HASIL SURVEI
BISA DIMAINKAN SESUAI PESANAN
Oleh:
Drs. H. M. Yusron Hadi, M.M
Siapa yang
menentukan hasil survei?
Jawabnya,
“Bisa uang
atau responden”.
Hasil riset lembaga survei politik.
Terkadang masih ditanyakan publik.
Misalnya.
Jumlah penduduk Indonesia 280 juta orang.
Tapi diwakili 1.200-2.800 orang.
Perbedaan hasil survei.
Sudah banyak terjadi.
Misalnya.
Pilkada DKI Jakarta tahun 2017.
Charta Politica putaran ke-2.
Prediksi elektabilitas:
1. Basuki Tjahaja Purnama-Djarot
Syaiful Hidayat 47,3 peren.
2. Anies Baswedan-Sandiaga
Salahuddin Uno 44,8 persen.
Pilkada Jawa Barat tahun 2018.
Hampir semua lembaga survei salah.
Prediksi elektabilitas Sudrajat-Ahmad Syaikhu.
1. Saiful Mujani Research and
Consulting (SMRC) 7,9 persen.
2. LSI Denny JA 8,2 persen.
3. Indo Barometer 6,1 persen.
Hasil resmi KPU.
Sudrajat-Syaikhu 28,7 persen.
Publik sering mengeluhkan lembaga survei yang asal.
Dan metodologinya ditanyakan.
Tapi ironisnya.
Belum ada aturan menghukum lembaga survei.
Jika terbukti hanya untuk menggiring
opini.
Maka lembaga survei seenaknya membohongi masyarakat.
Dengan menggiring opini.
Wawancara Peneliti Senior Founding Father House
(FFH) Dian Permata.
Dan Guru Besar pakar statistik dari Institut
Pertanian Bogor (IPB).
Khairil Anwar Notodiputro.
Tanya:
Berapa idealnya responden survei pemilu.
Jika dilakukan di Indonesia.
Yang penduduknya sangat banyak?
Dian:
Responden 1.200 orang paling moderat.
Angka itu bisa bisa menjadi potret pemilih
berdasarkan demografi nasional.
Asalkan taat asas
dan metodologi.
Khairil:
Jika pakai simple random sampling 1.200 orang cukup.
Setahu saya.
Lembaga survey tidak pakai simple random sampling.
Tapi, pakai multistage sampling.
Jika pakai multistage random sampling.
Maka agak kurang besar sampelnya.
Sekarang trennya 1.200 atau 2.000 responden.
Masih terlalu besar margin of error-nya.
Meskipun diklaim cuma 2,5 persen atau 3 persen.
Saya ragu.
Karena bukan pakai simple random sampling.
Tanya:
Kenapa 1.200 atau 2.000 responden.
Menjadi tren atau angka moderat?
Dian:
Riset tergantung 2 hal, yaitu:
1. Uang .
2. Waktu.
Makin banyak responden.
Makin banyak duit.
Waktunya juga makin lama.
Jika dananya Rp 1,2 miliar.
Bisa dapat 2.400 responden.
Makin banyak responden.
Banyak potensi penyimpangan.
Kesalahan non sampling.
Misalnya, petugas survei sakit.
Sangat mungkin terjadi salah teknis.
Memang tidak ada rumus ajeg.
Kembali pada uang dan waktu.
Yang menentukan.
Tanya:
Apakah pemesan survei perlu disampaikan juga?
Dian:
Kode etik World Association for Public Opinion
Research (WAPOR).
Data identitas klien harus dibuka.
Lembaga survey perlu mengumumkan siapa yang membiayai.
Agar publik menilai.
Apakah risetnya netral atau tidak.
Melenceng atau tidak dari metodoligi peneliti.
Khairil:
Lebih baik terbuka.
Agar lebih fair.
Idealnya lembaga survei tidak dibiayai kontestan.
Benar tidaknya lembaga survey.
Tidak bisa dihukum dari hasilnya.
Tapi dihukum dari prosesnya.
Jika survei tujuannya mengambil kesimpulan.
Apakah A menang atau B menang.
Maka survei harus:
1. Sampelnya acak.
2. Populasinya representatif.
3. Jumlahnya cukup.
Jika populasinya pemilih.
Maka respondennya pemilih.
Bukan anak kecil.
Hal ini terkait margin of error.
Yang akan ditolerir.
Makin kecil margin of error.
Harus makin besar sampelnya.
Sehingga multistage random sampling tak cukup.
(Sumber Jawapos)


