REVOLUSI MENTAL 10-05-2014
Ditulis Tim Jokowi.
INDONESIA saat ini menghadapi suatu paradoks
pelik yang menuntut jawaban dari para pemimpin nasional.
Setelah 16 tahun melaksanakan reformasi, kenapa
masyarakat kita bertambah resah dan bukannya tambah bahagia, atau dalam istilah
anak muda sekarang semakin galau?
Dipimpin
bergantian oleh empat presiden antara 1998 dan 2014, mulai dari BJ Habibie, KH
Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, hingga Susilo Bambang Yudhoyono,
Indonesia telah mencatat sejumlah kemajuan di bidang ekonomi dan politik.
Mereka memimpin di bawah bendera reformasi yang
didukung oleh pemerintahan yang dipilih rakyat melalui proses yang demokratis.
Ekonomi semakin berkembang dan masyarakat
banyak yang bertambah makmur.
Bank Dunia bulan Mei ini mengatakan ekonomi
Indonesia sudah masuk 10 besar dunia, jauh lebih awal dari perkiraan pemerintah
SBY yang memprediksi baru terjadi tahun 2025.
Di bidang politik, masyarakat sudah banyak
menikmati kebebasan serta hak-haknya dibandingkan sebelumnya, termasuk di
antaranya melakukan pergantian pemimpinnya secara periodik melalui pemilu yang
demokratis.
Namun, di sisi lain, kita melihat dan merasakan
kegalauan masyarakat seperti yang dapat kita saksikan melalui protes di
jalan-jalan di kota besar dan kecil dan juga di ruang publik lainnya, termasuk
media massa dan media sosial.
Gejala apa ini? Pemimpin nasional dan pemikir
di Indonesia bingung menjelaskan fenomena bagaimana keresahan dan kemarahan
masyarakat justru merebak. Sementara, oleh dunia, Indonesia dijadikan model
keberhasilan reformasi yang menghantarkan kebebasan politik serta demokrasi
bersama pembangunan ekonomi bagi masyarakatnya. Izinkan saya melalui tulisan
singkat ini menyampaikan pandangan saya menguraikan permasalahan bangsa ini dan
menawarkan paradigma baru untuk bersama mengatasinya.
Saya bukan ahli politik atau pembangunan. Untuk
itu, pandangan ini banyak berdasarkan pengamatan dan pengalaman saya selama
ini, baik sebagai Wali Kota Surakarta maupun Gubernur DKI Jakarta.
Oleh karena itu, keterbatasan dalam pandangan
ini mohon dimaklumi. Sebatas kelembagaan Reformasi yang dilaksanakan di
Indonesia sejak tumbangnya rezim Orde Baru Soeharto tahun 1998 baru sebatas
melakukan perombakan yang sifatnya institusional.
Ia belum menyentuh paradigma, mindset, atau
budaya politik kita dalam rangka pembangunan bangsa (nation building).
Agar perubahan benar-benar bermakna dan
berkesinambungan, dan sesuai dengan cita-cita Proklamasi Indonesia yang
merdeka, adil, dan makmur, kita perlu melakukan revolusi mental.
Nation building tidak mungkin maju kalau
sekadar mengandalkan perombakan institusional tanpa melakukan perombakan
manusianya atau sifat mereka yang menjalankan sistem ini.
Sehebat apa pun kelembagaan yang kita ciptakan,
selama ia ditangani oleh manusia dengan salah kaprah tidak akan membawa
kesejahteraan.
Sejarah Indonesia merdeka penuh dengan contoh
di mana salah pengelolaan (mismanagement) negara telah membawa bencana besar
nasional.
Kita melakukan amandemen atas UUD 1945. Kita
membentuk sejumlah komisi independen (termasuk KPK). Kita melaksanakan otonomi
daerah.
Dan, kita telah banyak memperbaiki sejumlah
undang-undang nasional dan daerah. Kita juga sudah melaksanakan pemilu secara
berkala di tingkat nasional/daerah. Kesemuanya ditujukan dalam rangka perbaikan
pengelolaan negara yang demokratis dan akuntabel.
Namun, di saat yang sama, sejumlah tradisi atau
budaya yang tumbuh subur dan berkembang di alam represif Orde Baru masih
berlangsung sampai sekarang, mulai dari korupsi, intoleransi terhadap
perbedaan, dan sifat kerakusan, sampai sifat ingin menang sendiri,
kecenderungan menggunakan kekerasan dalam memecahkan masalah, pelecehan hukum,
dan sifat oportunis.
Kesemuanya ini masih berlangsung, dan beberapa
di antaranya bahkan semakin merajalela, di alam Indonesia yang katanya lebih
reformis.
Korupsi menjadi faktor utama yang membawa
bangsa ini ke ambang kebangkrutan ekonomi di tahun 1998 sehingga Indonesia
harus menerima suntikan dari Dana Moneter Internasional (IMF) yang harus
ditebus oleh bangsa ini dengan harga diri kita.
Terlepas dari sepak terjang dan kerja keras KPK
mengejar koruptor, praktik korupsi sekarang masih berlangsung, malah ada gejala
semakin luas.
Demikian juga sifat intoleransi yang tumbuh
subur di tengah kebebasan yang dinikmati masyarakat.
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi yang pesat
malah memacu sifat kerakusan dan keinginan sebagian masyarakat untuk cepat kaya
sehingga menghalalkan segala cara, termasuk pelanggaran hukum.
Jelas reformasi, yang hanya menyentuh faktor
kelembagaan negara, tidak akan cukup untuk menghantarkan Indonesia ke arah
cita-cita bangsa seperti diproklamasikan oleh para pendiri bangsa.
Apabila kita gagal melakukan perubahan dan
memberantas praktik korupsi, intoleransi, kerakusan, keinginan cepat kaya
secara instan, pelecehan hukum, dan sikap oportunis, semua keberhasilan
reformasi ini segera lenyap bersama kehancuran bangsa.
Perlu revolusi mental Dalam pembangunan bangsa,
saat ini kita cenderung menerapkan prinsip-prinsip paham liberalisme yang jelas
tidak sesuai dan kontradiktif dengan nilai, budaya, dan karakter bangsa
Indonesia.
Sudah saatnya Indonesia melakukan tindakan
korektif, tidak dengan menghentikan proses reformasi yang sudah berjalan,
tetapi dengan mencanangkan revolusi mental menciptakan paradigma, budaya
politik, dan pendekatan nation building baru yang lebih manusiawi, sesuai
dengan budaya Nusantara, bersahaja, dan berkesinambungan.
Penggunaan istilah ”revolusi” tidak berlebihan.
Sebab, Indonesia memerlukan suatu terobosan budaya politik untuk memberantas
setuntas-tuntasnya segala praktik-praktik yang buruk yang sudah terlalu lama
dibiarkan tumbuh kembang sejak zaman Orde Baru sampai sekarang.
Revolusi mental beda dengan revolusi fisik
karena ia tidak memerlukan pertumpahan darah.
Namun, usaha ini tetap memerlukan dukungan
moril dan spiritual serta komitmen dalam diri seorang pemimpin—dan selayaknya
setiap revolusi—diperlukan pengorbanan oleh masyarakat.
Dalam melaksanakan revolusi mental, kita dapat
menggunakan konsep Trisakti yang pernah diutarakan Bung Karno dalam pidatonya
tahun 1963 dengan tiga pilarnya, ”Indonesia yang berdaulat secara politik”,
”Indonesia yang mandiri secara ekonomi”, dan ”Indonesia yang berkepribadian
secara sosial-budaya”.
Terus terang kita banyak mendapat masukan dari
diskusi dengan berbagai tokoh nasional tentang relevansi dan kontektualisasi
konsep Trisakti Bung Karno ini.
Kedaulatan rakyat sesuai dengan amanat sila
keempat Pancasila haruslah ditegakkan di Bumi kita ini.
Negara dan pemerintahan yang terpilih melalui
pemilihan yang demokratis harus benar-benar bekerja bagi rakyat dan bukan bagi
segelintir golongan kecil.
Kita harus menciptakan sebuah sistem politik
yang akuntabel, bersih dari praktik korupsi dan tindakan intimidasi.
Semaraknya politik uang dalam proses pemilu
sedikit banyak memengaruhi kualitas dan integritas dari mereka yang dipilih
sebagai wakil rakyat.
Kita perlu memperbaiki cara kita merekrut
pemain politik, yang lebih mengandalkan keterampilan dan rekam jejak ketimbang
kekayaan atau kedekatan mereka dengan pengambil keputusan.
Kita juga memerlukan birokrasi yang bersih,
andal, dan kapabel, yang benar-benar bekerja melayani kepentingan rakyat dan
mendukung pekerjaan pemerintah yang terpilih.
Demikian juga dengan penegakan hukum, yang
penting demi menegakkan wibawa pemerintah dan negara, menjadikan Indonesia
sebagai negara yang berdasarkan hukum.
Tidak kalah pentingnya dalam rangka penegakan
kedaulatan politik adalah peran TNI yang kuat dan terlatih untuk menjaga
kesatuan dan integritas teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Di bidang ekonomi, Indonesia harus berusaha
melepaskan diri dari ketergantungan yang mendalam pada investasi/modal/bantuan
dan teknologi luar negeri dan juga pemenuhan kebutuhan makanan dan bahan pokok
lainnya dari impor.
Kebijakan ekonomi liberal yang sekadar
mengedepankan kekuatan pasar telah menjebak Indonesia sehingga menggantung pada
modal asing.
Sementara sumber daya alam dikuras oleh
perusahaan multinasional bersama para ”komprador” Indonesia-nya.
Reformasi 16 tahun tidak banyak membawa
perubahan dalam cara kita mengelola ekonomi. Pemerintah dengan gampang membuka
keran impor untuk bahan makanan dan kebutuhan lain.
Banyak elite politik kita terjebak menjadi
pemburu rente sebagai jalan pintas yang diambil yang tidak memikirkan
konsekuensi terhadap petani di Indonesia. Ironis kalau Indonesia dengan
kekayaan alamnya masih mengandalkan impor pangan.
Indonesia secara ekonomi seharusnya dapat
berdiri di atas kaki sendiri, sesuai dengan amanat Trisakti.
Ketahanan pangan dan ketahanan energi merupakan
dua hal yang sudah tidak dapat ditawar lagi.
Indonesia harus segera mengarah ke sana dengan
program dan jadwal yang jelas dan terukur.
Di luar kedua sektor ini, Indonesia tetap akan
mengandalkan kegiatan ekspor dan impor untuk menggerakkan roda ekonomi.
Kita juga perlu meneliti ulang kebijakan
investasi luar negeri yang angkanya mencapai tingkat rekor beberapa tahun
terakhir ini karena ternyata sebagian besar investasi diarahkan ke sektor
ekstraktif yang padat modal, tidak menciptakan banyak lapangan kerja, tetapi
mengeruk keuntungan yang sebesar-besarnya. Pilar ketiga Trisakti adalah
membangun kepribadian sosial dan budaya Indonesia.
Sifat ke-Indonesia-an semakin pudar karena
derasnya tarikan arus globalisasi dan dampak dari revolusi teknologi komunikasi
selama 20 tahun terakhir.
Indonesia tidak boleh membiarkan bangsanya
larut dengan arus budaya yang belum tentu sesuai dengan nilai-nilai luhur
bangsa kita.
Sistem pendidikan harus diarahkan untuk
membantu membangun identitas bangsa Indonesia yang berbudaya dan beradab, yang
menjunjung tinggi nilai-nilai moral agama yang hidup di negara ini.
Akses ke
pendidikan dan layanan kesehatan masyarakat yang terprogram, terarah, dan tepat
sasaran oleh nagara dapat membantu kita membangun kepribadian sosial dan budaya
Indonesia.
Dari mana kita mulai Kalau bisa disepakati
bahwa Indonesia perlu melakukan revolusi mental, pertanyaan berikutnya adalah
dari mana kita harus memulainya.
Jawabannya dari masing-masing kita sendiri,
dimulai dengan lingkungan keluarga dan lingkungan tempat tinggal serta
lingkungan kerja dan kemudian meluas menjadi lingkungan kota dan lingkungan
negara. Revolusi mental harus menjadi sebuah gerakan nasional.
Usaha kita bersama untuk mengubah nasib
Indonesia menjadi bangsa yang benar-benar merdeka, adil, dan makmur.
Kita harus berani mengendalikan masa depan
bangsa kita sendiri dengan restu Allah SWT.
Sebab, sesungguhnya Allah tidak mengubah nasib
suatu bangsa kecuali bangsa itu mengubah apa yang ada pada diri mereka.
Saya sudah memulai gerakan ini ketika memimpin
Kota Surakarta dan sejak 2012 sebagai Gubernur DKI Jakarta.
Sejumlah teman yang sepaham juga sudah memulai
gerakan ini di daerahnya masing-masing.
Insya Allah, usaha ini dapat berkembang semakin
meluas sehingga nanti benar-benar menjadi sebuah gerakan nasional seperti yang
diamanatkan oleh Bung Karno, memang revolusi belum selesai.
Revolusi Mental Indonesia baru saja dimulai.
JOKO WIDODO.
Calon
presiden PDIP
(sumber kompas)
0 comments:
Post a Comment