Organisasi Profesi Guru

Presiden Jokowi memberi hormat kepada Guru-Guru se Indonesia.

Tema Gambar Slide 2

Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.

Tema Gambar Slide 3

Deskripsi gambar slide bisa dituliskan disini dengan beberapa kalimat yang menggambarkan gambar slide yang anda pasang, edit slide ini melalui edit HTML template.

Showing posts with label GURU HARUS IKUT PERKEMBANGAN ZAMAN. Show all posts
Showing posts with label GURU HARUS IKUT PERKEMBANGAN ZAMAN. Show all posts

Wednesday, February 24, 2021

8752. GURU HARUS IKUT PERKEMBANGAN ZAMAN

 


GURU HARUS IKUT PERKEMBANGAN ZAMAN

Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Saya sangat bangga melihat guru menulis.

 

 

Apalagi sampai melahirkan buku solo.

 

 

Diterbitkan oleh penerbit mayor lagi.

 

 

Sungguh, guru model demikian, tidak banyak jumlahnya.

 

 

 

Yang dosen dengan gelar berderet saja, hanya beberapa saja yang gemar menulis buku.

 

 

 

Tradisi menulis memang masih langka.

 

 

 

Di kalangan masyarakat yang terbilang terdidik sekali pun.

 

 

Ini di Indonesia.

 

 

Saya tidak tahu bagaimana keadaan di negara lain.

 

 

Yang jelas, menurut beberapa sumber, tradisi literasi di negara kita memang masih tiarap.

 

 

 

Dibanding Malaysia, misalnya, tingkat melek literasi masyarakat kita masih kalah.

 

 

 

Dari fakta inilah, maka jika ada guru—termasuk juga dosen—yang gemar menulis.

 

 

 

 

Apalagi sampai memiliki karya tulis berupa buku, harus diapresiasi setinggi mungkin.

 

 

 

Yayasan atau lembaga tempat guru itu mengabdi juga harus memperhatikan.

 

 

 

 

Inilah guru plus.

 

 

 

Harus ada penghargaan khusus untuk guru semacam ini, kendati tidak selalu berupa materi.

 

 

 

 

Guru yang gemar menulis, biasanya juga gemar membaca.

 

 

 

Paling tidak, dua aktivitas inilah—yaitu membaca dan menulis—yang membuat pengetahuan guru ter-update.

 

 

 

Dia tidak akan ketinggalan informasi.

 

 

 

Dalam bahasa cendekiawan Muslim Prof M Amin Abdullah, guru demikian akan selamat dari virus expired knowledge.

 

 

 

Ibarat dokter, agar mampu mendiagnosis sekaligus mengobati berbagai jenis penyakit yang terus berkembang.

 

 

 

Dia harus memperbarui pengetahuannya.

 

 

 

 

Tugas pendidikan tidak sama dengan tugas kedokteran.

 

 

 

Malapraktik di bidang kedokteran paling banter menyebabkan pasien meninggal.

 

 

 

 

Tetapi malapraktik di dunia pendidikan berbuntut panjang.

 

 

 

Yaitu menghancurkan masa depan hidup anak secara berkelanjutan.

 

 

 

 

Karena itu, guru hebat seharusnya adalah murid yang hebat.

 

 

 

Analoginya, pendidik harus punya kemampuan dan gairah belajar melampaui peserta didiknya.

 

 

 

Jika peserta didik membaca 1 buku, pendidik harus khatam 5 buku.

 

 

 

 

Jika peserta didik belajar 1 jam, maka pendidik harus 2-3 jam sehari.

 

 

 

Guru yang baik adalah murid baik—ingat.

 

 

 

 

Kata “murid” bermakna “orang yang sangat mengingini ilmu”.

 

 

 

Dengan demikian, menjadi murid tidak hanya di bangku kuliah atau sekolah.

 

 

 

Berburu ilmu tidak terbatas ruang dan waktu.

 

 

 

Imam Ahmad menyebutnya, dari buaian sampai kuburan.

 

 

 

Setelah lulus, modal dari sekolah atau kuliah itu semestinya menjadi kunci untuk membuka ilmu kehidupan lebih luas.

 

 

 

Tradisi membaca, mengamati, berpikir, dan menulis harus digairahkan di dunia pendidikan.

 

 

 

Saya termasuk orang yang tidak terlalu percaya gelar.

 

 

 

Sering kita jumpai orang yang keilmuannya tidak paralel dengan gelarnya.

 

 

 

Ini boleh jadi disebabkan ketidaktepatan orang bersangkutan dalam memaknai belajar.

 

 

 

Misalnya, ketika sudah tamat kuliah dengan menyandang gelar sarjana, master, atau doktor, dia lantas tutup buku.

 

 

 

 

Merasa sudah mapan dan tidak sempat lagi me-refresh pikiran.

 

 

 

Membaca sudah tidak lagi dipentingkan, karena tidak langsung berkorelasi dengan penghasilan.

 

 

 

Jangan heran jika ada guru yang hanya menguasai pelajaran yang diampunya.

 

 

 

Diajak ngomong soal berita atau informasi terbaru, apalagi perkembangan buku, tidak pernah connect.

 

 

 

Meski demikian, kalau sudah berbicara seputar cara agar mendapat tunjangan.

 

 

 

Mendapat proyek, cepat naik pangkat, dan semacamnya yang berkaitan dengan fulus, terampilnya luar biasa.

 

 

 

Paham di luar kepala. 

 

 

 

Sudah begitu, ada pula guru yang menjalankan tugas persis  karyawan pabrik.

 

 

 

Dia bekerja semata agar mendapat upah.

 

 

 

Bahkan, sering tugas mengajar sebagai sampingan.

 

 

 Masuk dan mengajar di kelas hanya kalau benar-benar tidak ada kesibukan lain di luar.

 

 

 

Sekali-dua kali masuk, guru bersangkutan tidak fokus pada pelajaran yang sedang dibahas.

 

 

 

Dan malah cerita ngalor-ngidul yang sama sekali tidak terkait dengan pelajaran di kelas.

 

 

Setiap sekolah sebenarnya sudah punya tata tertib untuk guru.

 

 

Sayangnya, tata tertib itu sering hanya selesai di atas kertas.

 

 

 

Dan ditempelkan di papan kantor atau buku jurnal guru.

 

 

 

Pelaksanaannya jauh panggang dari api.

 

 

 

Tidak semua kepala sekolah mampu menindak perilaku guru yang tidak patut digugu dan ditiru itu.

 

 

 

 Terlebih jika guru itu tergolong senior.

 

 

 

Biasanya, kepala sekolah merasa ewuh pakewuh dalam bersikap.

 

 

 

Munculnya perilaku minim tanggung jawab mungkin  disebabkan motivasi awal menjadi guru.

 

 

 

Bukan rahasia lagi, banyak orang menjadi guru bukan karena bercita-cita ingin menjadi guru.

 

 

 

Karena sudah lelah mencari pekerjaan dan tidak kunjung dapat, lantas terjun sebagai guru.

 

 

 

Ada juga yang menjadi guru karena coba-coba.

 

 

 

 

Iseng-iseng melamar ke sebuah lembaga pendidikan, eh diterima.

 

 

 

Parahnya, ada yang memang berniat menjadi guru.

 

 

 

 

Tetapi alasannya karena menjadi guru tidak butuh tenaga kasar.

 

 

 

Tetapi bisa mendapatkan gaji dan tunjangan.

 

 

 

Paradigma demikian wajib diubah.

 

 

 

 Jika diteruskan, dampaknya sangat fatal.

 

 

Generasi bangsa akan telantar.

 

 

Jika sampai hari ini pendidikan kita tidak beranjak maju.

 

 

 

 

Bahkan malah tertinggal oleh negara lain di dunia.

 

 

 

 

Mungkin karena hilangnya mentalitas pendidik di sekolah.

 

 

Sebagian guru kita baru sekadar sebagai pengajar.

 

 

 

Dan bahkan pencari nafkah.

 

 

 

Yang tidak memenuhi kriteria standar seorang pendidik atau pejuang pendidikan.

 

 

 

Pun ditambah lagi, mental belajar guru kita—melalui tradisi membaca dan menulis—belum dapat diandalkan.

 

 

 

Dari fakta ini, saya sangat mengapresiasi apa yang telah dihasilkan Ustadz Husni Mubarrok.

 

 

Saya tahu, semangat dia dalam menulis begitu tinggi.

 

 

Dia belajar menulis tidak lewat pelatihan atau seminar, tetapi murni autodidak.

 

 

Ustadz Husni ngangsuh kaweruh ke beberapa penulis—termasuk ke saya—lalu dia praktikkan: menulis, dan terus menulis, hingga lahir buku.

 

 

 

 

Semoga bermanfaat.

 

 

 

(Sumber M Husnaini)