Wednesday, May 18, 2022

13196. BENARKAH TRANSPORTASI SURABAYA CUMA UNTUK POLITIK

 

 




 

BENARKAH TRANSPORTASI SURABAYA CUMA UNTUK POLITIK

Oleh:  Drs. HM Yusron Hadi, MM

 

 

 

Saya tinggal di Surabaya.

Selama 17 tahun.

 

Saya melihat banyak perubahan di Kota Pahlawan.

 

Utamanya ruang terbuka hijau.

Dan pelebaran jalan.

 

Sekarang.

Surabaya punya jalan raya amat lebar.

Dalam 1 jalur bisa ada 6 lajur.

 

Jika dihitung dengan arah sebaliknya.

Maka ada 12  lajur.

Dalam 1 jalan.

 

Tapi kondisi itu.

Tak membuat Surabaya bebas dari macet.

 

Global Traffic Scorecard.

Menempatkan Surabaya.

 

Sebagai kota termacet nomor 1.

Di Indonesia.

 

 

Melebarkan jalan.

Bukan solusi mengurai macet.

Di Kota Pahlawan.

 

Jalan dibuat selebar apa pun.

Jika jumlah mobil dan motor.

 

Terus meningkat.

Ya percuma saja.

 

Tapi bukan berarti macet di Surabaya.

Karena rakyat yang konsumtif.

 

Dalam membeli kendaraan bermotor.

 

Salah satu alasan.

Kenapa  warga Surabaya.

 

Tetap naik mobil dan motor pribadi.

 

Yaitu Surabaya tak punya alternatif transportasi publik yang memadai.

 

Surabaya sudah mulai berbenah.

Dalam membangun transportasi umum.

 

Diharapkan bisa mengurangi macet di jalan.

 

Sayangnya semua program.

Yang dibuat Pemerintah Kota Surabaya.

 

Kesannya gimik politik doang.

 

Gigantik saat dipresentasikan.

Tapi nothing ketika dipraktikkan.

 

Masih ingat saat media.

Mengulas Suroboyo Bus?

 

Bus berwarna merah.

Diklaim modern dan ramah lingkungan.

 

Syarat bisa naik Suroboyo Bus.

Yaitu warga Surabaya tak butuh uang.

Tapi cuma  perlu botol plastik.

 

Dulu naik Surobyo Bus.

Hanya bayar pakai botol plastik.

 

Sayangnya.

Suroboyo Bus hanya keren saat presentasi saja.

Dan jadi topik berita.

 

Tahun 2018 resmi diluncurkan.

Sampai sekarang.

 

Bus yang diharapkan sebagai tranportasi masa depan.

Ternyata sepi penumpang.

 

Selama 3 tahun beroperasi.

Suroboyo Bus.

 

Hanya mengangkut 3 juta orang.

 

Jauh banget dibanding  TransJakarta.

 

Tiap hari.

TransJakarta mengangkut lebih dari 1 juta orang.

 Tiap hari lebih dari 1 juta orang.



Orang Surabaya tak mau pindah.

Dari kendaraan pribadi ke tranportasi umum.

 

Karena tak bisa dipakai.

Untuk transportasi  harian.

 

Bus ini hanya cocok untuk wisata di Kota Pahlawan.

 

Apakah mungkin.

Orang Surabaya tiap malam.

Harus memungut sampah botol plastik dulu.

 

Agar esok paginya.

Bisa naik bus untuk berangkat kerja.

 

Bukan jadi ramah lingkungan.

Tapi orang rajin beli botol plastik.

Agar bisa naik bus.

 

Tahun 2021.

Warga Surabaya bisa naik bus pakai uang.

Tak perlu botol plastik lagi.

 

Tapi Suroboyo Bus tetap sepi.

Padahal busnya bagus dan bersih.

 

Masalahnya.

Karena Bus Suroboyo.

Tak bisa menjawab kebutuhan transportasi harian warga.

 

Warga butuh transportasi yang:

1.        Aksesnya mudah.

2.        Rutenya luas.

Menjangkau semua sudut kota.

 

3.        Efisien.

4.        Hemat.

5.        Nyaman.

 

Tapi semua itu.

Tak dimiliki Suroboyo Bus.

 

Yang dipenuhi hanya kursinya nyaman.

 

Suroboyo Bus tak punya jalur khusus.

Rute Suroboyo Bus amat terbatas.

 

Belum menjangkau separuh Kota Surabaya.

Dan ngetemnya lama.

 

Bisa 20 menit lebih.

Jalannya bus lelet, seperti siput.

 

Karena tak punya jalur khusus.

Apa bedanya Suroboyo Bus dan bus kota DAMRI?

 

Kedua bus itu rutenya mirip.

Apa yang ingin ditawarkan Suroboyo Bus.

 

Agar orang mau pindah.

Dari naik motor dan mobil ke bus?

 

 Tak ada.

Makanya bus sepi.

 

Warga Surabaya jika mengandalkan transportasi public.

Akan jadi tua di jalan, tak efisien, dan boros.

 

Karena bus tak menjangkau semua kawasan.

 

Jika ada rute tak dilewati bus.

Maka akan pindah naik ojek online.

 

Misalnya.

Saya dari terminal Bungurasih.

 

Ingin nonton bola di Stadion Gelora Bung Tomo.

 

Prosesnya seperti ini:

1.        Naik bus DAMRI turun di Magomulyo.

Bayar 10 ribu rupiah.

 

2.        Naik bemo turun di Pasar Benowo.

Bayar 6 ribu rupiah.

 

3.        Naik ojek ke Stadion Gelora Bung Tomo.

Bayar 10 ribu rupiah.

 

Jadi, untuk 1 jalan habis 26 ribu rupiah.

Dan ribet.

 

Jika naik motor sendiri.

Beli bensin tak sampai 20 ribu rupiah.

 

Untuk berangkat dan pulang.

 

Tahun 2005.

Walikota Surabaya.

 

Punya rencana membangun MRT.

Disebut SMART

(Surabaya Mass Rapid Transportation).

 

Desain SMART sudah tersebar di media.

Tapi program itu.

 

Hanya terdengar saat kampanye.

Atau acara politik.

 

Tahun 2020.

Jabatan Walikota berakhir.

 

Tak terdengar lagi suaranya.

 

Bu Risma terpilih jadi Walikota baru.

 

Bu Risma berjanji.

Akan membangun transportasi massal berbasis trem.

 

Walikota Bu Risma berkata,

“Kenapa gak bikin busway.

Seperti TransJakarta?”

 

Menurut Bu Risma.

Busway hanya akan menghabiskan kapasitas jalan.

 

Dan bukan solusi macet di Surabaya.

 

 

Surabaya kekeuh ingin membangun trem dan monorel.

 

Sayangnya.

Sampai masa jabatan Bu Risma berakhir.

 

Trem hanya dalam mimpi.

 

 

 “Kenapa Bu Risma meluncurkan Suroboyo Bus?

 

Padahal bus menghabiskan kapasitas jalan juga?”

Saya belum menemukan jawabnya.

 

Pada akhir tahun 2021.

Wali kotanya ganti lagi.

 

Pemkot Surabaya gencar iklan BRT.

Disebut Trans Semanggi.

 

Masalahnya.

Rekayasa seperti apa pun.

 

Jika Trans Semanggi lewati jalan sama.

Dengan kendaraan lain.

Ya percuma saja.

 

Trans Semanggi tetap terjebak macet.

Dan bertumpuk dengan kendaraan lainnya.

 

Menambah jumlah armada bus.

Dengan berbagai macam nama.

 

Tanpa membangun jalur khusus.

Seperti gimik politik belaka.

 

Sekadar agar pemimpin di Kota Pahlawan.

Punya program baru.

 

Tanpa jalur khusus.

Jumlah banyak bus.

Justru tambah macet.

 

Karena Suroboyo Bus dan Trans Semanggi bodinya besar.

 

Makan banyak area jalan.

Tapi isinya hanya segelintir orang.

 

Kesimpulan.

 

Jika transportasi publik di Surabaya.

Hanya dilihat masa jabatan wali kota.

Yaitu 5 atau 10 tahun saja.

 

Kapan Surabaya punya transportasi publik yang memadai.

 

(Sumber Tiara Uci)



 

0 comments:

Post a Comment