yang
diselenggarakan oleh IKIP (Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan) Negeri
Surabaya di kampus Ketintang, Surabaya.
PGSLP YD adalah sebuah program darurat untuk memenuhi
kebutuhan guru di Indonesia.
Bahkan dalam perjanjian tertulis yang saya tanda tangani.
Setelah lulus kelak, harus bersedia menjadi guru di seluruh
Indonesia atau negara lain yang ditunjuk pemerintah.
GURU PEMULA
Pada 1 Februari 1978, Alhamdulillah saya lulus
dari PGSLP YD Jurusan Keterampilan Elektronika.
Sejak 1 Maret 1978 saya resmi menjadi calon guru PNS di SMP
Negeri 1 Sidoarjo.
Saya amat bersyukur ditempatkan di daerah asal, sedangkan
banyak teman saya ditempatkan di luar Jawa.
Misalnya, di Pulau Kalimantan dan Madura. Barangkali, salah
satu kriteria menentukan lokasi menempatan adalah hasil nilai selama kuliah.
Nilai saya termasuk bagus. Maka saya ditugaskan di sekolah
terbaik di Sidoarjo. Alhamdulillah.
Sebagai calon guru PNS golongan ruang II/a
dengan pangkat Pengatur Muda. Nomor Induk Pegawai 130684046.
Saya menerima gaji Rp16.960,00 per bulan. Yakni sebesar 80
persen dari gaji pokok Rp21.200,00.
Saya menerima gaji pertama saya dengan gembira. Belum
memiliki sepeda motor. Setiap hari sekolah, berangkat dan pulang sekolah naik
kendaran umum.
Sering juga dibonceng sepeda motor bersama orang yang
searah dengan saya.
Masa ltu, hanya satu jenis kendaran umum yang
melayani rute dari Sidoarjo ke Sukodono, dan sebaliknya.
Yaitu mobil lin G warna merah. Yang terbuka bagian
belakangnya. Sehingga, penumpang naik dan turun lewat pintu belakang.
Bukan lewat samping. Penumpang duduk saling berhadapan,
beradu dengkul. Menghadap ke samping.
Bukan ke depan atau ke belakang. “Bemo” tersebut
berpangkalan di Pasar Dayu, Sidoarjo dan Pasar Sukodono.
Saya biasanya menunggu kendaraan di depan rumah, lalu turun
di Baba Layar, Sidoarjo.
Kemudian berjalan kaki ke SMP Negeri 1 Sidoarjo. Melewati
alun-alun Sidoarjo.
Don’t judge a book by its cover.
Jangan menilai sebuah buku hanya dengan melihat penampilan
luarnya saja.
Jangan suka menilai seseorang cuma dari penampilan
“casing”nya, hanya dari “bungkus”nya.
Pepatah tersebut cocok dengan pengalaman saya. Sewaktu
pulang dari sekolah. Biasanya, saya menunggu antrean “bemo” di Pasar Dayu,
Sidoarjo.
Kendaraan akan berangkat, jika penumpang sudah penuh.
Selama menunggu, saya menonton para “kru” dan calon
penumpang bermain catur. Bergantian.
Cak Mat, salah seorang pemain catur jalanan.
Penampilannya sungguh tidak mengesankan.
Rambut awut-awutan. Mengenakan pakaian “kebesaran”. Karena
memang berukuran amat besar dan “gelombyor”.
Tetapi, jangan tertipu penampilan. Dia pemain catur ulung.
Dia menggerakkan buah catur secepat kilat, sebelum musuhnya
menempatkan buah catur dengan sempurna.
Tingkahnya sungguh “menghenyek” lawannya.
Tanpa berpikir. Dia memindahkan buah catur, tanpa
konsentrasi melihat papan catur. Seolah dia bisa “membaca” pikiran
lawannya.
Awalnya, saya
memandangnya dengan “sebelah mata”. Saya menganggapnya sebagai pemain
“ecek-ecek”.
Pemain catur pemula. Tapi saya keliru! Ternyata, saya sulit
mengalahkan dia dalam bermain catur.
Yang sering hanya bermain seri. Hanya seimbang, tidak
ada yang kalah. Bahkan, saya pernah kalah.
Tahun 2010. Cak Mat mengunjungi saya. Di
SMP Negeri 2 Buduran, Sidoarjo.
Setelah 30-an tahun
tidak berjumpa. Dengan penampilan yang rapi. Dia menyapa saya, megingatkan
zaman tempo dulu. Kami bernostalgia.
Dia mengingatkan, bahwa saya adalah lawan tanding bermain
catur yang seimbang.
Setelah beberapa saat, dia pamit dengan membawa uang
transpor sekadarnya.
Sekarang, saya merasa kehilangan. Pemuda
berbadan kekar. Dia, seorang sopir perusahaan.
Setiap pagi lewat di depan rumah. Dia naik sepeda motor
butut. Tidak memakai jaket. Juga, tanpa helm.
Menuju ke tempat kerjanya. Setiap pagi berangkat kerja, dia
acap kali mengajak saya bersama. Saya membonceng ke Sidoarjo.
Saya ikut “nebeng”. Naik sepeda motor “gundul”. Bisa pula
disebut sepeda motor “miskin”. Tidak punya apa-apa.
Hanya mampu “gelundung” saja. Kasihan. Namun, anehnya,
meskipun “miskin”, tapi sangat berjasa. Terutama kepada saya.
Sayangnya, saya tidak tahu tempat tinggalnya.
Sudah puluhan tahun, saya tidak pernah berjumpa lagi dengannya.
Semoga Allah yang Mahakuasa membalas semua kebaikannya.
Amin.
Dengan penampilan anak muda 21 tahun, maaf, agak
berambut gondrong. Rambut sedikit “gimbal”.
Banyak teman sekolah yang tidak menyangka, saya telah
menjadi seorang pendidik. Memang, seorang guru seharusnya bisa “digugu” dan
“ditiru”.
Artinya, seorang guru sepatutnya mampu menjadi panutan dan
teladan.
Sebagai guru pemula, saya menjadi asisten
Pak Bin Anwar.
Beliau guru agama Islam yang pintar servis elektronika.
Misalnya, servis radio dan televisi.
Beberapa teman guru menggoda saya, “Pak Yusron adalah guru
yang aneh, sebab menjadi guru yang berhubungan dengan listrik, tetapi rumah pak
guru sendiri belum ada listriknya,” kata mereka.
Saya tertawa, mendengarkan gurauan mereka. Mungkin
mereka menganggap saya belum cukup ilmu untuk menjadi guru.
Guyonan teman guru ada benarnya. Kegiatan
perkuliahan PGSLP YD dilaksanakan sekitar 8 bulan.
Dengan memperoleh beasiswa dari pemerintah dihitung selama
setahun.
Setelah lulus, langsung ditugaskan sebagai guru SMP.
Padahal, dengan kuliah yang relatif singkat. Tentu saja,
bekal ilmunya belum mumpuni. Saya berusaha mengatasi kekurangan tersebut.
Mulai saat itu, saya sering mengunjungi Pasar Genteng,
Surabaya untuk belajar lebih banyak dan mendalam tentang Teknik Elektronika.
PENYANYI KAMAR MANDI
Kami para guru muda. Sering tidur di sanggar
sekolah. Ruangan tidak terpakai disulap menjadi ruang tidur.
Saya dengan Pak Andi guru kesenian dan Pak Putut guru
bahasa Indonesia adalah penghuni tetap.
Sedangkan beberapa guru lain, biasanya ikut menimbrung.
Melihat dan mendengarkan Pak Andi memainkan
gitar sambil bernyanyi.
Hampir setiap hari. Saya terpengaruh kena “virus”nya.
Tidak terasa, saya dan Pak Putut tertular ikut belajar
bermain gitar. Juga belajar alat musik lainnya.
Misalnya, piano dan drum. Kami memperoleh julukan sebagai
“Penyanyi Kamar Mandi” dan “Artis Sanggar”.
“Pindah kripnya besok saja!” teriak Pak Andi.
Ketika kami memainkan sebuah lagu, tetapi tangan saya terlambat
memindahkan krip (accord) gitar dari posisi C ke Am misalnya.
Kami tertawa bersama mendengar “ejekan” tersebut.
JAGO KANDANG BADMINTON
Pada kesempatan lain. Saya berhasil “membalas
dendam”.
Mempermalukan Pak Andi. Pada sore hari yang cerah. Kami
bermain badminton.
Setelah saya mengalahkan Pak Putut. Saya bertanding single
dengan Pak Andi. Yang amat mahir bermain gitar, tetapi “kedodoran” ketika
memegang raket badminton.
Pertandingan belum berakhir, Pak Andi sudah menyerah kalah.
Pak Andi mengaku “keok”. “Gak badminton, gak patheen,” kata
Pak Andi.
Sambil meletakkan raket dan “ngeloyor” meninggalkan
lapangan.
Sungguh, kenangan yang lucu dan menggemaskan.
KHATIB SALAT JUMAT PEMULA
“Pak Yusron bukan akar, tapi rotan,” kata Pak
Subron, guru pelajaran agama Islam.
Memberikan semangat kepada saya, agar mau belajar menjadi
khatib salat Jumat. Menjadi juru khotbah.
Ketika itu, saya dipaksa menjadi khatib salat Jumat di
masjid sekolah.
Saya guru keterampilan. Bukan guru pelajaran agama Islam.
Saya beralasan, “Tidak ada rotan, akar pun jadi.”
Karena dipaksa, lalu terpaksa. Akhirnya, sekarang terbiasa
menjadi khatib dan imam salat Jumat di masjid sekolah. Alhamdulillah.
JUARA CATUR LOKAL
Ketika itu, dalam kurikulum, muncul mata
pelajaran Keterampilan Bebas.
Siswa boleh memilih sesuai bakat dan minatnya.
Misalnya: memasak, seni tari, bola voli, badminton, sepak
bola, catur. Atau lainnya sesuai dengan kondisi dan kemampuan sekolah. Sebagai
guru keterampilan, tentu saja, saya mendapat giliran untuk mengampunya.
Saya mendapatkan tugas memberikan pelajaran bermain catur
kepada siswa.
Beberapa buku teori bermain catur dan buku pertandingan
antarmaster catur tingkat dunia, sudah saya miliki.
Beberapa guru senior, misalnya Pak Bin Anwar,
Pak Imam Muljono, dan Pak Soedarsono sering penasaran dengan saya.
Penyebabnya: mereka
belum bisa mengalahkan saya dalam bermain catur.
Di rumah, saya kerap bermain catur dengan ayah dan tiga
saudara laki saya.
Ayah saya, H.M.Tauchid Ismail, ketua takmir masjid
Panjunan, Sukodono, Sidoarjo. Zaman itu, pengurus masjid menyiapkan beberapa
papan catur dan papan lapangan tenis meja di teras masjid.
Agar para pemuda betah berada di masjid. Terutama ketika
bulan puasa.
Lingkungan tersebut memengaruhi saya. Sejak kecil, saya
sudah sering bermain catur. Saya pernah menyabet juara lomba catur tingkat
kecamatan Sukodono.
Jadi, mengajarkan teori bermain catur dan praktik
bertanding catur melawan murid merupakan hal yang sudah biasa.
SEKOLAH KERAJAAN
“Inilah bapak guru dari sekolah kerajaan,”
ujar rekan guru SMP Negeri 2 Sidoarjo.
Mereka menilai Kepala SMP Negeri 1 Sidoarjo, kala itu, Pak
Tony Soebijanto, BA sebagai orang yang keras dan tegas dalam menegakkan
disiplin kepada siswa maupun guru dan pegawai.
Memang, masa itu, SMP Negeri 1 Sidoarjo terkenal sebagai
sekolah yang amat disiplin. Sehingga dijuluki “Sekolah Kerajaan”.
“Apakah dia seorang
guru?” tegur Pak Tony. Sambil menuding dengan jempol jari tangan kanan ke arah
siswa di depan saya.
Ketika itu saya, seorang guru muda, sedang berbicara
dengan siswa di luar kelas pada jam istirahat.
Pak Tony
menginginkan tetap ada “jarak” antara guru dengan siswa.
Juga, harus terjaga semacam “kasta” antara guru senior dan
pemula.
GURU TERBANG
Setelah berjalan beberapa waktu. Saya ditugaskan
menjadi “guru terbang”. Mengapa?
Karena saya harus bergerak dari satu sekolah ke sekolah
lain.
Misalnya, Senin bertugas di SMP Negeri 1 Sidoarjo. Selasa
mengajar di SMP Negeri Juanda (sekarang SMP Negeri 1 Sedati). Rabu berada di
SMP Negeri 1 Candi. Begitu selanjutnya, diatur sesuai dengan jadwal jam
mengajar. Semua sekolah tersebut adalah filial atau cabang dari SMP Negeri 1
Sidoarjo.
Khusus ke SMP Negeri Juanda, disediakan bis
dinas TNI AL (Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut). Semboyan TNI AL
“Jalesveva Jayamahe”.
Yang bermakna Di Lautan Kita Jaya. Tiap hari kerja, pukul
lima pagi, bus sudah siap di depan gedung SMP Negeri 1 Sidoarjo.
Hanya kendaraan TNI AL yang boleh masuk kompleks
Juanda.
Naik bus bersama tentara dan mengajar di Kompleks SMP
Negeri Juanda berpengaruh positif. Sikap disiplin dan saling hormat dengan
mengangkat tangan kanan ketika bertemu, menjadi pemandangan harian.
PERTAMA KALI NAIK PESAWAT UDARA
Anak desa naik pesawat udara, karena guru.
Benar! Saya pertama kali naik pesawat terbang, karena
berstatus guru di SMP Negeri Juanda.
Waktu itu, sekitar tahun 1980-an ada murid putera tentara
menawarkan naik pesawat terbang gratis.
Saat itu, peringatan Hari Armada. Ada pilot yang ingin
menambah jam terbang.
Tentu saja, tawaran itu kami terima dengan gembira.
Duduk di dalam pesawat terbang menghadap ke
samping. Bukan ke depan atau ke belakang.
Terjadilah pengalaman luar biasa. Anak desa terbang pertama
kali.
Pesawat kecil berisi empat orang, termasuk pilot dan
copilot. Selama sekitar satu jam kami berputar di sekitar langit
Juanda.
Pertama kali berada di udara. Saya berusaha
melihat pemandangan ke arah bawah. Lewat jendela kecil.
Saya mencari desa
dan atap rumah saya dari udara. Menikmati pemandangan sekitar.
Pemandangan yang menakjubkan. Selama di udara, bergejolak
perasaan gembira dan takut sekaligus.
Alhamdulillah, akhirnya pesawat dapat mendarat dengan
mulus. Semua gembira. Apalagi saya.
MENJADI KOMANDAN UPACARA
Bertugas puluhan tahun. Menghadapi aneka model
dan gaya murid, guru, dan pegawai.
Dengan karakter dan perilaku yang beragam. Membuat saya
memperoleh banyak pengalaman. Suka dan duka. Berpindah tempat tugas: pembagian
guru ke SMP Negeri Juanda, sejak 1 Desember 1981.
Mendekati tempat tinggal, mulai 1 Agustus 1986 mutasi ke
SMP Negeri 1 Sukodono.
Suatu saat, saya bertanya bagaimana cara seorang
penari mampu diam.
Tidak bergerak
selama beberapa menit. “Gerak-gerakkan anggota tubuh yang tertutup, misalnya
jempol dan jari kaki, agar peredaran darah tetap lancar,” jawab seorang guru
seni tari.
Saya mencoba menerapkan ilmu tersebut, ketika menjadi
komandan upacara. Waktu itu, SMP Negeri 1 Sukodono mendapatkan giliran menjadi
komandan upacara 17 Agustus, tingkat kecamatan.
Tidak ada guru yang bersedia, termasuk guru olah raga.
Akhirnya, saya mengajukan diri. Menjadi komandan upacara.
Di lapangan kecamatan Sukodono. Pak Camat sebagai inspektur
upacara.
Dengan pengalaman sebagai Pembina Mahir Pramuka. Saya
berhasil melaksanakan tugas dengan baik. Alhamdulillah.
GURU SELEBRITI
Mendapatkan tugas baru. Sebagai guru dengan
tugas tambahan kepala SMP Negeri 3 Porong, terhitung 5 Maret 2002.
Ditugaskan di SMP Negeri 1 Jabon, sejak 17 Februari 2004.
Pindah tugas ke SMP Negeri 2 Buduran, sejak 3 April 2007.
Mulai 15 Januari 2014 mutasi ke SMP Negeri 1 Balongbendo, sampai sekarang.
Sungguh, cakupan wilayah tempat tugas yang relatif luas.
Saya tetap masuk kelas. Bertatap muka langsung
dengan siswa.
Sesuai dengan kewajiban guru yang mendapat tugas tambahan
sebagai kepala sekolah.
Mengampu mata pelajaran matematika. Di semua sekolah tempat
bertugas.
Suasana berinteraksi dengan murid, tidak tergantikan.
Sangat menggembirakan sekaligus menggemaskan.
Kwangsan adalah nama sebuah desa di kecamatan
Sedati, kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.
Balai desa Kwangsan berhadapan dengan gedung BPMTV (Balai
Pengembangan Media Televisi Pendidikan) yang dikelola Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan. Hanya terpisah sebuah jalan desa.
Sirojudin, nama Kepala Desa Kwangsan saat ini.
Perangkat desa dan beberapa ibu sedang berkumpul di
balai desa.
Para ibu menunggu putra-putrinya yang belajar di TK
(Taman Kanak-Kanak) Dharma Wanita. Gedung TK berada di samping balai
desa.
Saya mampir ke balai desa, sewaktu mengikuti Workshop
Penulisan Kreatif di BPMTV. “ Pak Yusron ini adalah guru saya waktu SMP,” kata
Sirojudin.
“Apakah benar Pak, kok kelihatan lebih tua muridnya
dibandingkan dengan gurunya?” kata seorang perangkat desa.
Saya mengangguk. Ibu-ibu tersenyum.
Saya juga. Saat itu, saya merasa sebagai guru selebriti.
(Tugas menulis dalam penataran)
0 comments:
Post a Comment