APAKAH PAHAM WAHABI ITU (3 dari 4)
Oleh: Drs. HM. Yusron
Hadi, M.M.
Secara normatif gerakan pemurnian akidah Islam sesungguhnya tidak
ada masalah.
Apalagi dengan semangat kembali pada ajaran murni Al-Quran dan sunah.
Demikian pula tidak salah adanya dakwah salafi didukung kekuatan
politik.
Seperti aliansi Wahab-Sa’ud pada masa pergerakan Islam di Semenjung
Arab abad ke-12 Hijriah itu.
Masalahnya cara penafsiran paham dan praktik akidah Islam yang murni.
Atau Akidah Salaf itu dikonstruksikan oleh setiap orang atau gerakan.
Dan cara implementasinya dalam kehidupan di setiap kurun waktu dan
tempat.
Hal ini biasanya menimbulkan keragaman dalam menampilkan gerakan
pemurnian Islam.
Keyakinan, paham, dan praktik Islam murni.
Atau lebih khusus lagi akidah yang murni.
Sering berbeda satu sama lain di antara orang Islam atau golongan
Islam.
Di sepanjang tempat dan zaman.
Sehingga persoalan ini menyisakan agenda berikutnya.
Apakah konstruksi Islam murni atau akidah murni dari seseorang atau
sekelompok orang itu representative.
Dengan keyakinan seluruh umat Islam dan autentisitas ajaran Islam
itu sendiri?
Islam murni ketika masuk dalam pandangan orang atau kelompok orang
Islam.
Yang mengkonstruksikan atau menafsirkannya.
Tentu tidak identik dengan Islam itu sendiri.
Selalu ada reduksi dan bias.
Serta penafsiran yang tidak sama dan sebangun.
Masalah berikutnya tentang tema pemurnian ajaran Islam.
Apakah pemurnian itu esensi satu-satunya dari dimensi keyakinan,
pemahaman, dan pengamalan ajaran Islam?
Termasuk pemurnian
diidentikkan dengan “tajdid fi
al-Islam”.
Seperti pandangan umum yang mewarnai gerakan “Kembali kepada
Al-Quran dan Sunah”.
Tarjih Muhammadiyah sejak tahun 2000 mengoreksi penyempitan makna
tajdid atau gerakan untuk kembali kepada ajaran Islam yang autentik.
Dengan menambah dimensi “dinamisasi” atau pembaruan dalam arti luas.
Sehingga tajdid bermakna pemurnian plus pengembangan.
Atau pengembangan plus pemurnian sebagai satu kesatuan gerakan
tajdid.
Lebih dari itu, tentu Islam sebagai ajaran melampau segala
penyempitan dan reduksi tafsir.
Sehingga dimensi Islam pun dipahami bukan sekadar aspek akidah.
Tetapi juga ibadah, akhlak, dan muamalat-duniawi.
Yang semuanya ialah Islam.
Islam dalam pandangan Tarjih Muhammadiyah.
Bukan sekadar mengandung perintah (al-awamir) dan larangan-larangan (al-nawahi).
Tetapi juga petunjuk (al-irsyadat)
bagi kehidupan umat manusia di dunia dan akhirat.
Yang menunjukkan keluasan kandungan Islam.
Yang tidak cukup memadai jika hanya dikonstruksi dengan satu aspek,
satu esensi, dan satu model tafsir.
Selain itu, sikap dan tindakan
keras yang dilakukan Muhammad bin Abdul Wahab dan Muhammad bin Sa’ud.
Atau penerusnya Azis bin
Muhammad bin Sa’ud.
Seperti menghancurkan kuburan
keramat dan kekerasan yang menimbulkan terbunuhnya sesama muslim.
Jelas tidak dapat diterapkan
dalam masyarakat berbeda.
Dan tak boleh ditiru gerakan Islam lain.
Masalah ini penting.
Agar tidak terjadi
pembenaran atas segala tindakan kekerasan atas nama Wahabi.
Apalagi atas nama Islam
yang mengedepankan perdamaian dan cara dakwah bil-hikmah.
Jika hal itu terjadi, maka
berarti ada absolutisasi paham dan pengamalan ajaran Islam.
Yang tidak memahami
situasi dan konteks zaman, maupun substansi pesan Islam yang lebih luas.
(Sumber Haidar Nashir)



