BENARKAH TRANSPORTASI SURABAYA CUMA UNTUK POLITIK
Oleh: Drs. HM Yusron Hadi, MM
Saya tinggal di Surabaya.
Selama 17 tahun.
Saya melihat banyak perubahan di Kota Pahlawan.
Utamanya ruang terbuka hijau.
Dan pelebaran jalan.
Sekarang.
Surabaya punya jalan raya amat lebar.
Dalam 1 jalur bisa ada 6 lajur.
Jika dihitung dengan arah sebaliknya.
Maka ada 12 lajur.
Dalam 1 jalan.
Tapi kondisi itu.
Tak membuat Surabaya bebas dari macet.
Global Traffic Scorecard.
Menempatkan Surabaya.
Sebagai kota termacet nomor 1.
Di Indonesia.
Melebarkan jalan.
Bukan solusi
mengurai macet.
Di Kota Pahlawan.
Jalan dibuat selebar
apa pun.
Jika jumlah mobil
dan motor.
Terus meningkat.
Ya percuma saja.
Tapi bukan berarti
macet di Surabaya.
Karena rakyat yang
konsumtif.
Dalam membeli
kendaraan bermotor.
Salah satu alasan.
Kenapa warga Surabaya.
Tetap naik mobil dan
motor pribadi.
Yaitu Surabaya tak punya
alternatif transportasi publik yang memadai.
Surabaya sudah mulai
berbenah.
Dalam membangun
transportasi umum.
Diharapkan bisa mengurangi
macet di jalan.
Sayangnya semua
program.
Yang dibuat Pemerintah
Kota Surabaya.
Kesannya gimik
politik doang.
Gigantik saat
dipresentasikan.
Tapi nothing ketika
dipraktikkan.
Masih ingat saat media.
Mengulas Suroboyo
Bus?
Bus berwarna merah.
Diklaim modern dan
ramah lingkungan.
Syarat bisa naik
Suroboyo Bus.
Yaitu warga Surabaya
tak butuh uang.
Tapi cuma perlu botol plastik.
Dulu naik Surobyo
Bus.
Hanya bayar pakai
botol plastik.
Sayangnya.
Suroboyo Bus hanya
keren saat presentasi saja.
Dan jadi topik
berita.
Tahun 2018 resmi
diluncurkan.
Sampai sekarang.
Bus yang diharapkan
sebagai tranportasi masa depan.
Ternyata sepi penumpang.
Selama 3 tahun
beroperasi.
Suroboyo Bus.
Hanya mengangkut 3
juta orang.
Jauh banget dibanding
TransJakarta.
Tiap hari.
TransJakarta
mengangkut lebih dari 1 juta orang.
Orang Surabaya tak
mau pindah.
Dari kendaraan
pribadi ke tranportasi umum.
Karena tak bisa dipakai.
Untuk transportasi harian.
Bus ini hanya cocok
untuk wisata di Kota Pahlawan.
Apakah mungkin.
Orang Surabaya tiap
malam.
Harus memungut sampah
botol plastik dulu.
Agar esok paginya.
Bisa naik bus untuk
berangkat kerja.
Bukan jadi ramah
lingkungan.
Tapi orang rajin
beli botol plastik.
Agar bisa naik bus.
Tahun 2021.
Warga Surabaya bisa
naik bus pakai uang.
Tak perlu botol plastik
lagi.
Tapi Suroboyo Bus
tetap sepi.
Padahal busnya bagus
dan bersih.
Masalahnya.
Karena Bus Suroboyo.
Tak bisa menjawab kebutuhan
transportasi harian warga.
Warga butuh transportasi
yang:
1.
Aksesnya mudah.
2.
Rutenya luas.
Menjangkau semua sudut
kota.
3.
Efisien.
4.
Hemat.
5.
Nyaman.
Tapi semua itu.
Tak dimiliki
Suroboyo Bus.
Yang dipenuhi hanya
kursinya nyaman.
Suroboyo Bus tak
punya jalur khusus.
Rute Suroboyo Bus
amat terbatas.
Belum menjangkau separuh
Kota Surabaya.
Dan ngetemnya lama.
Bisa 20 menit lebih.
Jalannya bus lelet,
seperti siput.
Karena tak punya
jalur khusus.
Apa bedanya Suroboyo
Bus dan bus kota DAMRI?
Kedua bus itu
rutenya mirip.
Apa yang ingin ditawarkan
Suroboyo Bus.
Agar orang mau
pindah.
Dari naik motor dan
mobil ke bus?
Tak ada.
Makanya bus sepi.
Warga Surabaya jika mengandalkan
transportasi public.
Akan jadi tua di
jalan, tak efisien, dan boros.
Karena bus tak menjangkau
semua kawasan.
Jika ada rute tak
dilewati bus.
Maka akan pindah naik
ojek online.
Misalnya.
Saya dari terminal
Bungurasih.
Ingin nonton bola di
Stadion Gelora Bung Tomo.
Prosesnya seperti
ini:
1.
Naik bus DAMRI turun di Magomulyo.
Bayar 10 ribu rupiah.
2.
Naik bemo turun di Pasar Benowo.
Bayar 6 ribu rupiah.
3.
Naik ojek ke Stadion Gelora Bung Tomo.
Bayar 10 ribu rupiah.
Jadi, untuk 1 jalan
habis 26 ribu rupiah.
Dan ribet.
Jika naik motor
sendiri.
Beli bensin tak sampai
20 ribu rupiah.
Untuk berangkat dan
pulang.
Tahun 2005.
Walikota Surabaya.
Punya rencana membangun
MRT.
Disebut SMART
(Surabaya Mass Rapid
Transportation).
Desain SMART sudah tersebar
di media.
Tapi program itu.
Hanya terdengar saat
kampanye.
Atau acara politik.
Tahun 2020.
Jabatan Walikota
berakhir.
Tak terdengar lagi suaranya.
Bu Risma terpilih
jadi Walikota baru.
Bu Risma berjanji.
Akan membangun transportasi
massal berbasis trem.
Walikota Bu Risma
berkata,
“Kenapa gak
bikin busway.
Seperti TransJakarta?”
Menurut Bu Risma.
Busway hanya akan menghabiskan kapasitas
jalan.
Dan bukan solusi macet di Surabaya.
Surabaya kekeuh ingin membangun trem dan
monorel.
Sayangnya.
Sampai masa jabatan Bu Risma berakhir.
Trem hanya dalam mimpi.
“Kenapa Bu Risma meluncurkan Suroboyo Bus?
Padahal bus menghabiskan kapasitas jalan juga?”
Saya belum menemukan jawabnya.
Pada akhir tahun 2021.
Wali
kotanya ganti lagi.
Pemkot Surabaya gencar iklan BRT.
Disebut Trans Semanggi.
Masalahnya.
Rekayasa
seperti apa pun.
Jika Trans Semanggi lewati jalan sama.
Dengan
kendaraan lain.
Ya
percuma saja.
Trans
Semanggi tetap terjebak macet.
Dan
bertumpuk dengan kendaraan lainnya.
Menambah
jumlah armada bus.
Dengan
berbagai macam nama.
Tanpa
membangun jalur khusus.
Seperti
gimik politik belaka.
Sekadar
agar pemimpin di Kota Pahlawan.
Punya
program baru.
Tanpa
jalur khusus.
Jumlah
banyak bus.
Justru tambah macet.
Karena
Suroboyo Bus dan Trans Semanggi bodinya
besar.
Makan banyak area jalan.
Tapi isinya hanya segelintir orang.
Kesimpulan.
Jika transportasi publik di Surabaya.
Hanya
dilihat masa jabatan wali kota.
Yaitu 5 atau 10 tahun saja.
Kapan
Surabaya punya transportasi publik yang
memadai.
(Sumber Tiara Uci)



.png)

.png)