GURU HARUS IKUT PERKEMBANGAN
ZAMAN
Oleh: Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M
Saya sangat bangga melihat guru menulis.
Apalagi sampai melahirkan buku solo.
Diterbitkan oleh penerbit mayor lagi.
Sungguh, guru model demikian, tidak
banyak jumlahnya.
Yang dosen dengan gelar berderet saja,
hanya beberapa saja yang gemar menulis buku.
Tradisi menulis memang masih langka.
Di kalangan masyarakat yang terbilang
terdidik sekali pun.
Ini di Indonesia.
Saya tidak tahu bagaimana keadaan di
negara lain.
Yang jelas, menurut beberapa sumber,
tradisi literasi di negara kita memang masih tiarap.
Dibanding Malaysia, misalnya, tingkat
melek literasi masyarakat kita masih kalah.
Dari fakta inilah, maka jika ada
guru—termasuk juga dosen—yang gemar menulis.
Apalagi sampai memiliki karya tulis
berupa buku, harus diapresiasi setinggi mungkin.
Yayasan atau lembaga tempat guru itu
mengabdi juga harus memperhatikan.
Inilah guru plus.
Harus ada penghargaan khusus untuk guru
semacam ini, kendati tidak selalu berupa materi.
Guru yang gemar menulis, biasanya juga
gemar membaca.
Paling tidak, dua aktivitas inilah—yaitu
membaca dan menulis—yang membuat pengetahuan guru ter-update.
Dia tidak akan ketinggalan informasi.
Dalam bahasa cendekiawan Muslim Prof M
Amin Abdullah, guru demikian akan selamat dari virus expired knowledge.
Ibarat dokter, agar mampu mendiagnosis
sekaligus mengobati berbagai jenis penyakit yang terus berkembang.
Dia harus memperbarui pengetahuannya.
Tugas pendidikan tidak sama dengan tugas
kedokteran.
Malapraktik di bidang kedokteran paling
banter menyebabkan pasien meninggal.
Tetapi malapraktik di dunia pendidikan
berbuntut panjang.
Yaitu menghancurkan masa depan hidup
anak secara berkelanjutan.
Karena itu, guru hebat seharusnya adalah
murid yang hebat.
Analoginya, pendidik harus punya kemampuan
dan gairah belajar melampaui peserta didiknya.
Jika peserta didik membaca 1 buku,
pendidik harus khatam 5 buku.
Jika peserta didik belajar 1 jam, maka pendidik
harus 2-3 jam sehari.
Guru yang baik adalah murid baik—ingat.
Kata “murid” bermakna “orang yang sangat
mengingini ilmu”.
Dengan demikian, menjadi murid tidak
hanya di bangku kuliah atau sekolah.
Berburu ilmu tidak terbatas ruang dan
waktu.
Imam Ahmad menyebutnya, dari buaian
sampai kuburan.
Setelah lulus, modal dari sekolah atau
kuliah itu semestinya menjadi kunci untuk membuka ilmu kehidupan lebih luas.
Tradisi membaca, mengamati, berpikir, dan
menulis harus digairahkan di dunia pendidikan.
Saya termasuk orang yang tidak terlalu
percaya gelar.
Sering kita jumpai orang yang
keilmuannya tidak paralel dengan gelarnya.
Ini boleh jadi disebabkan ketidaktepatan
orang bersangkutan dalam memaknai belajar.
Misalnya, ketika sudah tamat kuliah
dengan menyandang gelar sarjana, master, atau doktor, dia lantas tutup buku.
Merasa sudah mapan dan tidak sempat lagi
me-refresh pikiran.
Membaca sudah tidak lagi dipentingkan,
karena tidak langsung berkorelasi dengan penghasilan.
Jangan heran jika ada guru yang hanya
menguasai pelajaran yang diampunya.
Diajak ngomong soal berita atau
informasi terbaru, apalagi perkembangan buku, tidak pernah connect.
Meski demikian, kalau sudah berbicara
seputar cara agar mendapat tunjangan.
Mendapat proyek, cepat naik pangkat, dan
semacamnya yang berkaitan dengan fulus, terampilnya luar biasa.
Paham di luar kepala.
Sudah begitu, ada pula guru yang
menjalankan tugas persis karyawan
pabrik.
Dia bekerja semata agar mendapat upah.
Bahkan, sering tugas mengajar sebagai
sampingan.
Masuk dan mengajar di kelas hanya kalau
benar-benar tidak ada kesibukan lain di luar.
Sekali-dua kali masuk, guru bersangkutan
tidak fokus pada pelajaran yang sedang dibahas.
Dan malah cerita ngalor-ngidul yang sama
sekali tidak terkait dengan pelajaran di kelas.
Setiap sekolah sebenarnya sudah punya tata
tertib untuk guru.
Sayangnya, tata tertib itu sering hanya
selesai di atas kertas.
Dan ditempelkan di papan kantor atau
buku jurnal guru.
Pelaksanaannya jauh panggang dari api.
Tidak semua kepala sekolah mampu
menindak perilaku guru yang tidak patut digugu dan ditiru itu.
Terlebih jika guru itu tergolong senior.
Biasanya, kepala sekolah merasa ewuh
pakewuh dalam bersikap.
Munculnya perilaku minim tanggung jawab mungkin
disebabkan motivasi awal menjadi guru.
Bukan rahasia lagi, banyak orang menjadi
guru bukan karena bercita-cita ingin menjadi guru.
Karena sudah lelah mencari pekerjaan dan
tidak kunjung dapat, lantas terjun sebagai guru.
Ada juga yang menjadi guru karena
coba-coba.
Iseng-iseng melamar ke sebuah lembaga
pendidikan, eh diterima.
Parahnya, ada yang memang berniat
menjadi guru.
Tetapi alasannya karena menjadi guru tidak
butuh tenaga kasar.
Tetapi bisa mendapatkan gaji dan tunjangan.
Paradigma demikian wajib diubah.
Jika diteruskan, dampaknya sangat fatal.
Generasi bangsa akan telantar.
Jika sampai hari ini pendidikan kita
tidak beranjak maju.
Bahkan malah tertinggal oleh negara lain
di dunia.
Mungkin karena hilangnya mentalitas pendidik
di sekolah.
Sebagian guru kita baru sekadar sebagai
pengajar.
Dan bahkan pencari nafkah.
Yang tidak memenuhi kriteria standar
seorang pendidik atau pejuang pendidikan.
Pun ditambah lagi, mental belajar guru
kita—melalui tradisi membaca dan menulis—belum dapat diandalkan.
Dari fakta ini, saya sangat
mengapresiasi apa yang telah dihasilkan Ustadz Husni Mubarrok.
Saya tahu, semangat dia dalam menulis
begitu tinggi.
Dia belajar menulis tidak lewat
pelatihan atau seminar, tetapi murni autodidak.
Ustadz Husni ngangsuh kaweruh ke
beberapa penulis—termasuk ke saya—lalu dia praktikkan: menulis, dan terus
menulis, hingga lahir buku.
Semoga bermanfaat.
(Sumber M Husnaini)



