APAKAH PRESIDENTIAL THRESHOLD ITU
Oleh: Drs. H. M.
Yusron Hadi, M.M
Presidential
Threshold adalah syarat ambang batas pencalonan presiden.
Ketua
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia AA La Nyalla Mahmud Mattalitti.
Menyatakan
Presidential Threshold lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya.
Presidential
adalah amanat Undang-undang Nomor 7
tahun 2017 tentang Pemilu.
Pendapat itu disampaikan dalam
acara Focus Group Discussion.
Dengan tema Presidential
Threshold: Antara Manfaat dan Mudarat.
Di Ruang Amphiteater Gedung
Ibrahim Lantai 5.
Kampus Terpadu Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta, Sabtu (5/6/2021).
“UU Pemilu buah amandemen UUD
1945 dahulu.
Amandemen konstitusi tahun 1999
sampai 2002.
Menjadi dasar lahirnya
undang-undang.
Yang membuat Indonesia punya
wajah politik seperti hari ini,” ujar La Nyalla.
Pasangan calon diusulkan oleh
partai politik atau gabungan partai politik.
Dengan syarat mendapat kursi minimal
20% jumlah kursi DPR.
Atau 25% suara sah secara
Nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.
Hal itu mempersempit terbentuknya
lebih dari 3 pasangan capres-cawapres.
“Meskipun di atas kertas
didalilkan bisa muncul 3 hingga 4 pasang calon.
Tetapi praktiknya tidak begitu.
Buktinya, dalam pemilu sebelumnya,
bangsa ini hanya sanggup memunculkan 2 pasang calon.”
Dampaknya, dengan hanya 2
pasangan calon pilpres.
Menyebabkan terbelahnya politik
dan polarisasi kuat di akar rumput.
Keadaan itu masih dirasakan
hingga detik ini, meskipun sudah rekonsiliasi.
Tentu sangat tidak produktif bagi
perjalanan bangsa dan negara ini.
Aturan presidential threshold
lebih banyak mudaratnya ketimbang manfaatnya.
Apalagi dalil Presidential
Threshold untuk memperkuat sistem presidensil.
Agar presiden terpilih punya
dukungan kuat di parlemen.
Justru membuat mekanisme check and
balances lemah.
Karena partai politik besar dan
gabungannya pendukung presiden terpilih.
Akibatnya yang terjadi bagi-bagi
kekuasaan.
Dan DPR menjadi legitimator
kebijakan pemerintah.
Masalah sebenarnya ada di hulu,
bukan di hilir.
Maka butuh amandemen UU yang
baru.”
Hal berbeda disampaikan salah
satu Pembicara FGD.
Zainal Arifin Mochtar, pakar
hukum tatanegara UGM.
Menurutnya, tidak perlu amandemen,
kita hanya perlu merevisi UU Pemilu.
“Kerja lebih mudah dengan revisi
UU tentang Pemilu.
Diubah saja pasal-pasalnya soal
ambang batas itu.
Jadi tidak perlu dengan
amendemen,” ujar Zainal.
Karena amandemen malah merusak
sistem presidensil yang dianut Indonesia saat ini.
“Amendemen jangan merusak Sistem
Presidensil.
Presidensil itu artinya yang
memilih presiden adalah rakyat.
Jangan sampai presiden dipilih
lagi oleh MPR atau parlemen,” lanjutnya.
Dekan Fakultas Hukum UMY Iwan
Satriawan S.H., MCL., Ph.D.
Menduga ada barikade kuat di
balik pintu Mahkamah Konstitusi.
Dia dan tim sudah pernah mengajukan
revisi UU Pemilu ke MK tetapi ditolak.
Dan itu 11 kalinya MK menolak
ajuan itu.
“Sudah kami ajukan dari sisi
akademisnya.
Kami mengkaji 8 negara.
Presidential Threshold Indonesia
paling tinggi, yaitu 20%.
Bahkan beberapa negara tak punya
Presidential Threstold.
Semoga barikade itu bisa dibuka
oleh DPD.
Tapi DPD tidak bisa sendiri.
Harus dibantu gerakan mahasiswa, organisasi
masyarakat atau NGO.
Muncul pertanyaan.
Jartai kecil punya kesempatan
mengajukan capres dan cawapresnya.
Tapi akan kalah juga dengan
partai besar.
Hal itu akan mendorong partai
besar mencalonkan kandidat terbaiknya.
Sehingga terjadi kontestasi yang
sehat.
Akademisi
UMY Ridho Hamdi mendukung adanya Presidential Threshold di Pilpres.
Guna
memperkuat eksistensi lembaga demokrasi.
Seperti
partai politik dengan seabreg kelemahannya.
Poinnya,
tidak hanya dibatasi angka minimal.
Tetapi
juga harus dibatasi angka maksimal.
Ada
2 opsi tawaran Ridho.
1.
Presidential
Threshold minimal 15% dan max 30% .
Sehingga muncul 3 hingga 6
capres.
2.
Tiap
parpol yang lolos ambang batas parlemen.
Berhak usul capresnya sendiri.
Catatannya
Pileg dan Pilpres tidak serentak.
Serta
penggunaan hasil Pileg di Pemilu tahun sama.
Bukan
hasil Pemilu sebelumnya.
Presidential
Threshold ada manfaatnya sebagai reward bagi partai.
Yang
sudah bekerja keras dan punya kursi di DPR.
Parpol
yang tidak lolos silakan bekerja keras lagi.
Dengan
segala strategi dan tawaran ideologi platformnya.
“Di
sini juga perlu ambang batas parlemen, meskipun tidak tinggi (bisa dibahas lain
waktu).
Karena
itu, revisi UU PEMILU adalah keharusan”.
(Sumber
suara.muhammadiyah)



